[Nusantara] KKG: MEMBANGUN KEKUATAN NASIONAL UNTUK KEMANDIRIAN BANGSA bag. 2/3

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Mon Aug 26 06:39:18 2002


"akang" <garuda9876@yahoo.com>
 KKG: MEMBANGUN KEKUATAN NASIONAL UNTUK KEMANDIRIAN
BANGSA bag. 2/3 
 23 Aug 2002 22:55:14 +0200 
         
 MEMBANGUN KEKUATAN NASIONAL UNTUK KEMANDIRIAN BANGSA
bag. 2/3

Oleh Kwik Kian Gie

Para Hadirin Yth.,

Tadi telah saya katakan bahwa kita tidak mungkin
membangun kekuatan
nasional tanpa dilandasi oleh semangat nasionalisme,
karena semangat
nasionalisme itulah yang merupakan ruhnya kekuatan
nasional. Tetapi
nasionalisme itu sendiri sekarang di persimpangan
jalan. Maka marilah 
kita
berupaya memperoleh kejelasan terlebih dahulu tentang
hal ini.

Memang harus diakui bahwa walaupun kita telah merdeka
57 tahun lamanya,
pengertian dan penghayatan nasionalisme oleh banyak
orang, dibawah 
sadarnya
masih banyak didominasi oleh nasionalisme pra
kemerdekaan, baik yang
membela maupun yang menentangnya, termasuk Mafia
Ekonom Orde Baru. 
Karena
itulah Mafia Ekonom Orde Baru tidak dapat membayangkan
adanya perasaan
nasionalisme yang dapat bersinergi dengan globalisasi.
Nasionalisme pra
kemerdekaan fokusnya sederhana dan tunggal, yaitu
menumbangkan resim
kolonial untuk menjadi negara yang merdeka dan
berdaulat. Apakah 
founding
fathers kita tidak pernah memikirkan apa yang harus
dilakukan oleh 
bangsa
Indonesia setelah memperoleh kemerdekaannya, serta apa
tujuan yang 
lebih
lanjut dari sekedar merdeka secara politik ? Kalau
kita mempelajari 
sejarah
perjuangan kemerdekaan bangsa kita, jelas sekali
jangakauan pemikiran 
para
founding fathers kita yang sangat luas dan jauh
kedepan. Bung Hatta 
sendiri
merupakan monumen dalam pemikiran pembangunan ekonomi.
Tetapi karena
perjuangan kemerdekaan itu sendiri adalah perjuangan
yang panjang dan
sangat berat, fokus segala pemikiran dan upaya memang
seolah-olah hanya
terpusat pada kemerdekaan politik belaka. Kemudian
setelah kita 
merdeka,
kita langsung dihadapkan pada masalah bagaimana
mempertahankan 
kemerdekaan
sebagai nation state yang kokoh dan bersatu padu.
Segala pemikiran dan
upaya disedot oleh pemahaman dan penghayatan negara
bangsa, atau oleh
nation and character building. Yang saya rasakan,
betapa sedikitnya
generasi saya (apalagi generasi muda sekarang) yang
memahami dan 
menghayati
betapa sulitnya menempa penduduk negara kepulauan kita
menjadi satu 
bangsa
kesatuan, terutama setelah dijajah dengan politik
divide et empera 
selama
3,5 abad.

Kurangnya penghayatan inilah yang membuat banyak di
kalangan elit kita
mencemooh Bung Karno sebagai diktator demagoog yang
hanya pandai 
mengombang
ambingkan sentimen massa dengan retorikanya yang
kosong dan keblinger,
tetapi tidak becus mengurus perekonomian negaranya.
Namun banyak juga 
yang
bisa melihat sisi lain dari periode kepemimpinannya,
yaitu panggilan
sejarah untuk memimpin  di dalam sebuah periode
pembentukan persatuan 
dan
kesatuan negara bangsa yang baru saja merdeka, tetapi
bangsa yang 
sangat
pluralistik dengan kepulauannya, yang selama 3,5 abad
dijajah dengan 
cara
divide et empera tadi. Maka bagi saya, periode antara
1945 sampai 1966
adalah periode perjuangan keras dan sulit, melalui
segala trial and
errors-nya untuk tiba pada pembentukan nasion dan
karakter bangsa 
dengan
negara kesatuan yang mengenal sistem kabinet
presidensiil, yang 
terobsesi
terhadap pengambilan keputusan secara musyawarah dan
mufakat, tetapi 
tidak
mengharamkan pemungutan suara kalau alternatifnya
adalah tanpa 
keputusan
atau kekalutan.

