[Nusantara] Amrozi, Teroris Melayu ?

reijkman reijkman@excite.com
Wed Nov 13 11:00:19 2002



--EXCITEBOUNDARY_000__696c4fdbc8ffcb47d571d9b14809c4a9
Content-Type: text/plain; charset="us-ascii"
Content-Transfer-Encoding: 7bit

 Amrozi, Teroris Melayu ? 
Pasti pernah dengar istilah 'spion Melayu'. Itu lho intel Indonesia, yang daripada menyamar lebih suka menonjolkan pistol di balik bajunya, malah memperkenalkan diri 'saya intel' segala. Menumpang istilah tadi, saya mencoba menjuluki Amrozy sebagai 'teroris Melayu'. Kenapa ? 
Soalnya, kalau nonton film-film, bagaimana ketegaran hati seorang teroris ketika menerima tekanan dari penyelidik dalam rangka membongkar jaringannya, digambarkan bagaimana ia rela mengorbankan keselamatannya dibanding harus membongkar jaringan yang membawa cita-citanya. Bahkan kalau mungkin, ia akan segera menggigit kapsul berisi cairan cyanida segala. 
Sementara yang dilakukan oleh Amrozy malah lain. Semuanya lancar mengalir. Dan kelompok yang diakuinya sebagai terlibat dalam bom Bali tersebut demikian mudah rontok, bak rumah-rumahan kartu, yang sekali goyang roboh semua. Melihat bagaimana Amrozy yang mudah sekali nyanyi maka tak salah kalau aku menyebutnya sebagai 'teroris Melayu', nih, ye... 
BETULKAH Amrozi pelaku tulen peledakan bom di Bali? Sulit untuk mengambil kesimpulan sementara, karena penyelidikan masih berlangsung. Kita hanya bisa menduga-duga sambil menyimpan kekhawatiran. 
Salah satu kekhawatiran itu, jangan-jangan Amrozi seperti Umar Al-Faruq yang kabarnya anggota jaringan Al-Qaedah di Asia Tenggara dan kemudian bernyanyi ''nyaring''. Nyanyian itu akhirnya dijadikan bukti sementara oleh polisi untuk menangkap Ustaz Abu Bakar Ba'asyir, amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). 
Bukankah teroris itu lebih menghargai ideologi dan jaringannya dibandingkan nyawa sendiri sekali pun? Artinya, dia rela dan siap mati dengan cara apa pun, asal anggota jaringan kerjanya aman dan ikhlas mati bersama ideologi yang diyakininya. 
Namun kasus Amrozi agak lain. Kesan kita - dari simpang siur penjelasan berbagai sumber, dia memberi keterangan secara ''lugas'' kepada petugas penyidik, sehingga kepolisian menetapkan dia sebagai salah satu tersangka kasus peledakan bom di Bali yang menewaskan setidaknya 185 jiwa, sebagian besar warga Australia. 
Kalaupun benar Amrozi salah satu pelaku pengeboman di Bali, bisa jadi dia bukan termasuk anggota organisasi teroris yang memiliki mental baja dan tak begitu mantap ideologinya. 
''Kelugasan'' Amrozi dalam memberikan keterangan kepada tim penyidik memang sesuai dengan keterangan yang disampaikan ibunya, Hajjah Tariyem. Wanita berusia 70 tahun lebih itu kepada Suara Merdeka Jumat (8/11) lalu menyatakan Amrozi sebenarnya bukan anak petualang yang senang menghadapi tantangan dengan keberanian tinggi. 
Hal itu terbukti saat yang bersangkutan merantau ke Malaysia untuk mengais ringgit. Di negeri jiran itu, kata Hj Tariyem, Amrozi seringkali menangis sendirian apabila mengingat keluarganya di Lamongan. Hatinya di negeri rantau seringkali galau dan keinginannya kembali ke Lamongan sangat kuat. 
