[Nusantara] Mengarungi Globalisasi
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Thu Nov 28 05:36:40 2002
Mengarungi Globalisasi
Oleh Sulastomo
THOMAS L Friedman adalah seorang wartawan senior,
redaktur luar negeri koran The New York Times. Pada
tahun 1997 yang lalu (November), saya sempat
mendengarkan ceramahnya dalam sebuah jamuan makan
siang di Chicago, Amerika Serikat (AS), tentang
globalisasi.
Beberapa hari yang lalu, saya menerima sebuah copy
bukunya dari seorang teman yang berjudul Lexus and the
Olive Tree yang terbit tahun 2000. Baik ceramahnya
maupun bukunya sangat mengesankan saya. Ia dikenal
sebagai "penerjemah" peristiwa-peristiwa dunia yang
terkemuka.
Pendapatnya, pada hemat saya, tipe seorang wartawan
yang sangat peduli dengan dunia dan lingkungannya. Hal
ini, terlepas, bahwa ia adalah seorang Amerika, lama
tinggal di Timur Tengah dan ternyata dapat memberi
nasihat bagi kita semua, bagaimana menghadapi
globalisasi dan bersikap kritis terhadap globalisasi
itu sendiri. Apa itu globalisasi?
Globalisasi, menurut Thomas L Friedman, merupakan
fenomena pasca-Perang Dingin yang tidak dapat
dihindari. Runtuhnya tembok Berlin, tidak hanya simbol
runtuhnya bangunan fisik perang dingin yang memisahkan
manusia dengan manusia lainnya, tetapi juga
nilai-nilai yang menyertainya.
Perang dingin yang ditandai oleh tembok-tembok yang
tebal itu, runtuh bersamaan terbukanya sekat-sekat
yang memisahkan bangsa-bangsa sehingga kita (sekarang)
hidup di alam tanpa batas. Semua itu, menurut Thomas L
Friedman, merupakan suatu hal yang tidak dapat
dihindari oleh siapa pun.
Dahulu, ketika zaman perang dingin, musuh yang kita
hadapi adalah yang berada di luar tembok kita.
Sekarang, karena tembok-tembok itu telah runtuh,
musuh-musuh kita itu telah berada di lingkungan kita,
bahkan di antara kita. Contoh paling sahih, pada hemat
saya, adalah perang terhadap terorisme yang sekarang
sedang kita lancarkan! Bahkan, munculnya Osama bin
Laden sebagai tokoh yang ditakuti dunia, adalah
fenomena globalisasi. Sebab, globalisasi, menurut
Thomas L Friedman, telah melahirkan superpower,
supermarket dan super-empowered individual.
Kalau ada super-empowered individual yang "marah", ia
dapat bertindak menyampaikan kemarahannya di panggung
dunia kita yang satu ini. Dasarnya, adalah nilai-nilai
yang dianut oleh super-empowered individual itu.
Karena itu, pada hemat saya, terorisme justru akan
mengglobal, tidak mengenal batas-batas negara, oleh
karena teroris itu bisa menumpahkan kemarahannya di
mana saja di dunia ini. Dalam suasana seperti itu
dapat dipahami kalau nilai yang akan dominan adalah
nilai yang sesuai dengan zamannya.
Globalisasi, menurut Thomas L Friedman, mempunyai
dimensi ideologi, yaitu kapitalisme dan dimensi
ekonomi, yaitu pasar bebas. Selain itu, juga dimensi
teknologi, yaitu teknologi informasi yang telah
menyatukan dunia. Oleh karena itu, menurut Thomas L
Fredman, kita harus mengenakan "baju" baru atau
software yang cocok untuk dapat mengikuti arus
globalisasi itu, yang ia katakan sebagai the golden
straitjacket. Baju itu menggantikan baju lama selama
perang dingin, misalnya ,baju ala Mao, Nehru, ataupun
baju yang dipakai orang-orang Rusia.
