[Nasional-m] Potret Hilangnya Darurat Nasional

Ambon nasional-m@polarhome.com
Wed Sep 18 09:36:07 2002


Suara Karya

Kasus Listrik Padam
Potret Hilangnya Darurat Nasional
Oleh Stevanus Subagijo

Rabu, 18 September 2002
Peristiwa padamnya aliran listrik di Jabotabek dan sekitarnya merupakan
potret kesekian kalinya hilangnya greget darurat nasional (sense of national
emergency). Pentingnya emerjensi bukan hanya untuk kehidupan pribadi saja
seperti asuransi jiwa atau kesehatan jika sewaktu-waktu meninggal atau
sakit. Bagi kehidupan publik seperti suatu negara apalagi ibukota negara
tersebut, emerjensi adalah syarat mutlak. Ini disebabkan Perusahaan Listrik
Negara (PLN) merupakan tempat utama bergantungnya pasok listrik nasional.
Kedaruratan bukan terpisah dengan PLN tetapi telah menjadi satu kesatuan
unit dari setiap pelayanan publik yang penting ini. Dengan demikan kasus
padamnya Jabotabek dan sekitarnya merupakan tamparan bagi PLN, karena telah
terjadi bukan hanya human error dan technical error tetapi juga menyiratkan
belum kuatnya ihwal darurat listrik. Dipikir kedaruratan hanyalah kasuistis
semata yang tak perlu dipersiapkan. Padahal sesuatu yang darurat seharusnya
telah menjadi "satu atap" dengan setiap operasional yang ada. Entah itu PLN,
PAM, pengelola jalan tol dan lain-lain.
Ia merupakan bagian dari tata operasional yang menjadi cadangan jika
skenario operasional utama gagal, maka skenario operasional kedua (cadangan)
harus menjadi back up yang siap menggantikan. Dan ketika ia menggantikannya,
maka setiap rencana darurat otomatis adalah operasional itu sendiri, yang
sama pentingnya.
Logika Emerjensi


Ini berarti kasus listrik padam Jabotabek bukan serta merta kerugian PLN
karena tidak bisa memasok. Sangat naif jika PLN hanya melihat kerugian
dirinya. Masyarakat pelanggan listrik tentu ruginya akan lebih besar lagi.
Namun di samping kerugian yang bisa dihitung dengan uang itu, ada kerugian
yang maha besar yang bisa menciptakan kerugian rangkap, bukan hanya uang
tetapi juga nyawa dan seluruh proses aktivitas masyarakat. Ini disebabkan di
tengah krisis multidimensional segala sesuatunya bisa terjadi tanpa kita
bisa berbuat apa-apa karena memang skenario darurat tidak dipersiapkan.
Tak heran banyak kejadian membuat kita pontang-panting menangani musibah
beruntun. Banjir, kebakaran, asap, gempa bumi sampai pemulangan TKI di
Nunukan yang datang secara mendadak membuat kita tergagap. Ini karena
operasional harian kita dalam menangani TKI, banjir atau listrik padam
secara menyeluruh tidak ada sehingga akibat yang ditimbulkannya menjadi yang
sangat besar. Menangani listrik padam satu komplek perumahan saja, masih
harus menunggu perbaikan beberapa hari, bagaimana jika padamnya satu kota.
PLN tampaknya belum sampai pada titik zero accident, di mana begitu listrik
padam maka dalam hitungan detik listrik cadangan siap menyalurkan enerjinya.
Logika darurat nasional seharusnya termaktub dalam setiap operasional tetap.
Misalnya, penanganan kehutanan sudah mengantisipasi kemungkinan terjadinya
kebakaran hutan. PLN sudah mengantisipasi jika listrik padam, apalagi
terjadi di ibukota negara yang mempunyai prestis tinggi dibanding kota lain.
Karena di Jakarta berdomisili berbagai kepentingan tamu negara, kedutaan
besar serta orang asing. Padamnya listrik di Jakarta membuat mereka memiliki
kesan bahwa kita tidak sebaik-baiknya melayani diri kita sendiri, dan
otomatis mana mungkin melayani orang asing dengan baik pula.
Jadi setiap rencana operasional tetap harus menyertakan rencana darurat yang
mungkin terjadi beserta cara penanganannya. Ada skenario rangkap yang bisa
menjadi pilihan kedua ketika rencana pertama gagal total.
Korban Darurat


