[Nusantara] Daoed Yoesoef: The Religion of Reason
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Nov 26 04:24:18 2002
Dr Daoed Yoesoef : ISLAM ITU RELIGION OF REASON
Anda masih ingat dengan Daoed Yoesoef? Dia adalah
menteri pendidikan dan kebudayaan pada 1978-1983 yang
menelurkan konsep NKK/BKK. Terlepas dari kebijakan
kontroversialnya sewaktu menjadi menteri dulu, dia
kini banyak menggeluti dan membaca tentang Islam,
agamanya.
Menurut penyandang gelar dua doktor dalam bidang
keuangan dan hubungan internasional (1967) serta ilmu
ekonomi (1973) dari Universitas Sorborne, Prancis,
itu, citra Islam yang paling kuat adalah sebagai
religion of reason (agama bernalar), bukan religion of
fear (agama menakutkan) sebagaimana stigma yang dewasa
ini melekat kuat pada Islam dan umat Islam.
Berikut ini, Daoed yang sudah sepuh menuturkan
refleksi keislamannya kepada Ulil Abshar-Abdalla dari
Kajian Islam Utan Kayu (KIUK). Wawancara berlangsung
pada Kamis 21 November 2002 di Kantor Berita Radio
68H. Berikut petikannya.
Pak Daoed, bagaimana Anda memahami Islam? Apakah Anda
memandang agama sebagai warisan turun-temurun atau
suatu hal yang perlu direfleksi secara berkelanjutan
sepanjang hidup? Saya kira, setiap orang mempunyai
citra tersendiri tentang suatu hal yang dia yakini
atau dia puja. Kalau yang diyakini dan dipuja itu
agama, tentu tiap orang mempunyai citra tersendiri
tentang agamanya. Sebagai seorang muslim, saya
mempunyai citra sendiri tentang Islam. Bagi saya,
Islam itu agama penalaran, agama akal (religion of
reason), bukan agama menakutkan (religion of fear).
Pendapat saya itu dilandasi oleh apa-apa yang terjadi
menjelang dan hingga terbentuknya agama ini. Kita
semua tahu, pada bulan puasa seperti inilah (malam
ke-17), turun wahyu perdana yang disampaikan Jibril
kepada Rasulullah di Gua Hira. Wahyu itu berbunyi
iqra'!, bacalah!
Nah, peristiwa tersebut tidak terjadi pada agama lain.
Ketika Rasulullah berkata bahwa dia tidak mampu
membaca, Jibril tetap menyuruh membaca (iqra') sampai
tiga kali. Itulah wahyu yang pertama turun (5 ayat
awal dari surat Al-'Alaq), meski kelima ayat itu tidak
ditempatkan pada urutan pertama surat Alquran. Sebab,
Alquran memang tidak disusun secara kronologis, tapi
tematis.
Nah, pada kalimat terakhirnya dikatakan 'allama
al-insān mā lam ya'lam (Dia mengajarkan manusia apa
yang dia tidak ketahui). Kalau direnungkan, ayat itu
kan mendorong kita untuk mengetahui apa-apa yang ada
di sekitar kita. Karena itu, kita disyaratkan bisa
membaca.
Dari sini, saya menyimpulkan, berdasar pada
perkembangan pengetahuan kita, ternyata Tuhan tidak
hanya mempunyai satu buku, tapi dua. Pertama, buku
yang kita sucikan, Alquran. Untuk memahami buku yang
kita sucikan itu (Alquran), tentu kita harus memahami
bahasa yang ditulis di buku itu: bahasa Arab.
Sekarang, sudah ada terjemahan Alquran dalam bahasa
apa pun, dan itu bagus.
Buku yang kedua adalah alam semesta (universe). Buku
kedua ini juga ada bahasanya serta harus kita pahami.
Sebab, dengan inilah kita bisa hidup. Jika bahasa
dengan alam semesta ini dapat dipahami, itu merupakan
ilmu pengetahuan. Karena itu, bukan kebetulan kalau
saat membaca Alquran, kita menemukan perkataan 'ilm
atau ilmu pengetahuan yang selalu diulang-ulang.
Itu berarti, antara buku yang disucikan dan alam
semesta ini ada hubungan saling melengkapi? Ya, saling
melengkapi. Bahkan, kita tidak bisa memahami Islam
dengan baik tanpa pengetahuan itu. Kalau kita lihat,
dalam Alquran, sekitar 750 atau 1/8 ayat Alquran
menyuruh kita mempelajari alam. Setelah pengetahuan
kita peroleh, kita perlu menyebarluaskan kepada orang
lain. Sementara itu, ayat-ayat yang membahas tentang
hukum dalam Alquran hanya 250 ayat atau sepertiga.
