[Nusantara] KKG: MEMBANGUN KEKUATAN NASIONAL UNTUK KEMANDIRIAN BANGSA bag. 1/3

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Mon Aug 26 06:38:20 2002


"akang" <garuda9876@yahoo.com> 
KKG: MEMBANGUN KEKUATAN NASIONAL UNTUK KEMANDIRIAN
BANGSA bag. 1/3 
23 Aug 2002 22:50:53 +0200 
         
 MEMBANGUN KEKUATAN NASIONAL UNTUK KEMANDIRIAN BANGSA

Oleh Kwik Kian Gie

Dalam rangka memperingati 100 tahun Bung Hatta Tanggal
19 Agustus 2002
Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Panitya
Nasional Peringatan 
100
tahun Bung Hatta, dan merasa sangat terhormat
dijadikan pembicara utama
dalam kesempatan ini. Kepada Keluarga Besar Bung Hatta
saya mengucapkan
selamat atas ulang tahunnya yang ke 100. Tidak
berlebihan rasanya kalau
dikatakan bahwa bangsa Indonesia beruntung dikaruniai
oleh Tuhan salah
seorang putera terbaiknya yang memenuhi panggilan
zamannya dengan
memerdekakan bangsa Indonesia, yang memainkan peran
penting dalam
meletakkan landasan dan dasar-dasar bagi kehidupan
berbangsa dan 
bernegara.
Tanpa mengurangi ruang lingkup kiprah Bung Hatta dalam
pembentukan 
negara
bangsa, perannya terbesar adalah dalam bidang ekonomi
dengan
pikiran-pikirannya tentang bagaimana mengisi
kemerdekaan dengan 
pembangunan
ekonomi yang mewujudkan kemakmuran dan keadilan dalam
pembagian 
manfaatnya.

Secara pribadi saya merasa bersyukur dan merasa bangga
bahwa saya
memperoleh kesempatan beberapa kali berdiskusi dengan
Bung Hatta 
tentang
berbagai hal, antara lain tentang alma mater kita,
yaitu Nederlandsche
Handelshoogeschool yang meningkatkan diri menjadi
Nederlandse 
Economische
Hogeschool dan kemudian memperluas dirinya menjadi
Erasmus Universiteit
Rotterdam sampai sekarang.

Kesemuanya ini membuat saya lebih-lebih lagi merasa
bahagia dapat
bersumbang saran pada rangkaian diskusi hari ini.

Para Hadirin Yth.,

Aneh rasanya bahwa 57 tahun setelah kita merdeka dan
berhasil membentuk
negara bangsa yang berbentuk kesatuan dalam
kemajemukan, kita merasa 
perlu
berbicara tentang  "Membangun Kekuakatan Nasional
untuk Kemandirian
Bangsa." Bukankah kita sudah lama merdeka dan
berdaulat yang dengan
sendirinya juga mandiri ?

Marilah kita lihat kenyataan dewasa ini. Negara kita
yang kaya akan 
minyak
telah menjadi importir neto minyak untuk kebutuhan
bangsa kita. Negara 
yang
dikaruniai dengan hutan yang demikian luas dan
lebatnya sehingga
menjadikannya negara produsen eksportir kayu terbesar
di dunia 
dihadapkan
pada hutan-hutan yang gundul dan dana reboisasi yang
praktis nihil 
karena
dikorup. Walaupun telah gundul, masih saja terjadi
penebangan liar yang
diselundupkan ke luar negeri dengan nilai sekitar 2
milyar dollar AS.
Sumber daya mineral kita dieksploitasi secara tidak
bertanggung jawab
dengan manfaat terbesar jatuh pada kontraktor asing
dan kroni 
Indonesianya
secara individual. Rakyat yang adalah pemilik dari
bumi, air dan segala
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya memperoleh
manfaat yang 
sangat
minimal.

