[Nusantara] Distorsi Jurnalisme dalam Isu Terorisme
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Nov 26 04:36:06 2002
Distorsi Jurnalisme dalam Isu Terorisme
Oleh Hendriawan Pujianto *
Sampai kini, publik masih menganggap bahwa fungsi pers
dan media perkabaran lainnya -TV, radio, dan
semacamnya- adalah mencerdaskan intelektual. Kalau
demikian halnya, apa sesungguhnya tokoh pokok
jurnalisme pers ketika harus menjalankan fungsi
mencerdaskan intelektual itu?
Para ahli komunikasi klasik menganggap bahwa liputan
pers haruslah berawal dari pengumpulan fakta-fakta
konkret peristiwa, kemudian melalui institusi redaksi
dikemas menjadi informasi. Setelah itu, informasi
tersebut disampaikan berupa news kepada publik.
Fakta konkret artinya empiris. Orang lain (pembaca,
pendengar, atau pemirsa) percaya bahwa fakta itu benar
lantaran bisa rasional (common sense), bisa diukur,
bisa dilihat, dan bisa dibandingkan (dibuat
komparasi). Karena itu, pers tersebut haruslah
berposisi netral atau sekadar menjadi mediasi
(penghubung) dari fakta-fakta konkret suatu peristiwa
dengan para pembacanya.
Dengan posisi pers seperti ini, tugas jurnalistik dan
redaksional haruslah independen, mandiri, dan fair.
Dengan pemahaman demikian, jurnalisme itu terbentuk.
Tetapi, orang seperti Noam Chomsky sangat tidak
percaya terhadap asumsi dan pemahaman jurnalisme
klasik tersebut. Baginya, jurnalisme adalah suatu
bentuk ideologi berbahasa dan berkomunikasi yang
terikat pada momentum, terkait dengan sikap dan
kepentingan tertentu.
Jurnalisme bukan sosok yang berada di ruang hampa. Ia
tetap saja hidup dalam pergumulan politik, ideologi,
dan kebudayaan yang sarat pergulatan kepentingan serta
saling bertukar tempat dan posisi untuk saling
mempengaruhi di antara pergulatan-pergulatan ekonomi
dan semacamnya.
Jurnalisme makin terpisah dari filsafat komunikasi,
kata Habermas, ketika nilai dan makna informasi yang
harus dikomunikasikan itu berkembang menjadi komoditas
yang terikat dengan proses produksi dan reproduksi
kapital. Sarat dengan pergulatan kepentingan industri
atau bahkan institusi media itu sendiri sudah menjadi
kekuatan kapital dan industri yang memiliki
kepentingan sendiri, terpisah dari kebutuhan-kebutuhan
intelektual.
Penilaian etis Choamsky tak sepenuhnya meleset ketika
kita mengamati pergumulan jurnalisme dengan isu-isu
terorisme, khususnya setelah serangan pesawat jet
komersial yang menabrak gedung WTC di New York dan
gedung Pentagon pada 11 September 2001. Liputan pers,
radio, dan TV sarat dengan informasi yang biased
journalism, keluar dari ranah pokok jurnalisme yang
seharusnya teguh, kuat, dan berkarakter untuk
mempertahankan proses pengumpulan fakta-fakta dalam
peristiwa serangan teroris berdasarkan prinsip
transparansi dan empiris.
Ada dua hal yang bisa dicatat dari kecenderungan
liputan pers dan media perkabaran lainnya dalam
isu-isu dan peristiwa terorisme itu. Pertama, liputan
pers dan media umumnya mengenai terorisme sangat bias
kepentingan Amerika dan pretensi Barat.
Meminjam Chomsky, terorisme sesungguhnya adalah
tindakan atau aksi kekerasan disertai sadisme, baik
untuk menakut-nakuti, mengancam, maupun memang
sungguh-sungguh melakukan kejahatan kemanusiaan yang
luar biasa nilai kebiadabannya.
Dalam kenyataannya, liputan media dan informasi yang
disampaikan sebagai news mengenai gerakan terorisme
sangat sarat kepentingan politik, supremasi, dan
subordinasi peradaban AS dan Barat. Dalam hal ini,
hampir semua liputan pers dan media massa tentang
terorisme bermuara pada kamus besar negara adikuasa.
Dalam hal ini, terorisme itu hanya diartikan sebagai
aksi-aksi kekerasan kelompok kecil yang mengancam
kepentingan AS dan negara-negara Barat. Tidak lebih
dari itu.
Kedua, nilai dan makna informasi terkemas dalam
konteks kepentingan produksi serta reproduksi industri
dan kapital. Dalam pengertian ini, ketika informasi
-termasuk informasi mengenai peristiwa-peristiwa
terorisme- menjadi komoditas, parameter yang dipakai
menggunakan konsep nilai jual dan komersial.
Fakta-fakta yang dikemas pers dan media massa pada
umumnya bukanlah fakta dalam konstelasi yang dapat
meningkatkan intelektualisme, melainkan cenderung
proses industrialisme, komersialisme, dan
konsumerisme.
Kecenderungan serupa sama saja terjadi dalam liputan
pers dan media perkabaran Indonesia dalam liputan
pengeboman Sari Club dan Paddy’s Club di Kuta, Bali.
Sebagian besar liputan media perkabaran di tanah air
tentang aksi terorisme di Bali itu cenderung sarat
kepentingan penguasa untuk melayani kepentingan AS dan
Barat.
Karena itu, sebagian besar informasi yang disampaikan
kepada publik adalah opini para penyidik tersangka
Amrozi dkk serta tersangka Imam Samudra dkk, yang
kemudian difaktakan sedemikian rupa sehingga
seolah-olah menjadi informasi yang berasal dari
fakta-fakta empiris. Hampir tidak ada informasi hasil
pemfaktaan yang dibuat pers sendiri berdasar
investigasi terpisah dari kepentingan penyidik.
Padahal, penyidik dalam perkara terorisme di Bali
-yang sarat kepentingan ekonomi dan politik RI dan
negara Barat itu- bukanlah institusi independen,
netral, dan mandiri. Karena itu, sangat mungkin pers
Indonesia terseret cenderung menjadi juru bicara
institusi kepolisian.
*. Hendriawan Pujianto, aktivis Law and Government
Watch di Jakarta
=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com