[Nusantara] Wajah Murung Ketenagakerjaan Kita

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Nov 26 04:36:11 2002


Wajah Murung Ketenagakerjaan Kita 

'' Dengan kondisi tekanan ekonomi yang berat, akan
lebih menguntungkan bagi mereka untuk menjadi pekerja
migran gelap ketimbang hidup secara subsistem di
sektor informal.'' 

- M CHATIB BASRI 

SEJARAH kerap terasa kelam bagi kaum penganggur. Ada
satu masa di mana mereka dituding sebagai kaum yang
malas, yang enggan mengembangkan diri atau mencari
kesempatan. Alangkah mudahnya masalah pengangguran
diatasi jika tudingan itu benar. Artinya, bila mereka
mau mengubah diri, maka pengangguran akan sirna. 

Sayangnya, bukti empiris tak sepenuhnya mendukung ini.
Kurangnya permintaan serta ketidakcocokan pekerjaan
dan keterampilan ternyata mempengaruhi besarnya kaum
penganggur ini. Dalam kaitan inilah kita perlu melihat
bagaimana prospek ketenagakerjaan di Indonesia.
Setidaknya ada beberapa hal penting yang perlu
dicatat. 

Pertama, penganggur terbuka. Masalah penganggur
terbuka merebak di media massa akhir-akhir ini. Ada
kesan suram di sana. Seberapa suramkah? Mungkin baik
bila kita mencoba "kotor" dengan data. 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) secara sepintas
memang seperti menunjukkan adanya peningkatan
penganggur terbuka dari 5,8 juta orang (6,4 persen
dari total angkatan kerja) pada tahun 2000 menjadi 8
juta orang (8,1 persen) pada tahun 2001 atau meningkat
sebesar 37,7 persen. 

Namun, ada soal di sini. Data tahun 2001 tidak bisa
sepenuhnya diperbandingkan dengan data tahun 2000.
Dalam definisi lama, tahun 2000 dan sebelumnya,
penganggur terbuka hanyalah mereka yang mencari
pekerjaan. Adapun dalam dengan definisi baru tahun
2001, penganggur terbuka adalah mereka yang sedang
mencari pekerjaan/mempersiapkan usaha, ditambah mereka
yang merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan (putus
asa) dan mereka yang sudah punya pekerjaan tetapi
belum mulai bekerja. 

Definisi baru jelas tak bisa dibandingkan dengan yang
lama. Yang menarik jika kita menggunakan definisi
lama, penganggur terbuka justru mengalami penurunan
dari 5,8 juta orang (6,4 persen) di tahun 2000 menjadi
sekitar 5,3 juta orang (5,4 persen) tahun 2001. 

Bahkan, data survei angkatan kerja nasional (Sakernas)
juga menunjukkan, tingkat penganggur terbuka mengalami
penurunan dari 8,9 persen pada tahun 1999 menjadi 8
persen pada bulan Agustus 2001 (definisi baru), atau
dari 6,4 persen (definisi lama) pada tahun 1999
menjadi 5,4 persen tahun 2001. 

Dengan kata lain, jika kita menggunakan definisi yang
sama, maka angka penganggur terbuka justru mengalami
penurunan. Walau demikian, perlu dicatat, secara
kuantitas, jumlah penganggur terbuka, baik menggunakan
definisi lama maupun baru, masih di atas keadaan
sebelum krisis ekonomi. 

Pada tahun 2001 terdapat 5,3 juta orang (definisi
lama) dan 8 juta (definisi baru) penganggur
dibandingkan dengan 4,2 juta (definisi lama) dan 4,8
juta (definisi baru) pada tahun sebelumnya. 

Kedua, sektor formal dan informal. Konsisten dengan
pertumbuhan ekonomi yang melemah tahun 2001,
persentase mereka yang bekerja di sektor formal
(buruh/karyawan/pegawai dan berusaha dibantu
buruh/pekerja tetap yang dibayar) mengalami penurunan
dari sekitar 34,8 persen tahun 2000 menjadi 32,2
persen tahun 2001. 

Sebaliknya, pekerja yang berada di sektor informal
mengalami peningkatan dari 65 persen menjadi sekitar
68 persen. Karena itu, jika pertumbuhan ekonomi tahun
2003 tidak bisa dipicu cukup tinggi, maka persentase
mereka yang bekerja di sektor informal akan terus
meningkat. 