Ikan kita dicuri oleh kapal-kapal asing yang nilainya
diperkirakan 
antara 3
sampai 4 milyar dollar AS. Hampir semua produk
pertanian diimpor. Pasir
kita dicuri dengan nilai yang minimal sekitar 3 milyar
dollar AS. 
Republik
Indonesia yang demikian besarnya dan sudah 57 tahun
merdeka dibuat lima
kali bertekuk lutut harus membebaskan pulau Batam dari
pengenaan pajak
pertambahan nilai setiap kali batas waktu untuk
diberlakukannya 
pengenaan
PPn  sudah mendekat. Semua orang menjadikan tidak
datangnya investor 
asing
menjadi ancaman untuk semua sikap yang sedikit saja
mencerminkan 
pikiran
yang mandiri.

Industri-industri yang kita banggakan hanyalah
industri manufaktur yang
sifatnya industri tukang jahit dan perakitan yang
bekerja atas upah 
kerja
dari para majikan asing dengan laba yang
berlipat-lipat ganda dari upah
atau maakloon yang membuat pemilik industri perakitan
dan industri
penjahitan itu cukup kaya atas penderitaan kaum buruh
Indonesia seperti
yang dapat kita saksikan di film "New Rulers of the
World" buatan John
Pilger. Pembangunan dibiayai dengan utang luar negeri
melalui 
organisasi
yang bernama IGGI/CGI yang penggunaannya diawasi oleh
lembaga-lembaga
internasional. Sejak tahun 1967 setiap tahunnya
pemerintah mengemis 
utang
dari IGGI/CGI sambil dimintai pertanggungan jawan
tentang bagaimana 
dirinya
mengurus Indonesia ? Anehnya, setiap tahun mereka
bangga kalau utang 
yang
diperoleh bertambah. Mereka merasa bangga dapat
memberikan 
pertanggungan
jawab kepada IGGI ketimbang kepada parlemennya
sendiri. Utang dipicu 
terus
tanpa kendali sehingga sudah lama pemerintah hanya
mampu membayar 
cicilan
utang pokok yang jatuh tempo dengan utang baru atau
dengan cara gali 
lubang
tutup lubang. Sementara ini dilakukan terus, sejak
tahun 1999 kita 
sudah
tidak mampu membayar cicilan
pokok yang jatuh tempo. Maka dimintalah penjadwalan
kembali. Hal yang 
sama
diulangi di tahun 2000 dan lagi di tahun 2002. Kali
ini pembayaran 
bunganya
juga sudah tidak sanggup dibayar sehingga juga harus
ditunda 
pembayarannya.

Jumlahnya ditambahkan pada utang pokok yang dengan
sendirinya juga
menggelembung  yang mengandung kewajiban pembayaran
bunga oleh 
pemerintah.
Bank-bank kita digerogoti oleh para pemiliknya
sendiri. Bank yang kalah
clearing dan harus diskors diselamatkan oleh Bank
Indonesia dengan
menciptakan apa yang dinamakan fasilitas diskonto.
Setelah itu masih 
kalah
clearing lagi, dan diselamatkan lagi dengan fasilitas
diskono ke II. 
Uang
masyarakat yang dipercayakan kepada bank-bank dalam
negeri dipakai 
sendiri
oleh para pemilik bank untuk mendanai pembentukan
konglomerat sambil
melakukan mark up. Pelanggaran Legal Lending Limit
dilanggar selama
bertahun-tahun dalam jumlah yang menghancurkan banknya
dengan 
perlindungan
oleh Bank Indonesia sendiri. Maka ketika krisis
ekonomi melanda 
Indonesia
di akhir tahun 1997, terkuaklah betapa bank sudah
hancur lebur.

Kepercayaan masyarakat menurun drastis. Rupiah melemah
dari Rp. 2.400 
per
dollar menjadi Rp. 16.000 per dollar. Dalam kondisi
yang seperti ini
Indonesia yang anggota IMF dan patuh membayar iurannya
menggunakan 
haknya
untuk minta bantuan.

