[Nusantara] Kearifan Menanggapi Terorisme

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Nov 19 08:48:16 2002


Kearifan Menanggapi Terorisme 
Dr Dimyati Hartono Pakar hukum senior di Indonesia 
KEBERADAAN terorisme di Indonesia tidak terelakkan
lagi ketika bom berkekuatan besar memorak-porandakan
pusat keramaian di kawasan wisata Kuta, Bali, pada 12
Oktober 2002. Peristiwa itu suka atau tidak suka
seperti mengafirmasi tudingan masyarakat internasional
sebelumnya yang menyebut Indonesia sebagai salah satu
sarang terorisme yang memiliki jaringan internasional.
Untuk membuktikan kebenaran tudingan itu, kita perlu
memberikan kesempatan kepada aparat penegak hukum dan
aparat keamanan untuk melakukan investigasi. Kita
jangan terkecoh atau terjebak pada tuduhan-tuduhan
tanpa dasar yang kuat, apalagi dari orang-orang luar
yang tidak menghendaki kita utuh untuk selamanya. 
Situasi keamanan di Indonesia pascajatuhnya kekuasaan
Soeharto sangat tidak menentu. Penegakan hukum (law
enforcement) lemah. Pemberantasan KKN (korupsi,
kolusi, dan nepotisme) tidak pernah maju. Hampir tidak
ada persoalan hukum yang diselesaikan secara tuntas
sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kredibilitas
masyarakat terhadap hukum rontok. Konflik bernuansa
SARA pecah di berbagai daerah seperti Ambon dan Poso.
Teror bom berkali-kali terjadi di Jakarta, Bandung,
dan Medan. 
Karena hukum tidak ditegakkan secara lugas, akhirnya
orang cenderung bertindak dengan caranya sendiri.
Terjadilah gerakan sepihak seperti tindakan main hakim
sendiri yang menyebabkan wibawa hukum dan pemerintah
sangat merosot. 
Dalam kondisi seperti ini, para pelaku terorisme pun
mendapat keleluasaan untuk melakukan aksi teror yang
menyulut kekacauan, ketakutan, dan keresahan di tengah
masyarakat. Hingga akhirnya terjadi ledakan bom di
Jalan Legian Kuta Bali, yang seakan-akan hendak
mengingatkan kita semua bahwa kondisi keamanan di
negara sudah sangat parah dan sudah saatnya untuk
menegakkan hukum lebih serius. 
Saya menangkap adanya respons positif dari pemerintah
dalam menanggapi kasus terorisme di Bali ini. Kalau
sebelumnya pemerintah Megawati Soekarnoputri agak
malu-malu atau tidak memiliki pendirian yang jelas
perihal keberadaan jaringan terorisme di Tanah Air,
dengan peristiwa di Jalan Legian Kuta, pada 12 Oktober
lalu, pemerintah sangat cepat tanggap. Salah satu
indikasinya adalah lahirnya Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang (Perpu) tentang Antiterorisme.

Dengan perpu ini, negara kita memunyai peraturan yang
tegas dan jelas tentang terorisme sehingga dapat
menjadi dasar tindakan bagi aparat penegak hukum atau
aparat keamanan mengenai bagaimana memberantas
terorisme. Kalau sebelumnya tidak ada definisi yang
jelas tentang terorisme, maka dengan peraturan itu
sudah ada dasar hukum bagi aparat negara untuk
bertindak. 
Namun, sebagaimana kita ketahui, terorisme tidak bisa
hapus hanya dengan adanya perpu itu. Perpu menuntut
adanya penegakan hukum (law enforcement). Keberhasilan
pemerintah tergantung pada bagaimana perpu tersebut
dilaksanakan. Bahwa saat ini ada yang setuju dan tidak
setuju dengan pemberlakuan perpu tersebut, saya kira
ini adalah hal yang wajar dalam masyarakat demokratis.

