[Nasional-m] Aceh dan Jakarta, Dialog Dua Muka

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu Sep 26 22:00:44 2002


Sinar Harapan
26/9/2002

 Aceh dan Jakarta, Dialog Dua Muka
Oleh Nuku Soleiman

Aceh dikhawatirkan akan terjerembab ke dalam krisis berkepanjangan jika
situasi darurat militer jadi diterapkan oleh pemerintah dengan alasan untuk
mengatasi separatisme GAM dan menciptakan keamanan dan stabilitas di sana.
Pasalnya, rakyat Aceh–sebagaimana disampaikan para tokoh masyarakat Aceh,
ulama, mahasiswa dan LSM Tanah Rencong kepada Menko Polkam SB
Yudhoyono–menginginkan dialog dan demokrasi (musyawarah) sebagai solusi
masalah, lagipula mereka belum lupa dengan trauma kegagalan DOM (daerah
operasi militer) era Orde Baru untuk mengatasi krisis Aceh, juga kegagalan
Inpres No. 4 Tahun 2001 Presiden Abdurrahman Wahid yang melegalkan operasi
militer secara terbatas di Provinsi Aceh dalam mengatasi krisis di wilayah
tersebut.
Situasi darurat militer diramalkan akan menimbulkan masalah kemanusiaan dan
ketidakadilan di Aceh. Bahkan situasi darurat militer itu cenderung
berdampak semakin menyusutkan wibawa dan pengaruh kehadiran Pemerintah
Republik Indonesia sendiri dalam upaya perebutan pengaruh politik (political
struggle) dan makna (politics of meaning) dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka)
di daerah Serambi Mekah itu.
Pengalaman historis era Orde Baru merefleksikan bahwa solusi militeristik
sebaiknya ditanggalkan, digantikan dengan dialog, negosiasi dan pendekatan
sosial-ekonomi, hukum, politik dan kultural yang komprehensif guna
menghindarkan jatuhnya banyak korban.

Tidak Ada Jaminan
Tidak ada jaminan bahwa situasi darurat militer akan berhasil, namun bisa
dipastikan bahwa akan banyak jatuh korban selama perilaku, doktrin,
paradigma dan orientasi ideologi militer kita di era reformasi ini tidak
mengalami perubahan yang fundamental seiring dengan nilai-nilai dan ideologi
reformasi dalam menjalankan tugas dan operasi di lapangan.
Menurut anggota MPR Utusan Daerah Aceh, Ghazali Abbas Adan, kini para
intelektual, politisi, mahasiswa, aktivis, dan ulama Aceh umumnya sependapat
bahwa operasi militer untuk menuntaskan persoalan Aceh ”sampai hari kiamat
pun” tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan hanya menambah masalah.
Dari kacamata ekonomi, menurut Forum LSM Aceh, pengerahan puluhan ribu
pasukan ke Aceh jelas akan menyedot dana yang amat besar, yang seyogianya
kalau dialokasikan untuk biaya rehabilitasi dan kompensasi bagi keluarga
korban tindak kekerasan selama rezim Orde Baru, maka social cost dan biaya
ekonominya jauh lebih murah.
Tentu masih segar dalam ingatan kita ketika dilakukan operasi dengan nama
sandi Jaring Merah atau DOM (1989-1998). Berapa biaya operasi yang telah
dikeluarkan dari kas negara selama sepuluh tahun? Dan apa yang telah
dihasilkan? Tentu saja umumnya kita telah mengetahuinya yakni: kuburan
massal, kemiskinan, kehancuran, dan frustrasi, dendam dan sakit hati, juga
apa yang disebut Prof. Baharuddin Lopa sebagai tragedi ethnic cleansing.
Selanjutnya, benih dendam itu pun tersemai dan meledak kembali ketika
keluarga korban kekejaman militer dirangkul oleh kelompok GAM (Gerakan Aceh
Merdeka), yang secara historis menginginkan Aceh terlepas dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Fenomena ini seharusnya menyadarkan pemerintah
bahwa pengerahan kekuatan militer baik terhadap GAM secara langsung maupun
kepada sebagian rakyat Aceh yang berada dalam siklus kekerasan, kemiskinan,
dan kelumpuhan ekonomi, justru akan mengentalkan perlawanan di masa
selanjutnya.
Sejarah telah membuktikan, gelombang perlawanan rakyat Aceh terhadap
pemerintah kolonial Belanda ratusan tahun silam terjadi secara berkala.
Demikian juga dengan situasi pasca kemerdekaan RI. Kekecewaan yang timbul
akibat kurangnya toleransi, empati, dan apresiasi oleh Pemerintahan Soekarno
telah menanamkan bibit pemberontakan bersenjata.
Terbukti, pada tahun 1950-an misalnya, sebagai bagian dari aliansi nasional,
secara sektoral Aceh yang ketika itu berpayungkan DI-TII di bawah Tgk. M.
Daud Beureuh melakukan perlawanan terhadap pemerintah pusat. Dan semuanya
berakhir dengan airmata, daerah, kekerasan, dan kesia-siaan. Dan kini
cara-cara militeristik itu akan diulangi oleh pemerintah yang kebetulan
posisi politiknya di Aceh terjepit. Kalau ini terjadi, toh hasilnya akan
sia-sia karena pengalaman historis menunjukkan solusi militer tidak pernah
berhasil sejak zaman kolonial sampai Orde Baru sampai era Gus Dur.

