[Nusantara] Pemimpin dengan Visi

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Sun Nov 24 10:01:08 2002


Pemimpin dengan Visi 

Toeti Adhitama, Ketua Dewan Redaksi Media Indonesia 

KAMIS minggu ini, Gerakan Jalan Lurus dalam pertemuan
terbatas mengadakan bincang-bincang tentang
masalah-masalah yang dihadapi bangsa. Sulastomo
sebagai koordinator meminta yang hadir untuk berbagi
pandangan. Maka bermunculanlah pandangan-pandangan
tentang berbagai persoalan bangsa yang bila ditilik
secara objektif tidak semuanya buruk. Sekadar contoh,
tentang perekonomian yang terus-menerus menghantui,
misalnya, Teddy P Rachmat mengindikasikan situasi akan
bertambah baik. Pernyataan itu saja paling tidak
memberikan secercah harapan. 

Walaupun di lain pihak Bomer Pasaribu mengingatkan,
situasi pengangguran yang makin parah akan menimbulkan
dampak negatif di semua bidang, termasuk keamanan yang
didambakan demi pemulihan situasi. Dari wacana yang
berkembang malam itu, terentang sehelai benang merah
mengenai perlunya ada pemimpin nasional yang mampu
mengantarkan bangsa ini keluar dari krisis
berkepanjangan. Mereka sepakat, dia --pemimpin itu--
harus memiliki visi dan kemampuan manajerial. 

Apa arti visi? 

Buku The Leadership Challenge, karya Kouzes dan
Posner, merumuskan: visi adalah refleksi
keyakinan-keyakinan dan asumsi-asumsi dasar tentang
segala hal; tentang kemanusiaan, ilmu & teknologi,
ekonomi, politik, seni budaya, dan etika. Visi akan
mengalir dari reservoir pengetahuan dan pengalaman.
Setelah berpadu dengan segenap keyakinan dan berbagai
asumsi, maka visi akan menemukan bentuk konkretnya
setelah kesempatan terbuka. 

Dari tesis itu kita bisa berasumsi, dua pemimpin dari
organisasi yang sama mungkin memiliki pengalaman dan
kesempatan yang sama, tetapi visi mereka tentang
tujuan akhir organisasi bisa berbeda, karena
masing-masing bergerak dengan premis yang berbeda.
Visi memiliki peran penting karena dia memberi fokus
kepada kekuatan-kekuatan yang kita miliki. Tugas
pemimpin dengan visinya adalah menjaga agar energi
atau kekuatan-kekuatan ini terfokus. Artinya, berapa
besar pun energi yang terkumpul, kalau tidak ada visi
yang dijadikan fokus, maka arahnya menjadi tidak
menentu, kalau bukan malahan cerai-berai. 

Kata buku itu, apa yang disebut jigsaw puzzle
principle dapat memberikan ilustrasi tentang pemimpin
dan visinya. Dalam permainan gambar-bongkar-pasang,
kita akan lebih mudah memasang-masangnya kalau kita
melihat gambarnya yang utuh di tutup kotak. Dalam
suatu organisasi, masing-masing orang memiliki bagian
yang harus diurusnya. Mungkin saja masing-masing
sangat ahli di bidangnya. Dan mungkin saja
masing-masing berusaha menjaga agar bagiannya
memberikan kontribusi yang tepat. Tetapi sayangnya
mereka sering kali tidak mengenali gambaran utuh
tentang tujuan umum atau visi organisasi.
Masing-masing bertindak sendiri-sendiri dan bisa
menjadi frustrasi karena tidak tahu hasil akhir yang
ditujunya. 

Menjadi tugas sang pemimpin untuk membimbing dan
memberi gambaran utuh tentang bagaimana tujuan
akhirnya. Pemimpin yang baik tentu tahu arah yang
dituju. Sayangnya malam itu tidak ada yang
menyampaikan pandangan tentang Pancasila, yang bila
kita renungkan, bukankah falsafah itu yang seharusnya
mampu menunjukkan ke arah mana energi harus dibawa?
Barangkali trauma dari masa lalu membuat kita
pura-pura lupa bahwa sebenarnya kita sudah memiliki
wahana mencapai tujuan yang ideal. 

Tepat tiga minggu yang lalu, Media Indonesia
menyelenggarakan Afternoon Tea dengan tema Mencari
Presiden 2004, menampilkan pembicara Sutradara Ginting
dan Hotma Siahaan. Kesimpulan yang dapat diambil dari
seminar itu, antara lain: akan ada enam partai yang
berhak bersaing untuk pencalonan presiden. 

Memilih langsung berarti memilih satu di antara
calon-calon yang diajukan masing-masing partai. Kalau
masing-masing partai menganut tradisi mengajukan
ketuanya sebagai calon, kita mendapat fait accompli.
Pertanyaannya, apakah mereka itu calon-calon yang
memiliki visi ideal? Yang juga memiliki kemampuan
manajerial? Jawabannya terpulang kepada masing-masing
partai. Dalam hal ini rakyat tak berhak bersuara.
Bisanya hanya berwacana. 

Alternatif lain, seandainya partai-partai itu merasa
terpaksa memilih yang lain, apakah mereka akan memilih
orang-orang dari dalam partai, ataukah bersedia
memilih orang-orang dari luar partai? Bagaimana
kriterianya? Persoalan ini saja sudah akan menimbulkan
persoalan pelik dan perdebatan sengit internal partai
yang mungkin tak kunjung selesai sampai tiba saatnya
rakyat harus memilih. Ironis bahwa dengan penduduk
lebih dari 200 juta, dan jutaan terdiri dari
orang-orang cerdik pandai, kita ternyata mendapatkan
kesulitan besar untuk memilih pemimpin --satu orang
pemimpin-- dengan visi ideal yang mumpuni dalam soal
organisasi. 

Masalahnya, kita terbelenggu pada sistem yang kita
bangun sendiri, yakni sistem kepartaian yang
mengagungkan partai, tetapi melupakan hakikat partai.
Partai yang seharusnya mencari konsensus nasional
telah menciutkan fokusnya pada konsensus partai; atau
bahkan konsensus kelompok kecil partai. Itu
menjelaskan mengapa banyak partai besar
terpecah-belah. Asas demokrasi? Masih jauh. Apakah
akhirnya kita terpaksa percaya saja pada apa yang
digariskan di telapak tangan? Bisa jadi.*** 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus – Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com