Dalam kondisi ini, kaum yang disebut Lenin sebagai the
vanguard of democracy ini akan terus terpinggirkan.
Ada bayangan suram di sini. 

Ketiga, setengah penganggur atau penganggur
terselubung. Penganggur terselubung adalah mereka yang
bekerja kurang dari 35 jam dalam seminggu. Yang
menarik, baik dari segi jumlah maupun persentase,
terjadi penurunan dari 30 juta (31,3 persen) di tahun
2000 menjadi 27,7 juta (28 persen) di tahun 2001. 

Satu hal yang penting dicatat, persentase dan jumlah
penganggur terselubung sebenarnya tak berbeda banyak
sebelum dan setelah krisis ekonomi. Dengan kata lain,
ini adalah soal klasik ketenagakerjaan kita sejak
zaman Orde Baru, bukan sesuatu yang baru terjadi. Itu
sebabnya, sulit untuk menyimpulkan adanya pemburukan
yang signifikan, seperti yang sering diributkan
akhir-akhir ini. 

*** 

LALU bagaimana kita bisa menjelaskan adanya penurunan,
baik penganggur terbuka maupun terselubung, di tengah
melemahnya pertumbuhan ekonomi 2001? Sayangnya, tak
tersedia data yang pasti untuk menjawab ini. Yang ada
hanyalah beberapa kemungkinan penjelas. 

Pertama, mungkin penurunan penganggur terbuka dan
terselubung justru terjadi karena memburuknya
perekonomian. Akibatnya, orang terpaksa masuk pasar
kerja di sektor informal-untuk bekerja apa saja-atau
menambah waktu kerjanya, untuk mempertahankan tingkat
pendapatan. 

Argumen ini akan benar jika ada penurunan upah riil.
Namun, data menunjukkan bahwa tingkat upah riil dari
Maret 2001 sampai Maret 2002 di sektor industri
pengolahan, misalnya, justru meningkat sebesar 14
persen. 

Selain itu, data sementara dari BPS menunjukkan
tingkat kemiskinan tahun 2002 (Februari 2002)
mengalami penurunan, baik dibandingkan dengan tiga
tahun lalu maupun tahun 2001. 

Angka kemiskinan diperkirakan sekitar 17 persen pada
Februari 2002 dibandingkan dengan 19 persen pada
Februari 2001 dan 24 persen pada Februari 1999, walau
ada kemungkinan bahwa jumlah orang miskin akan
meningkat sebesar 1-2 juta orang pascapeledakan bom
Bali. Karena itu, kemungkinan faktor penjelas kedua
adalah adanya aktivitas ekonomi yang tidak
terlaporkan. 

Gejala ini memang mulai terlihat dari beberapa
indikator utama seperti konsumsi sepeda motor, semen,
mobil, dan listrik. Konsumsi listrik, misalnya,
merupakan indikator yang penting untuk menunjukkan
aktivitas ekonomi. 

Yang ganjil, konsumsi listrik relatif tinggi walau
pertumbuhan ekonomi menurun secara signifikan. Karena
itu, saya menduga adanya kemungkinan hidden economy
(aktivitas perekonomian yang tak terlaporkan). 

Perkiraan amat kasar yang saya lakukan menunjukkan ada
kemungkinan meningkatnya hidden economy dari sekitar
20 persen sebelum krisis menjadi sekitar 40-50 persen
setelah krisis. Argumen ini mungkin bisa membantu
menjelaskan mengapa penganggur terbuka dan terselubung
menurun di tahun 2001. 

Ketiga, penganggur terdidik. Penurunan persentase
pekerja di sektor formal membawa implikasi kepada
penganggur terdidik. Data-data menunjukkan bahwa
sebagian besar pekerja sektor formal berada di sektor
industri pengolahan, utilitas, dan jasa. 

*** 

DATA juga menunjukkan bahwa sektor industri dan jasa
cenderung memiliki pekerja yang mempunyai kualifikasi
pendidikan yang relatif tinggi. Implikasinya, bila
terjadi pukulan kepada sektor formal, karena
melemahnya perekonomian, maka pekerja terdidik akan
terkena dampaknya. 