Kita mengetahui bahwa paket bantuan dari IMF disertai
dengan
conditionalities yang harus dipenuhi oleh pemerintah
Indonesia. Namun 
tidak
kita perkirakan semula bahwa isinya demikian tidak
masuk akal dan 
demikian
menekan serta merugikannya. Juga tidak kita perkirakan
pada awalnya 
bahwa
kehadiran IMF di Indonesia menjadikan semua lembaga
internasional 
seperti
CGI, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia bersatu padu
dalam sikap dan
persyaratan di bawah komando IMF. IMF mensyaratkan
bahwa pemerintah
melaksanakan kebijakan dan program yang ditentukan
olehnya, yang 
dituangkan
dalam Memorandum of Economic and Financial Policies
(MEFP) atau lebih
memasyarakat dengan nama Letter of Intent atau LOI.

Bank Dunia setiap tahunnya juga menyusun apa yang
dinamakan Country
Strategy Report tentang Indonesia yang harus
dilaksanakan kalau tidak 
mau
diisolasi oleh negara-negara CGI yang sampai sekarang
setiap tahun
memberikan pinjaman kepada Indonesia. Justru karena
jumlah utang
keseluruhannya sudah melampaui batas-batas kepantasan
dan prinsip
kesinambungan, untuk sementara dan entah sampai kapan
kita tidak dapat
hidup tanpa berutang terus setiap tahunnya kalau kita
tidak mau bahwa
puluhan juta anak miskin kekurangan gizi dan putus
sekolah.

Kalau kita baca setiap LOI dan setiap Country Strategy
Report serta 
setiap
keikut sertaan lembaga-lembaga internasional dalam
perumusan kebijakan
pemerintah, kita tidak dapat melepaskan diri dari
kenyataan bahwa yang
memerintah Indonesia sudah bukan pemerintah Indonesia
sendiri. Jelas 
sekali
bahwa kita sudah lama merdeka secara politik, tetapi
sudah kehilangan
kedaulatan dan kemandirian dalam mengatur diri
sendiri.

Para Hadirin yang terhormat,

Kondisi ini sudah merupakan lingkaran setan yang
disebabkan karena
terjerumusnya pemerintah kita ke dalam lubang yang
disebut jebakan 
utang
atau debt trap. Karakteristiknya adalah yang secara
populer dapat
digambarkan dengan kata "dilematis" atau "maju kena
mundur kena."
Memerintah memang selalu harus memecahkahkan
masalah-masalah dilematis
seperti ini, tetapi masalahnya tidak mendasar,
masalahnya adalah
pilihan-pilihan yang sifatnya teknokratik. Kondisi
dilematis yang kita
hadapi sekarang adalah kehilangan kemandirian dalam
merumuskan 
kebijakan.
Karena itu masalahnya menjadi sangat mendasar, apakah
putera puteri 
terbaik
bangsa kita yang masih belum menjual dirinya untuk
dijadikan kroni atau
komprador dari bangsa-bangsa lain dibenarkan untuk
hanya bertopang 
dagu,
ataukah melakukan terobosan-terobosan untuk keluar
dari situasi dan 
kondisi
yang serba tidak lagi berdaulat dan mandiri.

Hari ini kita berbicara tentang "membangun kekuatan
nasional untuk
kemandirian bangsa." Apa yang tersurat dan tersirat
dari tema pokok 
diskusi
hari ini ? Ada dua hal. Yang satu adalah bahwa kita
memang sama-sama
merasakan atau bahkan meyakini bahwa setelah 57 tahun
merdeka kita 
telah
kehilangan kemandirian. Yang lain adalah bahwa kita
tidak mau 
menerimanya,
sehingga kita merasa perlu membangun kekuatan nasional
untuk 
kemandirian
bangsa. Membangun kekuatan nasional tidak dapat
dilepaskan dari 
semangat
nasionalisme. Pengertian nasionalisme itu memang
dipertanyakan dalam 
dunia
yang sedang dalam arus besar globalisasi. Banyak kaum
teknokrat kita 
yang
mempertanyakan apakah nasionalisme masih relevan
sekarang ini ? Maka
masalah ini akan kami bahas cukup panjang lebar.

