[Nusantara] Penahanan Abu Bakar Ba'asyir

reijkman reijkman@excite.com
Wed Nov 13 11:00:34 2002



--EXCITEBOUNDARY_000__cec95223ea89cca5ce31603da733f30e
Content-Type: text/plain; charset="us-ascii"
Content-Transfer-Encoding: 7bit

 



Penahanan Abu Bakar Ba'asyir



13-11-2002 @ 11:49 AM Dikirim oleh: Gigih NusantaraViews: 

Penahanan Abu Bakar Ba'asyir 
Oleh Moh Samsul Arifin 
Sungguh amat merisaukan nasib pihak kepolisian pasca tragedi Bali 12 Oktober lalu. Bagaimana tidak merisaukan, kini mereka seperti la-yang-layang putus, akibat kurang sigap dalam menangani tragedi tersebut. Di satu sisi, pihak kepolisian belum juga sanggup menahan pelaku pemboman di Kuta Bali. Di sisi lain, penangkapan Ustadz Abu Bakar Ba'asyir yang dituduh terlibat serangkaian aksi peledakan bom di Tanah Air serta rencana pembunuhan terhadap Presiden Megawati Sukarnoputri, justru menuai gugatan dari sejum-lah kalangan. 
Setidaknya ada gugatan yang bisa kita baca dari pemberitaan di sejumlah media massa. Pertama, suara sumbang yang menyatakan bahwa Polri, sekarang ini, sedang melayani pesanan Amerika Serikat sehubungan dengan penangkapan Abu Bakar Ba'asyir. Ini terutama disuarakan kalangan Islam yang bersimpati terhadap Ketua Majelis Mujahidin Indonesia itu. Kedua, pendapat yang mengatakan penangkapan terhadap Ustadz Abu adalah eksperimen pemberlakuan Perppu Antiterorisme yang memang memberi kewenangan kepada aparat Kepolisian untuk "menindak keras" pelaku ataupun aktor intelektual aksi teror. Suara minor ini, umumnya berasal dari kalangan LSM yang memang kurang at home dengan Perppu No.1/2002 dan Perppu No.2/2002. 
Gugatan, atau katakanlah kecurigaan publik di atas, tak pelak lagi membuat Polri terlihat kikuk dalam menangani kasus Abu Bakar Ba'asyir. Alih-alih bertindak cepat, Polri sekarang mendapat resistensi yang luar biasa dari Ustadz Abu. Ditambah dengan kegagalan PR (public relation) pemerintah, lebih khusus lagi Polri, dalam mengkomunikasikan penangkapan Ustadz Abu dan penanggulangan terorisme, pihak Kepolisian seperti didikte oleh sesuatu yang di luar dirinya. Jikalau Polri didikte pemerintah tampaknya masih wajar. Yang membingungkan, Polri seolah terkesan justru sedang didikte oleh kubu Ustadz Abu yang menurut kacamata pihak kepolisian merupakan tersangka sejumlah aksi kejahatan seperti yang disebut di muka. 
Secara kasat mata, kita dapat melihat sejumlah kejanggalan dalam penanganan kasus Abu Bakar Ba'asyir ini. Pertama, penangkapan Ustadz Abu hanya berbekal pengakuan Omar Al Farouq yang kini ditahan pihak AS. Boleh dibilang piranti hukum berupa saksi yang dikedepankan pihak Polri ini sama sekali tidak mencukupi untuk mencokok ustadz Abu. 
Kedua, sebagai akibat yang pertama, tersangka ustadz Abu memutar tuduhan itu dengan mengatakan bahwa penangkapan terhadap dirinya merupakan intervensi AS. Dengan argumen tersebut, si Ustadz merasa absah untuk "memaksa" Menko Polkam Susilo Bambang Yudoyono serta Kepala Polri Da'i Bachtiar bersumpah dengan cara Islam bahwa pemerintah tidak sedang menjalankan skenario AS. Manuver ini sayangnya tidak direspons pemerintah, padahal tegas-tegas dalam negara Pancasila kasus yang menimpa ustadz Abu ini mesti berpayung pada hukum positif, kendatipun Ustad Abu, Menko Polkam dan Kepala Polri beragama Islam. 