Untuk dapat "cocok" dengan baju ba-ru itu, setiap
negara harus telah menerapkan atau sedang menuju untuk
menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
Menempatkan sektor swasta sebagai penggerak utama
pertumbuhan ekonomi, mempertahankan angka inflasi pada
tingkat yang rendah dan mempertahankan stabilisasi
harga barang dan jasa, mengurangi perang birokrasi,
mempertahankan anggaran yang berimbang atau surplus,
menghapus atau menurunkan segala tarif impor,
menghapus segala hambatan investasi luar negeri,
membebaskan segala bentuk kuota dan monopoli,
meningkatkan ekspor, memprivatisasikan segala bentuk
usaha industri barang dan jasa, diperjual-belikan,
membuka industri dan pasar modal pada kepemilikan pada
investor asing secara langsung, deregulasi ekonomi
untuk memberi peluang pada tumbuhnya kompetisi,
memberantas korupsi di lingkungan birokrasi, membuka
sistem perbankan dan telekomunikasinya bagi
kepemilikan sektor swasta, memberi peluang kepada
setiap warga negara untuk memilih sistem pensiunnya
berdasar kompetisi, termasuk yang diselenggarakan oleh
pihak asing.
Apabila kita sudah melaksanakan prinsip-prinsip
seperti itu dengan ketat, maka kita akan cocok dengan
the golden straitjacket itu. Dengan demikian, akan
terjadi demokratisasi teknologi, demokratisasi
keuangan dan demokratisasi untuk memperoleh informasi.
Apa yang kemudian akan terjadi? Apabila sebuah negara
telah melakukan semua itu, maka negara itu akan
memiliki peluang atau pilihan yang agak luas di bidang
ekonomi, dan sebaliknya, dalam bidang politik,
pilihannya tidak banyak. Pilihan politiknya, hanya
"pepsi" atau "cola" kata Thomas L Friedman.
Pemilihan presiden di beberapa negara, misalnya Korea,
tidak ada perbedaan antara kedua calon yang
memperebutkan jabatan kepresidenan dari aspek visi
politik. Tetapi, apabila benar negara itu belum siap
dan kemudian melaksanakan prinsip-prinsip globalisasi
secara ketat, sebagaimana dikemukakan di atas, jurang
perbedaan kaya-miskin akan semakin lebar. Inilah
kepedulian Thomas L Friedman sebagai seorang wartawan,
bahwa dengan globalisasi akan terjadi jurang perbedaan
kaya-miskin yang semakin lebar antarnegara ataupun di
internal negara itu.
Thomas L Friedman memberi contoh, bahwa berkat
globalisasi, pemain bola basket Chicago Bull, Michael
Jordan, mempunyai pendapatan 40 juta dollar Amerika
per tahun. Sebabnya, karena T-shirtnya dibeli
anak-anak di seluruh dunia, dari Jakarta sampai
Moskow. Apa artinya? Kalau anak-anak Indonesia membeli
T-shirt-nya dan karena sebagian pendapatan Michael
Jordan itu untuk membayar pajak pendapatannya, maka
anak-anak Indonesia, secara tidak langsung, ikut
membayar pajak bagi Pemerintah AS. Ditambah dengan
usaha yang lain, misalnya McDonald, semua itu akan
memperlebar jurang perbedaan kaya-miskin antarnegara.
Demikian juga di intern sebuah negara, masyarakat yang
tidak mampu bersaing akan tertinggal jauh. Meskipun
seorang Michael Jordan berpenghasilan 40 juta dollar
AS/tahun, di AS terdapat banyak orang-orang homeless,
tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, tidur malam
di emperan toko-toko, dibantu oleh program food-stamp
pemerintah untuk makannya. Strategi mengarungi
globalisasi Menghadapi perubahan dunia seperti itu, di
mana perubahan itu semakin lama semakin cepat, kita
(ibaratnya) dipaksa untuk berenang mengarungi lautan
yang bebas.
Kalau kita tidak mengenakan baju renang yang cocok
(the golden straitjacket) tidak mustahil akan ditelan
ombak yang besar. Karena itu perlu persiapan atau
katakanlah strategi menghadapi era globalisasi. Kita
harus memahami, bahwa globalisasi itu sendiri
merupakan fenomena yang tidak dapat dielakkan.
Sebagaimana juga ditulis oleh Joseph E Stiglitz,
pemenang hadiah Nobel di bidang ekonomi tahun 2001
yang juga penasihat ekonomi Presiden Clinton dan
mantan Chief Economist The World Bank, yang terpenting
adalah bagaimana globalisasi itu dikelola. Sebagian
dari problem itu, menurut Stiglit terletak pada IMF,
World Bank, dan WTO, yang membuat rule of the
games-nya globalisasi.
