[Nusantara] Benturan Tiga Paradigma

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Nov 26 04:48:03 2002


Benturan Tiga Paradigma 
* Catatan Kritis atas UU Penyiaran Oleh Agus Sudibyo 

SETELAH melalui proses panjang dan melelahkan,
Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran akan disahkan
dalam Rapat Paripurna DPR 25 November 2002. 

Apa yang dapat disimpulkan dari UU Penyiaran yang
baru? Dari pergulatan politik yang berlangsung, dan
dari klausul-klausul yang tertuang di dalamnya, UU
Penyiaran yang baru mencerminkan sebuah pertarungan
dramatik antara tiga paradigma media yang
berbeda-beda. 

Studi-studi ilmu komunikasi, menyediakan beberapa
tipologi sistem media. Salah satu tipologi itu membagi
sistem media ke dalam empat paradigma: otoritarian,
liberal, tanggung jawab sosial, dan teori komunis
Soviet (Siebert, Peterson, dan Schramm 1956). Tipologi
ini dapat digunakan untuk meneropong UU Penyiaran yang
baru. Khusus untuk paradigma pers, Komunis Soviet
tidak dibahas di sini karena tak relevan dengan
kondisi-kondisi aktual di Indonesia. 

*** 

PARADIGMA pers otoritarian adalah paradigma paling
tua. Sejarahnya sama panjang dengan sejarah rezim
otoritarian itu sendiri. Pers otoritarian menempatkan
media sebagai alat propaganda pemerintah. Fungsi pers
adalah menjustifikasi versi kebenaran negara tentang
berbagai persoalan yang muncul dalam kehidupan
masyarakat. Pers boleh mengeluarkan kritik sejauh tak
bertentangan dengan kepentingan status quo. Otoritas
perizinan media ada di tangan pemerintah. Izin dapat
dicabut secara sepihak setiap saat, dan sensor pers
dilakukan secara ketat. 

Paradigma liberal adalah antitesa paradigma
otoritarian. Pers tak lagi menjadi alat pemerintah,
dan bisa dimiliki secara pribadi. Namun, hukum
industrial membuat kepemilikan media hanya menjadi
otoritas para pemodal besar. Kepentingan pemodal,
pertama-tama adalah akumulasi keuntungan, baru
kemudian kritik sosial. Dalam sistem pers liberal,
kontrol terhadap media ada di tangan para pemilik
modal di dalam pasar bebas ide-ide yang kapitalistik. 

Paradigma tanggung jawab sosial merupakan pengembangan
sekaligus kritik terhadap paradigma liberal. Prinsip
bahwa pers harus dilepaskan dari intervensi
pemerintah, tetap dipertahankan. Namun, muncul
sensibilitas besar terhadap dampak buruk pers liberal:
kepemilikan media yang monopolistik dan
dampak-dampaknya terhadap potensi manipulasi informasi
oleh kekuatan modal. Dari sinilah filosofi diversity
of ownership dan diversity of content berakar. 

Prinsip penciptaan ruang publik (public sphere)
menjadi dasar paradigma tanggung jawab sosial. Pers
harus menjamin kesetaraan akses semua pihak untuk
berbicara lewat media, terutama tentang
konflik-konflik sosial. Kontrol terhadap media
diletakkan pada opini masyarakat, preferensi konsumen,
dan etika profesional. 

Untuk menjamin kepentingan umum, dimungkinkan adanya
intervensi negara secara terbatas. Menariknya,
paradigma tanggung jawab sosial juga merekomendasikan
pembentukan badan independen yang akan memantau dan
menilai tanggung jawab sosial pers. (Merril, 1991) 

Badan ini lebih kurang menyerupai konsep Komisi
Penyiaran Independen (KPI) dalam perbincangan tentang
RUU Penyiaran. 

Pertanyaan selanjutnya, paradigma manakah yang dominan
dalam UU Penyiaran yang baru? Dalam undang-undang ini,
pasal demi pasal menunjukkan senyawa aneh: antara
paradigma otoritarian dan tanggung jawab sosial.
Campuran paradigma praliberal dan pascaliberal. 

Paradigma tanggung jawab sosial terakomodasi dalam
pasal-pasal yang mengatur pembatasan pemusatan
kepemilikan media penyiaran dan kepemilikan silang,
pelembagaan penyiaran publik dan komunitas, dan
penentuan KPI sebagai lembaga regulasi penyiaran
independen. 