Ketiga, Ustadz Abu mampu menjadi PR yang baik bagi dirinya, ketika dia memainkan isu Amerika ikut 'bermain' dalam penangkapan dirinya. Dengan memasukkan variabel Amerika, para pengikut dan simpatisan Kiai Ngruki tersebut merasa perlu menggalang solidaritas umat Islam mendukung Ustadz Abu. Inilah kecerdikan ustadz Abu memainkan emosi umat Islam, yang memang kadung anti Amerika. Padahal, ustadz -- dan kalau mungkin ditarik lebih lebar Jamaah Islamiyah -- sebenarnya sungguh-sungguh bukan representasi umat Islam Indonesia. Ustadz Abu Bakar Ba'asyir hanya salah satu ekspresi Muslim yang kebetulan berwarga negara Indonesia. 
Merasa di atas angin, sang Ustadz pun membuat persyaratan yang sulit agar dirinya bersedia diperiksa pihak Kepolisian. Pertama, Kepolisian (Polri) harus meminta maaf atas insiden dalam proses pemindahannya ke Jakarta, baik kepada dirinya, pihak Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta serta para ulama Surakarta. Kedua, polisi harus menghadirkan Omar Al-Farouq ke Jakarta, di samping pemeriksaan terhadap dirinya tidak boleh atas dasar tekanan pihak asing. Ketiga, Ustadz Abu minta penangguhan penahanan atas dirinya. (Kompas, 3/11). 
Terhadap permintaan pertama, Kapolri Da'i Bachtiar sudah meluluskannya. Hanya saja, Kapolri sekadar meminta maaf kepada pimpinan Muhammadiyah dan pimpinan RS PKU Muhammadiyah Surakarta dan bukan pada kalangan ulama di kota tersebut. Permintaan maaf tersebut disertai janji Polri untuk mengganti semua kerugian akibat insiden pemindahan Ustadz Abu dari Surakarta ke Jakarta. 
Apa yang dilakukan Da'i Bachtiar itu tampaknya sudah memadai, karena dengan tulus dia meminta maaf sebelum si Ustadz menagihnya. Persoalannya adalah apakah pemerintah, dalam hal ini Polri, akan mengabulkan dua tuntutan terakhir? Apa yang semestinya dilakukan pemerintah untuk menangani kasus Abu Bakar Ba'asyir serta perang melawan terorisme? Ke mana muara dari kasus Abu Bakar Ba'asyir? 
Adalah sesuatu yang objektif dan ditunggu-tunggu publik jika Polri meluluskan permintaan ustadz Abu mempertemukan dirinya dengan Al Farouq. Dengan mengkonfrontasikan keduanya, kita bisa mengetahui secara pasti siapa sebetulnya dua orang yang dituduh dalang teroris internasional ini. Bagaimana hubungan dua orang tersebut serta grand design gerakan mereka yang disebut-sebut terhubung dengan jaringan Al-Qaedah pimpinan Osama bin Laden itu. Ini adalah cara jantan sekaligus elegan yang bisa diambil pemerintahan Megawati Sukarnoputri untuk membuktikan bahwa Amerika tidak sedang di belakangnya. 
Namun, menilik konstelasi mutakhir, pemerintah tidak mungkin bakal mengikuti "proposal Abu Bakar Ba'asyir". Justru pemerintah akan meneruskan pola penanganan kasus ustadz Abu seperti sediakala. Artinya, sangat mustahil pemerintah menghadirkan Al Farouq ke Indonesia. Itu setidaknya terbaca dari pernyataan pihak kepolisian bahwa pembuktian atas tuduhan terhadap ustadz Abu tidak bergantung pada Al Farouq saja. "Saya ke AS untuk mengecek informasi yang selama ini sudah diperoleh dan ternyata 90 persen benar," ujar Ariyanto Sutadi dari Mabes Polri. 
