[Nusantara] Keanggotaan DPD dan Sistem Bikameral
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Nov 22 09:00:27 2002
Keanggotaan DPD dan Sistem Bikameral
Indra J Piliang,
Peneliti politik dan perubahan sosial CSIS,
Jakarta SISTEM demokrasi yang hendak dibangun usai
perubahan UUD 1945 menyangkut keanggotaan MPR yang
terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). Keduanya dipilih lewat pemilu
(Pasal 2 ayat 1, 19 ayat 1, dan 22C ayat 1, dan 22E
ayat 2). Anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya
sama dan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih
dari sepertiga jumlah anggota DPR (22C ayat 2).
Sekalipun dipilih lewat pemilu, kekuasaan, fungsi,
hak, dan kewajiban kedua dewan ini berbeda. Asas
ketidaksetaraan DPR dan DPD terbaca dari susunan dan
kedudukan DPD yang diatur dengan UU (22C ayat 3).
Untuk menentukan susunan dan kedudukan itu, DPD sama
sekali tidak memunyai kekuasaan apa-apa, mengingat
setiap rancangan undang-undang (RUU) dibahas oleh DPR
dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama (20
ayat 2). Artinya, susunan dan kedudukan DPD ditentukan
oleh DPR dan Presiden.
Secara implisit, kedudukan DPD berada di bawah DPR dan
Presiden. DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR yang
berkaitan dengan (1) otonomi daerah, (2) hubungan
pusat dan daerah, (3) pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, (4) pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan (5) perimbangan keuangan pusat dan daerah (22D
ayat 1). DPD ikut membahas sejumlah RUU yang diajukan
dalam bagian pertama di atas, serta memberikan
pertimbangan kepada DPR atas RUU Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) dan RUU yang berkaitan
dengan pajak, pendidikan dan agama (22D ayat 2). DPD
dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU pada
bagian kedua di atas, dan menyampaikan hasil
pengawasannya kepada DPR sebagai bahan pertimbangan
untuk ditindaklanjuti (22D ayat 3). Selain itu,
anggota DPD dapat diberhentikan dari jabatannya, yang
syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam UU (22D
ayat 4). Artinya, DPR dan Presiden bisa mengatur
pemberhentian anggota DPD.
Jelas sekali, apabila DPR dan Presiden berasal dari
kalangan partai politik (parpol) (6A ayat 2 dan 22E
ayat 3), peserta pemilu untuk memilih anggota DPD
adalah perseorangan (22E ayat 4). Ketiadaan hak
legislasi DPD menyebabkan kepentingan parpol bisa
mengatur susunan, kedudukan, dan pemberhentian anggota
DPD.
Dari pasal-pasal di atas, terlihat DPD hanyalah weak
chamber di bawah DPR dan Presiden dalam hal legislasi.
Bisa juga diinterpretasikan bahwa DPD adalah
subordinat dari parpol yang terpilih menjadi
Presiden/Wakil Presiden (Wapres) dan DPR dalam
hubungan hierarki dan oligopoli. Sekalipun begitu,
kedudukan DPD bisa kuat ketika menjalankan haknya
sebagai anggota MPR, baik dalam mengubah dan
menetapkan UUD (3 ayat 1), melantik Presiden/Wapres (3
ayat 2), memberhentikan Presiden/Wapres atas usul DPR
setelah melewati proses dalam Mahkamah Konstitusi (7B
ayat 7).
Apabila sepertiga anggota MPR dari DPD sepakat untuk
mengubah arah desentralisasi, atau memperkuat wewenang
DPD, dan mampu memengaruhi anggota DPR, betapa berbeda
UUD nantinya. Begitu pula menyangkut perkembangan
civil society, hubungan negara dengan civil society,
atau upaya memperkuat civil society lewat konstitusi,
mengingat keanggotaan DPD yang tidak boleh dari
parpol.