Karenanya, ketika dia kembali ke Lamongan pada 1997 lalu dengan membawa istri, Choiriyana Khususiyati asal Kabupaten Madiun yang ditemui di Malaysia, keluarga menyambutnya bagai tentara pulang dari medan peperangan. ''Syukur, Amrozi mau kembali ke Lamongan, tapi kok sekarang kena masalah seperti ini, masya Allah,'' ujar Ny Tariyem. 
Bukan Aktivis Gerakan 
Di Lamongan, Amrozi hidup serumah dengan bapak dan ibunya. Berbeda dengan saudara-saudaranya yang telah menempati rumah sendiri, kendati sama-sama bertempat tinggal di Desa Tenggulun. Tempat tinggal Amrozi yang serumah dengan bapak dan ibunya menunjukkan dia memang sangat disayang ibu dan bapaknya. 
Ketika masih muda, Amrozi bersekolah di Madrasah Aliyah di Lamongan tak sampai lulus. Dia dikenal raja kebut-kebutan, suka memelihara rambut gondrong, dan hobi menembak burung. 
Melihat semua kesukaan dan hobi Amrozi ketika masa muda, untuk ukuran masyarakat desa yang sebagian besar warganya hidup dari sektor pertanian tegalan, itu termasuk hobi istimewa. Maksudnya, untuk menyalurkan hobi itu membutuhkan uang tak sedikit dari keluarga. 
''Ketika masih muda memang suka kebut-kebutan dan rambutnya gondrong. Tapi sekarang nggak kok,'' kata Ja'far Shodiq, kakak kandung Amrozi kepada Suara Merdeka. 
Seperti dituturkan Ustaz Zakaria bin Rindung, pimpinan Ponpes Al-Islam, Amrozi bukanlah tipe seorang aktivis organisasi gerakan, apalagi gerakan Islam. 
Pengetahuan, wawasan, dan pemahaman keagamaannya pas-pasan, tak lebih dari anak desa di kawasan pantura Jatim yang dikenal terampil membaca Alquran. Dia bukan anak luar biasa ilmu agamanya. Apalagi selama berada di Lamongan, Amrozi tak pernah nyantri di ponpes yang berdiri seabrek di wilayah tersebut, baik ponpes yang berteologi Muhammadiyah maupun NU. 
''Dia itu bukan santri. Dia memang kadangkala mengeluhkan perlakuan pemerintah dan banyak negara asing yang tak adil terhadap pemimpin Islam. Seperti penahanan terhadap Ustaz Abu Bakar Ba'asyir dan Ustaz Habib Rizieq Shihab, tapi bukan berarti dia concern dengan gerakan Islam. Tidak, Mas. Beda dengan kakaknya, M Khozin dan Ja'far Shodiq yang ikut mendirikan dan menjadi pengurus Yayasan Al-Islam. Amrozi tak terlibat dalam organisasi seperti itu,'' tegas Ustaz Zakaria. 
Senang Mengembara 
Kalau Amrozi seorang aktivis gerakan dan concern dengan syiar dakwah Islam, seperti dilakukan dua saudaranya, M Khozin dan Ja'far Shodiq, di masa mudanya pastilah dia senang mengembara masuk-keluar ponpes untuk menimba ilmu kepada ustaz atau kiai. 
Menurut Zakaria, kalaupun Amrozi bersilaturahmi ke ustaz, itu karena dia yang mengajak. Jadi bukan Amrozi yang berinisiatif. Beberapa kiai di kawasan Paciran Lamongan yang pernah dikunjungi Ustaz Zakaria dan Amrozi, antara lain KH Abdurrahman (almarhum), pimpinan Ponpes Karangasem Paciran Lamongan dan KH Abdul Karim, pimpinan Ponpes Modern Muhammadiyah Lamongan. 