Yang menguatkan dugaan itu, belakangan Kapolri Da'i Bachtiar secara lantang telah membuka kesalahan-kesalahan ustadz Abu. Menurut Kapolri, ustadz Abu tersangkut tindakan pidana karena bersangkutan dengan memiliki, membawa, menyimpan dan menguasai amunisi sebagaimana dimaksud dalam UU Darurat No. 12 tahun 1951. Selain itu ia diancam karena pelanggaran UU Keimigrasian serta kejahatan terhadap keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 104 KUHP dan pasal 110 KUHP. (Sinar Harapan, 5/11). 
Sedemikian pun, dalam konteks komunikasi publik, saat ini pemerintah perlu meredam "kampanye negatif" atas pemberlakuan Perppu Antiterorisme dengan melakukan kontra-kampanye yang bersifat aktif, berskala internasional dan dilakukan oleh setiap departemen dan kementerian di kabinet. Terbitnya Inpres No. 4/2002 yang menunjuk Menko Polkam sebagai koordinator penanganan terorisme dapat diefektifkan untuk kampanye tersebut. 
Kampanye itu hendaknya menyentuh nurani publik dan sedapat mungkin mampu membangkitkan rasa aman terhadap publik luas. Menteri-menteri terkait dengan bidang ekonomi harus bisa meyakinkan pelaku ekonomi domestik dan luar negeri bahwa Indonesia cukup aman untuk berinvestasi. Menteri terkait dengan bidang sosial secara spesifik mengampanyekan rasa aman yang langsung menyentuh kalbu masyarakat. Sementara menteri terkait dengan Polkam punya tugas mensosialisasikan Perppu Antiterorisme secara lebih detail dan terang-benderang kepada publik. 
Agar akuntabilitas terhadap publik terpenuhi, Menko Polkam secara kontinyu mesti melaporkan hasil bulanan kampanye antiteror dan implementasi Perppu Antiterorisme kepada publik. Setiap akhir bulan, koordinator kampanye antiteror mempresentasikan kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dalam sebuah public hearing, entah itu melalui mekanisme di parlemen atau difasilitasi sendiri oleh pemerintah. Dengan public hearing inilah, tembok penyekat antara publik dan pemerintah dapat dibuka, sehingga azas representasi publik dapat dipenuhi dalam pemberlakukan Perppu Antiterorisme itu. 
Perang melawan terorisme memang tidak semudah film Minority Report, di mana setiap aktivitas kejahatan dapat diantisipasi jauh-jauh hari sebelum peristiwa itu terjadi. Oleh karena itu, perang terhadap obyek yang sudah bak hantu itu menghendaki kesatu-paduan di antara semua pihak yang punya ghirah (semangat) untuk memerdekakan peradaban manusia dari setiap tingkah laku dan tindakan iblis berwujud teror biadab terhadap kemanusiaan. *** 
(Penulis adalah mantan wartawan Moslem World Indonesia, pengkaji sosial-politik Center of Bureaucracy Studies - CBS, Jakarta).

_______________________________________________
Join Excite! - http://www.excite.com
The most personalized portal on the Web!

