[Nasional-m] Masa Depan Politik Perempuan

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu Jan 23 01:48:03 2003


SUARA PEMBARUAN DAILY


Masa Depan Politik Perempuan
Heny Setyowati

idak dicantumkannya kuota 30 persen perempuan dalam UU Politik yang baru, di
era reformasi ini, bagi para aktivis perempuan memang dapat dianggap sebagai
pelecehan perempuan secara politis yang sangat menyakitkan. Sebab, dominasi
laki-laki di semua parpol akan terus berlanjut, tanpa mempedulikan aset
politik perempuan yang mencapai 50 persen. Dalam hal ini, suara perempuan
tetap akan menjadi suara minor di dalam gedung DPRD, DPR dan MPR, meski
perempuan telah memberi sumbangan suara 50 persen lewat pemilu.

Tampilnya Megawati dalam pucuk kekuasaan, dianggap tidak mencerahkan masa
depan politik perempuan, karena sejak dulu dia dianggap bukan sebagai
representasi perempuan di wilayah politik. Dalam hal ini, hanya faktor
romantisme-historis dan hiperbola-fanatisme yang mengangkat Megawati ke
pucuk kepemimpinan nasional. Artinya, Megawati "naik daun" karena dia adalah
anak sulung (yang kebetulan perempuan) Bung Karno yang dulu selalu ditindas
Soeharto.

Dengan kata lain, Megawati "naik daun" hanya karena reformasi tidak
berlangsung sesuai dengan yang dicita-citakan, bahkan hanya menjadi point of
return kebangkitan "Soekarnois" yang dulu ditindas Orde Baru.

Bahkan, ada yang mencemaskan bahwa tampilnya Megawati di pucuk kepemimpinan
nasional ibarat telur di ujung tanduk. Dalam hal ini, jika Megawati dinilai
gagal membawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi bangsa dan negara, maka
akan muncul "politik gebyah-uyah" yang mungkin bisa memberangus perjuangan
perempuan.

Misalnya, jika kesepakatan damai dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ternyata
membuat Indonesia semakin kesulitan membangun Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD), bahkan akhirnya NAD berpisah dengan Indonesia, maka kelak
mungkin akan muncul gelombang penolakan keikutsertaan perempuan dalam
pengambilan keputusan-keputusan politik.

Atau, jika dalam masa kepemimpinan Megawati banyak terjadi hal-hal yang
dianggap merugikan bangsa dan negara, seperti hilangnya Sipadan dan Ligitan
dalam peta kita, "kaburnya" sebagian saham Indosat ke luar negeri,
"dirangkulnya" obligor besar atau konglomerat hitam yang dinilai bisa
mengacaukan hukum dan keadilan, maka banyak pihak mungkin akan antipati
terhadap tampilnya perempuan lagi di peta politik nasional di masa-masa yang
akan datang.

Kini, di tangan Megawati, Indonesia pun tetap terpuruk dan dinilai semakin
busuk oleh KKN, suatu fakta buruk yang akan bisa semakin mengundang sikap
antipati terhadap masa depan politik perempuan.


Irasional

Harus diakui, betapa politik di Indonesia, di era reformasi ini, sering
bernuansa irasional. Misalnya, banyaknya elite politik yang bicara
kontroversial dan provokatif, ketidakdisiplinan legislatif mematuhi aturan
yang dibuatnya sendiri, kerunyaman yudikatif, benturan karakter di dalam
jajaran kabinet, munculnya berbagai undang-undang baru (seperti UU
Penyiaran) yang tidak logis, sudah cukup menjelaskan ketidakrasionalan.

Selama wilayah politik, sebagai titik sentral manajemen nasional berjalan
irasional, selama itu pula berbagai kerunyaman akan bermunculan
menyertainya. Dalam hal ini, jika Megawati sebagai pemimpin tidak mampu
membenahinya, maka selamanya dia (dan kaumnya) akan sangat mudah untuk
dicampakkan. Sebab, dalam wilayah politik, setiap saat, kawan bisa menjadi
musuh dalam selimut yang sangat berbahaya.

Dengan melihat irasionalitas yang ada dalam wilayah politik sekarang ini,
sudah saatnya perempuan melakukan manuver politik yang lebih canggih,
apalagi tuntutan kuota 30 persen sudah jelas-jelas ditolak. Dalam hal ini,
perempuan harus segera menanggalkan berbagai baju ideologis yang selama ini
membuatnya terkotak-kotak di berbagai partai. Dengan kata lain, sudah
saatnya dimunculkan wacana membentuk satu partai yang sekiranya bisa menjadi
representasi perempuan dalam peta politik nasional. Hanya dengan bersatu
menggalang kekuatan politik dalam satu partai, masa depan politik perempuan
mungkin akan tetap cerah.


Primadona

Kini, sudah saatnya untuk mengadakan kongres perempuan lagi yang dapat
menjadi titik awal bangkitnya politik perempuan di era reformasi. Sudah
teramat banyak perempuan berpendidikan tinggi dan memiliki berbagai
kapabilitas yang relevan dengan perkembangan zaman.