Melihat kedua kiai yang jadi tujuan silaturahmi Ustaz Zakaria dan Amrozi, keduanya memang kiai Muhammadiyah. Hal itu tampaknya sejalan dengan visi, misi, dan program aksi Ponpes Al-Islam pimpinan Ustaz Zakaria yang menjauhkan diri dari perilaku teologis berbau TBK (takhayul, bid'ah, dan khurafat). 
''Jadi Amrozi itu wataknya suka guyon, bahkan lebih sering cangkruk di warung kopi dibanding mengaji di masjid ponpes. Kalaupun bersilaturahmi ke ponpes, paling salat berjamaah.'' 
Melihat karakter pribadi dan perilakunya semacam itu, mungkinkah Amrozi berani melakukan tindakan pengeboman yang mengakibatkan 185 nyawa melayang? Beranikah dia membeli beberapa jenis bahan kimia yang bisa dipakai untuk membuat bahan peledak di sebuah toko kimia di Surabaya sebanyak 2 ton? Bukankah membawa bahan kimia sebanyak itu membutuhkan angkutan dan penanganan khusus? 
Apakah bahan kimia yang dijual di pasaran bebas - seperti kata tim penyidik - yang dibeli Amrozi di Surabaya mampu direkayasa sebagai bahan peledak bersifat high explosive, seperti bom yang menghancurkan kawasan Legian, Kuta, Bali pada malam 12 Oktober 2002 lalu? 
Sekadar mengingatkan memori pembaca, dalam tulisan ini saya tulis balik pernyataan pers yang disampaikan Kapolda Bali Brigjen Pol Drs Budi Setyawan MSc di hadapan pers nasional dan asing pada 16 Oktober 2002 di Mapolda Bali. 
Saat itu dia menyatakan, berdasar penyidikan petugas terhadap jenis bom yang meledak di Sari Club (SC) Jalan Legian Kuta adalah jenis RDX. Jenis bom ini berbeda dengan C4 seperti dikatakan Mabes Polri sebelumnya. 
''Bahan peledak yang dipakai teroris untuk meledakkan SC adalah RDX, yang turunannya bisa menjadi HMX dan nitrat. Ini jenis bom sangat eksplosif. Buktinya, empat unit bangunan di sekitar lokasi pusat ledakan langsung luluh lantak,'' kata Kapolda. 
Kapolda Bali asli Purwakarta ini menambahkan, kesimpulan jenis bom RDX itu didasarkan pada bukti yang ditemukan di lubang pusat ledakan di depan SC. ''Selain di lubang pusat ledakan, kami bisa menyatakan jenis bom itu RDX berdasar jelagah bom yang menempel di tubuh para saksi yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit, dan kendaraan yang dipergunakan pelaku yang kini kondisinya hancur. Saksi-saksi itu ada yang terlempar saat ledakan,'' tambahnya. 
Kesimpulan mengenai jenis bom yang disampaikan Kapolda Bali saat itu, tentu didasarkan pada penelitian njlimet yang melibatkan personel dan pakar bom dari FBI, AFP (Australia), Polri, intelijen TNI (Bais), BIN, dan lainnya. Kesimpulan jelas tak ngawur. 
Lantas sekarang kenapa tiba-tiba ada kesimpulan baru yang menyebutkan bahan bom dibeli secara eceran dari toko kimia di Surabaya? Sejauh mana kebenaran pernyataan terakhir ini? Kapolda Budi Setyawan ketika itu juga menambahkan jenis bom RDX itu bisa didapat di Indonesia. 
Momentum Politik 
Tragedi Malam Minggu Kelabu di Bali 12 Oktober 2002 lalu telah mengorbitkan nama Ponpes Al-Mukmin Ngruki Sukohardjo pimpinan Ustaz Abu Bakar Ba'asyir. Selain Ponpes Al-Mukmin dan Ustaz Abu, kini tragedi itu menyeret Ponpes Al-Islam di Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Lamongan dalam pusaran kasus yang sangat rumit. 
