[Nasional-m] Mengenang Tragedi Nasional Tiga Puluh Tujuh Tahun Lalu

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon Sep 30 02:12:32 2002


Kompas
Senin, 30 September 2002

Mengenang Tragedi Nasional Tiga Puluh Tujuh Tahun Lalu
Susanto Zuhdi

TIGA puluh tujuh tahun lalu, telah tertoreh dalam sejarah Indonesia sebuah
peristiwa yang berakibat amat tragis bagi bangsa ini. Sungguh tragis karena
korban pembunuhan adalah sesama anggota bangsa yang dikenal ramah, saling
asih, bersemangat gotong-royong dan sebutan lain. Peristiwa diawali dari
sebuah kejadian pada dini hari, 1 Oktober 1965, sejumlah orang berseragam
tentara menculik beberapa perwira tinggi TNI AD. Di antaranya ada yang
dibunuh di tempat dan sebagian lagi dibawa ke suatu tujuan, tempat yang
kemudian diketahui bernama Lubang Buaya di bagian timur Jakarta.
Pagi itu, pukul 07.20 (lalu diulangi lagi pukul 08.00, 11.00, dan 13.00)
melalui corong RRI, Letkol Untung yang memimpin gerakan "Gerakan 30
September" mengumumkan, "bahwa telah terjadi suatu gerakan militer dalam
tubuh Angkatan Darat dibantu satuan-satuan dari unsur-unsur Angkatan
Bersenjata lainnya. Gerakan itu untuk mencegah terjadinya kudeta yang akan
dilakukan "Dewan Jenderal". Ini adalah gerakan murni dan intern Angkatan
Darat yang ditujukan untuk melawan "Dewan Jenderal". Pada siaran di siang
hari dikatakan antara lain, "...seluruh kekuasaan di dalam wilayah Republik
Indonesia telah dialihkan kepada suatu "Dewan Revolusi" yang akan memegang
pemerintahan sampai pemilihan dapat diselenggarakan".
Pengumuman itu serta merta mengguncangkan kehidupan masyarakat. Apa yang
sebenarnya terjadi? Apa arti semua itu? Pengumuman itu menimbulkan
kebingungan dan keraguan di kalangan masyarakat mengenai sikap apa yang
harus diambil.
Pagi itu juga, Panglima Kostrad Mayjen Soeharto, setelah mendapat laporan
dari rekan dan tetangganya, Mashuri SH, segera bertindak menguasai keadaan
sesuai standing order, yaitu suatu kesepakatan, jika Menteri/Panglima
Angkatan Darat (Menpangad) berhalangan, maka Panglima Kostrad yang akan
mengambil alih pimpinan atas nama Menpangad. Kemudian diketahui, satu di
antara perwira tinggi yang diculik adalah Mengpangad Letnan Jenderal Ahmad
Yani.
Setelah menilai keadaan, Panglima Kostrad, para perwira tinggi dan menengah
yang berhasil dikumpulkan berkesimpulan, penculikan oleh gerakan itu adalah
bagian dari usaha perebutan kekuasaan pemerintahan oleh sekelompok militer,
yang didukung Partai Komunis Indonesia (PKI). Tetapi, di manakah Presiden
Soekarno? Ia tidak di Istana, atau di rumah istrinya di Jalan Gatot Subroto
atau di tempat istri yang lain. Ia diketahui ada di Pangkalan Udara Halim
Perdanakusuma, yang dinilai Mayjen Soeharto sebagai telah dikuasai gerakan
yang dipimpin Untung. Kepastian itu dibawa ajudan presiden Kolonel Bambang
Wijanarko yang datang ke Kostrad untuk menyampaikan perintah Presiden
Soekarno yang ada di Halim, tentang pengangkatan Mayjen Pranoto Reksosamodra
pengganti Menpangad. Tetapi, hal itu diabaikan Soeharto bahkan meminta
Wijanarko menyampaikan pesan kepada presiden agar segera meninggalkan Halim,
karena tempat itu akan diserang.