Karena itu, kita seharusnya lebih banyak mempelajari
(rahasia) alam ini.
Tadi, Bapak membedakan antara religion of reason
dengan religion of fear. Kalau dikaitkan dengan pola
pengajaran agama di kita, apakah kita sudah menekankan
penalaran agama atau justru mengabaikannya? Nah, ini
yang membuat saya sedih. Dan, sekarang, saya gembira
bisa berjumpa Pak Ulil. Hemat saya, yang selama ini
diajarkan adalah agama ketakutan itu. Kita tidak boleh
melakukan ini dan itu karena ada hukuman yang keras
dan bisa berakibat neraka. Sehingga, agama (terkesan)
begitu sadis.
Karena takut, kita harus menghafal. Menghafal, kalau
bisa seluruh Alquran, tanpa mengerti maknanya.
Sementara itu, kalau citra Islam adalah agama akal
-dan seharusnya begitu-, kita akan diminta mampu
memahaminya sesuai perkembangan zaman.
Apakah Bapak mempunyai pengalaman traumatis dalam
belajar agama ketika kecil? Sebelum masuk bangku
sekolah, saya sudah mengaji. Dan, itu merupakan
kebiasaan di kampung kami. Menjelang umur empat tahun,
pada bulan puasa, emak (ibu, Red) mengajak ke tukang
pangkas dan mengatakan, "Mulai hari ini, kau tidak
dicukur lagi. Kau sudah dewasa. Karena itu, kau boleh
berpangkas. Nanti malam, kau sudah mulai membaca
Alquran."
Nah, itu awalnya. Dalam hal mengaji, orang tua saya
memintakan beberapa orang yang dianggapnya pantas
mengajar saja. Suatu ketika, saya bertanya kepada
salah seorang yang mengajar saya, "Ustad, katanya,
Tuhan kita itu -sebagaimana bismillah- Maha Pengasih
dan Maha Penyayang. Tapi, mengapa Tuhan menghukum
orang begitu sadis di neraka?"
Tapi, sebagai jawaban, tangan saya dipukul dengan
rotan yang ujungnya di belah-belah. Akhirnya, mulai
saat itu, saya tidak berani lagi bertanya tentang
hal-hal yang dianggap tabu.
Tadi, Anda mengatakan bahwa pengajaran agama terlalu
menekankan metode hafalan dan kurang menekankan
pemahaman. Bisa lebih dijelaskan? Untuk masalah
pengajaran agama, para pelajar seharusnya tidak
diminta menghafal, tapi dituntun memahami yang
tersirat dalam ayat itu. Gurunya tentu harus mampu
memahamkan yang tersirat dari ayat. Tentang dari mana
pemahaman bisa diperoleh dan ilmu apa yang bisa
berkaitan dengan itu. Hal tersebut tentu menghendaki
pendidikan tersendiri. Di negara kita, pendidikan
agama menjadi wewenang Departemen Agama, bukan
Departemen Pendidikan.
Masalah pendidikan agama memang sebaiknya dilakukan
masyarakat. Zaman Belanda dulu -sesuai pengalaman
saya- pengajaran agama oleh masyarakat itu betul-betul
intensif. Pagi kami sekolah, siang sampai menjelang
magrib mengaji. Jadi, begitu dan tidak dicampur-baur
dengan pendidikan umum. Dengan cara begitu, rasanya
tidak mengurangi keimanan dan ketakwaan kami satu apa
pun. Sebab, itu diajarkan dengan intensif.
Dulu, ketika saya menjadi menteri pendidikan,
begitulah pendirian saya. Tapi, kemudian, saya
dianggap ingin menghalang-halangi perkembangan Islam.
Nah, yang saya maksud itu demikian: intensifikasi
pengajaran agama di luar sekolah.
Apa alasan Anda sehingga agama mesti diajarkan di
tempat pendidikan agama saja, bukan di sekolah-sekolah
umum? Itu kebanyakan atas pertimbangan politik. Saya
menilai, kita menunjukkan kehadiran agama kepada
anak-anak dengan cara yang keliru. Orang sering lupa
bahwa sekolah adalah tempat anak-anak diajar
pengetahuan untuk menjalankan hidup. Dan, itu memang
benar.
Sayangnya, yang demikian itu dianggap tidak berkaitan
dengan agama. Padahal, Tuhan menyuruh kita mempelajari
ilmu. Itu sebetulnya sudah agama. Itu yang selalu
dilupakan. Nabi pernah menyuruh kita menuntut ilmu ke
negeri China. Kita disuruh ke China bukan untuk
mencari bakmi.
