[Nasional-m] Golput Tetap Akan Meningkat

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu Jan 30 05:00:22 2003


http://www.suaramerdeka.com/harian/0301/30/nas5.htm
Kamis, 30 Januari 2003  Berita Utama

Analisis Arief Budiman
Golput Tetap Akan Meningkat

ADA beberapa pertanyaan di benak saya ketika membaca berita-berita media
massa tentang pelarangan kampanye golput (baca: tidak memilih satu partai
pun dalam pemilu) pada pemilu 2004. Apa motif di balik pelarangan itu? Apa
konsekuensi logis dan etis dari pelarangan tersebut?

Sangat jelas terbaca bahwa latar belakang pelarangan itu adalah ketakutan
dari partai berkuasa dan partai besar atas berkurangnya perolehan suara
mereka pada pemilu mendatang.

Ketakutan itu sebenarnya memiliki alasan cukup kuat. Sekalipun, secara
teoritis, golput bisa ditekan dengan banyaknya partai politik. Pemilih yang
tidak suka pada PDI-P atau Partai Golkar bisa memilih partai-partai lain
yang banyak.

Kondisi ini berbeda sekali dari era tahun 70-an, saat saya dan teman-teman
mengampanyekan golput. Waktu itu masyarakat yang sudah punya hak pilih
dipaksa atau dikondisikan memilih Golkar. Golput menjadi pilihan yang sangat
relevan bagi orang-orang yang takut memilih partai-partai lain di luar
Golkar. Maka, bisa dimaklumi, partai yang paling khawatir pada golput pada
saat itu adalah Golkar.

Orang yang berani secara terang-terangan tidak memilih akan menjadi golput
aktif. Mereka tidak datang ke kotak suara saat pemilu. Orang yang waswas
atau takut diberi sanksi jika tidak memilih akan menjadi golput pasif.
Mereka tetap datang ke tempat pemilihan, namun mencoblos semua gambar atau
di luar tempat yang disediakan. Saya pernah menulis di majalah Tempo tahun
1972 mengenai cara-cara menjadi golput tanpa ketahuan lurah atau penguasa
setempat. Yakni, datang ke tempat pemilihan, tapi tusuk di luar tanda gambar
atau tusuk semua tanda gambar.

Dari Hak ke Kewajiban

Tampaknya ada keinginan dari orang-orang wakil partai yang duduk di lembaga
legislatif untuk mengubah pemilu dari HAK menjadi KEWAJIBAN (huruf besar
dari penulis-Red) warga negara. Di Amerika Serikat, pemilu adalah HAK warga
negara, sehingga masyarakat yang memiliki hak pilih berhak tidak menggunakan
hak mereka itu. Di Australia berbeda.

Di sana datang ke tempat pemilihan adalah kewajiban warga negara. Jika tidak
datang, anggota masyarakat yang memiliki kewajiban ikut pemilu akan didenda
atau ditahan.

Namun di Australia orang tetap bisa bergolput. Warga negara datang ke kotak
suara, tetapi di sana mereka menusuk sembarangan hingga suaranya tidak
terhitung. Negara juga tidak mencegah orang bergolput. Dan, kampanye golput
pun tidak dilarang di sana. Yang dilarang, sekali lagi, adalah warga negara
tidak datang ke tempat pemilihan saat pemilu.

Kalau benar-benar golput mau dicegah, orang yang memilih harus dibawa ke
kotak suara, lalu dicek hasil pilihannya. Namun tentu saja tindakan itu
mengingkari hak kerahasiaan dan hak kebebasan.

Konsekuensi Etis

Menurut pendapat saya, pelarangan kampanye golput memang bisa dilakukan.
Namun hal itu sangat tidak etis dan tidak demokratis.

Mengapa? Kampanye untuk tidak memilih partai mana pun sama bobotnya dengan
kampanye untuk memilih partai yang dilakukan oleh juru kampanye partai
bersangkutan.

Dengan demikian, jika kampanye golput (tidak memilih satu partai pun)
dilarang, sama halnya melarang kampanye partai-partai untuk memilih
partainya, sama juga melarang kampanye PDI-P untuk memilih PDI-P, melarang
kampanye Golkar untuk memilih Golkar.

Secara esensial, melarang kampanye golput sangat bertentangan dengan spirit
demokrasi yang dibawa dan ditegakkan oleh pemilu itu. Jadi, bisa dimengerti
mengapa Australia tidak melarang golput dan kampanye golput, sekalipun
negeri itu mewajibkan warga negaranya datang ke tempat pemilihan saat
pemilu.

Pada kondisi tertentu, TIDAK MEMILIH sama dengan MEMILIH YANG TERBAIK buat
pemilih. Kalau saya menilai semua pilihan yang tersedia adalah bajingan,
yang terbaik buat saya adalah tidak memilih. Itulah esensi golput.

Tetap Meningkat

Saya kira, jumlah golput tetap meningkat pada pemilu mendatang. Penyebabnya
tak lain, banyak kekecewaan terhadap pemimpin pemerintahan dan para elite
politik di DPR dan partai. Massa PDI-P yang kecewa kepada Megawati sulit
pindah ke partai Islam, karena latar belakang mereka umumnya abangan. Mau
mencoblos Golkar mereka trauma, karena ini partai warisan masa lalu. Maka
pilihan mereka adalah golput.

Umumnya masyarakat kita loyal pada partainya, sukar beralih ke partai lain.
Namun kalau kecewa kepada pemimpin dan elite partai, mereka akan menunda
memilih sembari menunggu kemunculan figur-figur yang lebih memberikan
harapan.

Pola pengikut partai di negeri ini lebih mengarah ke figur dan budaya
politik. Rasanya tidak sreg bagi orang PDI-P untuk memilih Golkar. Bahkan
pun di antara partai Islam. Bagi orang PKB, bukan persoalan mudah mau
menyeberang ke PAN atau PPP.

Kalau kecewa kepada PAN sulit beralih ke PKB, demikian sebaliknya. Jadi
mungkin lebih baik tidak memilih dulu, tunggu calon-calon lain dari partai
yang lebih menjanjikan.

Saya percaya, pelarangan kampanye golput tidak akan efektif.


- Prof Dr Arief Budiman, salah seorang pencetus golput pada tahun 1971, saat
ini Ketua Program Studi Indonesia di Universitas Melbourne Australia.
Gagasan ini disampaikan lewat wartawan Suara Merdeka Anto Prabowo. (28,16g)