--EXCITEBOUNDARY_000__cec95223ea89cca5ce31603da733f30e
Content-Type: text/html; charset="us-ascii"
Content-Transfer-Encoding: 7bit

 <table cellpadding=10 cellspacing=0 border=0 width=100% bgcolor=white><tr height=200><td width=100%><font size=2 color=black>
<br />
<TABLE border=0 cellPadding=0 cellSpacing=0 width="100%">
<br />
<TBODY>
<br />
<TR>
<br />
<TD class=storytitle><FONT color=#000080 size=+1>Penahanan Abu Bakar Ba'asyir</FONT></TD></TR>
<br />
<TR>
<br />
<TD class=storyunderline><IMG alt="" height=1 src="http://www.mediakrasi.com/images/speck.gif" width=1></TD></TR>
<br />
<TR>
<br />
<TD class=storybyline>13-11-2002 @ 11:49 AM <BR><FONT color=#ff0000>Dikirim oleh: <A class=storybyline href="http://www.mediakrasi.com/users.php?mode=profile&amp;uid=29">Gigih Nusantara</A></FONT><BR>Views: </TD></TR>
<br />
<TR>
<br />
<TD>Penahanan Abu Bakar Ba'asyir 
<br />
<P>Oleh Moh Samsul Arifin 
<br />
<P>Sungguh amat merisaukan nasib pihak kepolisian pasca tragedi Bali 12 Oktober lalu. Bagaimana tidak merisaukan, kini mereka seperti la-yang-layang putus, akibat kurang sigap dalam menangani tragedi tersebut. Di satu sisi, pihak kepolisian belum juga sanggup menahan pelaku pemboman di Kuta Bali. Di sisi lain, penangkapan Ustadz Abu Bakar Ba'asyir yang dituduh terlibat serangkaian aksi peledakan bom di Tanah Air serta rencana pembunuhan terhadap Presiden Megawati Sukarnoputri, justru menuai gugatan dari sejum-lah kalangan. 
<br />
<P>Setidaknya ada gugatan yang bisa kita baca dari pemberitaan di sejumlah media massa. Pertama, suara sumbang yang menyatakan bahwa Polri, sekarang ini, sedang melayani pesanan Amerika Serikat sehubungan dengan penangkapan Abu Bakar Ba'asyir. Ini terutama disuarakan kalangan Islam yang bersimpati terhadap Ketua Majelis Mujahidin Indonesia itu. Kedua, pendapat yang mengatakan penangkapan terhadap Ustadz Abu adalah eksperimen pemberlakuan Perppu Antiterorisme yang memang memberi kewenangan kepada aparat Kepolisian untuk "menindak keras" pelaku ataupun aktor intelektual aksi teror. Suara minor ini, umumnya berasal dari kalangan LSM yang memang kurang at home dengan Perppu No.1/2002 dan Perppu No.2/2002. 
<br />
<P>Gugatan, atau katakanlah kecurigaan publik di atas, tak pelak lagi membuat Polri terlihat kikuk dalam menangani kasus Abu Bakar Ba'asyir. Alih-alih bertindak cepat, Polri sekarang mendapat resistensi yang luar biasa dari Ustadz Abu. Ditambah dengan kegagalan PR (public relation) pemerintah, lebih khusus lagi Polri, dalam mengkomunikasikan penangkapan Ustadz Abu dan penanggulangan terorisme, pihak Kepolisian seperti didikte oleh sesuatu yang di luar dirinya. Jikalau Polri didikte pemerintah tampaknya masih wajar. Yang membingungkan, Polri seolah terkesan justru sedang didikte oleh kubu Ustadz Abu yang menurut kacamata pihak kepolisian merupakan tersangka sejumlah aksi kejahatan seperti yang disebut di muka. 
<br />
<P>Secara kasat mata, kita dapat melihat sejumlah kejanggalan dalam penanganan kasus Abu Bakar Ba'asyir ini. Pertama, penangkapan Ustadz Abu hanya berbekal pengakuan Omar Al Farouq yang kini ditahan pihak AS. Boleh dibilang piranti hukum berupa saksi yang dikedepankan pihak Polri ini sama sekali tidak mencukupi untuk mencokok ustadz Abu. 