Dan karena itu, menjadi negara bangsa yang
demokrasinya bisa 
menghindari
diktatur mayoritas dan tirani minoritas. Bangsa yang
tidak menganut 
faham
bahwa konsensus nasional adalah 50 % ditambah 1.
Bangsa yang secara 
moril
melalui obesesi musyawarah mufakat selalu mendengarkan
dan mencoba
meyakinkan minoritas sampai habis-habisan sebelum
mengambil jalan 
pintas
melalui pemungutan suara. Bangsa, yang partai
mayoritasnya tidak
meninggalkan ruang sidang untuk ke WC atau minum kopi
selama partai
minoritas berbicara, dan hanya masuk untuk menolak
segala usulannya. 
Tetapi
bangsa yang mayoritasnya terobsesi untuk mencapai
keputusan secara
musyawarah dan mufakat, sehingga mendengarkan dan
menanggapi minoritas
secara sungguh-sungguh, walaupun minoritasnya hanya
10% saja. 
Pembentukan
bangsa bercirikan pluralistik yang mempunyai satu
bahasa nasional. 
Bangsa
dengan toleransi beragama yang sulit dicari duanya.
Masih segar di 
dalam
ingatan kita keinginan Quebec di Kanada untuk
memisahkan diri karena
kesatuan bahasa mereka yang lain dengan bagian-bagian
lain dari Kanada,
yaitu Perancis versus Inggeris. Masih kita saksikan
sampai sekarang 
betapa
bangsa Irlandia yang letaknya di Eropa Barat itu masih
saling membunuh
karena perbedaan agama. Masih segar juga di ingatan
kita betapa bangsa
Belgia yang sekecil itu dan juga terletak di Eropa
Barat masih saling
membunuh karena perbedaan bahasa di kalangan mereka.
Kalau kita 
tempatkan
kondisi kita dalam perspektif ini, sia-siakah periode
antara 1945 dan 
1966
yang diwarnai oleh pergulatan keras dan tampak
semerawut itu untuk
pembentukan nasion dan karakter ? Dan apakah itu bukan
nasionalisme 
yang
masih besar dampak poistifnya sampai hari ini ? Bung
Karno juga 
dicemooh
sebagai orang yang suka gemerlapan, suka terhadap
proyek-proyek mercu 
suar.

Yang dijadikan ajang ejekan ketika itu adalah
pembangunan Hotel 
Indonesia,
Tugu Monumen Nasional dan jalan-jalan raya Thamrin,
Jenderal Sudirman,
Jenderal Gatot Subroto, bypass ke Tanjung Priok dan
sebagainya. Tetapi
begitu berkuasa, para pengejek itu langsung saja
membangun 
proyek-proyek
yang jauh lebih banyak dan jauh lebih megah daripada
era Bung Karno.
Kantor-kantor pemerintah dibangun sebagai
gedung-gedung pencakar langit
yang sangat mewah, walaupun dibiayai dengan utang.
Sebaliknya, dapatkah
kita membayangkan apa jadinya Jakarta sekarang tanpa
jalan-jalan 
tersebut ?
Dalam waktu singkta, jalan-jalan yang dinamakan mercu
suarnya Bung 
Karno
itu menjadi macet, dan para teknokrat Mafia Ekonom
Orde Baru merasa
wajar-wajar dan sah-sah saja membangun jalan tol yang
dimonopoli oleh 
Ibu
Tutut Soeharto. Bisakah kita membayangkan bagaimana
Jakarta tanpa Hotel
Indonesia sebelum munculnya hotel-hotel berbintang
lainnya ? Hotel
Indonesia juga menjadi kerdil dalam waktu singkat, dan
para teknokrat 
Mafia
Ekonom Orde Baru itu merasa wajar-wajar dan sah-sah
saja bahwa kredit 
dalam
jumlah raksasa dipakai untuk mendanai pembangunan
hotel-hotel 
mentereng,
terutama Hotel Grand Hyatt dengan serampangan yang
akhirnya menjadi 
macet
semuanya.

