[Nusantara] KKG: MEMBANGUN KEKUATAN NASIONAL UNTUK KEMANDIRIAN BANGSA bag. 3/3
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Mon Aug 26 11:12:31 2002
"akang" <garuda9876@yahoo.com>
KKG: MEMBANGUN KEKUATAN NASIONAL UNTUK KEMANDIRIAN
BANGSA bag. 3/3
23 Aug 2002 22:58:13 +0200
MEMBANGUN KEKUATAN NASIONAL UNTUK KEMANDIRIAN BANGSA
bag. 3/3
Oleh Kwik Kian Gie
------------------------------------------------------------------------------
Dari uraian tadi jelas, bahwa percaturan dunia
diwarnai oleh hubungan
antar
negara yang semuanya sudah merdeka secara politik,
menyempitnya
perbedaan
ideologi antar negara, sedang berlangsungnya proses
regionalisasi
negara
bangsa di mana-mana, menciptakan
pengelompokan-pengelompokan baru atas
pertimbangan yang lebih banyak di dominasi oleh
pertimbangan ekonomnis,
tetapi di motori oleh semangat nasioanlisme baru
dengan daerah
geografis
yang lebih luas.
Nasionalisme baru adalah nasionalisme yang mengenali
dengan tajam
interaksi
antarbangsa zaman sekarang dan mampu mengantisipasi
perkembangannya.
Maksudnya tidak hanya memantau sambil menutup dirinya,
tetapi ikut
bermain
di dalam percaturan dan interaksi antar bangsa di
dunia. Namun
orientasi
dari pengenalan dan kewaspadaan ini bukan untuk
kemakmuran orang
seorang,
melainkan untuk seluruh bangsanya seadil mungkin.
Semanagt nasioanlisme
baru dalam menciptakan dan merebut nilai tambah tidak
mau kalah dengan
bangsa lain, tetapi tidak melalui penutupan diri,
melainkan melalui
semangat saling mengungguli.
Dengan demikian, seorang nasionalis baru adalah orang
yang menghitung
dengan tajam dan enggan menerima tawaran menjadi
komprador mitra dagang
asing, kalau dari perhitungannya dia tahu bahwa nilai
tambah secara
tidak
adil dan tidak seimbang lebih menguntungkan mitra
asingnya daripada
bangsanya.
Seorang nasionalis baru adalah orang yang merasa
sangat terganggu
ketika di
luar negeri menyaksikan alangkah kalahnya negaranya
sendiri dalam
segala
bidang, dalam kemakmuran, dalam penguasaan teknologi
dan manajemen,
dalam
kebersihan, dalam keadilan sosialnya, dan
menterjemahkan rasa malu itu
ke
dalam semangat tidak mau kalah dan ingin mengejar
ketinggalannya. Orang
yang bukan nasionalis baru adalah orang yang ketika
menyaksikan
semuanya
itu lalu berkeinginan menetap saja di luar negeri,
atau tidak menetap,
tetapi membeli rumah, mobil, minta izin tinggal,
supaya dari waktu ke
waktu
bisa menikmati kemakmuran negara lain itu, dan
memikirkan bagaimana dia
bisa meningkatkan kemakmurannya di luar negeri yang
sudah nyaman dengan
menggait nilai tambah dari negaranya sendiri, kalau
perlu hanya sebagai
komprador saja. Seorang nasionalis baru ketika
mengunjungi paberik
langsung
melakukan catatan-catatan dan pemotretan-pemotretan
dengan semangat
ingin
meniru membuat barang. Orang yang bukan nasionalis
baru hanya
berkeinginan
memilkiki produk untuk konsumsinya sendiri supaya bisa
lebih bergaya.
Seorang yang bukan nasionalis baru tanpa perasaan
terganggu memakai
barang
mewah buatan luar negeri dengan bangganya, sedangkan
nasionalis baru
juga
memakainya, tetapi selalu diliputi perasaan penasaran
mengapa bangsanya
tidak bisa membuat barang yang sama. Seorang yang
bukan nasionalis baru
mau
saja bermitra dengan perusahaan asing untuk menggait
nilai tambah bagi
si
asing tanpa perasaan terganggu. Seorang nasionalis
baru mungkin juga
melakukan dan berbuat yang sama, tetapi selalu
diganggu oleh perasaan
penasaran, mengapa dia tidak bermitra juga dengan
perusahaan asing di
negara si asing juga, supaya sama derajatnya. Seorang
nasionalis baru
berusaha keras supaya memperlakukan para akhli
Indonesia sama dan
sederajat
dalam perlakuan, dalam kepercayan dan dalam penggajian
dengan para
akhli
asing, asalkan pendidikannya di sekolah yang sama di
luar negeri, dan
pengetahuan yang dimilikinya maupun kepandaiannya
sama. Seorang yang
bukan
nasionalis baru cenderung masih dilekati oleh jiwa
yang terjajah, yang
selalu lebih menghargai para akhli asing, terutama
yang bule, walaupun
pilihan yang dihadapinya, yang bangsanya sendiri juga
tamatan dari
sekolah
yang sama, dan bisa menunjukkan bahwa dia paling
sedikit sama
pandainya,
sama pengalamannya, dan lebih mengenal Indonesia
daripada para akhli
asing
itu.
