[Nasional-m] Kekosongan Hukum dalam Kasus Akbar

Ambon nasional-m@polarhome.com
Wed Sep 18 09:36:12 2002


Suara Merdeka
 Rabu, 18 September 2002 Karangan Khas

Kekosongan Hukum dalam Kasus Akbar
Oleh: Agus Riewanto

KINI perjalanan kasus Akbar Tandjung ibarat gunung es telah mencapai
puncaknya, kemudian meleleh dan menodai hamparan suhu politik dan hukum di
Indonesia. Menambah semakin becek dan buram catatan hukum dan etika politik
setelah Akbar Tandjung divonis tiga tahun.
Perhatian, komentar, dan publikasi yang luas dari berbagai kalangan mengenai
kasus ini, hampir semua menyatakan hukum kita telah buta dan mata para hakim
telah sengaja membutakan diri.
Sebab, vonis mereka dinilai tidak sesuai dengan jeritan dan tangisan rak
yat, melainkan terkesan takut, bahkan melindungi setiap elite politik yang
terjerat hukum. Hukum kita telah berpihak kepada yang kuat, bukan pada orang
papa alias hukum memasang timbangan yang berat sebelah.
Kini perhatian dan bahkan gugatan tidak sekadar dalam ranah kecilnya vonis
hukuman untuk Akbar, tetapi juga berkaitan dengan sikap membandelnya Akbar
yang tetap ingin eksis sebagai politisi di DPR RI.
Terbukti Akbar masih tetap memimpin delegasi Indonesia untuk Konferensi
International Parliament Union (IPU) di Hanoi, Vietnam awal pekan ini (Suara
Merdeka, 9-9-2002). Semua orang tahu bahkan telah mentradisi di banyak
negara demokrasi bahwa lembaga parlemen (DPR) sebuah lembaga yang seharusnya
bersih dari oknum yang berstatus terpidana korupsi.
Gugatan akan membandelnya Akbar ini tidak saja ditujukan pada diri Akbar dan
segenap politisi Partai Golkar, tetapi juga seharusnya kita tujukan kepada
semua anggota DPR RI.
Sebab ternyata para anggota DPR yang terhormat itu tidak memiliki kata yang
patut dipegangi mengenai sikapnya atas kembalinya Akbar ke Senayan dan malah
tetap pemimpin lembaga amat terhormat itu.
Agaknya para anggota DPR itu juga telah "mati suri" alias tidak malu
dipimpin oleh seorang yang mestinya telah hilang pamor politiknya. Bahkan
sebagian anggota DPR terbelah menjadi dua, dalam hal mengapa Akbar belum
perlu mundur atau nonaktif dari ketua DPR. Sebab pertama, bahwa mundur
tidaknya Akbar masalah etika belaka, dan bukan masalah politik atau hukum.
Ini suatu argumen yang membodohi rakyat, karena argumen itu seolah
menunjukkan adanya suatu pemisahan dan garis demarkasi yang tegas antara
politik dan hukum di satu sisi dan etika, moral di sisi yang lain. Padahal
politik, hukum, dan etika suatu adagium yang mestinya tak dapat dipisahkan.
Rasa Keadilan
Mekanisme dan prosedural hukum tak dapat ditegakkan tanpa pertimbangan
moral-etika, jika dipaksakan hukum berjalan tanpa etika, maka kelak akan
melahirkan penegakan hukum yang bertentangan dari rasa keadilan. Hukum hanya
akan menjadi zombi sangar yang mengisap tulang sumsum keadilan dan
mengabaikan nurani.
Begitu pula, politik tak dapat dijalankan tanpa landasan idiil moral-etika
luhur. Jika pun politik dijalankan tanpa etika politik niscaya akan
menghidupkan pola Maciavalianism. Ketiganya adalah setali tiga uang yang
saling bahu-membahu.
Sebab kedua, menurut para elite politik, karena Akbar secara legal formal
belum divonis secara berkekuatan hukum tetap, dan kepada Akbar masih diberi
kesempatan banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Sehingga proses upaya
hukum itu, Akbar masih belum perlu mematuhi apalagi menjalani hukuman
berdasar vonis pengadilan tingkat pertama.
Jadi Akbar masih boleh menduduki jabatan ketua DPR RI. Sebab yang kedua ini
pun menurut saya, suatu argumen yang amat sesat dan dapat membunuh karakter
hukum kita yang mesti segera dipatuhi, apa pun bentuknya.