<br />
<P>Kedua, sebagai akibat yang pertama, tersangka ustadz Abu memutar tuduhan itu dengan mengatakan bahwa penangkapan terhadap dirinya merupakan intervensi AS. Dengan argumen tersebut, si Ustadz merasa absah untuk "memaksa" Menko Polkam Susilo Bambang Yudoyono serta Kepala Polri Da'i Bachtiar bersumpah dengan cara Islam bahwa pemerintah tidak sedang menjalankan skenario AS. Manuver ini sayangnya tidak direspons pemerintah, padahal tegas-tegas dalam negara Pancasila kasus yang menimpa ustadz Abu ini mesti berpayung pada hukum positif, kendatipun Ustad Abu, Menko Polkam dan Kepala Polri beragama Islam. 
<br />
<P>Ketiga, Ustadz Abu mampu menjadi PR yang baik bagi dirinya, ketika dia memainkan isu Amerika ikut 'bermain' dalam penangkapan dirinya. Dengan memasukkan variabel Amerika, para pengikut dan simpatisan Kiai Ngruki tersebut merasa perlu menggalang solidaritas umat Islam mendukung Ustadz Abu. Inilah kecerdikan ustadz Abu memainkan emosi umat Islam, yang memang kadung anti Amerika. Padahal, ustadz -- dan kalau mungkin ditarik lebih lebar Jamaah Islamiyah -- sebenarnya sungguh-sungguh bukan representasi umat Islam Indonesia. Ustadz Abu Bakar Ba'asyir hanya salah satu ekspresi Muslim yang kebetulan berwarga negara Indonesia. 
<br />
<P>Merasa di atas angin, sang Ustadz pun membuat persyaratan yang sulit agar dirinya bersedia diperiksa pihak Kepolisian. Pertama, Kepolisian (Polri) harus meminta maaf atas insiden dalam proses pemindahannya ke Jakarta, baik kepada dirinya, pihak Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta serta para ulama Surakarta. Kedua, polisi harus menghadirkan Omar Al-Farouq ke Jakarta, di samping pemeriksaan terhadap dirinya tidak boleh atas dasar tekanan pihak asing. Ketiga, Ustadz Abu minta penangguhan penahanan atas dirinya. (Kompas, 3/11). 
<br />
<P>Terhadap permintaan pertama, Kapolri Da'i Bachtiar sudah meluluskannya. Hanya saja, Kapolri sekadar meminta maaf kepada pimpinan Muhammadiyah dan pimpinan RS PKU Muhammadiyah Surakarta dan bukan pada kalangan ulama di kota tersebut. Permintaan maaf tersebut disertai janji Polri untuk mengganti semua kerugian akibat insiden pemindahan Ustadz Abu dari Surakarta ke Jakarta. 
<br />
<P>Apa yang dilakukan Da'i Bachtiar itu tampaknya sudah memadai, karena dengan tulus dia meminta maaf sebelum si Ustadz menagihnya. Persoalannya adalah apakah pemerintah, dalam hal ini Polri, akan mengabulkan dua tuntutan terakhir? Apa yang semestinya dilakukan pemerintah untuk menangani kasus Abu Bakar Ba'asyir serta perang melawan terorisme? Ke mana muara dari kasus Abu Bakar Ba'asyir? 
<br />
<P>Adalah sesuatu yang objektif dan ditunggu-tunggu publik jika Polri meluluskan permintaan ustadz Abu mempertemukan dirinya dengan Al Farouq. Dengan mengkonfrontasikan keduanya, kita bisa mengetahui secara pasti siapa sebetulnya dua orang yang dituduh dalang teroris internasional ini. Bagaimana hubungan dua orang tersebut serta grand design gerakan mereka yang disebut-sebut terhubung dengan jaringan Al-Qaedah pimpinan Osama bin Laden itu. Ini adalah cara jantan sekaligus elegan yang bisa diambil pemerintahan Megawati Sukarnoputri untuk membuktikan bahwa Amerika tidak sedang di belakangnya. 
