[Nasional-m] Akbar Hambat Pembacaan Surat Penon-aktifannya

Ambon nasional-m@polarhome.com
Wed Sep 18 09:36:03 2002


Kompas
Rabu, 18 September 2002

Akbar Hambat Pembacaan Surat Penon-aktifannya

Jakarta, Kompas - Surat usul inisiatif 68 anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) untuk menon-aktifkan Ketua DPR Akbar Tandjung, terhukum tiga tahun
penjara dalam perkara korupsi dana nonbudgeter Badan Urusan Logistik (Bulog)
senilai Rp 40 milyar, gagal diumumkan dan dibacakan oleh Sekretariat
Jenderal DPR dalam rapat paripurna, Selasa (17/9), sebagaimana diharapkan
pengusul.
Sebagai pemimpin sidang, Akbar Tandjung memegang peranan untuk menggagalkan
pembacaan surat yang menyangkut dirinya. Tidak seperti sidang-sidang
paripurna biasanya, Tandjung selaku pemimpin sidang tidak menanyakan kepada
sekretariat tentang surat masuk dan surat keluar, tetapi langsung membahas
agenda rapat, yaitu Laporan Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2002 dari
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Sikap Tandjung itu mengundang banyak interupsi, baik yang pro maupun kontra.
Namun, Ketua Umum Partai Golkar ini tetap bersikukuh agar surat soal
penon-aktifan dirinya itu tidak dibacakan. Surat tersebut dimasukkan dalam
Badan Musyawarah (Bamus) DPR untuk dibahas lebih lanjut dengan alasan tidak
sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPR.
Berdasarkan hasil rapat konsultasi pimpinan DPR, Selasa sore, surat tersebut
direncanakan akan dibahas pada rapat Bamus, Kamis mendatang. Pembahasan
dilakukan bersamaan dengan usul pembentukan Dewan Kehormatan dari Fraksi
Reformasi ataupun usulan Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) tentang perlunya
Rapat Konsultasi Pimpinan DPR dengan Pimpinan Fraksi untuk menyikapi vonis
Akbar Tandjung.
Hujan interupsi
Seperti diperkirakan sebelumnya, rapat paripurna memang akan berlangsung
alot. Pasalnya, baik pihak pengusul maupun Fraksi Partai Golkar (F-PG) sudah
pasang strategi. Sebelum sidang dibuka, suasana tegang pun sudah terasa.
Sejak pagi, tampak anggota DPR dari F-PG sudah banyak memenuhi ruang sidang.
Sementara sejumlah pengusul pun mengaku sudah mempersiapkan diri untuk
interupsi bila terjadi keanehan dalam persidangan. Satu jam sebelum sidang
dibuka, pimpinan DPR pun sudah melakukan rapat konsultasi untuk memastikan
alur jalannya persidangan.
Sebab itu, begitu melihat gelagat Akbar Tandjung yang langsung membahas
agenda rapat dan tidak menanyakan kepada sekretariat soal surat masuk,
Susono Yusuf, salah satu inisiator dari F-KB, langsung melancarkan
interupsi. Ia meminta Akbar Tandjung menanyakan surat masuk tentang
penon-aktifan dirinya kepada sekretariat sidang dan kemudian meminta
membacakannya pada rapat.
Sebagai acuan, Susono mendasarkan pada Pasal 96 Ayat (1) yang berbunyi,
Setelah rapat dibuka, Ketua Rapat dapat meminta kepada sekretaris rapat agar
memberitahukan surat masuk dan surat keluar yang dipandang perlu kepada
peserta rapat.
Namun, Akbar Tandjung langsung menjawab dengan memberikan argumen lain.
Menurut dia, yang berhak menyeleksi apakah surat tersebut perlu dibacakan
atau tidak dalam rapat paripurna adalah pimpinan DPR.
Sebagai dasar pertimbangan adalah Pasal 207 Ayat (2) Tata Tertib (Tatib) DPR
yang menyebutkan, Pimpinan DPR menentukan apakah surat masuk tersebut sesuai
dengan permasalahannya akan ditangani sendiri atau diteruskan kepada alat
kelengkapan lain DPR dan/ atau pimpinan fraksi.
Panda Nababan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP)
kemudian kembali mendesak agar Tandjung membacakan saja surat masuk pada DPR
sebagaimana yang pernah dilakukan dalam sidang-sidang paripurna sebelumnya.
Namun, hal itu juga kembali ditolak Tandjung dengan alasan melanggar tata
tertib.
Melihat Tandjung yang bersikukuh untuk melanjutkan sidang, Dwi Ria Latifa,
inisiator dari F-PDIP, pun turut menginterupsi. Dia mengingatkan agar
Tandjung tidak memperdebatkan soal tatib karena akan memakan waktu panjang.
Usul inisiatif penon-aktifan Tandjung, katanya, harus dilihat sebagai hal
yang sangat penting karena menyangkut citra lembaga DPR karena itu minta
dibacakan. Namun, lagi-lagi Tandjung mementahkannya.
Interupsi pun terus berlanjut dari yang pro maupun kontra dan suasana rapat
pun menjadi semakin panas. Tapi, akhirnya, setelah lebih kurang satu jam
