[Nusantara] Budaya Jawa Ibarat Kali Tempuran

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Thu Aug 29 08:15:18 2002


"Ki Denggleng Pagelaran" <fukuoka@indo.net.id>
Budaya Jawa Ibarat Kali Tempuran 
28 Aug 2002 20:30:41 +0900 

Budaya Jawa ibarat Kali Tempuran

Totok Djoko Winarto dan Winarso Drajad Widodo 

Darmanto Jatman, Budayawan UNDIP pada pidato
kebudayaan dalam rangka peringatan ulang-tahunnya yang
ke-60 menyatakan bahwa, "Budaya Jawa Hanyut di Tengah
Perubahan Zaman" (Kompas 26/8 hlm. 12). Judul pidato
kebudayaannya sendiri adalah Jawa di Tengah Arus
Perubahan Jaman: Ora Ngeli, Keli.

Sayang bahwa dalam berita liputan itu tidak termuat
secara penuh pembicaraan Darmanto yang adalah cucu Ki
Ageng Suryomentawam itu. Kompas hanya mengutip
sebagian kecil saja substansi pidato kebudayaan
Darmanto. Oleh karena itu cukup sulit untuk menggagapi
apa sebenarnya maksud dari Sang Budayawan UNDIP,
Semarang itu. 



Kali Tempuran

Mungkin akan lebih pas bila kondisi Budaya Jawa dewasa
ini ibaratnya kali tempuran, maksudnya pertemuan
banyak anak sungai menjadi sungai yang lebih besar.
Arus air pada kali tempuran bila arus anak-anak sungai
yang bertemu sama kuatnya, maka akan membentuk
pusaran-pusaran ganas yang bisa menenggelamkan apa
saja yang mengapung padanya. Meskipun demikian setelah
menyatu menjadi satu sungai besar dengan arus kuat,
yang terjadi adalah sungai tenang dengan arus kuat
menghanyutkan.

Demikian pulalah perumpamaan Budaya Jawa dalam
menempuh alur sejarahnya. Pada mulanya adalah Jawa
asli yang kemudian kedatangan agama-agama Asia Selatan
- Hindu dan Budha - kemudian ketika seusainya perang
salib dan jatuhnya Baghdad oleh bangsa Mongol, agama
Islam juga masuk ke Jawa. Sebagai agama-agama besar
Hindu, Budha dan Islam sudah barang tentu juga membawa
budaya bangsa pemeluknya. Sebagai agama besar, maka
budaya-budaya yang menyertainya itu adalah "arus
besar" pada masanya. Walaupun demikian - ibaratnya
anak sungai - budaya jawa tidak hilang sepenuhnya.
Akan tepi budaya-budaya 'asing' itu masuk, diterima
dan berasimilasi dengan budaya Jawa, membentuk budaya
Jawa yang terbarukan. Bahkan asil asimilasi budaya ini
telah membangun budaya Jawa yang lebih 'luhur' dan
lebih cocok diterima oleh suku-bangsa Jawa sebagai
pelaku kebudayannya.

Pada waktu agama Hindu dan Budha masuk ke Jawa, maka
kedua agama itu justru seolah bercampur dan memperkaya
rona budaya Jawa. Asimilasi budaya ini diantaranya
menghasilkan bangunan megah yang terkenal di dunia,
Candi Prambanan dan Candi Borobudur dan candi-candi
sejamannya yang sangat berdekatan letaknya. Bagaimana
ketika agama Islam masuk? 



Lebaran

Ketika agama Islam masuk, yang terjadi justru
memperkaya kebudayaan dan kesenian Jawa, seperti seni
gamelan dan wayang yang sama sekali tidak hilang,
meskipun sebenarnya agama Islam kurang cocok dengan
seni-budaya ini. Memang boleh dikatakan suku Jawa ini
tergolong jenius dalam mengelola konflik budaya.
Apalagi yang bersangkut paut dengan keagamaan.

Dalam agama Islam seharusnya hari raya keagamaan yang
besar adalah Idul Adha. Tetapi mengapa di Jawa yang
dirayakan secara besar-besaran justru Idul Fithri?
Bahkan perayaan hari raya ini diistilahkan dengan
Lebaran, dari kata asal lebar yang bermakna selesai,
lepas dan bebas. Maksudnya orang Jawa Islam menganggap
bahwa hari itu mereka memasuki masa kehidupan dengan
awal kebebasan dari dosa. Bebas dosa setelah ditebus
sebulan penuh dengan puasa Ramelan (Ramadhan).