Aset-aset perempuan yang ada sekarang, harus diakui, sudah jauh lebih maju
dibanding ketika kongres perempuan mencanangkan "Hari Ibu". Dengan aset-aset
yang dimiliki sekarang, perempuan tidak relevan lagi untuk terus-menerus
mengalah dan hanya menjadi backing-vocal di berbagai simponi partai yang
tergabung dalam orkestra politik nasional.

Megawati memang dapat diibaratkan sebagai primadona dalam orkestra politik
nasional, tetapi simponi partai-partai yang tergabung di dalamnya didominasi
oleh irama-irama patriarkhis-maskulinistis. Dalam hal ini, sang primadona
tampak menjadi bintang, karena dia memang satu-satunya perempuan yang
terlihat di atas panggung. Padahal, sebenarnya, banyak perempuan lain yang
bernasib buruk, suaranya terbungkam dalam dominasi irama orkestra dengan
konduktor maskulinisme sebagai komando. Tampaknya, sistem politik Orde Baru,
yang mengurung perempuan-perempuan dalam sangkar yang bernama Dharma Wanita
dan Dharma Pertiwi, agaknya di era reformasi ini mengalami metamorfosa yang
tetap mengabadikan irama-irama orkestra patriarkhis-maskulinistis yang hanya
membutuhkan satu perempuan sebagai primadona.

Kita layak khawatir, jika sang primadona justru ingin tetap menjadi bintang
dengan membungkam mayoritas suara perempuan! Kekhawatiran ini, agaknya bukan
mengada-ada, manakala faktanya sang primadona turut serta menolak kuota 30
persen dengan alasan yang kurang logis. Misalnya, dengan alasan bahwa kuota
30 persen justru akan membatasi peluang perempuan berkiprah yang lebih besar
dalam wilayah politik, adalah alasan yang tidak logis, karena faktanya aset
politik perempuan sudah mencapai 50 persen. Bagaimana bisa dibilang logis,
jika perempuan tidak boleh mendapatkan kuota hanya 30 persen saja, sementara
50 per- sen suaranya sudah jelas- jelas disumbangkan dalam pemilu?

Tetapi ketidaklogisan itu kini telah ditetapkan. Maka tidak ada alasan lain
yang lebih logis bagi perempuan untuk memperjuangkan masa depan dengan
menyusun barisan untuk membentuk simponi politik yang memiliki peluang
mendominasi irama dalam orkestra besar perpolitikan nasional. Dalam hal ini,
perempuan harus lebih memfokuskan persamaan pandangan mengenai kebutuhan di
masa depan, dengan belajar meninggalkan belitan ideologis yang selama ini
memasungnya dalam berbagai kotak. Sebab, selama perempuan masih saja
terkotak-kotak dalam belitan ideologi, selama itu pula aset politiknya akan
terbungkam oleh sistem patriarkhis-maskulinistis yang mengangkanginya.

Kini, memang saatnya perempuan bersatu untuk menghitung aset politiknya,
setelah tuntutan kuota 30 persen ditolak (antara lain, khususnya) oleh
Megawati.


Kesetaraan

Jika perempuan ternyata dapat bersatu mengumpulkan aset politiknya dalam
satu partai, yang di atas kertas sudah dapat dipastikan 50 persen dari
jumlah keseluruhan aset politik nasional, dengan demikian, perjuangan
menuntut kesetaraan (jender dan sebagainya) akan tercapai. Dalam hal ini,
keinginan untuk menjadi dominan atau ingin mengangkangi laki-laki, khususnya
dalam wilayah politik praktis, bukanlah karakter perempuan. Dengan kata
lain, kalaupun perempuan sudah dominan di wilayah politik, dan bisa
menikmati kesetaraan di berbagai bidang, laki-laki tidak akan tercampakkan,
karena karakter perempuan di mana pun selalu mengutamakan kemitraan (baca:
kesetaraan) dengan laki-laki.

Nampaknya, isu tentang pentingnya kesetaraan di berbagai bidang, dapat
dipilih sebagai isu nasional yang perlu didengung-dengungkan untuk
menghadapi masa depan politik perempuan yang lebih cerah. Dalam hal ini,
tokoh-tokoh perempuan yang lebih cerah. Dalam hal ini, tokoh-tokoh perempuan
yang kini berada dalam barisan elite, sudah saatnya segera memi-lih media
yang paling canggih untuk melemparkan isu kesetaraan yang dituntutnya ke
tengah-tengah publik seluas-luasnya, agar perempuan-perempuan yang kini
masih banyak terkurung dalam kotak-kotak dan kelas-kelas sosial yang penuh
kegelapan segera mendengar dan merespons.

Sangat ironis, jika tokoh-tokoh perempuan di barisan elite politik sekarang
juga hanya ingin menjadi primadona baru yang mengabaikan masa depan politik
kaumnya sendiri.


Penulis adalah pengamat sosial politik, tinggal di Kudus.

Last modified: 22/1/200