Biaya Sosial-Politik
Dewasa ini, sebagai ilutstrasi, para aktivis LSM Aceh memperkirakan bahwa
bila pemerintahan Megawati pada akhirnya melakukan darurat militer dan
pengerahan puluhan ribu personel bagi operasi militer itu selama
bertahun-tahun, maka biaya yang harus dikeluarkan adalah sepuluh sampai
berpuluh kali dibandingkan dengan biaya rehabilitasi dan kompensasi bagi
keluarga korban kekerasan, belum termasuk biaya kultural, psikososial, dan
moral yang harus ditanggung para korban itu sendiri.
Operasi militer itu juga akan mengentalkan spirit etno-nasionalisme Aceh,
selain memperbanyak apa yang disebut intelektual Aceh Ahmad Humam Hamid
sebagai laundry list di kalangan elite politik dan militer Jakarta. Jelas
kartu truf pemerintah pusat untuk Aceh itu merupakah musibah bagi Piring
Allah Serambi Mekah, meminjam diskursus Otto Syamsuddin Ishak, yang hanya
membasahi Tanah Rencong dengan genangan darah, sementara lumuran darah di
Aceh selama DOM (1989-1998) belum lagi mengendap.
Oleh karena itu, sinyal penerapan Darurat Militer tersebut menandai lagi dua
hal; Pertama, rakyat Aceh akan mengalami DOM jilid II dan dianggap tidak
begitu penting lagi bagi Jakarta (Pusat), yang dianggap penting hanya sumber
tambang mineral dan kekayaan alamnya. Kedua, apapun persoalannya, Jakarta
harus melakukan shock therapy yang keras, represif, dan koersif. Dua hal itu
jelas akan memutuskan dan menghancurkan apa yang disebut Jim Siegel
sebagai ”Tali Allah” (The Rope of God) yang telah menghubungkan dan
mempersatukan Aceh secara kognitif, afektif, dan imajinatif dengan Republik
Indonesia. Kita pun khawatir laundry list soal Aceh akan semakin panjang
daftarnya di kalangan elite politik dan militer Jakarta. Sementara akibat
operasi militer itu, citra humanisme pemerintahan Megawati akan mengalami
distorsi atau erosi dramatis. Selain itu, akibat lainnya military discourse
bisa mendominasi ruang publik (public share) dan otoriterisme politik,
meminjam wacana Guillermo O’Donnell, dikhawatirkan menelan demokrasi. Jika
demikian, siapa yang harus disalahkan dan siapa yang harus bertanggung
jawab?
Kini sudah waktunya kita merenungkan kembali bahwa tuntutan yang
dikedepankan mahasiswa dan masyarakat Aceh untuk sebuah dialog atas masa
depan Aceh merupakan langkah awal untuk meminta keadilan dan
perikemanusiaan.

Penulis adalah mantan Ketua Presidium PRODEM (Jaringan Aktivis
Prodemokrasi), kini anggota Majelis PRODEM, mantan tapol-napol Orba.