[Nusantara] Fenomena di Balik Terorisme

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Nov 19 08:48:43 2002


Fenomena di Balik Terorisme 

Polykarpus Ulin Agan, Mahasiswa program doktor,
Fakultas Filsafat Agama Universitas Freiburg, Jerman 

MARTIN LUTHER, seorang tokoh reformator abad
pertengahan, pernah mendengungkan sebuah syair
terkenal: ''Di tengah-tengah kehidupan, kita
senantiasa diliputi oleh kematian.'' Makna syair ini
mendapat gema yang 'menggigit kalbu', khususnya ketika
realitas kehidupan itu tiba-tiba diprovokasi oleh
kelamnya kejahatan yang datang bagai 'pencuri di
tengah malam'. 

Semaraknya kegembiraan hidup tiba-tiba mencapai sebuah
'titik akhir' yang tidak pernah terpikirkan
sebelumnya. Kehidupan dan kematian itu ibarat dua sisi
dari satu mata uang. Juga kalau realitas kematian itu
sering 'ditepis' lewat pelarian ke dalam dunia-dunia
hiburan, ia tetaplah realitas yang senantiasa
menjumpai manusia dalam setiap detak kehidupannya.
Epos Gilgamesch (mitologi sumeria) sudah menyuarakan
kenyataan ini lebih dari 1.200 tahun sebelum kelahiran
Isa Almasih: ''Ke mana pun Anda berlari untuk
menghindar dari kematian, hingga ke dasar laut yang
paling dalam sekalipun, di sana tetap ada kematian.'' 

Kedua tanggal bersejarah yang melukis 'titian
keruntuhan moral dalam tatanan kemanusiaan sejagat',
11 September dan 12 Oktober, menghadirkan kembali
suara epos Gilgamesch dalam sebuah nuansa lain.
Mengapa justru tempat-tempat yang menjadi simbol
perkembangan tata perekonomian modern seperti WTC dan
simbol sebuah dunia penuh pesona paradis seperti Bali
menjadi sasaran kejahatan dan teror? Apakah ini suatu
tanda ambivalensi manusia berhadapan dengan
perkembangan perekonomian yang sering mengabaikan
pribadi manusia sebagai 'persona'? Apakah ini suatu
bentuk protes terhadap tendensi manusia zaman ini yang
lebih mengarah ke 'kesenangan material' ketimbang
mencari 'makanan' bagi jiwanya yang lesu? 

Tentu masih ada seribu satu pertanyaan yang dapat
dilontarkan untuk membentuk sebuah 'mata rantai'
senandung pesimisme. Tetapi pertanyaan yang paling
menggigit dan menantang ialah mengapa 'keinginan
membunuh' (Freud) manusia itu justru terarah kepada
insan yang sebenarnya jauh dari 'alamat yang
sebenarnya'? Ilmu psikologi dalam ternyata tidak
meleset, ketika ia mengembangkan teorinya, bahwa
antara kebaikan dan kejahatan, antara keinginan untuk
menggapai kekuasaan secara jantan dan keinginan untuk
menghancurkan tanpa kompromi sebenarnya hanya dibatasi
oleh 'seutas benang' yang tak terjangkau mata. 

Dalam sejarah dunia tercatat tokoh-tokoh yang berniat
untuk mengembangkan konsep-konsep kemanusiaan yang
andal; tetapi niat ini justru berakhir dengan
pembunuhan massal yang brutal dan keji. Karl Marx
berangan-angan untuk memperbaiki 'wajah kemanusiaan
sejagat' dengan menampilkan gagasan 'masyarakat tanpa
kelas'. Tetapi, pada saat yang sama ia memberikan
angin segar bagi penghalalan kekerasan dan revolusi
sebagai sarana menuju tujuan yang diidam-idamkan.
Alhasil, tidak sedikit manusia yang kehilangan
hidupnya di bawah parole ideologi ini. 

Demikian pun Hitler. Keinginannya untuk mengembangkan
suatu 'kerajaan untuk semua' segera diiringi oleh
nafsunya untuk menguasai lewat jalan kekerasan
sekaligus usaha pembantaian kelompok yang dirasa
menghalangi tujuan gagasannya. Sekat atau batas antara
kebaikan dan kejahatan itu begitu tipis, hingga suara
hati tak mampu membedakan, terutama ketika 'ego' mulai
mendominasi pilihan dan keputusan. 

*** 

Symptom lain yang menyusuri kekerasan ini ialah
tragedi bunuh diri yang sekarang menjadi momok yang
transparan di banyak daerah. Symptom ini muncul ke
pentas kejahatan, ketika 'kuasa ego' itu dikuduskan
lewat penyerahan kepercayaan dari masyarakat yang
sudah dimanipulasi dengan slogan-slogan yang bernada
pembebasan. Seorang Saddam Hussein memang mengetahui,
bahwa ia sementara 'bermain api' yang nantinya bukan
hanya membakar masyarakat tak bersalah, tapi juga
dirinya sendiri. Meskipun demikian, ia tetap
melanjutkan permainannya ini karena ia merasa didukung
oleh kekuatan massa yang sudah dirasuk oleh api
kebencian. 

