[Nusantara] Islam dan Masalah Terorisme

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Sun Nov 24 10:00:52 2002


Islam dan Masalah Terorisme 

Kemutlakan Munculkan Radikalisme 

Oleh Syamsul Arifin 

Tak hanya Islam. Agama apa pun berpotensi memunculkan
radikalisme. Sumbernya adalah kemutlakan dalam agama
itu sendiri. Tulisan kedua tentang radikalisme ditulis
Syamsul Arifin, staf pengajar Unmuh Malang. MEMASUKI
Ramadan 1423 H, suasana keberagamaan umat Islam di
tanah air terlihat kurang begitu nyaman. Tragedi
peledakan Legian, Bali, 12 Oktober lalu, selain
menimbulkan banyak korban nyawa dari pihak turis
asing, juga mengakibatkan korban dari pihak umat
Islam. 

Tidak lama setelah terjadinya tragedi itu, opini
tentang aktor dengan begitu cepat berkembang, yang
mengarah kepada sekelompok umat Islam yang memiliki
orientasi ideologis Islam radikal. Efek ganda tragedi
Legian, Bali, rupanya, memiliki kesamaan dengan aksi
terorisme yang meluluhlantakkan WTC pada 9 September
2001. Pasca peledakan WTC, opini publik mengarah
kepada sekelompok Islam radikal sebagai pelaku
utamanya. 

Tentu saja, sebagian umat Islam menolak opini
tersebut. Apalagi, opini itu cenderung memudahkan
terjadinya generalisasi bahwa Islam identik dengan
radikalisme. Fenomena radikalisme sebenarnya tidak
hanya terjadi pada masyarakat Islam. Semua agama di
muka bumi ini menghadapi persoalan radikalisme. Atau
dengan kata lain, masyarakat agama berpotensi
menghadapi persoalan radikalisme. Penyebabnya justru
bersumber pada agama itu sendiri. Yaitu, pada setiap
agama terdapat aspek-aspek kemutlakan yang bisa
mendorong munculnya sikap keberagamaan radikal.
Umpamanya, Alquran dalam keyakinan umat Islam dan
Injil pada umat Kristen. 

Dalam ortodoksi umat Islam, Alquran diyakini secara
kuat sebagai kitab yang diturunkan langsung oleh
Allah. Kelanjutan keyakinan ini, Alquran dipandang
memiliki kebenaran absolut dan universal, yang dapat
mengatasi perkembangan zaman. Sampai di sini, sikap
ortodoks tersebut merupakan kewajaran, sebagaimana
sikap yang dimiliki komunitas agama lain. Persoalan
muncul ketika keyakinan terhadap kemutlakan kitab suci
berakibat pada terjadinya resistensi terhadap semua
bentuk penafsiran terhadap teks kitab suci karena
khawatir menimbulkan reduksi pada kemutlakan teks
kitab suci. 

Salah satu karakter penting radikalisme agama, seperti
ditulis Leonard Binder, adalah penekanan pada sikap
skriptual -disebut juga tekstual atau literal-
terhadap doktrin agama. Agar pemahaman skriptual
memiliki otoritas yang kuat, radikalisme agama
melembagakan kepemimpinan agama yang tunggal,
monolotik yang cenderung otoriter. Dengan karakter
semacam ini, tidak heran bila kalangan luar memahami
radikalisme dalam konotasi yang pejoratif. Misalnya,
radikalisme disamakan dengan sikap antirasional,
antimodern, antiilmu pengetahuan, eksklusif, tidak
toleran, dan lain sebagainya. 

Dalam hubungannya dengan agama, kelompok radikal tidak
berhenti pada tataran ortodoksi saja. Sebagai
implikasi keyakinan terhadap kemutlakan agama,
kelompok radikalisme agama berkeinginan agar agama
menyentuh juga ranah ortopraksis sehingga agama dapat
menjadi basis teologis dalam kehidupan publik. Dalam
mengonstruksi agama, kelompok radikal tidak hanya
terbatas pada aspek privat, melainkan juga pada aspek
publik. Meminjam konstruksi teoretik Jose Casanova,
konstruksi agama kelompok radikal adalah public
religion. Sebagai implikasi konstruksi yang demikian,
kelompok radikal biasanya melakukan upaya
deprivatisasi agama, sebagai antitesis terhadap
privatisasi agama yang selalu dikumandangkan kelompok
sekuler. 

Dalam ranah politik, artikulasi deprivatisasi agama
diwujudkan dalam suatu agenda mendirikan negara
teokratis. Dalam kasus Islam, agenda utamanya adalah
mendirikan negara Islam sebagai institusi utama
legalisasi syariat Islam. Dengan mencermati agenda
publik di atas, di sisi lain, munculnya kelompok
radikalisme agama dapat dikategorikan sebagai bagian
dari gerakan sosial (social movement) yang berusaha
kuat membangun tatanan baru (a new orde of life) yang
lebih baik. 

Dalam wilayah sosial, munculnya fenomena gerakan
sosial yang berbabasis agama ini disebabkan
ketidakpuasan sosial (social discontent) terhadap
sistem sosial yang direproduksi ideologi sekuler.
Ideologi ini dalam pandangan kaum radikalisme agama
telah gagal membentuk sistem sosial yang baik.
Keyakinan terhadap ideologi keagamaan yang dipilihnya
mengakibatkan kelompok radikal lebih suka melakukan
gerakan perlawanan (fight against). Dengan cara ini,
kelompok radikal yakin dapat mengubah secara radikal
tatanan sosial yang dinilai telah menyimpang jauh dari
tuntutan Tuhan. 

Dalam wilayah sosial, agenda publik kelompok radikal
mudah melahirkan benturan karena gerakan perlawanan
yang dipilihnya itu malah menggiring kepada penggunaan
cara kekerasan yang bisa pula jatuh pada tindakan
anarkistis. Jadi, persoalan utama kelompok radikal
adalah terletak pada tataran epistemologi dalam
mewujudkan tuntunan agama pada wilayah publik.
Nilai-nilai adi luhung agama memang seharusnya
diwujudkan dalam kehidupan publik. 

Tapi, jika cara yang ditempuh dalam mewujudkan
nilai-nilai adi luhung agama adalah kekerasan, yang
terjadi adalah ketakutan terhadap agama itu sendiri.
Padahal, agama diturunkan ke muka bumi ini agar
manusia dapat hidup dengan penuh ketenteraman dan
kedamaian. 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus – Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com