[Nasional-m] Menyoal Sinergi Hukum dan Moral

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu Sep 26 21:48:33 2002


SUARA PEMBARUAN DAILY

Menyoal Sinergi Hukum dan Moral
Oleh Anton PS Wibowo

Apabila naskah (asli) UUD 1945 kita bandingkan dengan UUD hasil proses
amendemen ke-1 sampai ke-4, akan tampak bahwa Bab I Pasal 1 UUD 1945
(tentang bentuk dan kedaulatan) telah mengalami perubahan. Kalau pada naskah
asli Pasal 1 tersebut hanya terdiri atas 2 Ayat, maka pascaproses amendemen,
Pasal 1 itu menjadi semakin "gemuk" karena ditambah dengan 1 Ayat yang
berbunyi: Negara Indonesia Adalah Negara Hukum.
Makna negara hukum adalah negara yang mengutamakan hukum sebagai landasan
berpijak dan atau berbuat dalam konteks hidup bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Dengan kata lain, hukum merupakan hal yang supreme; bukan uang
dan atau kekuasaan. Agar hukum (yang antara lain tertera dalam sebuah
undang-undang) dapat menjadi supreme, maka hukum/undang-undang tersebut
harus bersinergi dengan moralitas masyarakat.
Keharusan hukum bersinergi dengan moralitas masyarakat, telah diungkapkan
oleh teori/ajaran ilmu hukum yang mengajarkan bahwa suatu undang-undang akan
dapat berlaku efektif di masyarakat apabila undang-undang tersebut memiliki
3 macam kekuatan, yaitu juristische geltung, soziologische geltung dan
filosofische geltung.
Soziologische geltung dan filosofische geltung mengajarkan kepada kita bahwa
undang-undang yang mengakomodasi/merespons secara benar moralitas
masyarakat, akan mempermudah terwujudnya supremasi hukum, karena penegakan
undang-undang tersebut secara mutatis mutandis berarti menegakkan moralitas
masyarakat. Sebaliknya, apabila suatu undang-undang tidak/gagal
mengakomodasi moralitas masyarakat, maka perwujudan supremasi hukum akan
mengalami kesulitan. Dalam konteks ini, undang-undang/hukum akan dijadikan
perisai untuk melawan moralitas masyarakat. Dalam konteks ini pula,
penegakan hukum tidak akan memberikan kenyamanan dan keadilan bagi
masyarakat.
Ilustrasi di atas, dari sudut hukum, dapat dipergunakan sebagai bahan untuk
menjelaskan mengapa/apa sebabnya permintaan nonaktif sementara sebagai Ketua
DPR-RI yang ditujukan kepada Ir Akbar Tandjung, setelah yang bersangkutan
"dihadiahi" hukuman penjara 3 tahun oleh pengadilan, tidak segera dipenuhi
oleh sang Ketua DPR, dan bahkan permintaan tersebut juga ditentang oleh
Partai Golkar. Reasoning sebagaimana diuraikan di atas, juga dapat
dipergunakan untuk menjelaskan apa sebabnya Sutiyoso, tersangka Kasus 27
Juli, ngotot maju bersaing sebagai calon Gubernur DKI 2002-2007, dan yang
akhirnya terbukti terpilih kembali.
Sumir
Dalam kaitannya dengan permintaan kepada Akbar Tandjung untuk nonaktif
sementara dari jabatannya sebagai Ketua DPR-RI, terpaksa harus diakui dan
diterima sebagai kenyataan bahwa hukum positif kita yang terkait dengan
persoalan tersebut, belum (tidak?) mengenal status nonaktif sementara
sebagai Ketua DPR-RI. Hukum positif di bidang itu, sebagaimana tertuang
dalam bab III, Pasal 11 s/d 17 UU No. 04/1999 (UU tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD), dan yang tertuang dalam Peraturan Tata Tertib
DPR-RI, (sengaja?) secara harafiah/tersurat tidak mengatur persoalan
nonaktif sementara dalam kaitannya dengan cacat moral anggota DPR.
Demikian juga, dalam kaitannya dengan terpilihnya kembali Tersangka Kasus 27
Juli sebagai Gubernur Ibu Kota Negara, terpaksa harus diakui dan diterima
sebagai kenyataan bahwa hukum positif kita di bidang itu, memang belum
(tidak?) mengatur persoalan cacat moral (misalnya sebagai tersangka pelaku
tindak pidana di masa lalu) dalam kaitannya dengan persyaratan menjadi
gubernur. Dalam pasal 33 UU No. 22 Tahun 1999 (tentang Pemerintahan Daerah),
persoalan moralitas calon gubernur, dirumuskan secara sumir dengan kalimat
tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana dan tidak sedang
dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan negeri.