Di sisi lain, paradigma otoritarian terepresentasikan
dalam pasal-pasal yang menegaskan wewenang pemerintah
untuk turut menentukan izin penyiaran. Ada banyak
pasal yang menegaskan, KPI harus berbagi peran dengan
pemerintah dalam menentukan alokasi izin frekuensi,
perumusan peraturan pelaksana dan lain-lain. Banyaknya
pasal pidana dalam UU Penyiaran yang baru juga
menunjukkan tendesi kuat untuk kembali pada paradigma
otoritarian. 

Bisakah senyawa yang tak lazim itu diterapkan? Tak
mudah menjawabnya. Saya menduga, kedua paradigma itu
tak bisa dipertemukan dan akan saling mengalahkan.
Benturan paradigmatis masih akan terjadi pada proses
pemilihan anggota KPI/KPID dan perumusan Peraturan
Pelaksana KPI yang merupakan penjabaran lebih lanjut
dari klausul-klausul RUU Penyiaran. Dengan kata lain,
pertarungan sesungguhnya belum selesai. 

*** 

APA yang terjadi pada RUU Penyiaran, mencerminkan
konstelasi politik secara umum di Indonesia. Aneka
tendensi untuk memutar balik sejarah menuju sistem
politik otoritarian masih dominan. Semua pihak mafhum,
gagasan besar di balik revisi UU Penyiaran adalah
mewujudkan demokratisasi pada ranah penyiaran. Dalam
berbagai forum, Syamsul Muarif-Menteri Negara
Komunikasi dan Informasi (Menneg Kominfo)- juga
menegaskan hal ini. Namun akhirnya terlihat,
demokratisasi itu hanya jargon semata. Bahkan menjadi
komoditas politik bagi pemerintah guna menarik simpati
publik, untuk menghindari sikap antipati publik. Pada
pertarungan politik yang sebenarnya, khususnya pada
masa penundaan pengesahan RUU Penyiaran, nyatalah
bahwa rumusan-rumusan yang diusulkan Syamsul Muarif
mengandung spirit kembali ke sistem media otoritarian.


Paradigma otoritarian belum sepenuhnya ditinggalkan.
Para pendukungnya akan menggunakan tiap momentum untuk
melakukan konsolidasi, termasuk momentum legislasi
berbagai RUU. UU Penyiaran hanya satu kasus yang
menunjukkan indikasi betapa besar hasrat mereka untuk
kembali meraih supremasi. Kasus yang sama, atau yang
lebih buruk, amat mungkin akan terjadi pada proses
legislasi RUU yang lain. 

Pelajaran berharga yang dapat dipetik dari kasus UU
Penyiaran adalah, unsur-unsur civil society tak cukup
memberi daya topang memadai bagi perjuangan
prinsip-prinsip demokratisasi. Pada tahap-tahap akhir
proses pembahasan RUU Penyiaran, unsur-unsur sipil
tampak kelelahan dan tak solid dalam menghadapi
move-move politik pemerintah. Usaha sistematis
pemerintah untuk memenangkan versi UU Penyiaran tak
diimbangi pembentukan opini publik dan upaya lobi yang
signifikan. Sebenarnya terlalu berisiko menyerahkan
kelanjutan nasib RUU Penyiaran kepada sedikit
orang-sipil maupun legislatif-yang konsisten
memperjuangkan prinsip-prinsip demokrasi hingga titik
terakhir. Semua pihak paham watak konservatif dan pro
status quo masih bersemayam dalam tubuh eksekutif
maupun legislatif. 

Yang mengherankan, mengapa prinsip-prinsip pers
liberal tidak cukup terakomodasi dalam UU Penyiaran
yang baru? Bisa jadi ada kesalahan penerapan strategi
guna memperjuangkan aspirasi kalangan praktisi dan
pemilik media penyiaran. Juga bisa jadi, telah
berkembang pesimisme terhadap penegakan hukum,
sehingga para pengelola media tidak begitu peduli
meski klausul-klausul dalam RUU Penyiaran itu banyak
yang mengancam kepentingan bisnis mereka. 

Agus Sudibyo Peneliti Institut Studi Arus Informasi
(ISAI) Jakarta 




=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com