Muncul kekhawatiran kita yang kedua, yakni tragedi pengeboman di Bali jangan-jangan menjadi momentum politik untuk memberangus gerakan radikal Islam di Indonesia, gerakan yang antara lain dipimpin Ustaz Abu Bakar Ba'asyir. 
Pemberangusan bisa mencakup pembersihan institusi dan personel yang terkait langsung maupun tak langsung dengan Ustaz Ba'asyir dan ideologi yang diperjuangkan. Muatannya antikekuatan Barat, zionisme internasional, konsisten dengan konsep negara Islam di Indonesia, dan menolak Pancasila. 
Ponpes Al-Islam didirikan empat alumni Ponpes Al-Mukmin Ngruki. Mereka adalah Ustaz Zakaria, Ustaz Ashari, Ustaz Syaifuddin Zuhri, dan Ustaz Ali Abdan. Kendati tak mengadopsi sistem belajar mengajar dan materi kurikulum dari Ponpes Al-Mukmin Ngruki, pemberian materi akidah dan syariah di Ponpes Al-Islam mencontoh apa yang dilakukan Ponpes Al Mukmin. 
Kedua mata pelajaran sangat strategis itulah yang memberikan bekal ideologi-teologis para santri Ponpes Al-Islam. Jadi bukan hal aneh apabila karakter mental dan ideologi santri Ponpes Al-Islam tak berbeda jauh dengan santri Ponpes Al-Mukmin. 
Selain itu, seperti dikatakan Asadullah dan Syuhada, keduanya ustaz di Ponpes Al-Islam, ponpes ini secara ideologi-teologis tak ''merapat'' ke Nahdlatul Ulama (NU) ataupun Muhammadiyah. Jadi dalam banyak hal, bangunan ideologi-teologis yang diajarkan di Ponpes Al-Islam berbeda dengan dua mainstream Islam di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah. 
Dalam lingkup lebih kecil berbeda pula dengan mainstream ideologi-teologis sebagian besar warga Tenggulun yang menganut paham Ahlussunnah wal Jamaah (NU). 
''Ponpes kami bermazhab dzahiriyah. Maksudnya, warga ponpes diajarkan bermazhab disesuaikan sikap dan keyakinan hatinya. Yang penting dalam menjalankan amalan syariah, kita memiliki rujukan yang kuat sebagai dasar,'' tegasnya. 
Aroma kecurigaan terhadap segala sesuatu yang ''berdekatan'' dengan Ba'asyir muncul lewat pemeriksaan terhadap Ustaz Zakaria sebagai saksi dalam kasus Amrozi. Kendati Amrozi bukan warga Ponpes Al-Islam, tim penyidik tetap membawa Ustaz Zakaria ke Bali untuk didengar keterangannya. 
Bahkan, kini berhembus informasi ada saksi yang melihat Ustaz Zakaria ketika bom di SC itu meledak. Padahal, menurut keterangan Ustaz Zakaria ketika diwawancarai SM di Surabaya, Kamis (7/11), saat bom Bali itu meledak, dia berada di Surabaya untuk menyampaikan ceramah agama. ''Tepatnya di kawasan belakang kantor Gubernur Jatim di Surabaya,'' kata alumnus Ponpes Al-Mukmin asli Manggarai NTT ini. 
Namun pengakuannya yang lain, ketika bom tersebut meledak, ia sedang nonton tivi bersama Amrozy. Jadi, siapa yang bohong ? 

_______________________________________________
Join Excite! - http://www.excite.com
The most personalized portal on the Web!

--EXCITEBOUNDARY_000__696c4fdbc8ffcb47d571d9b14809c4a9
Content-Type: text/html; charset="us-ascii"
Content-Transfer-Encoding: 7bit

 <table cellpadding=10 cellspacing=0 border=0 width=100% bgcolor=white><tr height=200><td width=100%><font size=2 color=black>Amrozi, Teroris Melayu ? 
