[Nusantara] Perdamaian dan Persaudaraan Sejati

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Thu Nov 28 05:36:14 2002


Perdamaian dan Persaudaraan Sejati 
Oleh Zuly Qodir 

Upaya membangun perdamaian dan persaudaraan sejati
akan menemukan titik sentrumnya pada saat antarumat
beragama mampu menggalang kehidupan yang penuh damai,
adil, dan sejahtera untuk bersama. Perdamaian dalam
hidup jelas merupakan kebutuhan seluruh umat beragama,
tanpa kecuali. Oleh sebab itu, wajar apabila seluruh
elemen dalam masyarakat memperjuangkan perdamaian dan
persaudaraan sejati. 

Apabila ada sekelompok umat beragama dengan
mengatasnamakan agama, bahkan atas nama Tuhan enggan
memperjuangkan perdamaian dan persaudaraan sejati,
perlu dipertanyakan kembali komitmen keberagamaannya.
Kita harus yakin perbedaan dalam hal-hal ritual
simbolik dari agama-agama semestinya dipahami sebagai
"jalan menuju Tuhan", bukan kemutlakan dari ajaran
agama yang akan menjadikan umat beragama saling
berpandangan ekstrem, fanatis dan tidak bersahabat. 

Puasa sebagai ajaran Islam hemat saya sangat dekat
dengan perdamaian, bukan kekerasan. Oleh sebab itu,
puasa sebenarnya, mempunyai dimensi humanis agama yang
harus disebarluaskan. Puasa bukan dihadirkan dalam
bentuknya yang sangat rigit dengan realitas sosial.
Puasa tidak ditutup rapat-rapat karena adanya
ketakutan terjadinya pencampuran (sinkretisasi) dengan
agama lain. Humanisme dalam puasa sebenarnya harus
dipahami sebagai bagian terpenting dari seluruh ajaran
agama-agama, ketimbang masalah ritual simbolik. 

Masalah kemanusiaan harus menjadi pijakan bersama umat
beragama dalam membangun bangsa yang telah mengalami
carut-marut, dan tercabik-cabik oleh kepentingan
kelompok agama, dan politik. Puasa dalam hal ini harus
dikemas menjadi strategi perjuangan menegakkan
perdamaian di bumi. Puasa tidak dipahami seba-gai
"lahan menuduh" orang lain maksiat, dan tidak
bermoral. 

Membuka lebar-lebar dimensi humanis dari jajaran
puasa, akan melahirkan umat yang terbuka, toleran
serta demokratis, bukan sikap otoriter dan fanatis.
Namun, jika humanisme dari puasa tidak terjadi akan
tumbuh kelompok yang merasa paling berhak menafsirkan
agama. Dari sana dialog dan kerja sama antaragama akan
sulit dilaksanakan. Bermental Kerdil Mengabaikan
dimensi humanis dari puasa akan melahirkan orang-orang
yang bermental kerdil, tertutup, korup dan bromocorah.


Apa yang tengah terjadi di negeri ini, dengan
banyaknya pejabat yang mengkorup uang negara dan
rakyat, berani melakukan persaksian bohong, menyuap
pejabat, "dagang sapi" antarelite politik,
penghilangan nyawa manusia adalah bukti-bukti riil
yang sangat menyedihkan. Lebih daripada itu, banyaknya
pejabat negara kita yang suka mempertontonkan hidup
mewah pada publik, padahal rakyat banyak sedang
kesusahan karena harga bahan makanan pokok, BBM dan
listrik naik, sebenarnya memberikan isyarat buat kita
umat beragama untuk berpikir kembali tentang keagamaan
yang telah diyakini selama ini. Hal semacam itu jelas
sangat memprihatinkan kita, orang yang mengaku
beragama. 