Karena nasionalisme baru begitu terkait dengan
interaksi bangsa-bangsa
lain, ekspor memegang peranan penting. Kalau kita
analisa
tahapan-tahapan
kemampuan sesuatu bangsa dalam ekspor, bisa kita
bedakan sebagai
berikut :
1. Mengekspor barang buatannya sebagai "tukang jahit".
Design,
spesifikasi,
cara membuatnya, mesin-mesinnya, prosedur produksi dan
administrasinya,
bahan bakunya, semuanya ditentukan oleh perusahaan
asing yang akan
menampung produknya untuk dipasarkan di luar negeri.
Merk juga harus
memakai merk dari prinsipal. Untuk jasanya, mitra
Indonesia yang
"tukang
jahit" ini memperoleh imbalan sekedarnya. Biasanya
sangat kecil.
Tetapi dari bekerja sebagai "tukang jahit" ini, dia
menguasai
pengetahuan
dan ketrampilan untuk membuat produk yang eksak sama.
Maka dia mulai
meningkatkan dirinya ke dalam tahapan yang berikutnya,
yaitu
2. Membuat barang yang eksak sama, tetapi memakai
merknya sendiri.
Dengan
demikian ternyata bahwa harga pokoknya jauh lebih
rendah dari harga
yang
dijual di luar negeri dengan merk prinsipalnya. Jadi
dia sekarang sudah
bisa membuat barang yang kwalitasnya eksak sama,
tetapi dengan memakai
merknya sendiri.
Ini adalah tindakan yang sangat prinsipiil dan
krusial, karena dia
sekarang
dipaksa untuk bisa meyakinkan konsumen di luar negeri,
bahwa produknya
tidak kalah dalam kwalitas, tetapi sangat menang murah
dalam harga.
Hanya
merknya yang masih belum terkenal. Dia harus melakukan
promosi dan
advertensi supaya merknya dikenal dan diakui sebagai
sama baiknya
dengan
merk lain yang ditiru. Tahap berikutnya adalah :
3. Dia mulai memasukkan features, kemampuan-kemampuan
tambahan dari
produk
yang tadinya ditiru 100 %. Contohnya adalah PC buatan
Taiwan, yang
meniru
IBM, tetapi ditambah kemampuannya, sedangkan harganya
jauh lebih murah.
Tindakan ini memperkuat kedudukannya di pasar. Tahapan
selanjutnya
adalah :
4. Dia sudah berani merubah design produknya supaya
tampak lebih indah
dan
lebih cantik. Dia sudah mulai berani beradu dalam
bidang estetika.
5. Dia melakukan penelitan dan pengembangan sendiri,
sehingga untuk
barang
yang fungsinya sama, yaitu memenuhi kebutuhan manusia
akan barang yang
dihasilkannya, dia sudah mendasarkan diri pada
penemuan dan terbosoan
teknologi sendiri. Misalnya, TV yang sama-sama TV-nya
sudah meningkat
dari
sistem analog menjadi sistem digital. Musik yang
tadinya atas dasar
pita
diganti menjadi piringan laser, dan sekarang compact
disc.
Jelas bahwa untuk meningkatkan kemampuan dari tahapan
ke tahapan
seperti
yang digambarkan tadi, orang membutuhkan dedikasi
semangat yang luar
biasa
besarnya. Juga membutuhkan berani mempertaruhkan
modalnya untuk
pnelitian
dan untuk merugi kalau gagal.
Pertanyaannya adalah kekuatan apa yang bisa membuatnya
demikian, kalau
dia
sebagai komprador, sebagai tukang jahit saja sudah
bisa menjadi sangat
kaya
? Kekuatan penggerak atau driving force ini bagi
bangsa Jepang dan
Jerman
jelas adalah obsesi untuk unggul, obsesi supaya
seluruh bangsanya
disegani
dan dihargai di mana-mana diseluruh penjuru dunia.