<br />
<P>Pasti pernah dengar istilah 'spion Melayu'. Itu lho intel Indonesia, yang daripada menyamar lebih suka menonjolkan pistol di balik bajunya, malah memperkenalkan diri 'saya intel' segala. Menumpang istilah tadi, saya mencoba menjuluki Amrozy sebagai 'teroris Melayu'. Kenapa ? 
<br />
<P>Soalnya, kalau nonton film-film, bagaimana ketegaran hati seorang teroris ketika menerima tekanan dari penyelidik dalam rangka membongkar jaringannya, digambarkan bagaimana ia rela mengorbankan keselamatannya dibanding harus membongkar jaringan yang membawa cita-citanya. Bahkan kalau mungkin, ia akan segera menggigit kapsul berisi cairan cyanida segala. 
<br />
<P>Sementara yang dilakukan oleh Amrozy malah lain. Semuanya lancar mengalir. Dan kelompok yang diakuinya sebagai terlibat dalam bom Bali tersebut demikian mudah rontok, bak rumah-rumahan kartu, yang sekali goyang roboh semua. Melihat bagaimana Amrozy yang mudah sekali nyanyi maka tak salah kalau aku menyebutnya sebagai 'teroris Melayu', nih, ye... 
<br />
<P>BETULKAH Amrozi pelaku tulen peledakan bom di Bali? Sulit untuk mengambil kesimpulan sementara, karena penyelidikan masih berlangsung. Kita hanya bisa menduga-duga sambil menyimpan kekhawatiran. 
<br />
<P>Salah satu kekhawatiran itu, jangan-jangan Amrozi seperti Umar Al-Faruq yang kabarnya anggota jaringan Al-Qaedah di Asia Tenggara dan kemudian bernyanyi ''nyaring''. Nyanyian itu akhirnya dijadikan bukti sementara oleh polisi untuk menangkap Ustaz Abu Bakar Ba'asyir, amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). 
<br />
<P>Bukankah teroris itu lebih menghargai ideologi dan jaringannya dibandingkan nyawa sendiri sekali pun? Artinya, dia rela dan siap mati dengan cara apa pun, asal anggota jaringan kerjanya aman dan ikhlas mati bersama ideologi yang diyakininya. 
<br />
<P>Namun kasus Amrozi agak lain. Kesan kita - dari simpang siur penjelasan berbagai sumber, dia memberi keterangan secara ''lugas'' kepada petugas penyidik, sehingga kepolisian menetapkan dia sebagai salah satu tersangka kasus peledakan bom di Bali yang menewaskan setidaknya 185 jiwa, sebagian besar warga Australia. 
<br />
<P>Kalaupun benar Amrozi salah satu pelaku pengeboman di Bali, bisa jadi dia bukan termasuk anggota organisasi teroris yang memiliki mental baja dan tak begitu mantap ideologinya. 
<br />
<P>''Kelugasan'' Amrozi dalam memberikan keterangan kepada tim penyidik memang sesuai dengan keterangan yang disampaikan ibunya, Hajjah Tariyem. Wanita berusia 70 tahun lebih itu kepada Suara Merdeka Jumat (8/11) lalu menyatakan Amrozi sebenarnya bukan anak petualang yang senang menghadapi tantangan dengan keberanian tinggi. 
<br />
<P>Hal itu terbukti saat yang bersangkutan merantau ke Malaysia untuk mengais ringgit. Di negeri jiran itu, kata Hj Tariyem, Amrozi seringkali menangis sendirian apabila mengingat keluarganya di Lamongan. Hatinya di negeri rantau seringkali galau dan keinginannya kembali ke Lamongan sangat kuat. 
<br />
<P>Karenanya, ketika dia kembali ke Lamongan pada 1997 lalu dengan membawa istri, Choiriyana Khususiyati asal Kabupaten Madiun yang ditemui di Malaysia, keluarga menyambutnya bagai tentara pulang dari medan peperangan. ''Syukur, Amrozi mau kembali ke Lamongan, tapi kok sekarang kena masalah seperti ini, masya Allah,'' ujar Ny Tariyem. 
