[Nusantara] Ambisi untuk Memberantas Korupsi

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Nov 22 09:00:14 2002


Ambisi untuk Memberantas Korupsi 

Dr Achmad Ali, 

Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin, Makassar 

DI bukunya yang berjudul The Structure of Scientific
Revolutions, Profesor Thomas S Kuhn mengemukakan
pemikiran yang merupakan terobosan perubahan paradigma
dan menentang konsep lama yang berlaku umum di
kalangan ilmuwan yang berpendapat bahwa perkembangan
ilmu selalu bersifat kumulatif. Thomas S Kuhn
menyatakan bahwa dalam kondisi tertentu, perubahan
tidak boleh lagi berproses lambat secara kumulatif,
tetapi harus dilakukan secara 'revolusioner'. Kuhn
menggambarkan adanya situasi yang dinamainya sebagai
'anomalia' yang melahirkan 'krisis'. 

Situasi anomalia ini muncul ketika paradigma lama tak
mampu lagi menyelesaikan konflik-konflik dan
penyimpangan-penyimpangan yang berlangsung. Pada saat
itulah dibutuhkan 'loncatan' paradigma dari paradigma
lama langsung secara revolusioner ke suatu paradigma
baru. 

Keterpurukan hukum di Indonesia dewasa ini, dan
kegagalan memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN), menurut saya, tidak lain karena para petinggi
hukum, penentu kebijakan hukum, dan para penegak hukum
masih menggunakan 'paradigma hukum' lama yang tidak
lagi mampu menyelesaikan berbagsai problem hukum.
Situasi 'anomalia' dan 'krisis' seperti yang
digambarkan Thomas S Kuhn itu kini menjadi kenyataan.
Untuk itu, saya selalu menekankan perlunya sesegera
mungkin 'revolusi' keparadigmaan dalam legal thought
(pemikiran hukum). 

Pemikiran yang legal positivism harus berani untuk
ditinggalkan, dan kemudian bangsa ini menggunakan
paradigma hukum yang lebih revolusioner dan responsif
(istilah Nonet & Selznick, yang kemudian dipopulerkan
Satjipto Rahardjo). Munculnya ide untuk membentuk
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat
digolongkan sebagai salah satu terobosan untuk
meng-'ganyang' korupsi di Indonesia. 

Bagi saya, adalah tidak aneh ketika Jaksa Agung MA
Rahman mempertanyakan kewenangan Kejaksaan nantinya
dalam penyelidikan dan penyidikan perkara korupsi,
jika kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
itu juga diberikan kewenangan untuk menyelidiki dan
menyidik kasus-kasus korupsi. Dengan kualitas berpikir
yang mapan, tentu saja seorang Jaksa Agung akan
menolak jika kewenangan yang selama ini ada pada
Kejaksaan, juga diserahkan pada suatu komisi. Yang
dapat kita simpulkan bahwa penolakan seperti itu
memang menandakan ambisi untuk mempertahankan dan
saling berebut kewenangan, yang ujung-ujungnya juga
bukan dengan niat untuk benar-benar mengoptimalkan
penegakan hukum. 

Saya malah mempunyai pandangan yang lebih ekstrem,
yang menginginkan agar untuk jangka waktu tertentu,
katakan hingga lima tahun ke depan, kewenangan untuk
penyelidikan dan penyidikan perkara korupsi sepenuhnya
diserahkan kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang akan dibentuk itu. Tentu saja dengan
syarat, mereka yang bakal duduk di komisi tersebut
benar-benar adalah sosok 'bersih, cerdas, tidak
legalistik-normatif' serta yang memunyai 'ambisi keras
memberantas KKN'. 

*** 

Banyak orang yang mungkin tidak tahu, betapa
'ambisi'-nya almarhum Prof Dr Baharuddin Lopa SH untuk
menjadi Jaksa Agung Republik Indonesia, tetapi ambisi
beliau berangkat dari prinsip untuk menegakkan amar
ma'ruf nahi munkar. Bukan untuk mengejar harta dan
kekuasaan. Baharuddin Lopa butuh kekuasaan untuk
mewujudkan obsesinya memberantas korupsi. Tanpa
kekuasaan, tanpa jabatan seperti Jaksa Agung, mustahil
dapat memberantas korupsi. 