Anehnya, di dalam UU No. 34/1999 (tentang Pemerintahan Provinsi DKI Negara
Republik Indonesia), khususnya pasal 16 (yang mengatur tentang gubernur dan
wakil gubernur), juga tidak diatur persoalan moralitas (calon) gubernur.
Andaikata UU No 04/1999 telah mengintrodusir status nonaktif sementara
sebagai pimpinan/anggota DPR de- ngan alasan diduga telah cacat moral
(meskipun dugaan cacat moral ini baru didasarkan pada putusan pengadilan
tingkat pertama), dan andaikata dapat disepakati bahwa permintaan nonaktif
sementara tersebut merepresentasikan tuntutan moralitas publik yang
diwakilinya (bukan momentum untuk balas dendam politik), barangkali Akbar
Tandjung akan turun tahta (sementara) dengan besar hati. Apabila hal ini
terjadi, terwujudlah sinergi antara hukum/undang-undang dengan moralitas,
yang berarti juga merealisasikan Negara Hukum Indonesia.
Apabila argumentasi tersebut di atas dapat diterima, pengaturan status
nonaktif sementara sebagai anggota/ pimpinan DPR-RI tersebut, dapat
ditempatkan/ditambahkan sebagai Ayat (2) dari pasal 43 UU No. 04/1999.
Se-cara eksplisit, kira-kira dirumuskan sebagai berikut: setiap anggota
MPR/DPR/ DPRD yang patut disangka telah melakukan tindak pidana, wajib
menyatakan diri nonaktif sementara sebagai anggota MPR/DPR/DPRD sampai
perkaranya mendapatkan putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap. Saran ini sungguh sangat urgen mengingat saat ini sedang dibahas RUU
tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR/DPRD (sebagai revisi atas UU No
04/1999).
Tidak Tabu
Dalam tataran perundang-undangan nasional lainnya, instrumen nonaktif
sementara dari jabatan publik, sebenarnya juga telah dikenal. Contohnya
adalah dalam pasal 52 UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang
menyebutnya dengan istilah diberhentikan untuk sementara dari jabatannya.
Jadi, memasukkan instrument nonaktif sementara dalam revisi UU No. 04/1999,
sebenarnya tidak tabu hukumnya.
Khusus dalam kaitannya dengan permohonan banding oleh Akbar Tandjung, status
nonaktif sementara tersebut, sebenarnya dapat memberi makna pada putusan
pengadilan negeri. Tanpa diikuti status nonaktif sementara, putusan
pengadilan negeri yang sudah dengan susah payah dihasilkan, menjadi tidak
bermakna/berefek sama sekali, sebab ketentuan hukum acara pidana Indonesia
menentukan bahwa sebuah putusan pengadilan negeri yang dimintakan Banding,
mengakibatkan putusan tersebut menjadi kehilangan daya eksekusinya, dan
seolah-olah belum pernah ada pemeriksaan/putusan atas perkara yang dimaksud.
Kasihan benar putusan pengadilan negeri itu!
Andaikata pula persoalan dugaan cacat moral telah diakomodasi dalam aturan
tentang persyaratan calon gubernur sebagaimana tertuang dalam UU No. 22/1999
dan atau dalam UU No. 34/1999 (meskipun dugaan cacat moral itu baru sebatas
dianugerahi status tersangka), dan andaikata pula para pendemo anti-Sutiyoso
dapat diyakini merepresentasikan tuntutan keluhuran moral, barangkali Bang
Yos dengan serta merta tidak bersedia menjadi calon gubernur lagi. Apabila
hal tersebut terealisasi, kita pantas berbangga diri karena telah berhasil
mensinergikan antara hukum dan moral.
Semoga pesan moral dalam bentuk introducing status nonaktif sementara dari
jabatan publik selama berstatus hukum sebagai tersangka dan atau terpidana
sementara, dapat ditampung dalam berbagai RUU untuk merevisi UU lama,
khususnya UU No. 28/1999 (UU tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan
Bebas dari KKN). Apabila hal ini dilakukan, kita pantas optimistis dapat
mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN serta
perbuatan tercela/pidana lainnya.
Kita pantas optimistis pula bahwa status nonaktif sementara dari jabatan
publik tersebut, dapat mempermudah proses peradilan di muka hukum atas
dugaan KKN dan atau perbuatan tercela/ pidana yang didakwakan- nya.
Penulis adalah staf pengajar Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, Jakarta.


Last modified: 26/9/2002