[Nasional-m] Moral dan Politik dalam Kasus Akbar Tandjung

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon Sep 23 02:48:01 2002


Suara Merdeka
Senin, 23 September 2002 Tajuk Rencana

Moral dan Politik dalam Kasus Akbar Tandjung

- Dari mana kita melihat persoalan pro dan kontra mengenai mundurnya Akbar
Tandjung dari kursi ketua DPR dan ketua umum Partai Golkar. Dimensinya tidak
tunggal sehingga usulan atau pendapat yang keluar bisa berbeda-beda. Dari
sisi moral, jelaslah tidak ada alasan bagi Akbar untuk bertahan. Berbagai
jajak pendapat yang dilakukan oleh media massa memberikan gambaran tentang
opini publik yang sudah demikian jelas meminta Akbar Tandjung mengundurkan
diri sebagai bentuk pertanggungjawaban moral. Terutama setelah divonis tiga
tahun penjara oleh hakim di pengadilan negeri. Benar, itu belum berkekuatan
hukum tetap. Masih ada upaya banding yang bisa dilakukan. Setelah itu
permintaan kasasi di Mahkamah Agung pun tersedia sampai dengan upaya
peninjauan kembali (PK).
- Tetapi suara moral adalah suara hati nurani yang sulit terbantahkan. Dari
hati nurani itulah muncul pendapat sebaiknya Akbar mundur. Semudah itukah
bagi Akbar Tandjung memenuhinya? Tentu tidak. Ingat ada dimensi lain yang
melekat pada dirinya, yakni politik, walaupun dia tak boleh menjadikan
politik sebagai tameng atau tempat berlindung. Sebagai ketua umum sebuah
partai besar, Akbar tak bisa sekehendak hati mengambil keputusan subjektif
atas dasar kepentingan pribadi. Dalam konteks ini, kepentingan partai ikut
berbicara dan perlu dipertimbangkan masak-masak. Wajar, sebab Akbar adalah
milik partai berlambang pohon beringin tersebut. Bahkan, dia menjadi simbol.
Maka dalam telaah salah satu tokohnya, yakni Prof Dr Muladi SH, bisa jadi
Akbar hanyalah sasaran antara, sedangkan sasaran utamanya adalah Partai
Golkar.
- Tak bisa dimungkiri persoalan ini lebih kental nuansa politik. Ketika
Ketua MPR Amien Rais menekan Akbar segera mundur atas pertimbangan moral,
benarkah pernyataan itu juga bisa dikatakan terbebas dari kepentingan
politik. Itulah sulitnya kalau yang mengucapkan seorang tokoh politik. Maka
pandangan kaum awam seperti hasil jajak pendapat akan lebih dapat dipercaya
sebagai sebuah ukuran moral. Dan terlihat jelas di sana dari segi ini Akbar
memang sebaiknya mundur. Bagaimana sebenarnya dampak bagi Partai Golkar? Di
kalangan internal mereka, pro dan kontra tidak kalah serunya. Dari
tokoh-tokoh senior muncul saran agar tidak usah mundur demi integritas
partai. Sementara dari yang muda-muda menyuarakan agar Akbar mundur karena
hal itu justru lebih baik bagi pribadi dan partai.
- Kalkulasi politik akan menentukan. Kalau Akbar mundur atau nonaktif,
partai itu akan memilih pengganti di pucuk pimpinan. Secara internal peluang
terjadi perpecahan dan instabilitas cukup besar. Sedangkan dari sisi
eksternal, barangkali masih bisa memberikan gambaran sebuah upaya menegakkan
citra partai karena tidak lagi dipimpin oleh seseorang yang telah
mendapatkan vonis pengadilan. Tetapi sebaliknya, kalau Akbar tidak mundur,
bukan berarti eskalasi perpecahan di tubuh partai tersebut bisa diredam
mengingat kasus itu sendiri sejak awal telah menimbulkan pro dan kontra.
Sedangkan dari sisi eksternal, kepemimpinan Akbar akan dapat menimbulkan
citra kurang baik bagi partai. Semangat membela ketua umumnya dengan jenis
perkara seperti itu rasanya kurang menguntungkan.
- Kita tidak ingin terlalu jauh mencampuri urusan internal mereka. Demikian
juga pertimbangan pribadi dari yang bersangkutan. Semua yang diuraikan di
atas adalah gambaran wacana dan perkembangan situasi saat ini. Tentu para
petinggi dan pimpinan Partai Golkar akan mengutamakan penyelamatan partai
daripada kepentingan pribadi seseorang. Namun harus diakui di antara
berbagai pilihan yang ada semua mengandung risiko yang tidak kecil. Karena
itu, diperlukan kecermatan dan ketepatan memilih. Posisi Pak Akbar secara
pribadi juga cukup dilematis. Bisa dipahami bila dia pun memiliki
kepentingan bercabang. Tidak hanya memikir diri sendiri, melainkan juga
partai dan politik. Inilah barangkali salah satu ujian terberat yang pernah
dialaminya selama berkarier di politik.
- Yang tak pernah bisa goyah dan direkayasa adalah dimensi moral. Opini
publik yang terbentuk lewat media memberikan gambaran jelas. Sudah lama
masyarakat merasa dipermainkan oleh kenyataan-kenyataan janggal semacam itu.
Bagaimana mungkin Syahril Sabirin dengan status hukum tersangka dan bahkan
terpidana masih bisa memimpin Bank Indonesia, kendati sekarang akhirnya
diputus bebas. Ini memberikan gambaran buruk tentang betapa lemah power
hukum di Indonesia, terutama bila dibandingkan dengan negara-negara lain
seperti Korea Selatan. Di negara itu, mantan presiden atau putra presiden
yang masih menjabat dengan gampangnya dijebloskan di penjara. Sedangkan di
sini mereka yang telah diperkarakan dan bahkan divonis pengadilan bisa bebas
menghirup udara segar, bahkan menjadi pimpinan lembaga tinggi negara.