[Nasional-m] Bermimpi Menghijaukan Indonesia dengan Eucalyptus

Ambon nasional-m@polarhome.com
Fri Jan 24 01:36:04 2003


 Ir. Makmur Damanik:
Bermimpi Menghijaukan Indonesia dengan Eucalyptus


Kalau kita berkendaraan mobil dari Medan menuju Kecamatan Porsea di
Kabupaten Toba Samosir, maka di sejumlah tempat di tepi jalan, mulai dari
Aek Nauli di Kecamatan Parapat, Kabupaten Simalungun, akan terlihat
hutan-hutan eucalyptus di antara hutan-hutan pinus atau tanah gersang di
sana.
Pohon-pohon itu ditanam PT Inti Indorayon Utama (IIU), yang kini berganti
nama menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL), untuk memenuhi kebutuhan akan bahan
baku pulp. Namun, pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI) eucalyptus,
menggantikan hutan-hutan pinus mercusii, di kawasan seputar Danau Toba
(ketinggian di atas 902 m di atas permukaan laut), masih menjadi salah satu
pokok kontroversi.
Perubahan jenis hutan itu menjadi salah satu penyebab kemarahan masyarakat
Tobasa terhadap pabrik pulp itu. Masyarakat penentang menilai selama ini
hutan pinus mereka yang telah berumur puluhan, bahkan ratusan tahun, tidak
boleh mereka usik, lalu atas izin pemerintah boleh dirambah dan ditebangi
oleh perusahaan itu. Apalagi, kemudian di atas lahan bekas tebangan
dijadikan HTI dengan tanaman eucalyptus.
Rasa cemburu itulah yang kemudian berkembang memunculkan berbagai isu
seperti tanaman eucalyptus rakus air, pucuk daunnya meracuni tanah, dan PT
IIU menggunduli hutan sehingga permukaan air Danau Toba turun, dan
sebagainya.
Mungkin yang kurang dijelaskan pemerintah adalah pertimbangan pengembangan
HTI di kawasan itu, yakni banyak lahan kritis dan gundul di kawasan seputar
Danau Toba sehingga fungsi dan nilai hutan harus ditingkatkan, menggantikan
huan pinus dengan tananam berdaun lebar untuk meningkatkan nilai konservasi
tanah dan air, dan tanaman pinus rawan terbakar karena mengandung resin.
Artinya, dalam pertimbangan pemerintah, eucalyptus lebih menguntungkan
ketimbang pinus sebagai HTI, juga sebagai bahan baku pulp.

Tanaman Unggul
Salah seorang yang sangat yakin tanaman ini memang menguntungkan dan tidak
merusak lingkungan adalah Ir. Makmur Damanik, kini kepala riset kehutanan di
pusat pembibitan (nursery) eucalyptus, PT TPL, di Sosorladang, Kecamatan
Porsea, Kabupaten Toba Samosir. Keyakinannya didasarkan pada hasil lebih
dari 200 penelitian ilmiah yang dilakukan bersama rekan-rekannya mengenai
eucalyptus. Sehingga berbagai aspek dan karakter tanaman ini sangat mereka
kuasai. Prestasi yang terutama adalah penemuan metode kloning untuk tanaman
ini. Metode ini dipelajarinya di Australia, namun kemudian diadaptasi untuk
eucalyptus.
Tanaman ini dinilai cocok untuk bahan baku pulp atau bahkan sebagai HTI
karena seratnya menengah, ada yang berjenis hard wood (bisa untuk bantalan
kereta api) tapi ada juga yang soft wood, kayu yang dihasilkan lebih baik
ketimbang dari hutan alam (khususnya untuk bahan baku pulp), biaya produksi
lebih murah, dan bisa dipanen hanya dalam tempo 6-7 tahun.
Insinyur jurusan tanah dari Institut Pertanian Bogor, yang kemudian jadi
pawang eucalyptus ini, berani berkata demikian karena teknik kloning
(multiplikasi) bisa menghasilkan jenis tananam yang unggul untuk ditanam di
kawasan itu. ”Jadi eucalyptus yang kami kembangkan dengan sistem kloning
akan mempunyai ciri sama seperti induknya. Kalau induknya berbatang besar
dan lurus, maka demikian pula hasil kloningnya,” ujarnya, di kebun
pembibitan yang dikelolanya, belum lama ini.
Keunggulan lainnya, hanya dalam tempo 6-7 tahun pohon dari hasil kloning
sudah bisa dipanen, dengan ukuran jauh lebih besar dibanding dari biji.
Dengan demikian, dari kaca mata pabrik kertas hal ini jauh lebih
menguntungkan dibandingkan dengan pinus yang perlu 30 tahun (di Kanada,
Amerika dan Eropa) untuk bisa dipanen.

Produksi Murah
Keunggulan lain dari teknologi kloning ini adalah murahnya biaya pembibitan.
Semasa PT IIU masih memakai benih biji eucalyptus untuk bibit, di kebun
pembibitan itu hanya bisa dihasilkan 100 bibit pohon/bulan, dengan biaya per
bibit pohon adalah Rp 2.500, hal ini berlangsung sampai tahun 1992.
Namun setelah teknologi kloning ditemukan, dia mampu memproduksi bibit
eucalyptus hanya dengan biaya Rp 250/pohon. Di kebun pembibitan seluas 14
hektar (7 hektar untuk kebun bibit, 6 hektar untuk memproduksi bibit) dapat
diproduksi 760 ribu bibit/bulan atau sekitar 24 juta bibit pohon/tahun.
Tidak heran kalau setiap hari, di kebun itu akan terlihat sejumlah perempuan
yang asyik membuat kloning tanaman ini. Artinya, sepanjang tahun kebun
pembibitan ini memproduksi benih eucalyptus.
Kloning itu dilakukan dengan memotong batang dari perdu eucalyptus yang
dibiarkan tumbuh di kebun, perdu itu sendiri ditanam dari stek pohon induk.
Dari batang itu kemudian dibuat stek pucuk yang ditanam di media gambut
bercampur pasir. Selama periode ini, bibit hasil kloning itu disimpan di
rumah kaca (green house) selama 45 hari, dengan pengontrolan suhu dan
kelembaban. Bahkan, dari penelitian yang mereka lakukan, Makmur dan
kawan-kawannya telah berhasil mengembangkan sendiri bentuk-bentuk rumah kaca
yang cocok untuk tanaman tersebut dengan biaya lebih murah. ”Green house
hasil modifikasi kami jauh lebih murah dan efisien, bahkan bisa mengurangi
jumlah kematian bibit yang busuk karena terkena tetesan air,” jelasnya.

