[Nasional-m] Simplifikasi Ajaran Islam

Ambon nasional-m@polarhome.com
Fri Jan 31 11:36:02 2003


http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2003013100233143

Media Indonesia
Jumat, 31 Januari 2003

Simplifikasi Ajaran Islam
Oleh Miqdad Husein, Peneliti Gate of Information, Jakarta


MUNCULNYA pernyataan aktivitas LSM Wardah Hafidz bahwa salat tidak dapat
menyelesaikan persoalan kemiskinan yang menimbulkan reaksi keras, sekali
lagi memberi gambaran riil betapa ajaran Islam sering kali dipahami secara
simplifik (disederhanakan). Baik Wardah Hafidz maupun penentangnya
menempatkan salat sebagai instrumen teknis untuk menyelesaikan persoalan
sosial. Secara kasatmata pun, salat yang merupakan kegiatan ritual memang
tak mungkin menjadi alat solusi sosial aplikatif.

Perspektif keagamaan yang simplifik pada dasarnya lebih merupakan resultan
dari ketakmampuan membedakan mana bagian Islam sebagai ajaran ritual dan
Islam sebagai peranti penyelesaian berbagai masalah sosial seperti zakat,
infak, penegakan keadilan, penataan distribusi kekayaan, dan lainnya. Dua
hal berbeda itu memang terkait dan bahkan saling menunjang setelah melalui
proses interpretasi sosial. Keterkaitan itu mirip antara moralitas dan
hukum. Moral menyangkut hal abstrak, sedangkan hukum adalah bentuk konkret
dari moral yang berproses melalui kesepakatan-kesepakatan sosial.

Moral sendiri tak bisa berjalan sebagai instrumen sosial efektif. Ia harus
dikonkretkan melalui mekanisme kesepakatan sosial sehingga menjadi hukum
positif yang berlaku dalam kehidupan keseharian manusia.

Salat bila berhenti hanya sebagai ritual memang tidak mungkin menjadi solusi
sosial aplikatif. Karena itu, menurut ajaran Islam kesadaran moral dalam
bentuk pelaksanaan salat itu harus dilanjutkan dengan bentuk-bentuk
kepedulian sosial. ''Tidak sempurna ibadah yang dikerjakan umat Islam
sebelum memberikan apa-apa yang dicintainya.'' (Al-Imran 92).

Nilai kesempurnaan salat memiliki keterkaitan dengan keharusan umat Islam
melaksanakan aktivitas kepedulian sosial. Tetapi keterkaitan itu pun tetap
tidak memiliki kekuatan solusi sosial bila dibiarkan sebagai ajaran moral.
Tetap diperlukan proses metamorfosis dari ajaran moral menjadi kekuatan
hukum dan bentuk peranti sosial lainnya sehingga mengikat dan mendidik dan
mendorong perubahan masyarakat.

Terjebak

Kegelisahan dan mungkin pula kekecewaan pada ketakberhasilan ajaran Islam
memainkan peran dalam perubahan di tengah masyarakat mudah dipahami. Apalagi
bila dicermati kenyataan kegagalan itu lebih banyak karena keterjebakan
pemahaman dan pemikiran keagamaan serta perilaku agama masyarakat yang
cenderung berhenti pada tataran ritual dan seremonial, sehingga kekuatan
dinamis dan transformasi sosial Islam kurang terlihat.

Secara objektif, di Indonesia dan banyak negara berkembang lain ajaran Islam
cenderung disederhanakan. Masyarakat lebih asyik berputar-putar pada
persoalan ritual dan seremonial, termasuk terhadap ajaran agama yang
sebenarnya kental semangat sosialnya seperti zakat. Keyakinan terhadap
ajaran Islam yang substansinya kewajiban sosial itu kehilangan kekuatan dan
manfaatnya karena terbelenggu pemahaman sederhana. Bahkan ada kecenderungan
ajaran zakat tersakralkan sehingga terperangkap sebagai ajaran moral. Tidak
ada langkah-langkah kreatif dan produktif untuk mengembangkan zakat agar
menyentuh tujuan intinya.

Dalam masalah haji, misalnya, yang saat ini sedang berada pada puncak
pelaksanaannya, sangat terasa umat Islam Indonesia terseret egoisme
spiritual. Aspek-aspek sosial yang menjadi inti ajaran haji terabaikan. Umat
Islam cenderung mencari kenikmatan spiritual dan melupakan
kewajiban-kewajiban sosial.

Betapa banyak umat Islam Indonesia yang berangkat haji lebih dari sekali
hanya atas dasar ingin memuaskan dahaga spiritualnya. Padahal situasi sosial
ekonomi Indonesia saat ini sedang terpuruk, dan rakyat Indonesia yang
mayoritas umat Islam memerlukan uluran tangan karena sedang bergelut
menghadapi persoalan kemiskinan.

Dari segi logika fikih dan logika sosial serta atas dasar substansi ajaran
Islam mengentaskan kemiskinan, mengatasi keterbelakangan pendidikan, dan
menyelamatkan anak-anak miskin wajib didahulukan ketimbang melaksanakan haji
kedua kali. Sebab haji hanya wajib sekali, sedang yang kedua bernilai sunah.
Pemerintah Arab Saudi pun membatasi agar warganya melaksanakan haji cukup
sekali.

Tetapi umat Islam Indonesia lebih bergairah berbondong-bondong naik haji
walau secara ekonomi menghabiskan devisa negara serta mengabaikan persoalan
sosial umat Islam Indonesia yang menjadi korban krisis. Yang terlintas lebih
banyak kenikmatan mengejar spiritual dan mungkin prestise walau harus
menutup mata terhadap persoalan kemiskinan dan kemelaratan.

Bila Allah menjadi tujuan pencapaian kenikmatan spriritual, sebenarnya
secara tegas Nabi Muhammad saw mengatakan Allah itu berada di tempat
orang-orang miskin, orang-orang papa. Dengan demikian, kenikmatan spiritual
justru lebih mudah diperoleh di tempat kumuh di mana orang-orang bersusah
payah bergelut menghadapi tantangan kehidupan. Di tempat itu proses
kemanusiaan tercerahkan sebagai proses paling penting untuk memperoleh
kenikmatan spiritual.

Tradisi beragama di Indonesia lebih menempatkkan kealiman ritual lebih
tinggi ketimbang kesalehan sosial. Nilai seorang yang berangkat haji apalagi
berkali-kali dianggap lebih tinggi dari mereka yang berkiprah dan peduli
pada orang-orang miskin. Mereka yang berhaji berkali-kali dianggap lebih
alim walau tak memiliki kepekaan terhadap persoalan sosial ketimbang mereka
yang sangat peduli pada fakir miskin, aktif membiayai sekolah anak-anak tak
mampu. Anda mungkin lebih tersanjung bila mengatakan sudah haji berkali-kali
ketimbang mereka bergelut dengan orang-orang papa. Karena itu, Anda juga
lebih ringan mengeluarkan uang sampai puluhan juta untuk menunaikan haji
lewat fasilitas ONH plus ketimbang membantu madrasah atau membiayai sekolah
anak asuh yang nilainya hanya puluhan ribu rupiah.

Dengan persepsi dan perspektif keagamaan simplifik itu, terlalu sulit
mengharap kekuatan ajaran Islam mampu menjadi kekuatan perubahan di tengah
masyarakat Indonesia. Bahkan sangat mungkin cara beragama yang tidak menyent
uh substansinya itu dapat menjadi beban sosial yang makin menyengsarakan
rakyat.***