<br />
<P>Bukan Aktivis Gerakan 
<br />
<P>Di Lamongan, Amrozi hidup serumah dengan bapak dan ibunya. Berbeda dengan saudara-saudaranya yang telah menempati rumah sendiri, kendati sama-sama bertempat tinggal di Desa Tenggulun. Tempat tinggal Amrozi yang serumah dengan bapak dan ibunya menunjukkan dia memang sangat disayang ibu dan bapaknya. 
<br />
<P>Ketika masih muda, Amrozi bersekolah di Madrasah Aliyah di Lamongan tak sampai lulus. Dia dikenal raja kebut-kebutan, suka memelihara rambut gondrong, dan hobi menembak burung. 
<br />
<P>Melihat semua kesukaan dan hobi Amrozi ketika masa muda, untuk ukuran masyarakat desa yang sebagian besar warganya hidup dari sektor pertanian tegalan, itu termasuk hobi istimewa. Maksudnya, untuk menyalurkan hobi itu membutuhkan uang tak sedikit dari keluarga. 
<br />
<P>''Ketika masih muda memang suka kebut-kebutan dan rambutnya gondrong. Tapi sekarang nggak kok,'' kata Ja'far Shodiq, kakak kandung Amrozi kepada Suara Merdeka. 
<br />
<P>Seperti dituturkan Ustaz Zakaria bin Rindung, pimpinan Ponpes Al-Islam, Amrozi bukanlah tipe seorang aktivis organisasi gerakan, apalagi gerakan Islam. 
<br />
<P>Pengetahuan, wawasan, dan pemahaman keagamaannya pas-pasan, tak lebih dari anak desa di kawasan pantura Jatim yang dikenal terampil membaca Alquran. Dia bukan anak luar biasa ilmu agamanya. Apalagi selama berada di Lamongan, Amrozi tak pernah nyantri di ponpes yang berdiri seabrek di wilayah tersebut, baik ponpes yang berteologi Muhammadiyah maupun NU. 
<br />
<P>''Dia itu bukan santri. Dia memang kadangkala mengeluhkan perlakuan pemerintah dan banyak negara asing yang tak adil terhadap pemimpin Islam. Seperti penahanan terhadap Ustaz Abu Bakar Ba'asyir dan Ustaz Habib Rizieq Shihab, tapi bukan berarti dia concern dengan gerakan Islam. Tidak, Mas. Beda dengan kakaknya, M Khozin dan Ja'far Shodiq yang ikut mendirikan dan menjadi pengurus Yayasan Al-Islam. Amrozi tak terlibat dalam organisasi seperti itu,'' tegas Ustaz Zakaria. 
<br />
<P>Senang Mengembara 
<br />
<P>Kalau Amrozi seorang aktivis gerakan dan concern dengan syiar dakwah Islam, seperti dilakukan dua saudaranya, M Khozin dan Ja'far Shodiq, di masa mudanya pastilah dia senang mengembara masuk-keluar ponpes untuk menimba ilmu kepada ustaz atau kiai. 
<br />
<P>Menurut Zakaria, kalaupun Amrozi bersilaturahmi ke ustaz, itu karena dia yang mengajak. Jadi bukan Amrozi yang berinisiatif. Beberapa kiai di kawasan Paciran Lamongan yang pernah dikunjungi Ustaz Zakaria dan Amrozi, antara lain KH Abdurrahman (almarhum), pimpinan Ponpes Karangasem Paciran Lamongan dan KH Abdul Karim, pimpinan Ponpes Modern Muhammadiyah Lamongan. 
<br />
<P>Melihat kedua kiai yang jadi tujuan silaturahmi Ustaz Zakaria dan Amrozi, keduanya memang kiai Muhammadiyah. Hal itu tampaknya sejalan dengan visi, misi, dan program aksi Ponpes Al-Islam pimpinan Ustaz Zakaria yang menjauhkan diri dari perilaku teologis berbau TBK (takhayul, bid'ah, dan khurafat). 
