[Nusantara] Akar-akar Hancurnya "Civil Society"
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Nov 19 08:48:40 2002
Akar-akar Hancurnya "Civil Society"
Oleh Indra J Piliang
INISIATIF Kompas mempertemukan elemen muda lembaga
swadaya masyarakat (LSM) di Puncak, Bogor, 31
Oktober-1 November 2002, menunjukkan seriusnya
persoalan yang dihadapi. LSM terlihat gamang saat
merasa kehilangan musuh bersama, berupa state
otoritarianism.
Berbagai persoalan yang muncul selama diskusi dalam
pertemuan itu menunjukkan, distrust terjadi di
kalangan LSM yang selama ini dipadankan sebagai
komponen utama civil society. Berbagai strategi dan
formulasi disusun kembali, di tengah keterbatasan
waktu.
Selama Orde Baru, LSM menjadi fenomena tersendiri
karena sering menjadi satu unsur oposan terhadap
kebijakan pemerintah, terutama dalam pilihan varian
pembangunan. Sentralisasi pembangunan lewat apa yang
dikenal sebagai Trilogi Pembangunan berupa stabilitas,
pertumbuhan, dan pemerataan, terasa kering dari
partisipasi masyarakat akibat sentralisasi
pemerintahan. Keberadaan partai-partai politik saat
itu juga tak serta-merta membawa pada kehidupan yang
demokratis, karena pada prinsipnya hanya dijadikan
alat legitimasi pemerintahan.
Sentralisasi yang paling menakutkan adalah saat
bergabungnya elemen pertahanan dan keamanan, dikenal
sebagai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)
ke dalam panggung politik. Akibatnya, pemerintahan
sepi dari dinamika. Masyarakat mengalami
ketidakberdayaan dalam banyak segi. Keti-ka
ketidakberdayaan itu semakin kuat, LSM muncul dengan
itikad kemandirian kapasitas dan keunggulan masyarakat
guna merumuskan sendiri tujuan-tujuan hidupnya dan
cara mencapai tujuan itu.
Sifat politis LSM lalu sulit dihindari, mengingat pola
yang digunakan, antara lain lewat aksi demonstrasi.
Ketidakpercayaan kepada state, membuat LSM sulit untuk
menitipkan aspirasi yang mereka anggap penting untuk
dijadikan sandaran pengambilan kebijakan oleh
pemerintah. Sedikit sekali aktivis LSM yang bergabung
dengan partai-partai politik. Meski terkenal getol
menghapuskan depolitisasi dan deideologisasi, suasana
paradoks tercipta saat proses itu diiringi sikap
antipolitik. Tidak salah bila ada yang menyebut,
komponen oposisi berserak menghadapi otoritarianisme
Orde Baru yang berbuah kepada kegagalan demi
kegagalan.
***
KINI, keadaan sudah jauh berubah. Demokrasi sedang
berkibar, ditunjukkan dengan keberadaan lebih dari 200
partai politik baru, juga berbagai spanduk dan bendera
partai di jalanan. Akibatnya, LSM yang dulu terkenal
sebagai arus utama pembongkaran dinding
otoritarianisme menjadi kian tergusur perannya, bahkan
merasa tak punya common enemy. Ketika negara dijadikan
sebagai musuh, aspek-aspek pemberdayaan masyarakat
kian ketinggalan. Padahal, bila dilihat secara lebih
substantif, common enemy LSM tidak jauh berubah, yaitu
kemiskinan, kebodohan (illeteracy), pengangguran,
kerusakan lingkungan, sampai alienasi dan
marginalisasi indegenous people.
Orientasi ke arah itu jarang dilakukan partai-partai
politik, atau kelembagaan demokrasi seperti parlemen.
Demokrasi mengalami pendangkalan, ketika produk
kelembagaan demokrasi hanya seputar pembangunan
insfrastruktur politik dan orientasinya tak bergeser
dari ranah kekuasaan. Society mengalami mutilasi
pikiran, gagasan, dan kebijakan. Pelaku-pelakunya
bukan hanya state aparatus, tetapi juga komponen civil
society.
Ketika LSM merasa menjadi pelaku tunggal aspirator
pemberdayaan masyarakat, kondisi ketidakberdayaan
bukan makin hilang. Sebabnya kembali kepada metode
civic education yang dilakukan LSM yang di luar arus
mainstream kalangan-kalangan pedagogis yang tidak
percaya pada institusi sekolah. Paulo Freire, Ivan
Illich, dan intelektual pedagogis lain, sudah lama
menjadi kiblat metode pendidikan kewarganegaraan oleh
kalangan LSM, terutama di Amerika Latin. Anehnya,
metode deschooling society ini tak diikuti dengan
tekun oleh komponen civil society di Indonesia.