Agama semakin coreng-moreng, berkubang darah dan
berkubang dosa. Agama bahkan beralih fungsi sebagai
"pembela para bandit" yang berbaju agama, bukan
pembela atas kaum tertindas, marjinal, kaum minoritas
dan segala persoalan kemanusiaan yang muncul.
Persoalan kemanusiaan seperti ketidakadilan atas kaum
minoritas, baik agama, suku maupun seks tidak
mendapatkan tempat di hati orang beragama. Dalam
rangka menjernihkan pandangan dan anggapan bahwa agama
sebenarnya tidak lain dari sekadar "pembenar" atas
kekerasan, peperangan dan perbanditan, perlu
benar-benar dirumuskan agama yang mengutamakan dimensi
humanis, ketimbang dimensi formalitasnya. 

Agar puasa lebih mencerminkan sifat-sifat kemanusiaan,
maka puasa yang sedang dijalankan mampu "memberi ruh"
atas jalannya sebuah sistem sosial yang tengah
berlangsung. Sistem sosial adalah sebuah sistem
kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang benar-benar
menjunjung tinggi pada penghormatan hak asasi manusia.
Menjunjung hukum, dan rasa keadilan. Dari sana jelas
bahwa perbedaan agama, suku, jenis kelamin, dan etnis
tidak dipertentangkan, apalagi dijadikan pemicu untuk
saling berkelahi, atau memicu disintegrasi bangsa.
Puasa harus dicegah menjadi lahan "menanamkan
kebencian" kepada orang lain dengan berbuat kasar,
keras dan perusakan. 

Humanis 

Secara tegas harus dikemukakan kembali bahwa dimensi
humanis dalam puasa merupakan cara beragama yang
sungguh menempatkan agama untuk semua manusia. Agama
adalah rahmatan lil 'alamin bukan beragama untuk
menakut-nakuti orang lain yang kebetulan berbeda
dengan kita. Sebab itulah, kehidupan yang penuh
kedamaian, persaudaraan sejati, solidaritas sosial,
akan terwujud. Harapan akan terjadinya sebuah negara
yang berjalan di atas jalan etika akan terjadi. 

Kita harus yakin bahwa tidak satu pun agama yang
mengabaikan dimensi humanis, kecuali karena
reduksi-reduksi oleh pemeluknya sendiri. Kita tidak
boleh bertahan pada dogma-dogma semata bahwa agama
tidak mengajarkan tentang kekacauan, kekerasan.
Sementara itu terus-menerus tidak berkehendak "memutus
sikap eksklusif, dan fanatisme sempit" dalam beragama.
Apabila umat Islam mampu memutus sikap-sikap negatif
performance agama tersebut, saya optimis peran puasa
di masyarakat sekarang dan mendatang akan bisa
berkembang. Dari sana juga melahirkan orang beragama
yang benar-benar tidak menakutkan antarsesama pemeluk
agama. Di sinilah, apabila dimensi perdamaian dan
kemanusiaan dalam puasa bisa tercipta, social trust
yang kita harapkan dapat tumbuh. 

Tetapi apabila yang terus berkembang di tengah
masyarakat yang sedang berpuasa adalah sikap-sikap
yang antikemanusiaan, atau dimensi non-etik, akan
sangat sulit untuk memutus citra pejoratif dari puasa.
Hal ini sekaligus merupakan kegagalan terbesar dari
umat Islam dalam berpuasa. Puasa tidak dirumuskan dan
ditemukan substansinya, yang selama ini diyakini mampu
memberikan kedamaian, keselamatan dan kesejahteraan
dalam hidup. Kerukunan hidup lintas agama, lintas
etnis pada akhirnya hanya ilusi belaka, tidak bisa
berkembang, kalau bukan malah tercabik-cabik
terus-menerus, sehingga disintegrasi dan kerusuhan
"atas nama agama" terus terjadi. Untuk itu, puasa
harus menjadi modal perdamaian. 

Penulis adalah pengurus Pemuda Muhammadiyah DIY,
mahasiswa S3 Sosiologi UGM Yogyakarta. 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com