Apakah Presiden Soekarno tidak mengetahui bahwa Panglima AU adalah
satu-satunya panglima yang mendukung pembentukan "angkatan kelima" seperti
dituntut PKI. Dari ajudan Kolonel Maulwi Saelan diketahui, memang ada
ketentuan prosedur Cakrabirawa, Pasukan Pengawal Presiden, jika dalam
bahaya, presiden diselamatkan dengan berbagai cara: (1) membawa ke Halim
Perdanakusuma dan menerbangkannya ke tempat yang aman dengan menggunakan
"jet star"; (2) membawa ke Tanjung Priok lalu naik kapal laut kepresidenan
RI "Baruna"; jika terpaksa (3) bepergian di daerah dengan kendaraan lapis
baca antipeluru.
Apa yang terjadi empat bulan kemudian adalah konflik berdarah dan korban
ratusan ribu nyawa antara kelompok berideologi Pancasila dan yang dianggap
menentang dan hendak menggantikannya dengan yang lain. Gejala pertikaian
fisik antarkelompok/golongan secara ideologis itu sudah terlihat di beberapa
di desa di Jawa dan Sumatera menjelang meletusnya peristiwa G30S tahun 1965.
Ingatan buruk bangsa
Mengenang tragedi nasional yang dilakukan tiap tahun pada 1 Oktober,
bertujuan mengingatkan bangsa Indonesia bahwa ada usaha dari golongan
tertentu yang merongrong, bahkan ingin mengganti ideologi Pancasila dengan
yang lain. Ini menjadi sebuah komitmen bangsa terhadap ideologi yang telah
diyakini, seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Tetapi, sempat muncul
polemik, saat Presiden Abdurrahman Wahid meminta maaf kepada keluarga eks
PKI yang menjadi korban sekitar peristiwa 1965. Bila demikian, apakah
orang-orang PKI itu benar? Padahal G30S sudah melekat pada partai yang
memiliki anggota terbesar di luar negeri komunis saat itu. Alasannya, karena
belum tentu kebanyakan dari mereka benar-benar bersalah.
Perubahan nama peringatan yang dulu dikenal sebagai "Hari Kesaktian
Pancasila" (Hapsak), sejak tahun 2000 telah diubah menjadi "Peringatan
Mengenang Tragedi Nasional Akibat Pengkhianatan Terhadap Pancasila" terjadi
pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Perubahan nama tentu bukan berarti
Pancasila telah kehilangan "kesaktiannya". Jadi yang diperingati bukan
"kesaktiannya" tetapi karena adanya usaha-usaha, dalam bentuk gerakan atau
pemberontakan, yang dapat mengancam dan merongrong Pancasila itulah yang
hendak diperingati. Telah beberapa kali muncul peristiwa dan gerakan seperti
Pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, dan DI/TII di beberapa daerah dan
yang paling lama bertahan dalam sejarah adalah yang terjadi di Jawa Barat.
Penekanan pada tragedi nasional merupakan hal yang patut disimak, karena
bukankah korban yang berjatuhan sesudah 1 Oktober 1965 sebenarnya adalah
anak-anak bangsa juga. Jadi interpretasi tentang permintaan maaf Wahid
mestinya bukan karena perasaan takut akan balas dendam mantan anggota PKI,
yang sejak dua tahun lalu membentuk "Paguyuban Korban Orde Baru" (Pakorba),
terhadap NU, yang menggerakkan Banser pada masa aksi pembunuhan dulu.
Jika diperhatikan, ada fenomena menarik. Pada peringatan 1 Oktober tahun
lalu, Presiden Megawati tidak mengunjungi sumur di Lubang Buaya, yang dulu
dijadikan tempat korban jenderal dimasukkan ke dalamnya. Begitu singkatnya
acara peringatan, sampai-sampai Presiden tidak sempat menyaksikan paduan
suara yang dibawakan siswa-siswi dari sekolah di Jakarta, seperti saat masih
menjadi Wakil Presiden. Ini jelas berbeda dengan peringatan-peringatan
"Hapsak" pada masa Orde Baru. Saat itu, Presiden Soeharto meninjau dengan
saksama. Tanpa mengabaikan makna yang hendak dipetik dari peringatan itu,
adakah cara-cara lain dapat dilakukan selain dengan upacara?