Mereka adalah
nasionalis
modern. Orang yang bukan nasionalis baru sudah akan
sangat puas dengan
menjadi kaya sebagai komprador. Kebanggaannya adalah
kebanggaan karena
dia
kaya, dan karena itu bisa hidup di luar dengan gaya
orang-orang di luar
negeri yang sudah maju. Dia cenderung mengindentikkan
dirinya dengan
bangsa
yang sudah maju di negaranya. Walaupun tidak suka, dia
memaksakan
dirinya
minum wine, lebih menyukai steak, dan bahkan tartar
atau daging mentah
serta bekecot dengan nama yang lebih keren atau
escargot. Dia berbuat
sebisanya supaya bisa berbicara mengenai musik klasik
Barat, supaya
bisa
berbicara mengenai lukisan. Dia tidak mempunyai
kebutuhan supaya dengan
pengalamannya dan kontaknya meningkatkan kemampuan
seluruh bangsanya
supaya
bisa menjadi bangsa yang lebih disegani oleh
bangsa-bangsa lain.
Sampai sekarang saya hanya berbicara mengenai
nasionalisme baru dalam
kaitannya dengan percaturan ekonomi dan bisnis dunia,
karena dengan
telah
lama merdekanya Indonesia, dan dengan semakin tiadanya
perbedaan
ideologi
antar bangsa, kegiatan bangsa-bangsa lebih terpusat
pada perolehan
nilai
tambah dari mana saja.
Namun dapatkah nasionalisme dan patriotisme ada kalau
tidak ada
demokrasi
dan keadilan ?
Kadar besar kecilnya demokrasi sangat berpengaruh
terhadap nasionalisme
baru. Bagi mereka yang merasa tidak cukup mempunyai
hak-hak demokrasi,
adalah lumrah apabila mereka ini lambat laun
tergelincir pada suasana
batin
yang apatis, yang masa bodoh. Mereka dalam bentuknya
yang ekstrim bisa
merasa warga negara kelas dua atau lebih rendah lagi.
Mereka tidak lagi
atau kurang merasa merupakan bagian dari bangsanya,
sehingga semua
naluri
yang masih ada untuk membela bangsanya secara
keseluruhan semakin lama
semakin pudar. Karena itu, demokrasi adalah syarat
mutlak bagi
nasionalisme.
Demokrasi memberikan perasaan bahwa dia ikut memiliki
negara bangsanya.
Karena itu demokrasi adalah syarat mutlak bagi
nasionalisme baru yang
begitu gamblang, sehingga tidak banyak yang bisa di
analisa kecuali
menyebutnya.
Bagi saya, kalau kita berbicara mengenai nasionalisme
baru, sebenarnya
sudah termasuk di dalamnya sebagai satu nafas adalah
juga patriotisme,
demokrasi dan keadilan sosial ekonomi. Hanya dengan
itu semuanya
sebagai
satu paket, semuanya menjadi bisa ada. Kalau salah
satu daripadanya
tidak
ada, keseluruhannya menjadi kabur.
KESIMPULAN
Istilah nasionalisme baru memang pada tempatnya,
karena dengan telah
lamanya kita merdeka, dan dengan berubahnya dunia
dengan segala
dinamkianya, fokus nasionalisme yang ingin kemerdekaan
bagi bangsa kita
secara politik sudah lama kita peroleh.
Setelah itu kita dihadapkan pada masalah sangat
mendasar, yaitu masalah
nation dan character building bagi bangsa yang
wilayahnya berkepulauan,
pluralistik, berbhineka. Dengan sumpah pemuda, di
tahun 1928 kita sudah
bertekad untuk membentuk negara bangsa yang berbentuk
negara kesatuan,
negara yang tunggal ika. Dapat kita bayangkan betapa
beratnya periode
antara tahun 1945 dan 1966. Seperti tadi telah saya
kemukakan, kita
telah
berhasil dengan cukup gemilang.
Dalam mengisi kemerdekaan dengan pembangunan ekonomi
secara nyata yang
teknokratik dan pragmatik, negara kita terbuka bagi
dunia luar. Sektor
swasta secara sistematis diberi kesempatan yang lebih
besar. Semua
orang
berkiprah dalam bidang pembangunan ekonomi, dalam
bidang produksi dan
distribusi. Semuanya berlangsung di dalam suasana
interaksi antar
bangsa
yang semakin intens, di dalam dunia yang semakin
mengecil dengan
revolusi
microchips dan revolusi telekomunikasi melalui
satelit. Dalam suasana
seperti ini kita berkiprah secara intens pula,
sehingga kurang sempat
memikirkan, masihkah nasionalisme relevan ?