Sayangnya, rule of the games itu sering lebih
menguntungkan negara-negara maju, dan secara khusus
interest kalangan dalam negeri negara-negara maju itu
sendiri, dibanding kepentingan negara-negara yang
sedang berkembang, tulis Joseph E Stiglitz dalam
bukunya Globalization and its Discontent. Adapun dalam
pandangan Thomas L Friedman, nasihatnya dicerminkan
dalam judul bukunya Lexus and The Olive Tree (Lexus
adalah sebuah merek mobil Jepang yang mewah, dan olive
tree adalah nama sebuah pohon yang tumbuh di
Jerusalem). Seandainya Lexus adalah simbol negara maju
dan olive tree adalah simbol negara-negara yang sedang
berkembang, maka ia menyarankan olive tree itu harus
memiliki akar yang kokoh untuk dapat bersaing dengan
"lexus".
Kalau olive tree itu tidak memiliki akar yang kuat,
maka ia akan tidak mampu menghadapi globalisasi. Dari
dua pandangan seperti itu, bagi Indonesia dan negara
berkembang lainnya, perlu memperhatikan dua nasihat
itu: bagaimana mengelola globalisasi dan bagaimana
memperkuat "akar" kebangsaan, kemampuan bangsa untuk
menghadapi globalisasi. Untuk itu, ada baiknya kita
melihat apa yang dilakukan oleh negara-negara lain dan
bahkan perusahaan-perusahaan multinasional di dalam
memperkuat kemampuan kompetisinya.
Negara-negara Eropa Barat, sebagaimana kita ketahui,
telah membentuk "The European Union", Negara Eropa
Bersatu. Tahapannya sekarang, sudah memiliki mata uang
tunggal Eropa (euro) dan bahkan hampir seluruh negara
Eropa sudah akan menjadi anggotanya. Apa dampaknya?
Dengan adanya kerja sama seperti itu, kemampuan Eropa
menghadapi negara lain, termasuk Amerika, akan
meningkat. Contohnya, dalam membangun industri pesawat
terbang Airbus, yang merupakan usaha patungan beberapa
negara Eropa (Jerman, Perancis, Spanyol, Belanda, dan
lain-lainnya), sekarang sudah mampu bersaing dengan
Boeing (Amerika). Demikian juga beberapa perusahaan
besar, mereka melakukan merger atau kerja sama
operasi, untuk meningkatkan efisiensi dan memperluas
pasar, sehingga daya kompetisinya semakin besar,
misalnya Chrysler dan Mercedes Benz, atau antara KLM
dan Northwest.
Dengan contoh-contoh seperti itu, di dalam mengelola
globalisasi, selain kita harus memperkuat akar
kebangsaan, kemampuan bangsa sendiri, juga memerlukan
kerja sama dengan negara lainnya. Di sinilah
sebenarnya arti strategisnya ASEAN, sebagai forum
kerja sama regional, yang tentunya akan memperkuat
posisi tawar negara-negara anggotanya, seandainya
kerja sama itu dapat benar-benar diwujudkan. Adapun
strategi bagaimana memperkuat akar kebangsaan,
kemampuan bangsa menghadapi era globalisasi, strategi
memperkuat Indonesia sebagai negara kesatuan adalah
sangat penting.
Sebaliknya, desentralisasi atau otonomi yang membuat
peluang Indonesia menjadi semakin fragmented, akan
mengurangi kemampuan posisi tawar Indonesia.
Selanjutnya untuk memperkuat akar kebangsaan
Indonesia, kita harus mampu menggali potensi dalam
negeri di segala bidang. Peningkatan kualitas sumber
daya manusia (SDM), mobilisasi daya dan dana dalam
negeri, misalnya melalui program jaminan sosial
nasional, lebih menggunakan produk dalam negeri, serta
membangun rasa solidaritas bangsa secara keseluruhan,
merupakan langkah yang sangat penting di era
globalisasi.
Tanpa memperkuat akar kita sebagai bangsa dan kerja
sama regional yang kokoh, agaknya semakin sulit bagi
Indonesia untuk mampu bersaing di era globalisasi.
SULASTOMO Koordinator Gerakan Jalan-Lurus
=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com