Hilangnya darurat nasional ternyata juga menambah korban-korban yang tidak
perlu. Diberitakan bahwa setelah listrik padam beberapa lokasi hunian
penduduk mengalami kebakaran hebat. Padahal jika begitu listrik padam,
kemudian beberapa detik kemudian menyala kembali ada kemungkianan kebakaran
itu tidak terjadi. Pengungsi TKI di Nunukan yang lama tak mendapat
pertolongan akhirnya ada yang meninggal sia-sia dan sakit-sakitan. Ini
menunjukkan bahwa darurat nasional yang tidak segera dijadikan skenario
kedua yang harus dijalankan, akan memakan korban tambahan yang seharusnya
tidak perlu. Bahkan menurut penelitian banyak korban terjadi justru karena
pertolongan darurat tidak segera datang. Jika korban pertama misalnya hanya
sepuluh orang, bisa saja jika situasi darurat yang tidak segera ditolong
akan menyebabkan korban tambahan berjatuhan 20 orang lagi.
Hal ini makin menunjukkan kepada kita bahwa situasi darurat harus segera
ditangani. Langkah aparat kepolisian yang begitu melihat listrik padam terus
mengerahkan anggotanya menyebar ke seluruh pelosok daerah Jabotabek patut
dipuji, karena polisi menerapkan situasi darurat dengan asumsi tanpa lampu
bisa saja terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti kriminalitas,
kebakaran, kecelakaan dan sebagainya. Darurat nasional yang tidak dijadikan
skenario kedua akan menambah korban nyawa dan harta bertambah-tambah.
Di samping itu tidak adanya darurat nasional juga akan menambah situasi
penanganan atas krisis atau musibah lebih sulit dan kompleks karena kita
tidak tahu ujung pangkal sebab musababnya. Ibarat ingin menghentikan kereta
api yang remnya blong dengan menganjalnya dengan balok. Waktu, biaya dan
kompleksitasnya jelas akan mengancam krisis dan musibah yang ada makin
menjadi-jadi. Tentu ini semua tidak kita inginkan.
Skenario Cadangan


Untuk itu dalam menciptakan darurat nasional dibutuhkan skenario kedua di
mana diperlukan empat aspek. Pertama, skenariokan bahwa darurat nasional
bukan hanya krisis atau musibah tunggal tetapi akan saling pengaruh
mempengaruhi kepada berbagai hal lain. Listrik padam akan memadamkan pabrik,
lalu lintas, jaringan komputer, peralatan vital di rumah sakit dst secara
berantai. Sebuah skenario darurat nasional harus memperhatikan multidampak
ini.
Kedua, skenariokan bahwa pada darurat nasional tergantung banyak adegan
sosial. Dimana kita bisa memilah mana adegan sosial yang paling mendesak
untuk ditolong ketika situasi darurat terjadi dan mana yang paling belakang.
Mana adegan sosial yang bisa diabaikan dan mana yang harus segera ditangani
karena menyangkut korban potensial yang bisa saja terjadi.
Ketiga, sertakan aktor-aktor kunci dalam skenario darurat, sehingga
penanganan darurat bisa menjadi program banyak orang-orang kunci. Listrik
padam seharusnya bisa ditangani jika misalnya gedung, pabrik atau rumah
sakit yang memiliki generator bisa berkoordinasi dengan PLN, sehingga
listrik lokal itu bisa berfungsi maksimal secara sosial di komunitasnya.
Keempat, imajinasikan bahwa situasi darurat benar-benar terjadi. Listrik
benar-benar padam. Perlu latihan jika ibukota Jakarta padam listrik,
sehingga langkah-langkah apa yang perlu diambil bisa dilakukan, siapa yang
melakukan, kemana, dimana dan dampaknya seperti apa.
Pentingnya darurat nasional dengan skenario kedua ini bertujuan bagi
penghargaan atas nilai-nilai kehidupan manusia siapapun dia. Satu nyawa
siapapun dia sangat berharga, maka setiap musibah atau krisis datang kita
akan secara otomatis menyelamatkan pertama-sama nyawa manusia, baru kemudian
harta benda. Dan bukan kita merapatkannya ketika musibah dan krisis tengah
berlangsung, iya saja korban berjatuhan. Sikap ini sangat penting, dimana
kita mendidik diri kita untuk juga mementingkan orang lain, sama seperti
kita mementingkan diri kita sendiri yang jauh dari areal krisis atau
musibah.
Inilah bentuk pertolongan pertama pada kecelakaan (PPPK) secara nasional,
dengan menyadari bahwa apa yang sudah direncanakan matang oleh manusia,
secara teknis oke, tetap saja bisa terjadi error. Ini menandakan kepada kita
bahwa keterbatasan manusia ada benarnya, dan tidak ada salahnya jika kita
mempersiapkan situasi darurat jika ia tiba, justru karena kita menyadari
bahwa kita lemah dan bisa gagal. Ini berarti kita harus rendah hati dalam
mereka-rancang pembangunan, karena selalu mungkin yang terjadi adalah yang
sebaliknya.
(Stevanus Subagijo, peneliti pada Center for National Urgency Studies,
Jakarta).