[Nasional-m] Indonesia Tak Siap Hadapi AFTA

Ambon nasional-m@polarhome.com
Wed Feb 5 00:24:06 2003


http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=23518
Rabu, 05 Feb 2003

Indonesia Tak Siap Hadapi AFTA
Oleh Djoko Susilo *

Senang atau tidak senang, siap atau tidak siap, era AFTA (Asean Free Trade
Area) sudah datang. AFTA yang digagas sejak 1992 merupakan ikhtiar nyata
negara-negara anggota ASEAN untuk meningkatkan perdagangan, investasi, dan
kegiatan ekonomi lain-lain di antara mereka. Di antara sepuluh negara
anggota ASEAN, lima negara anggota awal akan memulai pemberlakuan AFTA tahun
ini. Dan, menyusul anggota lain seperti Vietnam, Laos, Kamboja, Brunei, dan
Myanmar.

Inti AFTA adalah CEPT (Common Effective Preferential Tariff), yakni
barang-barang yang diproduksi di antara negara ASEAN yang memenuhi ketentuan
setidak-tidaknya 40 % kandungan lokal akan dikenai tarif hanya 0-5 %.

Anggota ASEAN mempunyai tiga opsi pengecualian CEPT tersebut dalam tiga
kasus, yakni (1) pengecualian sementara, (2) produk pertanian yang sensitif,
dan (3) pengecualian umum lainnya. Untuk kategori pertama, pengecualian
hanya bersifat sementara karena pada akhirnya akan memenuhi standar yang
ditargetkan, yakni 0-5 %. Sedangkan khusus produk pertanian sensitif bisa
diundur sampai 2010. Bisa dikatakan, paling lambat 2015, semua tarif di
antara negara ASEAN akan mencapai titik 0 %. Ini idealnya, bagaimana
Indonesia?

Secara umum, situasi ekonomi Indonesia sangat sulit. Perdagangan Indonesia
dalam kurun 2000-2002 melemah, baik dalam kegiatan ekspor maupun impor.
Kondisi ekonomi makro ditambah stabilitas politik yang tidak mantab serta
penegakan hukum dan keamanan yang buruk ikut mempengaruhi daya saing kita
dalam perdagangan dunia.

Memang, secara umum, beberapa produk kita siap berkompetisi. Misalnya,
minyak kelapa sawit, tekstil, alat-alat listrik, gas alam, sepatu, dan
garmen. Tetapi, banyak pula yang akan tertekan berat memasuki AFTA. Di
antaranya, produk otomotif, teknologi informasi, dan produk pertanian.

Karena itu, menghadapi AFTA ini, persoalannya bukan kalah atau menang.
Sebab, memang akan ada yang kalah dan ada yang menang. Bahkan, Indonesia
mungkin akan menjadi net looser, bukan net gainer sebagaimana Malaysia,
Singapura, dan Thailand.

Menurut hemat saya, dalam AFTA, peran negara dalam perdagangan sebenarnya
akan direduksi secara signifikan. Sebab, mekanisme tarif yang merupakan
wewenang negara dipangkas. Karena itu, diperlukan perubahan paradigma yang
sangat signifikan, yakni dari kegiatan perdagangan yang mengandalkan
proteksi negara menjadi kemampuan perusahaan untuk bersaing. Tidak saja
secara nasional atau regional dalam AFTA, namun juga secara global. Karena
itu, kekuatan manajemen, efisiensi, kemampuan permodalan, dan keunggulan
produk menjadi salah satu kunci keberhasilan.

Pemerintah memang tidak benar-benar lepas dari persoalan tersebut. Sebab,
betapa pun, daya saing kita menghadapi perdagangan regional seperti AFTA ini
juga dipengaruhi kebijaksanaan eksekutif dan legislasi.

Misalnya, dari segi penegakan hukum, sudah diketahui bahwa sektor itu
termasuk buruk di Indonesia. Jika tak ada kepastian hukum, bagaimana iklim
usaha akan berkembang baik? Ujung-ujungnya adalah biaya ekonomi tinggi yang
berpengaruh terhadap daya saing produk dalam pasar internasional.

