[Nasional-m] Ariflah Memelihara Alam

Ambon nasional-m@polarhome.com
Fri Jan 31 03:24:00 2003


Pikiran Rakyat
Jumat, 31 Januari 2003

 Ariflah Memelihara Alam

--Musibah longsor di kaki Gunung Mandalawangi Kec. Kadungora Kab. Garut yang
menewaskan 19 orang warga adalah pelajaran berharga, bagaimana kita harus
memperlakukan alam secara arif dan bijaksana.

HARI itu Rabu kelabu. Begitulah kenyataan yang terjadi di sebagian wilayah
Jawa Barat, pada Rabu (30/1). Beberapa musibah, banjir, atau longsor,
terjadi di beberapa daerah di Jawa Barat: di Garut, Sumedang, Tasikmalaya,
Sukabumi, dan juga di Kabupaten Bandung.

Tanpa bermaksud mengecilkan peristiwa musibah di daerah lain, terhadap
musibah yang terjadi di Kabupaten Garut, rasanya perlu diberi catatan
khusus. Bukan semata karena menelan korban jiwa dan material cukup banyak,
melainkan kondisi faktual bentang alam yang ada, membangkitkan rasa prihatin
kita yang mendalam.

Selain itu, masih segar dalam ingatan kita, di Kabupaten Garut juga baru
saja terjadi peristiwa alam yang cukup menyita perhatian baik secara
nasional maupun internasional. Pada Senin 11 November 2002, Gunung
Papandayan yang memiliki ketinggian 2.666 m dari permukaan laut (dpl),
meletus. Belakangan, Gunung Guntur, juga masih di kawasan Garut, membuat
warga sekitar diliputi rasa cemas. Gunung yang selama ini sudah cukup besar
memberi andil kesejahteraan bagi warga dan pemerintah setempat karena atas
"kemurahannya" menggelontorkan air panas, nyaris bangkit dari tidurnya.
Berkali-kali gunung yang di kakinya menjadi objek wisata itu terjaga hingga
menimbulkan gempa berkali-kali.

Dari sekian kali musibah yang terjadi, sebutan Garut anu pinuh ku pangirut
(penuh daya tarik), jadi memiliki pengertian lain. Pesona jeruk, domba, dan
dodol Garut, hingga kecantikan alamnya, berubah menjadi Garut yang
menakutkan. Tidak semua dari wilayah Garut seperti itu memang, melainkan
faktanya jelas, ada beberapa titik rawan bencana yang tidak saja setiap saat
mengintip dan akan menyeret kerugian material, tetapi juga menelan korban
jiwa. Salah satunya adalah yang baru saja menimpa saudara-saudara kita yang
menghuni pemukiman di kaki Bukit Baruhaji dan Bukit Cadasgantung Kecamatan
Kadungora.

Setiap kali terjadi bencana alam, kita harus menerimanya sebagai pelajaran
berharga, bagaimana seharusnya memperlakukan alam. Rasanya kita perlu
terus-menerus mengingatkan diri kita sendiri, bahwa alam tidak bisa
diperlakukan semena-mena. Alam memiliki sifat kejujurannya sendiri. Dia
tidak pernah menyembunyikan kemarahannya jika ditekan atau dizalimi karena
ia memang tak punya hati. Yang ada, adalah kejujuran untuk memperlihatkan
bahwa ia memang dianiaya.

Taruh kata, sebuah bentang alam bernama hutan apabila ditebang seenak udel,
dirusak tanpa diperbaiki, tinggal tunggu waktu dan itulah yang terjadi pada
Rabu, 29 Januari 2003. Musibah longsor dan banjir merupakan jawaban alam
terhadap perilaku kita sebelumnya.

Inilah pelajaran berharga untuk kita bagaimana seharusnya memperlakukan alam
secara arif dan bijaksana. Teori, sistem, teknis pelaksanaan, hingga ahli
mengolah alam sudah cukup tersedia. Tinggal bagaimana agar semua pihak
memiliki kesadaran untuk bersama-sama menjaga kelestarian serta memperbaiki
ribuan hektare hutan yang kritis. Sudah saatnya berbagai pihak yang merasa
berhak mengelola hutan, menyingsingkan lengan baju bersama-sama turun ke
lahan-lahan kritis memulihkan kondisi alam yang rusak berat.

Khusus di Jawa Barat ini, kita tidak menutup mata, pengelolaan hutan menjadi
rebutan antara pusat dan daerah. Pemerintah pusat lewat Perum Perhutani
merasa memiliki hak mengelola hutan karena berdasar pada UU No. 41/1999 dan
PP 34/2002, sedangkan Provinsi Jabar dengan alasan otonomi daerah, juga
memiliki hak mengelola sehingga mengeluarkan Perda No. 19 dan 20 Tahun 2003.
Di samping itu ada juga Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), yang
mengelola hutan lindung (hutan yang benar-benar tidak boleh disentuh). Akan
tetapi, semua hutan tetap rawan penebangan ilegal, dirambah, dan dijarah.

Solusinya tidak lain, mari memulai memperlakukan alam dengan arif dan
bijaksana. Jika di sana ada penjarahan, aparat hukum harus tegas
memberantasnya sebab kayu adalah komoditas yang sangat mudah dijual,
mengingat permintaannya yang cukup tinggi. Jangan lupa pula, pencurian kayu
juga sudah merupakan sindikat, selain ada pelaksanan "eksekusi" di lapangan,
di sana juga ada pemodal dan pihak yang mengamankannya.

Pendek kata, musibah seperti di Kadungora, Garut, jangan kembali terulang.
Lebih dari itu, kita juga tak ingin mendengar lagi antarbirokrat seperti
menyanyikan lagu "Sang Bangau" ketika sang bangau menuding kodok, sang kodok
menyalahkan hujan, dan sang hujan menuding yang lain!***