LSM seperti terpenjara oleh rutinitas reaksioner atas
produk kelembagaan demokrasi, seperti UU, juga
kepungan arus globalisasi. Akibatnya, LSM bukan hanya
tak berhasil merumuskan musuh bersamanya, tetapi LSM
sendirilah yang lalu menjadi musuh bersama kalangan
partai-partai politik, organisasi massa, sampai
parlemen dan lembaga-lembaga internasional. LSM
akhirnya hanya bergerak pada garis maya, tercerabut
dari akar kehidupan sosial (social life), dalam
keadaan amat mengenaskan.
Metode yang digunakan terlalu mudah untuk dilumpuhkan,
yaitu gerakan jalanan. Mengapa? Metode itu juga
dilakukan laskar-laskar sipil, pendukung partai-partai
politik, sampai masyarakat luas yang ingin membentuk
wilayah tersendiri atau berniat melengserkan kedudukan
seorang pejabat publik. Ketika terjadi perpindahan
amat signifikan metode gerakan jalanan ini dari LSM
atau gerakan mahasiswa, kepada masyarakat politik
(political community), kiprah LSM semakin
terpinggirkan.
***
SEBETULNYA, sebagaimana diungkap seorang aktivis,
perubahan metode sudah terjadi. Kini, minimal ada
sepuluh koalisi organisasi nonpemerintah (ornop)
terhadap satu masalah khusus, seperti pembaharuan
konstitusi, reformasi agraria (landreform), masyarakat
adat, kebebasan informasi, antikekerasan, sampai
diskriminasi rasial. Namun, koalisi itu belum bekerja
maksimal ketika, lagi-lagi, menjadikan state sebagai
common enemy.
Pilihan ini menjadi aneh dan sumir, mengingat state
tidak lagi bersifat tunggal. Elemen-elemen dalam state
juga mengalami dinamika internal yang kadang amat
menyilaukan. Bahkan, akibat ketersumbatan kepemimpinan
(lack of leadership), kondisi di tingkat state
mengalami pembusukan (state fallacy). Kian kencang
kritikan agar pembusukan dicegah, dengan memaksimalkan
manajemen dan koordinasi, mengurangi berbagai
kontroversi dan perbedaan pendapat di kalangan
penyelenggara negara, terutama dalam lembaga
kepresidenan dan kabinet.
Keadaan seperti ini, bila diambil sikap yang paling
oportunis, justru menguntungkan kalangan civil
society. Tidak heran bila kemudian muncul tuntutan
agar dilakukan semacam gerakan civil disobidience
(pembangkangan sipil) ketika negara semakin liar dan
tak mampu melaksanakan tuntutan minimum pelayanan
publik. Namun, sikap itu pun tak diambil oleh
mayoritas komponen civil society.
Bahkan, sebagaimana dilakukan oleh Koalisi untuk
Konstitusi Baru (KKB) yang terdiri dari elemen-elemen
LSM, kaum intelektual, akademisi, dan peneliti, dalam
upaya perumusan konstitusi baru dilakukan lewat
interaksi yang intensif dengan komponen partai-partai
politik, DPR, dan MPR. Pilihan ini kadang
disalah-artikan sebagai anti-partai politik, bahkan
penguburan partai-partai politik, oleh sebagian
kalangan yang tidak paham dengan apa yang sebenarnya
terjadi. Padahal, dilema lebih serius terjadi dalam
tubuh civil society yang tak sepakat dengan KKB,
dengan menyebut KKB membantu terbentuknya strong
state.
Keadaan ini tentu tak perlu berlanjut. Selain
merumuskan common enemy, sebetulnya masalah terbesar
kalangan LSM adalah bagaimana melakukan "pencucian
darah" mereka. Sering ada distorsi, juga saling
curiga, ketika pilihan untuk berjarak atau mendekat
kepada lembaga-lembaga negara dinilai secara
hitam-putih. Akibatnya, state centrisism tetap menjadi
dominan. Padahal, state sampai kapan pun tetap menjadi
unsur utama dalam apa yang disebut sebagai Republik
Indonesia. State juga mengalami dinamika tersendiri,
diikat berbagai perjanjian internasional dan
berhubungan dengan lembaga-lembaga mancanegara.
Untuk mencegah akar-akar kehancuran civil society,
selayaknya pemaknaannya tidak lagi didominasi
pandangan-pandangan klasik sebagai organisasi nonstate
atau antistate. Kini, kian terbentuk jaringan civil
society global, dengan isu-isu khusus. Greenpeace yang
dijadikan tolok ukur keberhasilan LSM, juga bergerak
tanpa batas-batas negara, dan sedikit banyak berhasil
mencegah kehancuran ekologis akibat revolusi hijau dan
varian-variannya.
Sudah saatnya LSM tidak lagi berpikir tentang state
dan nonstate secara hitam-putih, karena letak LSM
adalah dalam lingkup civil society. Bila hanya sebatas
perbedaan strategi atau metode perjuangan, hal-hal
semacam ini seharusnya tidak menjadi sandungan
ideologis. Ketika negara berubah, masyarakat berubah,
seyogianya LSM juga berubah.
Indra J Piliang Peneliti Departemen Politik dan
Perubahan Sosial CSIS, Jakarta
=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Web Hosting - Let the expert host your site
http://webhosting.yahoo.com