Setelah semua bank rusak, para teknokrat Mafia Ekonom
Orde Baru juga 
merasa
normal-normal saja bahwa pemerintah menginjeksi dengan
surat utang yang
berpotensi membengkak sampai menjadi kewajiban
membayar dengan jumlah
ribuan trilyun rupiah. Mengapa ? Karena IMF menganggap
wajar. Dengan
mengemukakan ini semuanya, saya hanya ingin
mengingatkan betapa 
tipisnya
apresiasi dan penghayatan kita terhadap perspektif
sejarah dari
nasionalisme, yang dari periode ke periode mempunyai
panggilan zamannya
sendiri-sendiri, yang membutuhkan gaya kepemimpinan
yang 
sendiri-sendiri
pula, dan yang mempunyai prioritasnya sendiri-sendiri
pula, karena
keterbatasan kita sebagai manusia untuk melakukan
segalanya seketika.

Bagi saya, periode antara 1945 sampai 1966 adalah
periode pembentukan
negara bangsa yang produktif dan telah menghasilkan
kehidupan bernegara 
dan
berbangsa seperti yang saya gambarkan tadi. Eksesnya
ada, tetapi zaman 
apa
yang tidak membawa ekses ? Periode ini adalah tahap
akhir dari 
nasionalisme
lama.

Dengan nasion seperti itu sebagai landasan, kita
memulai periode baru 
di
tahun 1966 dibawah kepemimpinan Pak Harto. Periode ini
bercirikan
pembangunan ekonomi secara pragmatik dan teknokratik.
Stabilitas 
sebagai
syarat mutlak bagi pembangunan ekonomi yang
berkesinambungan diserahkan
kepada ABRI. Strategi pembangunan diserahkan kepada
kaum teknokrat yang
berintikan para cendekiawan dari Universitas
Indonesia. Kekalutan 
moneter
ditanggulangi dengan terbosoan-terobosan sanering uang
panas. Inflasi 
yang
600% diturunkan sampai pada proporsi yang wajar
melalui penarikan uang
dengan insentif pemutihan modal dan bunga deposito
yang sampai 60% 
setahun.

Hubungan dengan lembaga-lembaga internasional dan
dengan negara-negara
Barat yang membeku dibuka kembali, yang memungkinkan
mengalirnya 
bantuan
luar negeri dan investasi modal asing. Berbagai
insentif bagi penanaman
modal, baik asing maupun dalam negeri diberikan,
seperti yang tertuang 
di
dalam undang-undang PMA dan PMDN. Hasilnya
menjakjubkan. Angka-angka
statistik mengenai pertumbuhan meyakinkan, sedangkan
secara fisik dapat
kita saksikan, bahwa praktis tidak ada lagi jalan yang

berlubang-lubang.
Sandang dan pangan serba cukup kalau dibandingkan
dengan situasi tahun
1965-1966.  Di kota-kota kecil dan pedesaan kita
saksikan kemakmuran 
dan
kesejahteraan yang mencolok kalau dibandingkan dengan
tahun 1965-1966. 
Di
perkotaan, terutama di Jakarta, asalkan kita tidak
memasmuki 
daerah-daerah
kumuh, kita tidak merasa berada di negara yang sedang
berkembang.
Jalan-jalan macet dengan mobil yang harganya ratusan
juta sampai 
milyaran
rupiah. Para entrepreneur dan eksekutif berlalu lalang
di 
restoran-restoran
dan hotel-hotel termahal yang harganya dicantumkan
dalam US $, dan 
tidak
kalah mahal dengan negara-negara maju.