Kalau selama penjajahan yang tiga setengah abad
lamanya itu kita 
dihadapkan
pada kekuatan senjata kaum penjajah, yang kita hadapi
sekarang bukanlah
senjata, melainkan pikiran-pikiran yang membuat kita
tidak dapat 
bergerak
secara merdeka. Mengapa ? Bukankah kita negara yang
sudah merdeka dan
berdaulat penuh ? Memang, tetapi kalau kita berani
melanggar
pikiran-pikiran yang dominan atau main stream thoughts
dari masyarakat
internasional, kita dianggap melakukan pelanggaran
kontrak, dianggap
melakukan contract breuk yang harus dihukum dengan
diisolasinya 
Indonesia
dari masyarakat internasional. Beranikah kita
menghadapi isolasi dengan
segala konsekwensinya ? Musuh kita untuk meraih
kembali kemandirian 
bangsa
bukan hanya aturan main yang ditentukan oleh
lembaga-lembaga 
internasional,
tetapi di dalam Indonesia diperkuat oleh sekelompok
elit intelektual 
bangsa
Indonesia yang besar pengaruhnya dalam pembentukan
opini publik, 
betapapun
tidak masuk akalnya pikiran-pikiran mainstream yang
menjelma menjadi
aturan, konvensi, dogma dan doktrin yang bagaikan
sabda Tuhan yang 
mutlak. 

Kita tidak mungkin memperoleh kembali kemandirian
kalau kita tidak 
berani
melakukan terobosan yang inovatif dan kreatif. Inovasi
dan kreativitas
memang selalu harus menerobos penghalang yang sudah
menjadi aturan 
main,
konvensi, dogma dan doktrin. Namun untuk melakukan itu
semuanya ada
biayanya, ada resikonya dalam bentuk kesengsaraan
sementara. Ketika itu
nanti terjadi, adalah para komprador dan kroni bangsa
kita sendiri yang
menghujat dan menakut-nakuti melalui penguasaan dan
pengendalian
pembentukan opini publik. Ini tidak mengherankan.
Dalam setiap zaman 
selalu
ada saja pengkhianat bangsa, komprador dan kroni yang
dengan bangga dan
dengan senang hati menyediakan dirinya untuk melayani
kepentingan
kekuatan-kekuatan global ketimbang membela kepentingan
rakyatnya 
sendiri.
Dalam bidang ekonomi kelompok ini sangat kuat karena
mereka 
berkesempatan
membangun jaringan nasional maupun internasional.
Mereka adalah Mafia
Ekonom Orde Baru. 

Maka untuk meraih kemandirian, kita harus menggalang
kekuatan nasional
untuk melibas atau paling tidak mengkerdilkan pengaruh
Mafia Ekonom 
Orde
Baru itu.
Mereka tidak punya pendirian. Mereka sudah mulai
berpengaruh ketika 
Bung
Karno mendirikan KOTOE. Mereka menjadi pemegang
kendali mutlak selama 
zaman
Orde Baru. Dalam era Gus Dur, mereka melekatkan diri
melalui 
pembentukan
berbagai dewan penasihat, tim asistensi dan sebagainya
yang disponsori 
dan
dipaksakan kepada Gus Dur oleh kekuatan-kekuatan
internasional. Dalam 
era
Megawati sekarang ini, mereka bahkan mengendalikan
banyak Eselon I dan 
II
dari semua departemen dengan Organisasi Tanpa Bentuk
(OTB) yang rapi
bagaikan kabinet. Para angggotanya tidak patuh kepada
Presiden 
Megawati,
tetapi kepada Presidennya sendiri yang dilengkapi
dengan para Menteri 
tanpa
bentuk pula, tetapi de facto yang berkuasa atas
bagian-bagian penting 
dari
birokrasi resmi.