Menguntungkan
Menurut data FAO, di dunia ada lebih dari 600 jenis eucalyptus (yang hampir
semua bisa tumbuh di Indonesia karena iklim tropisnya) dan ada empat jenis
yang asli dari Indonesia. Bahkan jenis eucalyptus terbaik di dunia ada di
Timor Leste yakni jenis europhylla. Karena banyaknya jenis tananam ini,
Makmur berani membuktikan kepada mereka yang menilai tanaman ini rakus air
atau beracun dan tidak cocok dengan daerah seputar Danau Toba. ”Kalau
eucalyptus rakus air, itu jenis yang mana, juga kalau beracun itu juga jenis
yang mana? Jadi tidak bisa dipukul rata,” jelasnya.
Salah satu penelitian yang dilakukan timnya antara lain mencoba menanam
tumbuhan tumpang sari di antara eucalyptus untuk membuktikan tumbuhan yang
ditanam di dataran tinggi Danau Toba memang tidak beracun. ”Dan terbukti
tanaman tumpang sari itu tumbuh dengan baik,” ujarnya.
Namun, bukan berarti tidak ada kritikan terhadap eucalyptus ini. Karena di
beberapa lokasi HTI milik perusahaan itu ternyata banyak ditemukan
eucalyptus usia 6-7 tahun yang kurus-kurus, bengkok-bengkok, namun ada juga
yang besar. Atas kritik ini, dia menjelaskan ketika pihaknya mulai menanam
eucalyptus di kawasan HTI pada periode 1987-1990, itu semua hanya dilakukan
dengan coba-coba yakni dengan menanam biji tanpa mengenal asal-usul genetis
tananam. Yang dituai adalah kegagalan hasil karena ada eucalyptus yang besar
ada yang kecil, tidak seragam.
”Ini yang menimbulkan olok-olok, eucalyptus yang kami tanam hanya sebesar
betis. Namun keuntungannya, dari situ kami berhasil menemukan eucalyptus
berkualitas unggul, dan itu yang sekarang kami kembangkan,” jelas Makmur.
Sukses dengan kloning ini, Makmur berani memprediksikan bahwa mengembangkan
HTI eucalyptus sebagai bahan baku pulp akan sangat menguntungkan. Dia
memberi gambaran, selama ini pulp yang dihasilkan perusahaannya dapat
dikategorikan bermutu terbaik dengan biaya produksi hanya US$ 300/ton. ”
Dengan asumsi harga pulp dunia terus turun hingga hanya US$ 350/ton, kami
masih bisa mendapat marjin keuntungan karena memakai eucalyptus,” ujarnya.
Bahkan dia bermimpi Indonesia akan menjadi negara penghasil pulp terbesar di
dunia karena kita mempunyai lahan cukup luas yakni sampai 2 juta km persegi,
sumber daya manusia cukup besar, terletak di kawasan tropis sehingga tanaman
apa saja bisa tumbuh, dan bisa dipanen sepanjang tahun. ”Kalau saja semua
rakyat melakukan PIR eucalyptus maka mereka akan kaya,” ujarnya, setengah
berseloroh. Dalam perhitungannya, dengan bibit hasil kloning, kini satu
hektar lahan bisa ditanami 1.111 pohon.
Perusahaannya juga menerapkan program PIR dengan pola inti-plasma sejak
1991. Peserta program HTI pola PIR mencapai areal seluas 8.966,27 hektar
dengan melibatkan 3.022 KK plasma. Dan sebenarnya sejak tahun lalu HTI pola
PIR, dari benih biji, sudah bisa pada areal seluas 1.947 hektar atau setara
dengan 160.000 ton kayu. Kalau dibuat pulp setara dengan 32.000 ton pulp.
Kalau saja 1 metrik ton eucalyptus dihargai Rp 35.000, maka sebagian
masyarakat peserta HTI pola PIR itu sudah mendapat Rp 5,6 miliar, atau kalau
dipukul rata, satu KK bisa mendapat sekitar Rp 8 juta. Namun karena pabrik
masih tutup tanaman itu belum ditebang dan masyarakat peserta belum bisa
menikmati keuntungan dari tanaman ini.
Kembali ke Makmur, di kebun pembibitannya, kini tersimpan berbagai jenis
unggul tanaman tersebut, yang siap dikembangkan untuk HTI atau penghijauan
di mana saja, disesuaikan dengan kondisi lahan di berbagai daerah di
Nusantara.
Satu hal yang kini akan dikembangkan Makmur, bekerja sama dengan Asosiasi
Perhutanan Indonesia Reformasi, adalah mencoba mengkloning berbagai tanaman
hutan tropis lain yang ada di Indonesia. Sehingga dia optimis dengan
teknologi ini, hutan-hutan kita yang gundul bisa dihijaukan kembali secara
cepat, berkualitas dan menguntungkan. (xha)