berlalu, Tandjung tetap memutuskan untuk tidak membacakan surat yang
menyangkut nasib dirinya dan sidang pun tetap dilanjutkan membahas agenda
selanjutnya.
Sementara itu, empat Wakil Ketua DPR lainnya, AM Fatwa (Fraksi Reformasi),
Muhaimin Iskandar (F-KB), Soetardjo Soerjogoeritno (F-PDIP), dan Tosari
Widjaya (F-PPP) yang turut mendampingi Akbar Tandjung diam saja. Mereka
menyerahkan kendali rapat kepada Akbar Tandjung sepenuhnya.
Meninggalkan sidang
Merasa kecewa dengan sikap pimpinan DPR yang tidak demokratis itu, puluhan
anggota DPR langsung meninggalkan ruang sidang. Susono maupun Dwi Ria Latifa
yang ditemui di luar sidang mengaku merasa kecewa dengan sikap pimpinan DPR.
"Surat yang tidak terlalu penting saja selama ini selalu dibacakan dalam
rapat, mengapa kali ini tidak?" ucap Susono.
Hal senada disampaikan Firman Jaya Daeli. "Kepentingan partikular dan
personal Akbar Tandjung lebih dominan dan mengalahkan hak dan kedaulatan
anggota," ucapnya.
Wakil Sekretaris Jenderal DPR Faisal Djamal mengatakan, kasus ini merupakan
kasus yang pertama kali terjadi. Sepengetahuannya, setiap surat masuk kepada
pimpinan DPR pasti dibacakan dalam rapat paripurna setelah mendapatkan
disposisi.
"Perlawanan"
Menanggapi aksi pengumpulan tanda tangan untuk menggusur Akbar Tandjung dari
kursi DPR, sejumlah politisi dari Partai Golkar pun melakukan "perlawanan".
Anggota Fraksi Partai Golkar juga mengumpulkan tanda tangan dari anggota DPR
lainnya untuk menolak usulan penon-aktifan Ketua Umum Partai Golkar
tersebut. Sampai Selasa sore, menurut M Akil Mochtar dari F-PG, usulan untuk
menolak usulan penon-aktifan Tandjung sudah ditandatangani 89 anggota DPR.
Fungsionaris F-PG Ferry Mursyidan Baldan menambahkan, usulan untuk menolak
usulan penon-aktifan Akbar Tandjung akan didukung oleh lebih banyak anggota
DPR. Itu terjadi karena usulan menon-aktifkan Ketua DPR melalui mekanisme
pengumpulan tanda tangan memang tidak mempunyai dasar hukum.
Adapun Ketua DPP PDI Perjuangan Roy BB Janis mengatakan, DPP PDI Perjuangan
menganggap bahwa aspirasi yang disampaikan sebagian anggota F-PDIP DPR
sebatas persoalan antara anggota dan pemimpinnya. "Karena itu, kami memberi
kebebasan kepada tiap anggota fraksi untuk bersikap terhadap kasus Akbar
Tandjung ini," kata Roy usai mengikuti rapat DPP PDI-P di Lenteng Agung,
Jakarta.
Menurut Roy, siapa pun yang menjabat Ketua DPR dengan kondisi seperti yang
dialami Akbar Tandjung, anggota F-PDIP akan meminta untuk non-aktif.
Percepat
Menanggapi aksi galang-menggalang tanda tangan untuk menggusur ataupun
mempertahankan Akbar Tandjung, Wakil Presiden Hamzah Haz mengimbau agar
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta segera memutuskan banding Akbar Tandjung. Hal
ini untuk menghindari terjadinya polemik yang berkepanjangan, yang membuat
situasi tidak stabil.
"Percepat proses hukumnya, namun tanpa tendensi politik apa pun. Ini hanya
agar ada kepastian secepatnya. Kalau misalnya perkara lain butuh waktu enam
bulan baru selesai, ini satu atau dua bulan sudah bisa selesai. Institusi
hukum harus memberi prioritas terhadap perkara ini," kata Hamzah.
Selain mempercepat keputusan banding, menurut Hamzah, pimpinan fraksi harus
mengambil alih dalam pengambilan keputusan persoalan seputar posisi Akbar
Tandjung di DPR. "Pimpinan fraksi harus membicarakan hal itu agar mekanisme
kerja DPR tidak terganggu," kata Hamzah menyarankan.
Sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (DPP
PPP), Hamzah menyatakan memberi kebebasan kepada para anggota DPR dari
Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) untuk mengambil sikap dalam
persoalan tersebut. "Tidak ada larangan bagi anggota F-PPP yang mau ikut
tanda tangan meminta Akbar Tandjung mundur, itu hak mereka sebagai anggota
DPR," katanya.
Pendapat senada disampaikan oleh Ketua F-PPP DPR Barlianta Harahap. F-PPP
meminta pimpinan DPR untuk segera melakukan rapat menetapkan pandangannya
terhadap posisi Akbar Tandjung. "Sebab, pimpinan DPR itu bersifat kolektif.
Sebagai alat kelengkapan DPR, pimpinan DPR seharusnya segera rapat setelah
vonis PN Jakarta dijatuhkan untuk menetapkan pandangan pimpinan. Bicarakan
persoalan itu internal pimpinan untuk menetapkan pandangan pimpinan, baru
sampaikan pandangan itu kepada fraksi," ujarnya.
Sampai hari ini, menurut Harahap, pimpinan DPR belum menyampaikan
pandangannya. (ely/mba/tra/sut)