Indonesia yang mengenal sistem lalu lintas devisa
bebas dan membuka 
pintu
lebar-lebar terhadap modal asing memang terkait erat
dengan intensifnya
sebuah gejala yang kita kenal dengan globalisasi.
Seorang eksekutif 
dari
perusahaan transnasional garmen di New York yang
mengendalikan
perusahaannya di seluruh dunia melalui tilpun,
facsimile, computer dan
modemnya, lebih tergantung pada para perancangnya yang
ada di Itali, 
para
akhli marketingnya yang ada di Paris, para pemasok
mesin yang ada di 
Jepang
dan para konglomerat eksportir tukang jahit yang ada
di Jakarta, 
daripada
perusahaan-perusahaan yang ada di tetangganya di New
York. Banyak dari
wiraswasta kita yang lebih tergantung pada sumber dana
dan pasar
internasional daripada sumber dana dan pasar domestik.
Banyak usahawan 
kita
yang bermitra dengan perusahaan-perusahaan atau para
hartawan
internasional, yang beraneka ragam tingkat
kemandiriannya di dalam
perusahaan patungan itu.
Perusahaan transnasionalnya merasa dia lihay karena
bisa menggunakan 
orang
sangat ternama menjadi kompradornya. Sebaliknya orang
Indonesia yang
bersangkutan sangat bangga, bahwa dia bisa menjadi
kaya tanpa modal dan
tanpa konsep, asalkan nurut saja dengan keinginan
mitra asingnya. 
Mereka
berpendidikan Barat, bisa bergaul dan berbahasa
Inggeris dengan fasih.
Perilaku dan tata nilainya mengenai apa yang sopan dan
apa yang tidak 
sopan
sudah Barat. Basa basi dan humornya sudah Barat. Dia
adalah kosmopolit 
yang
universal. Di luar negeri, terutama di negara-negara
maju dan kaya, dia
mempunyai villa yang mentereng dan mobil yang mahal.

Dalam suasana seperti ini lalu muncul kelompok cukup
berpengaruh yang 
mulai
beranggapan bahwa nasionalisme sudah mati.
Nasionalisme adalah mencapai
kemerdekaan politik. Urusan mempertahankan kemerdekaan
supaya tidak di
aneksasi oleh negara lain adalah urusan ABRI yang
mereka gaji melalui
pembayaran pajak. Urusan keamanan dan kententeraman
adalah urusan 
polisi
yang juga mereka gaji melalui pembayaran pajak.
Demikian juga dengan 
para
birokrat yang menjaga, supaya kehidupan ini menjadi
nyaman, tenteram 
dan
damai, supaya mereka bisa berkiprah secara kontinu.
Ya, itu semuanya
diakui. Tetapi terkadang dirasakan menjengkelkan
karena memeras. Maka 
kalau
perlu, digantilah fungsi douane dengan SGS.

Tetapi mereka adalah kelompok kosmopolit yang
universal. Mereka yang
mengendalikan arus barang, arus jasa dan arus uang
yang tidak mengenal
batas-batas negara. Merekalah yang membangkitkan
pendapatan dengan 
jaringan
nasional maupun jaringan internasionalnya. Mereka yang
mengalami setiap
menit, bahwa uang tidak mengenal batas-batas negara.
Negara bangsa 
adalah
mesti, karena biasanya memang harus ada, walaupun
nyatanya batas-batas
politiknya pun bisa berubah-ubah seperti yang sedang
terjadi di Eropa, 
baik
Barat maupun Timur. Negara bangsa atau nation states
mempunyai 
kehidupannya
sendiri, sedangkan satuan-satuan produksi, distribusi
dengan jaringan
internasionalnya adalah corporate states yang
batasan-batasannya tidak 
sama
dengan batasan-batasan wilayah geografis dan politik.
Karena itu, bagi
mereka nation states haruslah berfungsi dan bersifat
melayani corporate
states, harus ondergeschikt pada corporate states.