Sebetulnya, belajar fisika dan biologi atau ilmu
lainnya itu juga belajar agama kan? Ya, sudah termasuk
belajar agama dan menjalankan perintah Tuhan.
Menurut Anda, bagaimana strategi yang paling efektif
untuk mengatasi kemungkaran? Saya kira, pencegahannya
harus menggunakan akal dan ilmu. Sebab, kemungkaran
dan macam-macam penyakit-penyakit sosial itu kan juga
ada sebabnya. Untuk meneliti sebab-sebabnya itu, saya
pikir sudah ada ilmunya. Dan, mencai ilmu itu memang
dianjurkan sekali oleh Islam.
Nah, setelah kita tahu penyebabnya, kita beranjak
mencari pemecahannya. Dan, itu pun sudah ada ilmunya.
Jadi, kalau kita sebagai umat Islam merasa pedih mata
melihat kemungkaran, ya perdalamilah ilmu pengetahuan
yang berkaitan dengan problem kita itu!
Ada hadis yang mengatakan "mengubah kemungkaran dengan
tangan" bisa juga ditafsirkan dengan ilmu sebagaimana
yang Anda sebutkan tadi? Iya, bukan main pukul saja.
Main pukul itu kan perbuatan preman. Kita tidak
disuruh mendukung premanisme. Kita harus jujur dalam
hal ini. Dulu, ketika ada pelacur yang akan dihukum
lontar batu dalam tradisi Semit, Yesus lantas berkata,
"Yang melempar pertama adalah orang-orang yang merasa
dirinya paling bersih."
Karena ungkapan itu, malah tidak ada orang yang berani
melakukan itu (melontar, Red). Jadi, dari sini kita
bisa simpulkan, sebab prostitusi tersebut adalah
banyak hal. Karena itu, kalau kita menjadi hakim, kita
juga harus bersih dari apa yang kita tuduhkan atas
terdakwa. Nah, ini yang kita pertanyakan.
Kembali lagi ke soal Islam sebagai agama bernalar
tadi. Saya menyimpulkan, banyak masalah yang harus
ditanggulangi dengan akal sehat atau ilmu. Begitu? Ya.
Konon, seorang sahabat ketika mau diutus (ke Yaman,
Red), bertanya kepada Nabi tentang apa yang harus
menjadi sumber pegangannya (dalam dakwah). Kata
Rasulullah, pertama adalah Alquran. Kalau tidak
dijumpai di Alquran, pakailah Hadis. Dan, kalau tidak
ada di Hadis, gunakan ijmak. Dan, kalau ijmak tidak
dijumpai, pakai akal dengan berijtihad.
Jadi, ketika itu, Rasulullah sudah menekankan
pentingnya akal. Sebab, keadaan berkembang sedemikian
cepat dan sebagiannya adalah hasil perbuatan atau
kreativitas manusia. Itu (main hakim sendiri, Red)
sebenarnya sudah tidak pantas lagi. Sebab, kita tidak
hanya hidup bermasyarakat, tapi juga bernegara. Bahwa
negara belum atau tidak mampu menanggulangi hal
tersebut, itu soal lain. Tapi, bukan berarti kondisi
demikian mengesahkan kita untuk berbuat sesuatu yang
bukan wewenang kita.
Islam bagaimana yang Anda harapkan dapat sesuai dengan
era transisi negara kita ini? Saya kembali ke tadi.
Kita harus betul-betul memperdalam ilmu pengetahuan.
Apa sih sebetulnya ilmu pengetahuan yang saya maksud
itu? Ilmu itu tidak lebih dan tidak kurang adalah
pengorganisasian segenap pengetahuan kita itu
sedemikian rupa. Sehingga, kita bisa menguasai semakin
banyak potensi-potensi yang di kandung dalam alam. Ini
termasuk kaitan-kaitan yang ada dalam alam tersebut
sebagaimana yang saya sebut sebagai buku kedua tadi.
Sebetulnya, yang demikian itulah semestinya Islam itu,
kan? Lha iya! Yang kita sayangkan adalah apa yang
diinginkan Islam itu dikembangkan oleh orang-orang
yang tidak beragama Islam. Kemudian, hasilnya nanti
kita pergunakan dan kita pakai. Bukankah Islam juga
selalu dibicarakan terpisah dari ilmu, sehingga
terlihat sangat sempit? Itu sama dengan menyiapkan
orang Islam untuk mati saja!
=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com