Bagaimana caranya ? Slogan para komprador itu adalah
bahwa nasionalisme
sudah mati dan tidak relevan lagi dengan arus
globalisasi yang semakin 
hari
semakin deras. Doktrin mereka adalah bahwa Indonesia
harus menjadi 
bagian
dari borderless world, tidak boleh memasang pagar
apapun juga untuk
melindungi dirinya sendiri. Sistem lalu lintas devisa
haruslah bebas
mengambang total, BUMN harus dijual kepada swasta,
sebaiknya swasta 
asing,
karena hanya merekalah yang mampu mengurus perusahaan.
Pendeknya
liberalisasi total, globalisasi total, dan asingisasi
total. Slogan
propaganda mereka adalah "Apakah A Seng lebih baik
daripada Asing ?", 
dan
"BUMN minta diinjeksi uang oleh pemerintah, tetapi
perusahaan asing
membayar pajak kepada pemerintah."

Maka dalam rangka membangun kekuatan nasional, yang
pertama harus kita
lakukan adalah menumbangkan doktrin-doktrin anti
nasionalisme yang 
terus
menerus tanpa bosannya harus kita ulangi lagi dan
ulangi lagi. Cara 
inilah
yang diterapkan oleh Bung Karno dalam menggalang
kekuatan nasional. 
Mafia
Ekonom Orde Baru paham betul tentang hal ini. Itulah
sebabnya mereka
mencemooh yang ingin menggalang kekuatan nasional
melalui kampanye atau
pengulangan tentang yang salah dan perbaikannya akan
diperjuangkan 
sebagai
membosankan, tidak mempunyai pokok pembicaraan lain,
sudah kuno, dan
seterusnya.

Marilah kita bahas apakah benar bahwa nasioanlisme
memang sudah mati 
dan
tidak relevan lagi ? Tidak dapat dipungkiri bahwa
tatanan dunia telah
berubah banyak, dan globalisasi adalah hal yang riil.
Namun kalau 
dikatakan
bahwa nasioanlisme sudah mati dan tidak relevan lagi
adalah kesalahan
besar. Lagi-lagi adalah kelompok Mafia Ekonom Orde
Baru yang sangat 
gigih
menyuarakan bahwa  nasionalisme adalah bagaikan katak
dalam tempurung,
hanya dianut oleh orang-ornag kuno yang tidak
berpendidikan dan sudah
sangat ketinggalan zaman tentang bagaimana dunia
bekerja.

Presiden George W. Bush, baik dalam tutur katanya
maupun dalam
simbolisme-nya jelas seorang nasionalis sejati. Setiap
hari dia 
menyematkan
pin bendera Amerika Serikat pada dadanya, hal yang
dilakukan oleh 
banyak
dari para menterinya. Lebih dari itu, Bush
menganjurkan supaya setiap 
orang
Amerika setiap harinya menyematkan bendera Amerika di
dadanya, dan 
hampir
setiap department store menjualnya. Sebaliknya dengan
susah payah saya
mencari pin bendera merah putih di Jakarta dan tidak
berhasil dengan
kwalitas yang baik. Akhirnya saya membelinya dari
Amerika melalui 
internet.

Sekarang dengan mengacu pada pengalaman di tahun 1942,
semua majalah di
Amerika dianjurkan untuk memasang bendera Amerika pada
cover-nya.
Kata-katanya adalah : "July 1942 United we stand. In
July 1942, 
America's
magazine publishers joined together to inspire the
nation by featuring 
the
American flag on their covers. Be inspired." Bagaimana
Mafia Ekonom 
Orde
Baru ? Beranikah Anda menghujat Amerika sebagai
ketinggalan zaman, 
katak
dalam tempurung, tidak mengerti globalisasi dan
seterusnya ?