***
Usulan Depdagri dalam RUU Susunan Lembaga
Permusyawaratan dan Perwakilan Rakyat menyebut jumlah
anggota DPR ditetapkan 500 orang dan anggota DPD empat
orang dari setiap provinsi. Indonesia saat ini
memiliki 31 provinsi sehingga jumlah anggota DPD 124
orang. Akan tetapi, apabila pada saat Pemilu 2004
Indonesia memiliki 40 provinsi, misalnya, anggota DPD
akan berjumlah 160 orang. Logika ini kurang kena.
Mestinya dasar pijakannya tetap, yakni jumlah anggota
DPD tidak lebih dari sepertiga anggota DPR.
Dengan jumlah anggota DPR sebanyak 500 orang, mestinya
jumlah anggota DPD menjadi 166 kursi, karena masih
tersisa 0,66 kursi yang belum melewati ketentuan
sepertiga kursi DPR. Begitupun seterusnya, apabila
jumlah anggota DPR sebanyak 700 orang, dengan alasan
beratnya beban pekerjaan DPR, jumlah anggota DPD
adalah 233 orang dengan sisa 0,33 kursi sebelum batas
sepertiga anggota DPR dilewati. Usulan itulah hendak
dilenyapkan oleh 'parpol berkuasa', yaitu dengan
menambah jumlah anggota DPR dan mengurangi jumlah
anggota DPD menjadi tiga orang per provinsi.
Berdasarkan UUD, DPD jauh lebih layak mewakili
aspirasi masyarakat daerah, ketimbang parpol. Sebab,
pemilihan DPD secara langsung. Tetapi dengan
legitimasi dari bawah itu, UUD juga yang mengamputasi
tugas dan wewenang DPD. Makanya, tidak terlalu tepat
kalau ada yang mengatakan bahwa UUD 2002 menganut
sistem bikameral. Sistem bikameral jenis apa? Memang
sistem bikameral sendiri bervariasi dalam negara
federal dan unitarian, tetapi prinsip-prinsip yang
dianut relatif sama, yaitu DPR bekerja untuk
konstituen nasional atau federal, sedangkan DPD untuk
konstituen daerah atau negara bagian.
Dalam sistem strong bicameralism atau pure
bicameralism, the upper house bisa memveto atau
menolak setiap UU yang dihasilkan the lower house,
tetapi veto atau penolakan itu bisa gugur apabila the
upper house bisa mencapai mayoritas minimum atau
maksimum untuk diajukan kembali (Slovenia, Russia dan
Afrika Selatan).
***
Uniknya di Indonesia, DPD tidak jelas disebut sebagai
lembaga apa. DPD bukan lembaga yudikatif, legislatif,
apalagi eksekutif. DPD lebih mirip sebagai perluasan
dari Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD), karena
hanya mengajukan dan membahas RUU, pertimbangan atas
RUU (termasuk APBN, pajak, pendidikan dan agama) dan
pengawasan pelaksanaan UU itu, tanpa ikut memutuskan
RUU menjadi UU, juga memberikan kontrol rutin atas
kinerja pemerintahan daerah. Sistem ini dikenal
sebagai weak bicameralsm, seperti diterapkan di
Inggris, Botswana, dan Burkina Faso.
Dengan kuatnya partycracy di Indonesia, pemilu DPR
tanpa sistem distrik, sampai minimalisasi peran DPD,
terjadi perubahan amat signifikan dalam sistem
bikameral, menjadi sekadar bikamerad atau duo kamerad.
Kedaulatan akhir berada di tangan kamerad-kamerad
parpol, baik di eksekutif (presiden/wakil presiden)
maupun legislative (DPR). Kerja sama pembuatan UU dan
kebijakan, sesungguhnya hanya mempertemukan
kepentingan-kepentingan parpol, terutama kalau terjadi
skenario parpol pemenang kursi presiden/wakil presiden
menjadi mayoritas dominan di DPR.
Sulit sekali kontrol dilakukan oleh lembaga lain di
luarnya. Ke depan, UUD 2002 perlu diubah dengan
menyusun prinsip-prinsip sistem ketatanegaraan yang
jelas dan tegas. Kalau tidak, lingkaran permasalahan
baru yang bersumber dari politisi parpol terus
membelit bangsa ini, hingga hanyut melewati
batas-batas gagalnya negara.
***
=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus – Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com