Peliknya penulisan sejarah
Bagaimana mengenang sebuah peristiwa yang berakibat tragis itu, sementara
masih ada sejumlah fakta kontroversial sehingga menjadi kendala bagi sebuah
rekonstruksi sejarah yang lebih komprehensif? Ini bagian dari rumitnya
penulisan sejarah kontemporer. Tampak masih terbuka ruang debat yang
panjang, misalnya tentang siapa yang menjadi aktor intelektual gerakan
kudeta, belum dapat diungkap jelas, meski berbagai petunjuk bisa diajukan.
Misalnya, mengapa Soeharto lolos dari daftar nama jenderal yang akan
diculik, karena pasti tahu bahwa dialah pemegang kekuasaan tertinggi AD
setelah Ahmad Yani.
Menulis peristiwa kudeta tahun 1965 merupakan perkara pelik karena masih
banyak misteri yang belum terungkap. Mengingat perspektif yang masih terlalu
dekat, kesulitan untuk melihat secara "jernih" belum sepenuhnya bisa
dilakukan. Tetapi, ada desakan kuat dari masyarakat untuk mengetahui periode
sejarah kontemporer ini. Kalangan yang amat mendesak perlunya rekonstruksi
itu adalah para guru pemberi pelajaran sejarah di sekolah-sekolah. Guru-guru
yang hanya mengandalkan dari buku-buku teks yang ada akan dicap bohong oleh
anak didiknya. Karena mereka banyak mendengar mengenai banyak hal yang tidak
sesuai dengan pelajaran yang mereka terima.
Tampaknya pengetahuan mengenai peristiwa sejarah seputar usaha kudeta 1965
masih banyak yang bertumpu pada ingatan (remembered history) daripada
berdasar catatan dan dokumen sebagai sumber sejarah. Sebut contoh dokumen
otentik "Surat Perintah Sebelas Maret" yang sampai sekarang belum ditemukan.
Belakangan muncul sejumlah keterangan baru dari pihak atau pelaku atau saksi
peristiwa. Misalnya, keterangan Prof Mahar Mardjono (almarhum) seperti
disampaikan kepada dr Kartono Mohammad. Saat menjadi dokter Presiden
Soekarno, ia menemui kejanggalan. Ia tahu, obat-obat yang diresepkannya
ternyata dihambat diberikan kepada Soekarno. Rupanya obat-obat itu disimpan
di laci di rumah sakit. Perbuatan itu dilakukan seorang dokter berpangkat
militer tinggi. (Kompas, 20/9/2002)
Petunjuk ada tidaknya keterlibatan Amerika Serikat melalui badan
intelejennya, CIA, dengan peristiwa G30S terus bertambah. Masih segar dalam
ingatan, tidak lama setelah Megawati dilantik sebagai presiden, Amerika
Serikat segera menarik dokumen dan publikasi tentang keterlibatan CIA di
negara-negara asing. Munculnya sumber-sumber mengenai keterlibatan itu
misalnya, telah terbit buku tulisan Willem Oltmans, Di Balik Keterlibatan
CIA: Bung Karno dikhianati? (2001); lalu buku Dokumen CIA: Melacak
Penggulingan Sukarno dan Konspirasi G30S 1965 (2002). Adapun buku Dari
Salemba ke Pulau Buru (2002) adalah mengenai kisah seorang yang gagal
menjadi dokter karena menjadi tapol pada masa Orde Baru.
Biarlah bermunculan lebih banyak lagi hal-hal dan segi-segi yang berkaitan
dengan peristiwa 1965/1966 dari berbagai pihak dan kalangan masyarakat.