Mereka heran apabila dalam zaman seperti ini masih ada
orang yang 
betreriak
nasionalisme dan patriotisme. Apa yang mau dijadikan
sasaran
patriotisme-nya ?

Walaupun ada, dan bahkan cukup banyak dan cukup besar
lobi dan 
pengaruhnya
dari kelompok yang baru saya gambarkan tadi, tetapi di
tengah-tengah 
bangsa
kita toh masih ada yang berpendapat dan berkeyakinan
bahwa nasionalisme 
dan
patriotisme masih relevan. Saya termasuk kelompok ini.
Maka menjadi 
menarik
apa argumentasinya ? Punyakah kita argumentasi yang
sekuat argumentasi
mereka ? Bukankah kaum nasionalis di zaman sekarang
orang-orang kerdil,
sempit seperti katak di dalam tempurung ? Perlukah
manusia merasa 
mempunyai
ikatan sebagai bangsa, kalau dunia ini sudah terkait
dengan komunikasi 
dan
transparansi yang demikian intens-nya ? Memang manusia
selalu 
membutuhkan
kelompok. Tetapi bukankah kelompok ini diikat dengan
kepentingan materi
melalui uang yang konvertibel di seluruh dunia ?
Bukankah kesetiaan 
kita
yang relevan adalah kesetiaan kepada coprorate
state-nya masing-masing 
yang
bisa mempunyai markas besar di mana saja atas dasar
pehitungan untung 
rugi
materialistik dan pragmatik ?

Kalau memang ada ikatan dalam rangka negara bangsa
atau nation state 
yang
bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan
meyakinkan, itulah
nasioanlisme baru yang bisa menjawab tantangan zaman
sekarang. Adakah 
itu ?

Bagaimana gambarannya, apa bentuknya dan apa
argumentasinya ? Marilah 
kita
telusuri.

Izinkanlah saya memulai dengan dialog dalam kampanye
pemilu yang untuk
pertama kalinya saya alami di dalam hidup saya, yaitu
di bulan Maret 
tahun
1987 di Petak Sinkiang, Jakarta. Ketika kepada massa
saya tanyakan, 
kalau
saya hidup di dalam keluarga yang sangat rukun dan
harmonis, apakah 
berarti
kita memusuhi keluarga tetangga kita ? Massa menjawab
serentak dengan
"tidaaak". Lalu saya tanyakan lagi, kalau satu RT
sangat rukun, saling
membantu dan harmonis, apakah RT itu mesti bermusuhan
dengan RT lainnya 
?
Dijawab lagi "tidaaak". Karena dalam rangka kampanye,
lalu saya 
tanyakan
lagi, apakah kalau warga PDI bersatu padu, memperkuat
diri, memperbaiki
diri, saling asah, asih dan asuh, apakah dengan
sendirinya bermusuhan
dengan PPP dan GOLKAR ? Dijawab lagi dengan "tidaaak".
Saya bertanya 
lagi,
bagaimana kalau partai politik, RT, RW dan keluarga
kita bubarkan saja,
karena toh tidak relevan ? Dengan serentak dijawab
lagi : "tidaaak".
Setibanya di rumah saya merenung, mengapa saya
tanyakan yang terakhir,
yaitu apakah tidak lebih baik dibubarkan saja kalau
tidak berhadapan 
dengan
musuh bersama ? Saya tiba pada kesimpulan, bahwa di
bawah sadar, saya
ternyata kerdil, karena saya hanya melihat manfaat
pembentukan kelompok
kalau menghadapi musuh. Saya tidak melihat bahwa
pembentukan kelompok 
yang
mempunyai kesamaan, apapun kesamaan itu, ternyata
mempunyai daya 
sinergi
untuk membangkitkan hal-hal yang baik dan berguna bagi
umat manusia. 
Tetapi
massa yang "bodoh" itu, secara naluriah ternyata
pandai. Maka mereka
berpendapat, bahwa walaupun tidak ada musuh,
pembentukan kelompok tetap
perlu, tetap tidak perlu dibubarkan. Berlakukah opini
yang demikian itu
bagi negara bangsa ?

