[Nusantara] Politik sebagai "Panggilan"!
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Nov 19 03:01:18 2002
Politik sebagai "Panggilan"!
Kasdin Sihotang
Judul tulisan ini mungkin terasa aneh dan mustahil
jika kita mengaitkannya dengan fenomena perpolitikan
di negeri ini. Dikatakan aneh dan mustahil karena de
facto yang tampak adalah tindakan bertentangan dengan
nilai "panggilan" itu sendiri. Dalam terminologi
"panggilan" nilai-nilai yang mengemuka adalah
kesukarelaan, ketulusan dan keikhlasan hati dan
kebebasan yang bertanggung jawab, serta pengabdian
maksimal. Apakah semua nilai yang disebutkan ini
mengejawantah dalam dunia politik? Jawabnya tentu
bersifat negatif karena "masih jauh panggang dari
api".
Cara Orde Baru
Kendati era reformasi sudah bergulir satu Repelita,
dunia perpolitikan masih dihiasi paradigma Orde Baru
yang sarat dengan kebusukan. Bahkan disinyalir
berbagai kalangan, kualitasnya justru lebih buruk
dari-pada masa sebelumnya. Mengapa? Karena tindakan
immoral dilakukan secara terang-terangan tanpa rasa
bersalah dan rasa malu lagi, melainkan dianggap
seolah-olah sebuah "keharusan". Lebih parah bahwa
menjadi pemandangan di kalangan para politisi
bermasalah untuk mempertontonkan jargon-jargon
irasional dalam bentuk ke- tulian, kedunguan, atau
ke-pura-puraan bahkan kebodohan.
Pejabat yang sudah jelas-jelas dijatuhi hukuman
penjara oleh lembaga pengadilan masih tetap dengan
tegar tampil di depan publik dan merasa tidak ada
masalah, bahkan dengan muka ceria dan tenang masih
ngotot memimpin rapat-rapat para wakil rakyat kendati
sudah beberapa kali diprotes dan diinterupsi dan
dipaksa mengundurkan diri. Pejabat yang memiliki rumah
mewah yang justru bermasalah dengan begitu mudah
mengatakan "lupa" akan sumber dana untuk membeli rumah
itu. Dan masih sederetan cerita mengenai politisi yang
bermasalah.
Lalu dalam kondisi demikian masih mungkinkan
menempatkan politik sebagai sebuah "panggilan"? Dengan
pertanyaan lain, masih mungkinkah menyuarakan
nilai-nilai etis dalam panggung kekuasaan? Penulis
memang pernah "disindir" oleh seorang Kepala Cabang
Bank Lippo dalam sebuah kesempatan. Sindiran itu
berbunyi demikian, "Tulisan Bapak terus muncul di
Pembaruan untuk menyuarakan nilai-nilai etis dalam
perpolitikan dan dalam masyarakat. Tapi apa yang
terjadi dalam dunia sekarang, semua yang ditulis
sia-sia belaka." Sindiran teman itu sesungguhnya bukan
tanpa makna bagi saya. Agak dengan nada apologetik
penulis berkomentar, "perubahan yang terjadi di dalam
diri manusia, termasuk keluar dari lembah keburukan,
membutuhkan waktu yang lama, karena manusia itu bukan
mesin, melainkan makhluk yang dinamis".
Justru argumen yang awalnya agak apologetik itu
membuat penulis semakin penting menyuarakan
nilai-nilai etis lewat kolom ini. Dalam kerangka
itulah hemat saya model-model kesadaran perlu terus
dikembangkan. Salah satu di antaranya adalah bagaimana
menempatkan politik sebagai sebuah "panggilan" hidup.
Gagasan Weber
Gagasan luhur di atas sesungguhnya bukan hal baru. Max
Weber sudah lama menggelindingkan pemikiran itu. Lewat
sebuah artikelnya berjudul Politics as Vocation (1958)
Sosiolog dari Jerman ini mencoba membedakan antara
kualitas politisi yang hidup dari politik dan hidup
untuk politik.