Pada tanggal 18 Maret 2002 Uni Eropa berkumpul di
Barcelona
menyelenggarakan konperensi tingkat tinggi yang
kesimpulannya penuh 
dengan
nasionalisme Eropa. Memang sudah bukan negara-negara
Eropa secara
individual, tetapi menjadi Uni Eropa. Jelas sekali
semangat kebangkitan
kembali nasioanlisme Eropa yang terang-terangan
membandingkan dirinya
dengan Amerika Serikat dengan semangat yang tidak mau
kalah. Kita tidak
perlu mengemukakan fakta-fakta betapa Malaysia, Jepang
dan RRC tidak 
pernah
tidak nasionalistis.

Jauh sebelum itu, Edith Cresson sebagai Menteri
Perdagangan Perancis
membeli paberik elektronik Thomson dengan teknologi
primitif untuk
dijadikan BUMN. 
Paberik ini dibeli dan dijadikan BUMN karena kalah
bersaing dengan 
Jepang
dan mengalami kerugian besar. Ketika ditanya oleh
parlemen Perancis
mengapa, karena tidak menguasai hajat hidup orang
banyak, dijawab bahwa 
dia
tidak bisa melihat pasaran cosumers electronics
Perancis di dominasi 
oleh
Jepang.

Bukankah ini nasionalisme ? Ataukah harus dikatakan
bahwa parlemen 
Perancis
adalah katak dalam tempurung ?

Philips membeli Grundig yang adalah saingannya dan
hampir bangkrut. 
Ketika
saya tanyakan langsung kepada Prof. Dekker, Komisaris
Utama Philips dia
menjawab bahwa dia tidak bisa menerima pasaran
elektronik Jerman 
didominasi
oleh Jepang.

Ketika Hollywood dibeli oleh Sony, Sony dibuat
bangkrut oleh para artis
yang menandatangani kontrak dan terang-terangan tidak
muncul ketika 
harus
dibuat filmnya. Mereka menantang Sony supaya semua
artis dituntut. 
Apakah
sikap ini bukan nasionalisme Amerika ? Dan apakah ini
nasionalisme 
sempit ?

Ketika IMF menekan kami untuk membebaskan bea masuk
beras dan gula 
sampai
nol persen, Eropa, Amerika dan Jepang memberlakukan
bea masuk yang 
tinggi
untuk produk-produk pertanian demi melindungi para
petaninya. Apakah 
itu
bukan nasionalisme, yang bahkan sangat tidak adil dan
mau menangnya 
sendiri
?

Dengan mengatakan ini saya menjalani resiko disebut
kampungan, karena 
hanya
dapat menyebutkan fakta-fakta dari negara lain, tetapi
tidak mempunyai 
daya
nalar untuk menjelaskan mengapa nasionalisme masih
relevan dalam era
globalisasi yang semakin dipicu oleh revolusi micro
chips dan revolusi
telekomunikasi yang masih belum berakhir ?

Mungkin saya kampungan. Namun izinkanlah saya memeras
otak mencoba 
memahami
fenomena yang sedang berlangsung tanpa memusnahkan
bangsa sendiri, dan
tanpa membuat bangsa kita menjadi kuli di negaranya
sendiri dan menjadi
bangsa kuli dari bangsa-bangsa lainnya di dunia.

Bersanbung kebag. 2/3



=====
Milis bermoderasi, berthema 'Mencoba Bicara Konstruktif Soal Indonesia', rangkuman posting terpilih untuk ikut berpartisipasi membangun Indonesia Baru, Damai, dan Sejahtera. http://nusantara2000.freewebsitehosting.com/index.html
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Yahoo! Finance - Get real-time stock quotes
http://finance.yahoo.com