<br />
<P>''Jadi Amrozi itu wataknya suka guyon, bahkan lebih sering cangkruk di warung kopi dibanding mengaji di masjid ponpes. Kalaupun bersilaturahmi ke ponpes, paling salat berjamaah.'' 
<br />
<P>Melihat karakter pribadi dan perilakunya semacam itu, mungkinkah Amrozi berani melakukan tindakan pengeboman yang mengakibatkan 185 nyawa melayang? Beranikah dia membeli beberapa jenis bahan kimia yang bisa dipakai untuk membuat bahan peledak di sebuah toko kimia di Surabaya sebanyak 2 ton? Bukankah membawa bahan kimia sebanyak itu membutuhkan angkutan dan penanganan khusus? 
<br />
<P>Apakah bahan kimia yang dijual di pasaran bebas - seperti kata tim penyidik - yang dibeli Amrozi di Surabaya mampu direkayasa sebagai bahan peledak bersifat high explosive, seperti bom yang menghancurkan kawasan Legian, Kuta, Bali pada malam 12 Oktober 2002 lalu? 
<br />
<P>Sekadar mengingatkan memori pembaca, dalam tulisan ini saya tulis balik pernyataan pers yang disampaikan Kapolda Bali Brigjen Pol Drs Budi Setyawan MSc di hadapan pers nasional dan asing pada 16 Oktober 2002 di Mapolda Bali. 
<br />
<P>Saat itu dia menyatakan, berdasar penyidikan petugas terhadap jenis bom yang meledak di Sari Club (SC) Jalan Legian Kuta adalah jenis RDX. Jenis bom ini berbeda dengan C4 seperti dikatakan Mabes Polri sebelumnya. 
<br />
<P>''Bahan peledak yang dipakai teroris untuk meledakkan SC adalah RDX, yang turunannya bisa menjadi HMX dan nitrat. Ini jenis bom sangat eksplosif. Buktinya, empat unit bangunan di sekitar lokasi pusat ledakan langsung luluh lantak,'' kata Kapolda. 
<br />
<P>Kapolda Bali asli Purwakarta ini menambahkan, kesimpulan jenis bom RDX itu didasarkan pada bukti yang ditemukan di lubang pusat ledakan di depan SC. ''Selain di lubang pusat ledakan, kami bisa menyatakan jenis bom itu RDX berdasar jelagah bom yang menempel di tubuh para saksi yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit, dan kendaraan yang dipergunakan pelaku yang kini kondisinya hancur. Saksi-saksi itu ada yang terlempar saat ledakan,'' tambahnya. 
<br />
<P>Kesimpulan mengenai jenis bom yang disampaikan Kapolda Bali saat itu, tentu didasarkan pada penelitian njlimet yang melibatkan personel dan pakar bom dari FBI, AFP (Australia), Polri, intelijen TNI (Bais), BIN, dan lainnya. Kesimpulan jelas tak ngawur. 
<br />
<P>Lantas sekarang kenapa tiba-tiba ada kesimpulan baru yang menyebutkan bahan bom dibeli secara eceran dari toko kimia di Surabaya? Sejauh mana kebenaran pernyataan terakhir ini? Kapolda Budi Setyawan ketika itu juga menambahkan jenis bom RDX itu bisa didapat di Indonesia. 
<br />
<P>Momentum Politik 
<br />
<P>Tragedi Malam Minggu Kelabu di Bali 12 Oktober 2002 lalu telah mengorbitkan nama Ponpes Al-Mukmin Ngruki Sukohardjo pimpinan Ustaz Abu Bakar Ba'asyir. Selain Ponpes Al-Mukmin dan Ustaz Abu, kini tragedi itu menyeret Ponpes Al-Islam di Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Lamongan dalam pusaran kasus yang sangat rumit. 
