[Nasional-m] Polisi Gondrong Tersesat

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon Feb 3 00:00:16 2003


http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=23195
Senin, 03 Feb 2003

Polisi Gondrong Tersesat
Esai oleh Hermawan Sulistyo

Pernah tahu polisi tersesat di rumahnya sendiri? Cobalah berkunjung ke Mabes
Polri di Jakarta dan tanyakan lokasi beberapa kantor, seperti Babinkam atau
Lemdiklat, kepada polisi yang ada di sana. Tidak semua polisi tahu, termasuk
yang piket di pos penjagaan.

Begitu pula kalau polisi ditanya, apa nama pusat pengolahan info dan data,
baik di tingkat Mabes Polri maupun di mapolda (provinsi). Bukan hanya lokasi
kantor yang berubah, seperti Lemdiklat yang pindah ke Lebakbulus-Ciputat,
namanya pun banyak yang ikut berubah.

Polisi memang mengalami perubahan. Ia berada di persimpangan jalan. Setelah
lama citranya terpuruk, tiba-tiba bom Bali mencuatkan citra yang bagus.
Kasus itu belum selesai sehingga citra yang membaik belum tentu ending-nya
nanti tetap sama bagusnya.

Sebagai "primadona tiban" (karena mendadak dipuji dan menjadi fokus
perhatian), Polri mendapat limpahan rezeki. APBN 2003-2004 menambah margin
anggaran hampir tiga kali lipat kenaikan anggaran TNI. Padahal, TNI masih
harus membaginya untuk tiga angkatan (TNI-AD, TNI-AU, dan TNI-AL).

Bahkan, pada tingkat internasional, reward tidak hanya datang dalam bentuk
"Asian Newsmaker of the Year" dari majalah Time yang bergengsi untuk Irjen
Pol I Made Pastika, tetapi juga dalam bentuk program-program yang lebih
komprehensif. Di ASEAN, telah disepakati forum kerja sama antiteroris.
Selain itu, banyak negara yang menawarkan program pendidikan dan latihan
bagi Polri. Tawaran yang pada masa lampau sulit diperoleh sewaktu Polri
masih menjadi bagian dari ABRI.

Sebagai militer (pada waktu itu), Polri tidak mungkin mengirimkan
personelnya karena kepolisian di masyarakat internasional adalah institusi
sipil. Pada masa mendatang, privilese ini ditambah dengan bantuan khusus
dari Uni Eropa untuk program antiterorisme sebagai tindak lanjut Resolusi
PBB.

Seluruh "rezeki tiban" itu tidak serta-merta membuat Polri tiba-tiba bisa
menjadi kepolisian yang profesional. Banyak yang gamang. Banyak pula yang
"menikmati" status baru itu secara negatif -dalam pandangan tentara-, "tidak
ada lagi yang mengontrol polisi."

Sebagai institusi di simpang jalan -Polri sudah bukan militer, tapi belum
sepenuhnya menjadi institusi sipil "dengan perilaku sipil"-, struktur Polri
sekarang ini secara umum dibagi dua, yaitu polisi yang berseragam (uniformed
cops) dan polisi yang tidak berseragam (plain clothe cops).

Seluruh polisi berseragam kini berada di bawah tanggung jawab Babinkam
(Badan Pembinaan Keamanan) yang kepalanya dijabat Komjen Pol Adang
Daradjatun. Seluruh polisi yang tidak berseragam di bawah Bareskrim (Badan
Reserse dan Kriminal) yang kepalanya dijabat Komjen Pol Erwin Mapasseng.

Struktur baru tersebut memungkinkan pengembangan kapasitas institusional
secara maksimum. Semua Deputi Kapolri, yang sebelumnya dijabat oleh perwira
tinggi (pati) bintang tiga (Komjen Pol), sekarang hanya dijabat oleh pati
berbintang dua (Irjen Pol).

Dengan demikian, polisi yang tidak berseragam, seperti reserse misalnya,
setiap hari tidak perlu mengenakan seragam. Seorang reserse boleh bersandal
jepit, berkaus oblong, dan berambut gondrong. Tapi, seragam resmi
mereka -dengan baret warna merah mirip Kopassus- tetap masih berlaku.

Seragam, khususnya baret merah reserse, sesungguhnya menyiratkan kekagokan
atas status baru Polri. Di satu sisi, banyak polisi yang tidak rela
kehilangan citra "garang" militer, seperti seragam yang mentereng, kumis
lebat untuk menakut-nakuti rakyat, dan kata-kata "Siap Ndan!" (Siap
Komandan).

Di sisi lain, banyak pula "anggota" (istilah yang masih dari zaman ABRI)
yang mulai menikmati status dan peran baru. Mereka berbaur dengan masyarakat
dan menghapus kesan garang rekan-rekan mereka.

Jangan dikira bahwa tidak ada semacam ketegangan antara kedua perspektif dan
kultur serta perilaku tersebut. Contoh yang paling nyata muncul pada
penerapan asas diskresi. Asas diskresi ini memungkinkan seorang "anggota"
mengambil keputusan sendiri, tanpa perlu menunggu perintah atasannya.

Itulah ruang keputusan baru yang sering membuat kinerja Polri terganggu di
lapangan. Mereka yang masih percaya pada sistem komando perintah akan
menganggap ketidaksediaan atau keengganan anak buahnya untuk menjalankan
perintah sebagai "pembangkangan".

Sebaliknya, anggota yang pangkatnya lebih rendah merasa bahwa suatu
keputusan yang diambilnya masih termasuk dalam kewenangan di dalam penerapan
asas diskresi tersebut. Akibatnya, perintah kadang tidak jalan atau
keputusan diambil oleh bawahan dan kemudian disalahkan oleh atasan.

Situasi baru itu harus disikapi dengan bijak dan hati-hati oleh polisi. Jika
tidak, Polri bisa tersesat dan akhirnya kembali ke masa lampau, sebelum
reformasi. Tidak ada jaminan bahwa polisi gondrong tidak bisa tersesat.
* Hermawan Sulistyo, analis kepala CONCERN, jurnal strategis dwimingguan,
dan penulis buku "Bom Bali: Buku Putih Tidak Resmi Investigasi Teror Bom
Bali"