Maka yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, apakah
negara bangsa yang
sudah tidak mempunyai musuh penjajah lagi masih
berguna ? Apakah negara
bangsa yang kecuali tidak dijajah, juga semakin lama
semakin tidak
mempunyai perbedaan ideologi lagi dengan bangsa-bangsa
lainnya, masih
relevan dipertahankan ? Beberapa entrepreneur dan
eksekutif tadi 
mengatakan
masih perlu, tetapi hanya untuk menjaga ketertiban,
menjaga keamanan 
dan
keselamatan bagi dirinya, serta membangun infra
struktur yang 
dibutuhkan
oleh corporate state-nya. Maka baginya, nation state
haruslah tunduk 
dan
hanya melayani corporate state yang mereka miliki dan
kendalikan. 

Tadi telah saya katakan bahwa saya bukan penganut
faham yang demikian. 
Saya
tetap yakin, bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang
selalu 
membutuhkan
identifikasi dengan kelompok yang mempunyai
kesamaan-kesamaan tertentu.
Kesamaan yang paling mendasar adalah kesamaan senasib
sepenanggungan 
dan
atas dasar ini mempunyai kehendak membentuk negara
bangsa. Kelompok 
sebagai
bangsa selalu mempunyai naluri mengambil nilai tambah
dari bangsa 
lainnya.
Caranya yang paling primitif adalah peperangan fisik,
saling 
memusanahkan
dan saling menghalau, supaya memperbesar lahan
nafkahnya.
Peperangan-peperangan yang demikian adalah
peperangan-peperangan kecil 
dari
suku-suku primitif atau tribeswar. Dalam bentuknya
yang sudah lebih 
modern
lagi, negara bangsa yang lebih kuat menaklukkan dan
menjajah bangsa 
lainnya
dengan senjata. Tujuan akhirnya adalah melakukan
penghisapan nilai 
tambah
dari negara yang terjajah. Maka kolonialisme menjadi
mode di mana-mana 
di
seluruh penjuru dunia, dan kita menjadi korban Belanda
selama 3,5 abad.
Dengan dimensi yang lebih modern dan lebih besar lagi,
Jerman Nazi di
belahan Eropa dan Jepang di belahan Asia Timur ingin
menundukkan
bangsa-bangsa di sekitarnya untuk mengambil nilai
tambah dari seluruh 
Eropa
bagi Jerman dan di seluruh Asia Timur Raya bagi
Jepang. Jepang, bahkan
ingin melebarkan sayapnya lagi ke Pasifik dengan
menggempur Pear 
Harbour. 
Berkecamuklah Perang Dunia ke II yang diakhiri dengan
bom atom yang
dahsyat. Setelah itu, terbentuk
pengelompokan-pengelompokan antar 
negara
dengan blok-blok superpowers, NATO dan Pakta Warsawa,
masing-masing 
dibawah
pimpinan Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Mereka mulai
melakukan 
perlombaan
persenjataan. Tetapi senjatanya sudah bukan bom atom
lagi, melainkan 
yang
lebih dahsyat lagi, yaitu bom dan rudal nuklir. Kalau
sampai senjata 
itu
dipakai di dalam pertempuran dengan skala global, akan
musnahlah semua
kehidupan di bumi ini. Jepang dan Jerman yang
dikalahkan dalam perang 
dunia
ke II nampaknya yang paling jeli mengenali, bahwa
pengambilan nilai 
tambah
dari bangsa lain tidak bisa lagi dilakukan dengan
senjata. Karena
senjatanya sudah nuklir dengan daya musnah yang sangat
dahsyat, 
pengambilan
nilai tambah melalui penjajahan dengan senjata yang
mengundang 
peperangan
nuklir tidak akan terjadi. Tidak akan terjadi, karena
manusia juga
mempunyai naluri mempertahankan diri. Maka Jepang dan
Jerman, tetapi
terutama Jepang yang paling mengerti dan segera
mempraktekkan bahwa
pengambilan nilai tambah dari bangsa-bangsa lain
memang tidak berbeda
dengan peperangan antar bangsa, tetapi senjatanya
harus diganti dengan
senjata teknologi dan manajemen.
Divisi-divisi militernya harus diganti dengan
perusahaan-perusahaan
transnasional. Kegiatan intelijen sangat penting,
tetapi yang dicuri
sekarang adalah rahasia membuat micro chips, dan
mencuri teknologi 
paling
canggih.