Pengungkapan kesaksian, pelaku, atau laporan-laporan jurnalistik pun akan
menjadi penting artinya bagi sumber historiografi. Sebagai bagian sejarah
Indonesia mutakhir, episode ini masih merupakan history in the making.
Dekatnya perspektif sejarah pada peristiwa-peristiwa itu menjadi kendala
bagi rekonstruksi yang lebih komprehensif.
Dalam konteks itu, perbaikan bagi penyempurnaan konstruksi-kontruksi sejarah
yang sudah ada, bukan hal tabu. Karena itu, sejarah yang diingat (remembered
history) harus terus dilengkapi sejarah yang digali dari berbagai sumber
(discovered history). Dengan demikian sejarah-sejarah yang "diciptakan"
(invented history) kian lama kian kecil, meski tak mungkin bisa dihilangkan.
"Sejarah yang diciptakan" biasanya tunduk pada keinginan penulis atau pemesa
nnya sebagai alat atau legitimasi kekuasaan.
Kecenderungan bahwa sejarah digunakan sebagai alat atau legitimasi kekuasaan
adalah hal biasa, hampir dijumpai di mana saja. Tetapi mengapa penguasa
ingin menggunakan sejarah sebagai alat atau legitimasi kekuasaannya?
Jawabannya tidak sulit, karena mereka takut pada sejarah. Dalam buku Why do
rulling clasess fear history? (Mengapa Kelas-kelas Penguasa Takut pada
Sejarah, 1997) Harvey J. Key mengemukakan, "menguasai masa lampau adalah
senjata ampuh dalam (memenangkan) perjuangan politik sekarang".
Dalam perspektif itu, interpretasi sejarah bersifat tunggal. Tidak ada
alternatif kelompok-kelompok di masyarakat yang melihat sejarah sendiri dan
menginterpretasikannya berdasar sudut pandang yang melekat pada
kebudayaannya. Jadi, sejarah dalam arti accepted history dapat disanggah dan
ditumbangkan dengan argumentasi bukti bahan-bahan baru. Bagaimana masyarakat
menerima perubahan interpretasi atau adanya interpretasi lain, dalam sejarah
bukan hal tabu.
Bagaimanapun sejarah memberi peluang kepada siapa pun untuk bersikap
terbuka. Dapat saja dalam periode tertentu sebuah rezim memaksakan "sejarah
ciptaannya" dengan hanya menampilkan mono-interpretasi. Tetapi, begitu
penguasa itu tumbang, rontok pula sejarah yang telah dibangunnya. Dan Stalin
pun yang menjadi pemenang dari segala kebohongan, tidak mampu juga
memonopoli penulisan kembali sejarah. Dan proses pun terus berlangsung.
Sejarah memang mengenai masa lampau yang sudah ditinggalkan. Tetapi masa
lampau itu tidak dapat dilupakan begitu saja. Masa lampau masih menjadi
bagian kekinian, karena kita ingin mengingatnya kembali. Sesuatu kita kenang
karena dianggap bermakna. Makna yang kita angkat dari peristiwa itu adalah
sebuah pelajaran berharga. Sebuah pelajaran yang dapat digunakan sebagai
bahan antisipasi agar yang buruk tidak terulang di masa datang. "Bukankah
Pelanduk saja tidak akan terperosok pada lubang yang sama" begitu kata
pepatah.
Dr Susanto Zuhdi Sejarawan, Kepala Direktorat Sejarah pada Badan
Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata
Search :










Berita Lainnya :
•Antara Hari Kelahiran dan Kesaktian Pancasila
•TAJUK RENCANA
•Berbagai Kisah G30S
•Membunuh Megawati?
•Mengenang Tragedi Nasional Tiga Puluh Tujuh Tahun Lalu
•Pemberontakan dalam Sejarah Indonesia
•REDAKSI YTH
•Serangan ke Irak, Dilema bagi Australia dan Indonesia
•POJOK