Symptom ini juga muncul, ketika kaum terdidik dan
bakal penguasa yang frustrasi berusaha mencari
agen-agen yang mampu mengejahwantahkan frustrasi
mereka ke dalam kekerasan dan kejahatan. Sayangnya,
agen-agen ini biasanya adalah orang yang tak
berpendidikan dan orang sederhana yang gampang
dimanipulasi. Bukankah aksi-aksi bom bunuh diri yang
sering terjadi justru disulut oleh gagasan-gagasan
ideologis berpakaian agama dari para pemimpin dan
penguasa fanatik yang frustrasi? Tanpa memutlakkan
instrumentalisasi agama sebagai biang segala
kejahatan, peristiwa dramatis 11 September dan 12
Oktober dapat menjadi ajang pembaruan diri
agama-agama. 

Tidak ada agama yang mencuci tangan dari segala
kejahatan yang menghancurkan wajah kemanusiaan.
Peristiwa 11 September dan mungkin juga 12 Oktober
sungguh membuka mata dunia, betapa instrumentalisasi
agama dan ideologi/kekuasaan dapat memorak-porandakan
visi manusia akan keselamatan; dan betapa dekat jarak
antara mimpi religius dan keinginan membunuh
(Mordlust). Maka agama-agama harus mampu membersihkan
diri dari segala beban ideologis yang selama ini
menghambat perkembangan ke arah sivilisasi. Mereka
juga harus mampu membersihkan diri dari pemahaman yang
keliru tentang konsep teologis korban berdarah
(Suehne-Opfer), yang dalam perjalanan sejarah
agama-agama sering menjadi batu loncatan menuju
penghalalan cara kekerasan demi tujuan religius. 

Tetapi di balik usaha pembersihan diri ini, yang
paling menentukan adalah pengakaran pemahaman tentang
arti kehidupan dan gambaran tentang Allah yang
diyakini. Semua agama menjunjung tinggi penghargaan
terhadap kehidupan serta menempatkan kebahagiaan dan
keselamatan manusia dalam Allah/Wujud Tertinggi
sebagai tujuan terakhirnya. Bukankah ini suatu
paradoks, ketika kehidupan manusia itu direnggut lewat
jalan kekerasan atas nama agama? Bukankah Allah yang
diyakini bersama adalah Allah yang menghendaki
kehidupan dan bukan kematian? 

Pandangan positif tentang kehidupan dan sebuah potret
Allah yang mencintai kehidupan adalah bias-bias yang
seharusnya menjadi pandangan umum setiap penganut
agama. Proses ke arah ini hanya dapat dijangkau, jika
ada kesinambungan discernment (pembedaan roh) yang
jujur dari para tokoh agama yang mencerminkan
kuncup-kuncup penghargaan terhadap kehidupan. 

*** 

Di sini seruan untuk kembali kepada mistik yang
menjadi elemen penting dalam setiap agama mendapat
gema dan bobotnya. Agama yang melupakan atau tidak
peduli lagi terhadap dimensi mistik akan mengarah ke
rasionalitas yang kaku dan tendensi fundamentalistis
sebagai awal penghalalan instrumentalisasi agama.
Tendensi ke arah rasionalitas yang kaku, dapat dilihat
dalam iklim kekristenan Eropa, bahwa agama Kristen
berkembang ke arah agama intelek yang menyebabkan
kemandekan dan kelesuan dalam banyak bidang kehidupan
religius. 

Dalam iklim ini orang percaya, bahwa jawaban atas
pertanyaan tentang keselamatan dapat dicapai lewat
rasio. Konsekuensinya, di mana-mana terjadi revolusi
industri yang kebanyakan berakhir pada bencana-bencana
ideologis dan irasionalisme, seperti yang terlihat
dalam gerakan-gerakan ekstremisme. Syukurlah, sejak
psikolog Sigmund Freud berhasil menunjukkan, bahwa
pemikiran manusia itu tidak berada dalam sebuah ruang
kesadaran dan kebebasan roh yang ditentukan oleh
manusia sendiri, melainkan dalam ruangan-ruangan bawah
sadar dengan berbagai macam archetype, --orang mulai
sadar, bahwa toh masih ada kekuatan di luar rasio yang
mengatur kehidupan. ''Allah sudah mati.... dan kitalah
yang membunuhnya'' (Friedrich Nietszche). 

Gema yang disuarakan oleh Nietszche lebih dari 100
tahun yang lalu itu, tidak hanya menyentuh eksistensi
kekristenan Eropa yang sering lupa pada warisan
mistiknya, melainkan juga menyentuh eksistensi
agama-agama lain di belahan dunia kutub selatan.
Terorisme dan kejahatan yang memperalat agama tidak
lain adalah realisasi dari gema 'pembunuhan Allah'
sebagai akibat dari ketakpedulian terhadap sisi mistis
keagamaan. 

Kembali ke mistik! Inilah seruan untuk semua agama
setelah peristiwa dramatis 11 September setahun yang
lalu dan khususnya setelah tragedi aktual 12 Oktober
2002. Dalam permenungan yang jujur terhadap dimensi
mistik yang terbuka terhadap dunia dan transendensi,
orang akan menemukan bahwa Allah yang diimani dalam
setiap agama bukanlah Allah yang menghendaki kejahatan
dan kejatuhan manusia, melainkan Allah yang
menghendaki kehidupan dan keselamatan baginya. 

Dapatkah agama-agama di Indonesia belajar dari
peristiwa tragis 12 Oktober untuk membangun dialog
teologis dan dialog mistis untuk mencapai proses
pemurnian diri dengan menghancurkan akar kejahatan
yang memperalat agama?*** 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Web Hosting - Let the expert host your site
http://webhosting.yahoo.com