Pendangakalan
intelektualisme
terjadi karena terdesak oleh intens-nya dunia
produksi, distribusi dan
konsumsi, dan intensnya interaksi antar bangsa, dimana
Indonesia
termasuk
di dalamnya.
Setelah penelusuran dalam bidang ekonomi, bisnis,
produksi, distribusi,
konsumsi, regionalisasi dan internasionalisasi, saya
tiba pada
kesimpulan
bahwa lebih daripada yang sudah-sudah ternyata
nasionalisme,
patriotisme,
demokrasi dan keadilan sosial ekonomi masih sangat
relevan. Pertarungan
memperoleh nilai tambah masih valid, tetapi bentuknya
berubah.
Penghisapan
nilai tambah melalui senjata dan pendudukan berganti
menjadi teknologi
dan
manajemen. Divisi-divisi militernya berubah menjadi
perusahaan-perusahaan
transnasional. Proses penghisapannya melalui kemitraan
dan investasi
langsung, lebih beraneka ragam, lebih luwes dan lebih
sophisticated
sehingga sangat sulit dikenali.
Untuk pengenalan apakah di dalam interaksi antar
bangsa ini kita
diuntungkan atau dirugikan membutuhkan kalkulasi yang
konkret. Benarkah
bahwa di dalam kenyataannya kita lebih diuntungkan
oleh modal asing
karena
adanya lapangan kerja, karena adanya transfer of
knowledge dan transfer
of
technology.
Benarkah bahwa kita diuntungkan secara fair dan adil
karena pendapatan
pajak. Bukankah keuntungan mereka jauh lebih besar
dari kita dan kita
akan
bisa mendapatkan lebih seandainya kita mau bekerja
keras dan mau
membebaskan diri dari konvensi, dogma, doktrin serta
mitos-mitos yang
oleh
negara-negara maju dipaksakan kepada kita melalui para
kompradornya
yang
sangat berpengaruh. Kesemuanya ini hanya dapat
diketahui kalau kita
melakukan kalkulasi yang eksak dan konkret. Bukan
sekedar merumuskannya
secara garis besar. Nasionalisme baru menuntut
kemampuan-kemampuan baru
dan
dimensi pemikiran mikro yang bagi kita relatif baru
ini.
Tidak ada negara yang bangkrut seperti halnya
perusahaan, karena negara
dapat berutang. Tetapi yang demikian itu bisa kita
peroleh sebagai
komprador dengan nilai tambah yang tidak sebanding
kecilnya. Maka yang
menjadi masalah bagi kita bukannya akan bangkrut atau
tidak secara
ekonomis, tetapi akan menjadi bangsa kelas terkemuka
atau kelas
belakang.
Apakah kita akan menjadi bangsa yang diremehkan atau
menjadi bangsa
yang
disegani.
Modal kita hanya semangat, yaitu nasionalisme baru,
patriotisme baru,
demokrasi dan keadilan sosial ekonomi.
Akhir kata, apakah yang menjadi driving force
terbetuknya Eropa bersatu
?
Keuntungan materi sematakah ataukah Eropa Barat
sebagai kelompok negara
yang demikian tuanya, akhirnya menemukan kembali
nasionalisme barunya
juga
?
Kita sering mendengarkan bahwa Jepang maju karena
mempunyai sistem life
time employment, mempunyai TQC dan QCC, mempunyai
MITI, mempunyai
sistem
pendidikan yang terseleksi sejak SD dengan jalur elit
yang
berkesinambungan.
Tetapi jarang yang menanyakan, mengapa justru Jepang
mempunyai
segalanya
ini dan bangsa lain tidak punya ? Bisakah jawabnya
adalah karena bangsa
Jepang tidak pernah pudar nasioanlisme dan
patriotisme-nya, dan bangsa
Jepanglah yang paling awal mampu menterjemahkannya ke
dalam
nasioanlisme
baru, yang arena pertempurannya adalah perolehan nilai
tambah dari
bangsa-bangsa yang telah merdeka. Dan karena itu
senjatanya harus
berubah
menjadi penguasaan teknologi dan manajemen ?