Implikasinya tidak sesederhana penganggur yang tidak
terdidik. Penganggur terdidik ini memiliki ekspektasi,
aspirasi yang relatif lebih tinggi. Selain itu,
program penyedian lapangan kerja yang dilakukan
pemerintah selama ini memang lebih terfokus pada
mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang relatif
rendah. 

Penganggur terdidik ini selain dapat menimbulkan
dampak ekonomi, seperti tidak digunakannya sumber daya
secara optimal, juga memiliki dampak politik. 

Benar bahwa jumlah pekerja di sektor industri
pengolahan meningkat sebesar 3,8 persen tahun 2001,
namun angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan
pertumbuhan rata-rata penyerapaan tenaga kerja di
sektor industri pengolahan tahun 1988-1997 (periode
sebelum krisis) yang sebesar 7,2 persen. 

Jelas bahwa penyerapan tenaga kerja terdidik amat
terbatas dengan melemahnya pertumbuhan ekonomi.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Manajemen Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI)
memperkirakan bahwa pertumbuhan sektor industri
pengolahan hanya akan berkisar 4-5 persen tahun 2003. 

Pertumbuhan ekonomi sekitar 3-4 persen memang masih
jauh dari mencukupi untuk penyerapan tenaga kerja.
Perhitungan elastisitas tenaga kerja menunjukkan bahwa
untuk menyerap tenaga kerja baru sebesar 2,5 juta
orang di sektor formal dibutuhkan pertumbuhan ekonomi
5-6 persen. 

Masalah-masalah ini tampaknya merupakan masalah yang
mengemuka yang perlu mendapatkan perhatian khusus di
tahun-tahun depan. 

Keempat, upah minimum. Sayangnya dalam situasi di mana
sektor formal tidak mampu menyerap tenaga kerja dengan
memadai, pemerintah memberlakukan kebijakan upah
minimum. 

Studi yang dilakukan Bird dan Manning (2002) dari
Australian National University justru menunjukkan
bahwa salah satu alasan berkembangnya sektor informal
dan melemahnya pertumbuhan tenaga kerja di sektor
formal adalah kebijakan upah minimum. 

Namun, di sisi lain, kita juga mengerti bagaimana
kondisi kesejahteraan para buruh yang menyedihkan,
yang jelas harus merupakan perhatian kita semua. Ada
baiknya bila kita mencari solusi soal upah minimum
yang dapat memperbaiki hidup buruh, tetapi dengan
beban yang paling minimum bagi dunia usaha. 

Solusi seperti ini misalnya dapat dilakukan dengan
memperhatikan upah riil seperti menyediakan tempat
tinggal buruh di sekitar pabrik guna menghemat biaya
tempat tinggal dan transportasi, memotong biaya
pungutan atau biaya ekstra dalam bisnis, dan tentunya
menjamin harga makanan yang murah, dengan menekan
tingkat inflasi. Saya kira dalam situasi ekonomi yang
seperti ini, kebijakan yang justru dibutuhkan adalah
pasar tenaga kerja yang luwes atau fleksibel. Pasar
tenaga kerja formal yang kaku dengan upah minimum
provinsi (UMP) justru akan mendorong sektor informal
dan juga akan mendorong pekerja migran gelap. 

Dengan kondisi tekanan ekonomi yang berat, akan lebih
menguntungkan bagi mereka untuk menjadi pekerja migran
gelap ketimbang hidup secara subsistem di sektor
informal. 

Yang seharusnya menjadi fokus utama pemerintah adalah
perluasan penciptaan lapangan kerja sektor formal dan
bukan mengurangi fleksibilitas sektor formal. Itu
sebabnya, stimulus ekonomi dengan pembangunan
infrastruktur akan banyak membantu dalam jangka
pendek. Gambaran ketenagakerjaan kita ke depan-walau
tak sesuram seperti yang diributkan-memang masih amat
jauh dari gambaran cerah. Bagaimanapun, meningkatnya
sektor informal dan kenyataan besarnya jumlah
penganggur-termasuk yang terdidik-sangat
mengkhawatirkan mengingat tidak tersedianya sistem
jaminan sosial yang permanen dan kemungkinan makin
merosotnya tabungan rumah tangga dalam membiayai
pengeluaran bulanan. * 



=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com