Faktor lain yang amat penting adalah lembaga-lembaga yang seharusnya ikut
memperlancar perdagangan dan dunia usaha ternyata malah sering diindikasikan
KKN. Akibat masih meluasnya KKN dan berbagai pungutan yang dilakukan unsur
pemerintah di semua lapisan, harga produk yang dilempar ke pasar akan
terpengaruhi.

Otonomi daerah yang diharapkan akan meningkatkan akuntabilitas pejabat
publik dan mendorong ekonomi lokal ternyata dipakai untuk menarik keuntungan
sebanyak-banyaknya dari dunia usaha tanpa menghiraukan implikasinya. Otonomi
malah menampilkan sisi buruknya yang bisa mempengaruhi daya saing produk
Indonesia di pasar dunia.

Persoalan lain yang harus dihadapi adalah kenyataan bahwa perbatasan
Indonesia sangat luas, baik berupa lautan maupun daratan, yang sangat sulit
diawasi. Akibatnya, terjadi banjir barang selundupan yang melemahkan daya
saing industri nasional. Miliaran dolar amblas setiap tahun akibat
ketidakmampuan menjaga perbatasan dengan baik. Menurut taksiran kemampuan
TNI-AL, sekitar 40 persen dari seharusnya digunakan untuk mengamankan lautan
akibat kekuarangan dana dan sarana yang lain.

Namun, selain menghadapi berbagai persoalan, AFTA jelas juga membawa
sejumlah keuntungan. Pertama, barang-barang yang semula diproduksi dengan
biaya tinggi akan bisa diperoleh konsumen dengan harga lebih murah.

Kedua, sebagai kawasan yang terintegrasi secara bersama-sama, kawasan ASEAN
akan lebih menarik sebagai lahan investasi. Indonesia dengan sumber daya
alam dan manusia yang berlimpah mempunyai keunggulan komparatif. Namun,
peningkatan SDM merupakan keharusan. Ternyata, kemampuan SDM kita sangat
payah dibandingkan Filipina atau Thailand.

Kendala utama bagi masyarakat Indonesia adalah mengubah pola pikir, baik di
kalangan pejabat, politisi, pengusaha, maupun tenaga kerja. Mengubah pola
pikir ini sangat penting bagi keberhasilan kita memasuki AFTA.

Namun, sejak krisis 1997, tenaga dan kemampuan kita tidak tercurah ke hal
tersebut. AFTA menjadi agak terbengkalai dan para pejabat hanya berpikir
bagaimana bisa "survive" dalam situasi ekonomi yang sulit. Tim ekonomi
pemerintah pun kekurangan daya kreasi agar bisa menciptakan cara-cara baru
untuk mendinamisasi iklim usaha dan bisnis di tanah air. Mereka tidak siap
berperang dalam percaturan global.

Pemerintah Indonesia selama ini juga selalu meninabobokan masyarakat dengan
pernyataan bahwa alam kita kaya raya, jadi tidak usah khawatir kelaparan.
Kita harus berani melihat ke luar, bukan mengucilkan diri sendiri. Pada
1980-an, China masih berada di belakang kita. Namun, mereka kini sudah
menyalip Indonesia. Ekspor China kini empat kali lebih banyak dibandingkan
ekspor kita. Padahal, mereka tak mengekspor minyak atau gas alam. Betul
negara kita kaya-raya, tetapi rezeki itu harus digali dan dicari sampai
ujung bumi.

Dalam setiap rapat dengan TNI-AL maupun menteri perikanan dan kelautan, DPR
selalu diberi tahu bahwa setiap tahun kerugian dari pencurian ikan mencapai
USD 6 miliar atau hampir Rp 56 triliun. Tapi, andaikata tidak dicuri orang,
bangsa kita pun juga tidak bisa mengambil hasil laut karena berbagai
keterbatasan sarana dan modal. Ikan harus dicari, hutan harus diusahakan,
dan sikap mental bangsa kita harus didorong untuk banyak-banyak berusaha
mencari rezeki, ke mana saja asal halal. Tugas pemerintah adalah
memfasilitasi dan membantu, bukan memeras kalangan usaha dengan rupa-rupa
pungutan.
*. Djoko Susilo, anggota DPR RI