<br />
<P>Muncul kekhawatiran kita yang kedua, yakni tragedi pengeboman di Bali jangan-jangan menjadi momentum politik untuk memberangus gerakan radikal Islam di Indonesia, gerakan yang antara lain dipimpin Ustaz Abu Bakar Ba'asyir. 
<br />
<P>Pemberangusan bisa mencakup pembersihan institusi dan personel yang terkait langsung maupun tak langsung dengan Ustaz Ba'asyir dan ideologi yang diperjuangkan. Muatannya antikekuatan Barat, zionisme internasional, konsisten dengan konsep negara Islam di Indonesia, dan menolak Pancasila. 
<br />
<P>Ponpes Al-Islam didirikan empat alumni Ponpes Al-Mukmin Ngruki. Mereka adalah Ustaz Zakaria, Ustaz Ashari, Ustaz Syaifuddin Zuhri, dan Ustaz Ali Abdan. Kendati tak mengadopsi sistem belajar mengajar dan materi kurikulum dari Ponpes Al-Mukmin Ngruki, pemberian materi akidah dan syariah di Ponpes Al-Islam mencontoh apa yang dilakukan Ponpes Al Mukmin. 
<br />
<P>Kedua mata pelajaran sangat strategis itulah yang memberikan bekal ideologi-teologis para santri Ponpes Al-Islam. Jadi bukan hal aneh apabila karakter mental dan ideologi santri Ponpes Al-Islam tak berbeda jauh dengan santri Ponpes Al-Mukmin. 
<br />
<P>Selain itu, seperti dikatakan Asadullah dan Syuhada, keduanya ustaz di Ponpes Al-Islam, ponpes ini secara ideologi-teologis tak ''merapat'' ke Nahdlatul Ulama (NU) ataupun Muhammadiyah. Jadi dalam banyak hal, bangunan ideologi-teologis yang diajarkan di Ponpes Al-Islam berbeda dengan dua mainstream Islam di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah. 
<br />
<P>Dalam lingkup lebih kecil berbeda pula dengan mainstream ideologi-teologis sebagian besar warga Tenggulun yang menganut paham Ahlussunnah wal Jamaah (NU). 
<br />
<P>''Ponpes kami bermazhab dzahiriyah. Maksudnya, warga ponpes diajarkan bermazhab disesuaikan sikap dan keyakinan hatinya. Yang penting dalam menjalankan amalan syariah, kita memiliki rujukan yang kuat sebagai dasar,'' tegasnya. 
<br />
<P>Aroma kecurigaan terhadap segala sesuatu yang ''berdekatan'' dengan Ba'asyir muncul lewat pemeriksaan terhadap Ustaz Zakaria sebagai saksi dalam kasus Amrozi. Kendati Amrozi bukan warga Ponpes Al-Islam, tim penyidik tetap membawa Ustaz Zakaria ke Bali untuk didengar keterangannya. 
<br />
<P>Bahkan, kini berhembus informasi ada saksi yang melihat Ustaz Zakaria ketika bom di SC itu meledak. Padahal, menurut keterangan Ustaz Zakaria ketika diwawancarai SM di Surabaya, Kamis (7/11), saat bom Bali itu meledak, dia berada di Surabaya untuk menyampaikan ceramah agama. ''Tepatnya di kawasan belakang kantor Gubernur Jatim di Surabaya,'' kata alumnus Ponpes Al-Mukmin asli Manggarai NTT ini. 
<br />
<P>Namun pengakuannya yang lain, ketika bom tersebut meledak, ia sedang nonton tivi bersama Amrozy. Jadi, siapa yang bohong ? <BR><BR><BR><BR></P><br></font></td></tr></table><p><hr><font size=2 face=geneva><b>Join Excite! - <a href=http://www.excite.com target=_blank>http://www.excite.com</a></b><br>The most personalized portal on the Web!</font>

--EXCITEBOUNDARY_000__696c4fdbc8ffcb47d571d9b14809c4a9--