[Nusantara] Potensi Kekerasan dari Agama?

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Thu Nov 28 05:36:44 2002


Potensi Kekerasan dari Agama? 
Oleh Mudji Sutrisno SJ 

Apakah agama berpotensi memunculkan kekerasan?
Pertanyaan ini muncul berkaitan dengan fenomena
radikalisme agama yang bila ditaruh di bingkai
sejarah-sejarah peradaban agama-agama, hampir semua
mencatat potensi itu. Namun, pertanyaan kritis berikut
adalah bukankah agama berfungsi sebagai perekat damai
dalam kebudayaan (C. Geertz)? Bukankah ia merupakan
teks yang mengajarkan hubungan damai dengan sesama dan
tulus damai dengan Allah? Lalu, kapan potensi
kekerasan itu meruyak ke luar dan apa sebabnya? 

Ada multidimensi penelitian rasional mengenai agama.
Dari segi kebudayaan, seperti sudah di sebut di atas,
Geertz menempatkannya sebagai ruang pengarti makna
hidup dan orientasi hidup yang bersumber pada teks
suci kebenaran hingga mendasari lapis-lapis pandangan
hidup lainnya seperti akal sehat, ilmu pengetahuan,
dan estetika. 

Krisis di tahap agama akan mengakibatkan krisis
mendasar dan total. Sebab, pengarti makna hidup
runtuh. Di sini saja, terjawab bahwa peran agama
secara budaya menjadi perajut identitas individu
maupun kolektif atau komunitas. Di situ, juga terletak
salah satu jawaban mengapa usaha mati-matian untuk
tidak terjadi krisis identitas, komunitas memegang
agama erat-erat dengan ketotalan tafsiran dan
pembahasan hukum kebenaran mutlak. Agar, konflik bisa
tetap diatasi secara budaya. 

Contoh paling mencolok adalah wacana konflik peradaban
dari Samuel Huntington yang membuat masing-masing
peradaban yang merasa eksistensi identitasnya
ditantang konflik lalu memakai jalur politik identitas
untuk mempertahankan diri dan melawan. Herankah kita
bila meski tidak berwajah kekerasan fisik, di sini pun
terjadi perang antaridentitas kultural dengan saling
meng-hegemoni dan menguasai jagat makna dan kebenaran
yang secara rasional bisa kita rasakan pada
"penjajahan" dan monopoli tafsir makna ketika
sumber-sumber kekuasaan, yakni kapital pasar dan
teknologi informasi dipolitisasi untuk siar hegemoni
makna. 

Namun, Freud dan Erich Fromm meneliti agama dari
dimensi kesadaran dan ketidak-sadaran manusia. Semakin
agama dengan teks-teks sucinya mengenai kebenaran
serta kedamaian ditafsir dan dihayati kontekstual
dengan pencerahan kesadaran dan humanisasi manusia
dengan peradaban saling hidup bersama secara damai,
agama itu semakin tampil berwajah manusiawi serta
damai. 

Tetapi, semakin sisi irasionalitas, "thanatos" (energi
antikehidupan dan magma gairah kematian) tidak
diangkat ke tahap kesadaran, agama akan semakin
menjadi sumber kekerasan dalam hidup bersama manusia.
Murid Freud, yakni Carl Gustav Jung, menunjuk adanya
sisi gelap dendam traumatis pada manusia individu
maupun kolektif dalam istilah "shadow". 

Apakah jalan keluar dari sini adalah tafsiran-tafsiran
teologis pencerahan, humanis, dan
pendidikan-pendidikan yang mengangkat shadow traumatis
menjadi pendidikan penyadaran, sehingga manusia
belajar berdamai dengan traumanya dan belajar hidup
bersama dengan kesadaran menghormati perbedaan dan
keragaman? Apa yang menyebabkan adanya sisi trauma
irasionalitas komunitas atau individu penghayat agama?


Dengan agak menyederhanakan soal, Max Weber dan Emile
Durkheim menunjuk pengalaman-pengalaman perlakuan
tidak adil secara identitas sosial, politis, dan
ekonomis. Perlakuan-perlakuan dijajah ekonomis dan
diperlakukan sebagai pinggiran terus serta
ketidaksertaan dalam identitas politik yang diganjal
saat ini oleh penguasaan dunia, oleh politik ekonomi
global pasar, serta politik kekuasaan dunia pertama
yang mencengkeram dunia ketiga dan kedua. 

Perasaan terjajah serta pengalaman kolektif
ditidak-adili dalam relasi ekonomi amat pincang antara
negara-negara kaya dan miskin yang diserap kekayaannya
serta disengaja tergantung secara ekonomi. Politik
internasional inilah yang dalam akumulasi perjuangan
identitasnya lalu mencari sumber yang paling merangkul
emosi, menyentuh pathos, dan berpembenaran teks suci
untuk perjuangannya. Dan, sumber itu adalah agama. 

Dengan totalitas klaim agama atas kebenaran (claim of
truth) dan klaim agama atas keselamatan eskatologis
surgawi (claim of salvation), agama potensial menjadi
kendaraan dan legitimator kekerasan bila radikalisme
perjuangan politik identitas mengambilnya sebagai
amunisi. Mengapa ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan,
jurang pendidikan, dan kaya-miskin yang semestinya
harus menjadi garapan gandeng tangan agama-agama untuk
terjemahan teologi keadilan, kesejahteraan
inkarnatoris (di semesta alam ini) dan seharusnya
menjadi wajah humanisasi gama-agama dalam peradabannya
masih saja gagal diikhtiarkan agama-agama? 

Tanpa praxis humanisasi agama-agama dengan perjuangan
kemanusiaan, keadilan, dan kesejahteraan, kritik Marx,
Freud, dan Nietzsche terhadap agama akan terus
berlaku. Dan, yang lebih memprihatinkan, kekerasan
bersumber agama semakin potensial! 

*. Dr Mudji Sutrisno SJ, rohaniawan 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com