Pada waktu lebaranlah orang Jawa merayakannya dengan
berbagai tindakan yang berupa 'peningkatan diri'. Baik
dalam berpakaian maupun menyantap makanan. Dalam
merayakannya mereka perlu memakai pakaian baru,
setidaknya lebih bagus dan bersih dari keseharian
mereka. Dengan berpakaian 'istimewa' itu mereka
berziarah ke makam para leluhur. Mereka juga membuat
masakan khas lebaran, ketupat dan opor ayam, menyambut
para tetamu dalam pesta rakyat yang tulus dalam
bermaaf-maafan. 

Jaman sekarang kebiasaan berlebaran ini terus dibawa
oleh orang-orang Jawa di perantauan. Jutaan orang
tergerak untuk merayakannya di bumi Nusantawa ini.
Ribuan armada angkutan umum, ratusan rangkaian kereta
api, ratusan armada laut bahkan angkutan udara sibuk
melayani arus manusia Jawa ini dalam berlebaran yang
diistilahkan dengan mudik. Aparat keamanan dan
ketertiban menggelar berbagai gelar pengamanan di
sepanjang perjalanan mudik. Bisa dibayangkan berapa
besar arus finansial dalam kegiatan mudik lebaran ini
mengalir ke pulau Jawa. Dan semua peristiwa ini tidak
terdapat di negeri-negeri Timur Tengah sebagai asal
agama Islam. Negara jiran - Malaysia - konon tertular
gejala mudik ini lewat para TKI. 



Budaya Jawa dan Wayang 

Darmanto menyatakan dalam pidatonya bahwa budaya Jawa
sekarang telah ikut keli (hanyut) dan tergerus oleh
arus besar nilai-nilai yang diusung modernisasi.
Mungkin saja pernyataan itu ada benarnya, namun
sebenarnya budaya Jawa itu tidak hanyut dan tergerus
hilang sama sekali. Kembali lagi bila menengok
kejeniusan orang Jawa dalam mengelola konflik dan
potensi konflik dalam budayanya, pasti akan bertahan.
Siapa tahu nanti akan terbangun kembali budaya Jawa
modern dengan kepiawaian khas mengelola konflik. Bisa
jadi akan menjadi penyebab menyebarnya nilai-nilai
humanisme Jawa (Indonesia). Siapa tahu dengan
pengalaman sejarahnya dalam mengelola konflik budaya
itu budaya Jawa modern dapat menjadi tauladan
masyarakat dunia dalam menghadapi arus radikalisme,
terorisme dan lain sebagainya.

Pandangan Darmanto tentang Orde Wayang yang
legitimasinya bersifat kosmis, magis, mistis, dan agak
otoritarian, boleh saja - sumangga wae. Hanya saja
istilah Orde Wayang itu sendiri sebenarnya membuat
risau pikiran. Dr. Komarudin Hidayat - Budayawan dari
Yayasan Paramadina - pernah menyatakan dengan nada
sinis di suatu acara talk show TV swasta, " … karena
kultur pewayangan yang menjadi dasar pemikiran, maka
menyebabkan bangsa ini selalu mencari 'siapa
dalangnya' dalam menghadapi peristiwa-peristiwa
negatif." Mudah-mudahan pernyataan itu hanya bermaksud
gurauan semata.

Karena pada pokoknya dalam pewayangan Jawa, banyak
sekali contoh humanisme Jawa yang kosmis, mistis,
magis dan otoritarian, namun bukankah otoritariannya
Hyang Manon (Tuhan Yang Maha Melihat)? Coba kita
perhatikan dalam pagelaran perang besar, duel antara
Bima dan Duryudana menjelang berakhirnya Bharatayuda.
Peperangan terakhir sebagai simbol penyirnaan
kebatilan (Duryudana) oleh kekuatan baik (Bima).
Sementara Ki Dalang menceritakan peperangan yang
benar-benar brutal di luar batas kemanusiaan, mengapa
gamelan pengiringnya justru menggunakan gendhing yang
paling halus dan lembut, Pathet Manyura yang
membangkitkan suasana magis, mistis, kosmis dan
otoritatian? Namun, semuanya menuntun penontonnya
untuk mengakui kuasa dan keadilan Hyang Agung.
Demikianlah pandangan orang Jawa yang awam ini.

Totok Djoko Winarto

Pemerhati Budaya - tinggal di Semarang

Winarso Drajad Widodo

Dosen Faperta IPB



=====
Milis bermoderasi, berthema 'Mencoba Bicara Konstruktif Soal Indonesia', rangkuman posting terpilih untuk ikut berpartisipasi membangun Indonesia Baru, Damai, dan Sejahtera. http://nusantara2000.freewebsitehosting.com/index.html
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Yahoo! Finance - Get real-time stock quotes
http://finance.yahoo.com