Kendati vonis hakim belum sepenuhnya final, putusan pertama hanya dapat
dianulir oleh putusan pengadilan lebih tinggi. Artinya sebelum ada vonis
baru dari pengadilan lebih tinggi, vonis sebelumnya itulah yang berlaku.
Pengajuan upaya hukum tidak serta merta menegasikan vonis pengadilan tingkat
pertama. Karena itu mestinya selagi belum ada putusan yang mengoreksi
putusan tingkat pertama, Akbar harus menjalani putusan pengadilan tingkat
pertama.
Pendeknya, dapat dimengerti argumentasi anggota DPR RI tentang dikotomi
antara hukum, politik, dan etika dalam konteks mundurnya Akbar dari posisi
ketua DPR RI dan masih belum adanya putusan hukum yang final, tampaklah
bahwa makin lemahnya tingkat kepedulian bangsa ini untuk memberangus dan
memotong jalannya saluran korupsi.
Melengserkan Akbar
Dalam hemat saya, gugatan terakhir yang dapat dilakukan kini guna memulihkan
citra DPR dari kontaminasi koruptor adalah kepada institusi DPR itu sendiri
agar segera membuat terobosan guna melengserkan Akbar.
Hal ini mengingat jika semua diserahkan pada mekanisme payung partai politik
Akbar, yaitu Golkar, apalagi diri Akbar untuk menonaktifkan dirinya sendiri,
dapat dipastikan "bak pungguk merindukan bulan" alias tidak mungkin. Karena
memang secara hukum pun tidak terdapat satu ketentuan yang dapat dijadikan
referensi untuk menonaktifkan Akbar. Artinya telah terjadi kekosongan hukum
dalam hal ini.
Terobosan yang dapat dilakukan politisi di DPR, yakni melakukan beberapa
langkah progresif.
Pertama, DPR harus segera mengadakan pertemuan menyoal posisi Akbar, dan
berani melakukan gerakan proaktif merespons aspirasi publik untuk segera
membentuk Dewan Kehormatan (DK) sesuai Pasal 58 Ayat (5) Peraturan Tata
Tertib (Tatib) DPR. Kemudian menentukan alat ukur untuk menilai apakah diri
Akbar atas kasus ini dapat dikatakan melanggar kode etik atau tidak.
Kedua, bila telah terbentuk DK dan ditentukan akan pelanggaran kode etik
DPR, maka pada Akbar mestinya DPR berani melakukan terobosan
menonaktifkannya. Bukan sekadar sebagai Ketua DPR saja melainkan juga
memecat dirinya dari keanggotaan DPR lalu merekomendasikan kepada Partai
Golkar untuk melakukan pergantian antarwaktu.
Dalam hal ini dapat saja menggunakan asas retroaktif menyangkut Pasal 57
Tatib DPR mengenai syarat-syarat keanggotaan DPR, harus bersih diri dari
anasir hukum pidana.
Ketiga, DPR harus berani meminta fatwa kepada Mahkamah Konstitusi segera
diaktifkan -meski kini masih dalam suasana kontroversial keberadaannya dalam
tata hukum kita- yaitu permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk
memberikan solusi hukum yang elegan menyangkut, apakah masih diperkenankan
seorang pejabat tinggi berstatus terpidana menjalankan tugas-tugas
kenegaraan.
Kiranya hanya dengan melakukan langkah taktis, strategi, dan progresif DPR
dapat terpulihkan citranya dari keterpurukannya selama ini. Apalagi setelah
gagal membentuk pansus Buloggate II beberapa waktu yang lalu, dan kini
menyerahkan pengusutan kasus Akbar melalui mekanisme yudisial. Namun apakah
juga harus dikatakan langkah apa pun yang akan diambil baik politik maupun
hukum dalam menuntaskan kasus hukum yang menimpa pejabat publik dapat
dipastikan akan menemui jalan yang berliku dan penuh kemunafikan.
Ke depan perlu kiranya dipikirkan upaya yang lebih mapan dan konstan tentang
upaya mengatasi kekosongan hukum itu dengan cara mengamandemen pasal-pasal
yang berkaitan tentang kode etik DPR, terutama tentang ukuran layak tidak
seseorang dinonaktifkan dari jabatan ketua atau keanggotaan biasa DPR, serta
teknis proseduralnya dalam tatanan normatif yuridis. (33)
-Agus Riewanto, Kalitbang YLBH-HAM Yogyakarta dan Dewan Konsultatif
Perkumpulan Bantuan Hukum Indonesia