Yang dipentingkan dalam menghadapi persoalan ini
adalah ketegasan dan kelugasan sikap pemerintah, bahwa
terorisme itu membahayakan keutuhan bangsa dan negara,
menimbulkan kepanikan terhadap masyarakat secara luas
dan pada akhirnya bisa mengganggu kehidupan nasional.
Apalagi masalah ini dibiarkan berlarut-larut,
eksistensi kita sebagai satu negara kesatuan dapat
terancam. Oleh karena itu, lahirnya peraturan itu
harus didukung oleh penegakan hukum dan tindakan yang
lugas, tegas, tidak diskriminatif, dan konsisten. 
Untuk mendukung maksud tersebut, pemerintah harus satu
hati, tidak ambivalen dan lebih mengedepankan
kepentingan bangsa dan negara. Sayangnya, sikap
seperti ini masih sulit dibangun di negeri kita karena
banyak pejabat negara yang memangku jabatan rangkap
sebagai ketua umum partai politik dan pejabat negara
yang sangat menentukan kebijakan publik. Akibatnya,
mereka sulit memilah kepentingan bangsa dari
kepentingan partainya. Cermati saja pernyataan politik
sejumlah pejabat negara dalam menanggapi kasus bom di
Bali tempo hari. Tanggapan mereka yang beragam
membingungkan publik. 
Keruwetan ini disebabkan karena kedua posisi tersebut
sebenarnya sangat berbeda secara fungsional dan
karakternya pun tidak sama. Ketua umum partai
bertanggung jawab kepada para pendukungnya dan
kepentingan partainyalah yang harus dibela. Mestinya,
ketika seorang anggota partai politik menjadi pejabat
publik, maka kepentingan publik yang harus diutamakan,
dilaksanakan, dan dipertanggungjawabkan. Karena,
kepentingan publik tidak hanya kepentingan satu
kelompok manusia yang berbeda di dalam satu partai,
tetapi mengenai kepentingan bangsa dan negara secara
keseluruhan. Yang acap kali terjadi selama ini,
jabatan rangkap menimbulkan conflict of interest
(pertentangan kepentingan) antara urusan partai dengan
urusan bangsa dan negara. 
Langkah ke depan 
Aksi terorisme merupakan ancaman terhadap keutuhan
negara kesatuan Republik Indonesia, yang kalau
berlarut-larut dapat mengancam keutuhan dan eksistensi
persatuan Republik Indonesia. Sehubungan dengan itu,
ada beberapa langkah yang perlu dilakukan. 
Pertama, pemerintah mengambil inisiatif untuk mengajak
seluruh lapisan masyarakat --entah yang duduk di kursi
legislatif, eksekutif, yudikatif, partai-partai
politik, atau tokoh-tokoh masyarakat-- agar memunyai
sikap yang satu bahwa terorisme membahayakan keutuhan
bangsa dan negara. Sebab tanpa kesatuan cara berpikir,
tanpa melakukan tindakan yang sama, dan menyatukan
platform berpikir tidak mungkin ada sikap politik yang
satu. Ketika tidak ada sikap politik yang satu, yang
terjadi adalah seperti kita lihat selama ini, tidak
ada koordinasi di antara aparat keamanan dan aparat
hukum. Gerakan ini harus melibatkan seluruh lapisan
masyarakat. 
Kedua, membangun koordinasi kerja sama yang baik di
lingkungan pemerintahan sendiri. Aparat keamanan dan
penegak hukum mulai polisi, TNI, aparat penegak hukum
terkait, jaksa, hakim, bahkan juga lembaga-lembaga
intelijen harus dirangkum dalam satu team work yang
bagus. 
Ketiga, kalau aparatnya sudah solid, langkah
berikutnya adalah melakukan langkah hukum tindakan
represif berdasarkan peraturan yang ada terhadap
pelaku-pelaku yang dicurigai atau yang sudah terbukti
melakukan pelanggaran hukum. 
Proses hukum harus ditegakkan secara lugas, konsisten,
dan tanpa pandang bulu. Penegakan hukum merupakan
langkah kunci untuk menyukseskan tindakan represif.
Apabila tidak dilakukan tindakan represif, jangan
berharap ada tindakan preventif yang dapat mencegah
Indonesia dari ancaman aksi terorisme pada masa
mendatang.*** 

=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Web Hosting - Let the expert host your site
http://webhosting.yahoo.com