<br />
<P>Namun, menilik konstelasi mutakhir, pemerintah tidak mungkin bakal mengikuti "proposal Abu Bakar Ba'asyir". Justru pemerintah akan meneruskan pola penanganan kasus ustadz Abu seperti sediakala. Artinya, sangat mustahil pemerintah menghadirkan Al Farouq ke Indonesia. Itu setidaknya terbaca dari pernyataan pihak kepolisian bahwa pembuktian atas tuduhan terhadap ustadz Abu tidak bergantung pada Al Farouq saja. "Saya ke AS untuk mengecek informasi yang selama ini sudah diperoleh dan ternyata 90 persen benar," ujar Ariyanto Sutadi dari Mabes Polri. 
<br />
<P>Yang menguatkan dugaan itu, belakangan Kapolri Da'i Bachtiar secara lantang telah membuka kesalahan-kesalahan ustadz Abu. Menurut Kapolri, ustadz Abu tersangkut tindakan pidana karena bersangkutan dengan memiliki, membawa, menyimpan dan menguasai amunisi sebagaimana dimaksud dalam UU Darurat No. 12 tahun 1951. Selain itu ia diancam karena pelanggaran UU Keimigrasian serta kejahatan terhadap keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 104 KUHP dan pasal 110 KUHP. (Sinar Harapan, 5/11). 
<br />
<P>Sedemikian pun, dalam konteks komunikasi publik, saat ini pemerintah perlu meredam "kampanye negatif" atas pemberlakuan Perppu Antiterorisme dengan melakukan kontra-kampanye yang bersifat aktif, berskala internasional dan dilakukan oleh setiap departemen dan kementerian di kabinet. Terbitnya Inpres No. 4/2002 yang menunjuk Menko Polkam sebagai koordinator penanganan terorisme dapat diefektifkan untuk kampanye tersebut. 
<br />
<P>Kampanye itu hendaknya menyentuh nurani publik dan sedapat mungkin mampu membangkitkan rasa aman terhadap publik luas. Menteri-menteri terkait dengan bidang ekonomi harus bisa meyakinkan pelaku ekonomi domestik dan luar negeri bahwa Indonesia cukup aman untuk berinvestasi. Menteri terkait dengan bidang sosial secara spesifik mengampanyekan rasa aman yang langsung menyentuh kalbu masyarakat. Sementara menteri terkait dengan Polkam punya tugas mensosialisasikan Perppu Antiterorisme secara lebih detail dan terang-benderang kepada publik. 
<br />
<P>Agar akuntabilitas terhadap publik terpenuhi, Menko Polkam secara kontinyu mesti melaporkan hasil bulanan kampanye antiteror dan implementasi Perppu Antiterorisme kepada publik. Setiap akhir bulan, koordinator kampanye antiteror mempresentasikan kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dalam sebuah public hearing, entah itu melalui mekanisme di parlemen atau difasilitasi sendiri oleh pemerintah. Dengan public hearing inilah, tembok penyekat antara publik dan pemerintah dapat dibuka, sehingga azas representasi publik dapat dipenuhi dalam pemberlakukan Perppu Antiterorisme itu. 
<br />
<P>Perang melawan terorisme memang tidak semudah film Minority Report, di mana setiap aktivitas kejahatan dapat diantisipasi jauh-jauh hari sebelum peristiwa itu terjadi. Oleh karena itu, perang terhadap obyek yang sudah bak hantu itu menghendaki kesatu-paduan di antara semua pihak yang punya ghirah (semangat) untuk memerdekakan peradaban manusia dari setiap tingkah laku dan tindakan iblis berwujud teror biadab terhadap kemanusiaan. *** 
<br />
<P>(Penulis adalah mantan wartawan Moslem World Indonesia, pengkaji sosial-politik Center of Bureaucracy Studies - CBS, Jakarta).<BR><BR></P></TD></TR></TBODY></TABLE><BR><BR><BR><BR><br></font></td></tr></table><p><hr><font size=2 face=geneva><b>Join Excite! - <a href=http://www.excite.com target=_blank>http://www.excite.com</a></b><br>The most personalized portal on the Web!</font>

--EXCITEBOUNDARY_000__cec95223ea89cca5ce31603da733f30e--