Saya tidak dapat melupakan, ketika dalam salah satu
perkuliahan S-3 di Program S-3 Ilmu Hukum Program
Pascasarjana UNHAS, dosennya adalah Prof Dr Baharuddin
Lopa SH menyatakan, ''Didukung oleh setan pun saya
bersedia, asalkan dapat menjadi Jaksa Agung!'' Jika
kalimatnya sampai di situ, hanya akan menunjukkan
ambisi seorang Baharuddin Lopa. Tetapi kalimat di atas
masih dilanjutkan beliau, ''Saya sudah terlalu
prihatin dan murka melihat korupsi merajalela dan
Kejaksaan Agung tak menunjukkan keinginan optimal
untuk memberantasnya. Karena itu, jika Tuhan
menghendaki, saya bersedia jadi 'martir' sebagai Jaksa
Agung untuk memberantas korupsi tanpa pandang bulu!'' 

Baharuddin Lopa berambisi untuk menduduki kursi Jaksa
Agung, bukan demi uang dan kekuasaan, melainkan demi
suatu misi luhur, menegakkan hukum dan keadilan,
khususnya memberantas KKN. Dengan demikian, ambisi
positif seperti itu tidak boleh dikaitkan dengan
ajaran Islam bahwa janganlah memberi jabatan kepada
seseorang yang terlalu menginginkan jabatan itu.
Karena pada hakikatnya, yang tersirat dalam ajaran
Islam itu adalah jika seseorang berambisi terhadap
jabatannya sebagai kekuasaan, dan bukan untuk tujuan
luhur. 

Jadi, membaca suatu dalil Alquran ataupun hadis
membutuhkan wawasan yang tidak sempit harfiah saja.
Dalam menerapkan ajaran-ajaran agama, harus
semata-mata karena Allah dan bukan karena emosi,
dendam, dengki, atau nafsu untuk menonjolkan diri, mau
tampil beda, dan sejenisnya. Justru sebenarnya apa
yang salah dalam dunia penegakan hukum kita yang
sedemikian amburadul ini? Tidak lain karena di antara
petinggi hukum kini, ada yang sama sekali tidak
memiliki ambisi untuk memberantas KKN. Mereka sekadar
berambisi untuk meraup sebanyak-banyaknya harta selama
masa kekuasaan mereka. Ambisi mereka hanyalah ambisi
keserakahan, dan ambisi semacam itulah yang salah. 

Mengikuti keteladanan sosok Baharuddin Lopa, kita
semua harus punya ambisi untuk memperoleh power dalam
pemberantasan KKN, karena tanpa power alias kekuasaan,
tak mungkin kita mampu memberantas KKN. Memberantas
KKN harus dengan action, dan action yang legal harus
memiliki basis kewenangan. Ambisi untuk memberantas
kejahatan bukan hanya tidak salah, tetapi sangat dan
teramat dibutuhkan dalam kondisi keterpurukan hukum
yang melanda Indonesia kini. 

*** 

Untuk memberantas KKN, tidak hanya dibutuhkan
political will dari tiga unsur kekuasaan, yaitu
eksekutif, legislatif, dan judikatif, tetapi juga
political action. Yang terpenting lagi, harus ada
gestalt switch alias perombakan yang menyeluruh dalam
kebijakan pemberantasan KKN tersebut. Bukan hanya
perlu adanya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, melainkan juga harus ada Pengadilan Khusus
Korupsi dengan Hukum Acara Khusus Tindak Pidana
Korupsi. 

Ketentuan-ketentuan khusus harus diberlakukan,
misalnya penerapan asas pembuktian terbalik secara
penuh. Untuk sementara kerahasiaan bank bagi tersangka
dan terdakwa kasus korupsi disampingkan dulu, karena
di dalam kenyataan, para koruptor Indonesia selalu
berlindung di balik kerahasiaan bank itu. Semua
perisai yang dapat dijadikan tempat berlindung para
koruptor itu harus disingkirkan dulu. Sebab,
corruption is acrime of calculation, not a passion.
People will tend to engage in corruption when the
risks are low, the penalties mild, and the rewards
great.*** 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus – Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com