Karakter politisi yang pertama, yakni politisi yang
hidup dari politik terungkap dalam hal bahwa dunia
politik bukan tempat untuk mengembangkan diri bagi
dirinya. Dunia politik hanyalah tempat persinggahan
sementara. Karena hanya tempat persinggahan, maka
politisi tidak akan mencurahkan seluruh tenaga dan
pikirannya untuk bidang ini. Yang diperhatikan
hanyalah hal-hal yang menguntungkan dirinya. Maka
dapat dimaklumi dalam paradigma seperti ini tanggung
jawab moral, keseriusan dan pengabdian bukan menjadi
nilai utama. Yang menjadi nilai utama adalah
self-interest (kepentingan pribadi).
Berbeda dengan karakter politisi yang hidup untuk
politik. Weber menegaskan bahwa bagi politisi yang
memilih jenis kedua ini, dunia politik bukan sekadar
tempat persinggahan, melainkan dunia yang
sesungguhnya. Sebagai dunia yang sesungguhnya, maka di
dalamnya ia akan mencurahkan segala usaha, tenaga,
pikiran dan segala kemampuannya. Menurut Weber ini
memiliki konsekuensi etis yang jauh lebih bagus
dibandingkan dengan model pertama.
Kalau di dalam model pertama, tanggung jawab,
perhatian maksimal, kesukarelaan, pengabdian dan
ketulusan serta optimalisasi hasil pekerjaan
tereliminasi, sebaliknya dalam pandangan kedua ini
nilai-nilai itu menjadi bagian yang sangat penting
untuk diperlihatkan oleh para politisi. Justru di
sinilah kehormatan seorang pemimpin politik itu. Weber
secara jelas mengatakan, "kehormatan pemimpin politik
atau negarawan pemimpin, secara eksklusif persis
terletak dalam tanggung jawab pribadinya terhadap apa
yang ia lakukan, suatu tanggung jawab yang ia tidak
dapat dan tidak boleh menolak atau mengalihkannya
kepada orang lain" ( Bdk. From Max Weber: Essays in
Sociology, 1958: 95).
Gagasan bahwa hidup untuk politik sesungguhnya
mengandung penegasan akan pemahaman baru mengenai
politik, yakni dihayati sebagai sebuah panggilan.
Dikatakan sebagai sebuah panggilan karena penekanannya
adalah nilai-nilai etis. Artinya, dalam menjalankan
kekuasaan, seorang politisi tidak lagi melulu
menjadikan materi sebagai telos dari seluruh
kekuasaannya, melainkan nilai-nilai intrinsik etis,
yakni pengabdian, ketulusan, keseriusan, kepekaan
sosial, rasa tanggung jawab terhadap kepentingan
bersama.
Dalam bingkai ini, lalu dunia politik justru menjadi
wadah pengembangan diri yang sesungguhnya bagi
politisi dengan memperlihatkan kepedulian terhadap
hasil pekerjaan dan akibat dari pekerjaannya terhadap
dirinya dan terhadap orang lain. Di dalamnya politisi
akan menyerahkan dirinya sepenuhnya untuk
memaksimalkan pekerjaannya berdasarkan kepercayaan
rakyat yang memilihnya.
Hemat saya gagasan Weber di atas tidak ada salahnya
dianut oleh para politisi kita. Dengan kata lain,
perubahan paradigma dalam memandang politik sebagai
bagian dari kehidupan yang bernilai humanistik
diperlukan. Dengan paradigma inilah kita bisa
membangun politik yang sehat. Ketika para politisi
tetap memandang kekuasaan hanya sebagai persinggahan
maka akan sulit kita menuntut tanggung jawab yang
maksimal dari para politisi itu. Orang yang
berpandangan seperti ini hanya akan melakukan hal-hal
yang menguntungkan dirinya. Dan ini berisiko besar
mengingat keputusan dan kebijakan politisi justru
berdampak besar dan menentukan kualitas kehidupan
masyarakat.
Tentu berbeda kualitasnya kalau kekuasaan dijadikan
seseorang sebagai tempat pengabdian (baca: panggilan),
karena fokusnya adalah nilai-nilai etis. Di masa depan
mungkin politisi seperti ini sangat diharapkan
masyarakat, karena dari orang seperti itulah akan
muncul rasa tanggung jawab akan tugas, peduli pada
nasib dan kehidupan rakyat yang mempercayainya.
Penulis adalah staf PPE Universitas Atma Jaya,
mahasiswa S2 Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara,
Jakarta.
=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Web Hosting - Let the expert host your site
http://webhosting.yahoo.com