Relevansi mengenai pentingnya keterkaitan dengan
negara bangsanya
mungkin
bisa lebih ditonjolkan dengan contoh, bahwa apabila
negara melalui
pemerintahnya membela kepentingannya dengan memberikan
subsidi seperti
sertifikat ekspor, dia justru terkena sanksi penutupan
negara penerima
barangnya, seperti halnya dengan AS belum lama
berselang dalam hal
ekspor
tekstil. Dalam keadaan sulit dia berteriak minta
perlindungan dan
subsidi.
Apabila subsidi diberikan, dia akan terkena sanksi
oleh negara
pengimpor
barangnya. Apakah negara bangsanya masih dirasa tidak
relevan dalam
kaitannya corporate states versus nation states ?
Kalau nasionalisme baru toh harus diberi definisi,
saya kira definisi
yang
paling tepat adalah semangat yang selalu ingin
meningkatkan kemampuan
penciptaan kekayaan negaranya, tetapi bersedia bekerja
sama dengan
bangsa-bangsa lain, dengan syarat bahwa di dalam
kerjasama ini kita
tidak
dirugikan dan tidak merugikan negara lain. Sifat
kerjasama dan
interaksi
adalah untuk mencapai sinergi dan tidak saling
menghisap.
Para Hadirin Yth.,
Ketidak mandirian kita sekarang sudah memasuki tahapan
yang sangat
membahayakan. Saya tidak perlu berpanjang lebar karena
sudah
diperdebatkan
dan diliput secara panjang lebar.
Kita sedang dalam proses dipaksa untuk benar-benar
mengeluarkan uang
ribuan
trilyun rupiah membayar obligasi rekapitalisasi
perbankan beserta
bunganya.
Perkiraan yang dihitung dengan cermat oleh BPPN
menunjukkan bahwa
kewajiban
pemerintah untuk membayar obligasi rekap beserta
bunganya bervariasi
antara
1000 sampai 14.000 trilyun rupiah. Maka kalau kita
ingin mengenakkan
diri
sendiri, tidak mungkin pemerintah harus membayar
kurang dari tiga ribu
trilyun rupiah. Obligasi atau surat utang yang semula
dimaksud sekedar
sebagai instrumen sekarang dipaksakan oleh IMF untuk
dibayar betul.
Obligasi yang tadinya harus ditarik kembali sebelum
bank dijual,
sekarang
dipaksakan harus tetap melekat pada bank yang dijual
seperti halnya
dengan
BCA. Dalam LOI terbaru, tidak lebih lambat dari bulan
September Bank
Niaga
harus dijual dengan pola yang sama, dan Bank Danamon
serta Bank Mandiri
juga harus dijual dengan pola yang sama. Telah
dibuktikan pula bahwa
utang
pokok obligasi yang jatuh tempo memang tidak mampu
dibayar dan ditunda
pembayarannya. Bahkan, sudah dan akan diterbitkan
obligasi baru, yang
kesemuanya akan menjadikan APBN kita di tahun-tahun
mendatang pasti
tidak
sustainable. Tetapi IMF tidak mau tahu, mengajukan
berbagai perhitungan
yang sama sekali tidak masuk akal, dan lagi-lagi,
dibela oleh Mafia
Ekonom
Orde Baru. Bukankah mengherankan dan mengejutkan bahwa
selama 32 tahun
Orde
Baru pemerintah tidak pernah berutang dalam negeri,
karena takut
terjadi
crowding out. Tetapi sekarang merasa tidak apa-apa
menerbitkan surat
utang
yang bersama-sama dengan bunganya mengakibatkan
kewajiban pembayaran
oleh
pemerintah sebesar ribuan trilyun rupiah ?
IMF melakukan tekanan pada Tim Ekonomi pemerintah
untuk melakukan
semuanya
yang jelas karena sudah kehilangan kemandiriannya, dan
dampak ketiadaan
kemandirian ini sudah membawa kita pada ambang
kehancuran. Maka sebagai
tindak lanjut dari diskusi hari ini kita memang sudah
harus membangun
kekuatan nasional untuk memperoleh kemandirian kita
sendiri demi
menyelematkan kemerdekaan, kedaulatan dan kemandirian
bangsa, sehingga
dengan demikian dapat menghindarkan diri dari
ketergantungan yang
permanen
dari masyarakat internasional.
Habis
=====
Milis bermoderasi, berthema 'Mencoba Bicara Konstruktif Soal Indonesia', rangkuman posting terpilih untuk ikut berpartisipasi membangun Indonesia Baru, Damai, dan Sejahtera. http://nusantara2000.freewebsitehosting.com/index.html
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Yahoo! Finance - Get real-time stock quotes
http://finance.yahoo.com