Mereka membuat dirinya unggul dalam produksi,
distribusi, dalam 
pemenuhan
kebutuhan manusia seluruh jagad, dan melalui cara ini
selalu sangat 
jeli
dan tajam menggait nilai tambah yang
setinggi-tingginya. Caranya sangat
beragam disesuaikan dengan situasi dan kondisi negara
bangsa yang 
sedang
"dikerjain". Yang masih primitif dijadikan ajang
mencari bahan baku dan
pasaran bagi barang jadinya. Yang lebih canggih
disuruh menjadi tukang
jahit. Yang buruhnya masih murah dimasuki dalam bentuk
merelokasi
industrinya yang di negaranya sendiri sudah usang.
Kalau sudah sangat
canggih seperti Eropa Barat dan AS dimasuki dengan
investasi langsung,
membeli real estate, membeli salah satu studio
terbesar di Hollywood, 
dan
seterusnya dan sebagainya. Caranya bermitra juga
sangat luwes. Yang 
bisa
dijadikan komprador boneka ya dijadikan kopmrador.
Yang agak pandai dan
ingin mempunyai suara sedikit dalam pengambilan
keputusan ya dijadikan
eksekutif sesuai kemampuannya. Tetapi selalu
didasarkan atas 
perhitungan
yang tajam. Senjatanya, sekali lagi, adalah manajemen
dan teknologi.

Maka tidak tertutup kemungkinan bahwa nilai tambah
yang diraih dari
negara-negara terbelakang oleh negara-negara maju
sangat besar. Mungkin
sekali jauh lebih besar daripada ketika menjajah model
kuno zaman 
kolonial
abad ke 18.

Tetapi di dalam penampilannya ada perbedaan yang
sangat besar. Kalau 
dulu
yang terjajah merasa sangat dihina, merasa sakit dan
juga secara materi
merasa sengsara. Sekarang lain lagi. Yang dijajah
adalah negara yang 
sudah
merdeka dan berdaulat. Elit yang berkuasa tidak merasa
dihina. Mereka
menjadi kaya dan mentereng karena korupsi, walaupun
pada hakekatnya 
adalah
komprador suruhannya belaka. Tetapi kalau yang menjadi
suruhan didukung
oleh pemerintah dari negara yang merdeka, dan toh bisa
menjadi kaya 
raya,
dan dengan kekayaannya ini lalu bisa sangat bergaya di
negaranya 
sendiri
maupun di mana saja di seluruh penjuru dunia,
penggaitan nilai tambah 
yang
demikian bisa dirasakan sangat nyaman oleh yang sedang
di eksploitasi.

Bersambung kebag. 3/3



=====
Milis bermoderasi, berthema 'Mencoba Bicara Konstruktif Soal Indonesia', rangkuman posting terpilih untuk ikut berpartisipasi membangun Indonesia Baru, Damai, dan Sejahtera. http://nusantara2000.freewebsitehosting.com/index.html
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Yahoo! Finance - Get real-time stock quotes
http://finance.yahoo.com