[Nusantara] Seandainya Saya Menteri Tenaga Kerja

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Thu Nov 28 05:37:27 2002


Seandainya Saya Menteri Tenaga Kerja 
Oleh Djimanto 

PERUSAHAAN Sony Electronics Indonesia (PT SEI) segera
menyusul hengkang dari Indonesia. Ini akan menambah
jumlah pengangguran makin membengkak dari tahun ke
tahun. Menurut Survei Tenaga Kerja Nasional (BPS),
selama lima tahun (1997-2001) terjadi pengangguran
penuh. Pada tahun 1997 jumlah pengangguran penuh
mencapai 4.197.306 orang (4,68 persen). Pada tahun
1998 menjadi 5.062.483 orang, tahun 1999 menjadi
6.030.379, dan tahun 2000 turun menjadi 5.813.231
orang. Namun, tahun 2001 kembali naik tajam menjadi
8.005.031 orang. 

Sementara itu, pengangguran tersamar terus membengkak
mencapai hampir 41 juta orang tahun 2001 dan usia
kerja baru 2,5 juta tiap tahun. RUU Ketenagakerjaan
(RUUK) dari RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (RUU PPHI) akan diteruskan pembahasannya
oleh Pansus DPR. Sebenarnya, dengan pembahasan dua RUU
itu langkah pertama legislasi ketenagakerjaan
Indonesia baru dimulai. 

RUUK akan mencabut 11 legislasi setingkat
undang-undang, dua di antaranya "undang-undang pokok"
yaitu UU Nomor 1 Tahun 1948 tentang Kerja dan UU Nomor
14 Tahun 1969 tentang Pokok-Pokok Ketenagakerjaan.
Tulang punggung legislasi ketenagakerjaan Indonesia
akan mulai tergantikan. 

Bagaimana bentuk (format) baru legislasi
ketenagakerjaan Indonesia nanti? Apakah langkah
pertama proses reformasi itu merupakan langkah tepat?
Untuk menjawab kedua pertanyaan itu berikut dipaparkan
pemikiran-pemikiran sebagai sumbang pikir. Dengan
maksud sebagai pembekalan untuk meneruskan langkah
selanjutnya. Indikator suksesnya format legislasi
ketenagakerjaan pada pokoknya jika semua angkatan
kerja tertempatkan dengan baik. Tidak justru seperti
perkembangan kinerja ketenagakerjaan nasional selama
lima tahun terakhir seperti tersebut di atas. 

Pola Pikir Legislasi Ketenagakerjaan 

Untuk melandasi reformasi Sistem Nasional Legislasi
Ketenagakerjaan perlu dikembalikan dan dimurnikan pola
pikir ketenagakerjaan dilihat dari nilai-nilai umum
(universal value). Dilihat dari nilai umum ada dua
hal. Pertama, Dalam hidupnya, manusia memerlukan
nafkah. Nafkah itu dapat diraih dengan bekerja. 

Kedua, ketika bangsa Indonesia mendirikan negara dan
menetapkan sebagai negara demokrasi, maka tujuan
utamanya adalah kesejahteraan rakyat. Dilihat dari
nilai Indonesia, ada dua hal penting. (a) bahwa visi,
cita-cita kemerdekaan adalah masyarakat adil makmur
dengan wujud terciptanya Kesejahteraan Umum dan
kehidupan bangsa yang cerdas (Pembukaan UUD 1995). (b)
Cita-cita dan wujud itu dicapai dengan berbagai misi
sebagaimana tersirat dalam batang tubuh UUD 1945. Ada
misi politik, ekonomi, pertahanan hukum pemerintahan,
dan sebagainya, termasuk misi ketenagakerjaan, di mana
setiap warga negara berhak (opsi) atas pekerjaan demi
kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. 

Dimensi ketenagakerjaan penduduk warga negara Dilihat
dengan kacamata ketenagakerjaan, warga negara dapat
dikelompokkan menjadi beberapa bagian. Pertama,
kelompok calon tenaga kerja. Kelompok ini mencakup
warga negara pra-usia kerja, dari usia sejak lahir
sampai usia 15 tahun. 

Kedua, kelompok usia kerja usia 15-60 tahun. Kelompok
ini terbagi beberapa subkelompok: (a) subkelompok
bukan pencari kerja, (b) kelompok pencari kerja atau
pengangguran penuh, (c) subkelompok bekerja. 

Subkelompok bekerja ini dikelompokkan menjadi dua
bagian: (i) kategori bekerja tidak penuh (disguised
unemployement) dan (ii) kategori bekerja penuh.
Kategori bekerja penuh masih dibagi lagi dalam tiga
segmen yaitu segmen bekerja pada pihak lain atau lazim
disebut dengan buruh; segmen bekerja mandiri yaitu
mereka yang menciptakan lapangan kerja buat diri
sendiri seperti petani dan nelayan kecil, calo,
pengasong, pedagang kaki lima dan sebagainya; segmen
bekerja sebagai eksekutif perusahaan atau lazim
disebut dengan pengusaha. 

Ketiga, kelompok pasca-usia kerja, yaitu warga negara
yang berumur lebih lebih dari 60 tahun. Kelompok
terakhir ini terbagi dalam dua subkelompok: (1)
subkelompok yang masih membutuhkan bekerja demi nafkah
kehidupan, (2) subkelompok yang membutuhkan kegiatan
demi mengisi hari tua. Selanjutnya, masing-masing
subkelompok terbagi lagi dalam digit berikutnya secara
berjenjang. 

Warga negara adalah manusia. Ada tiga dimensi manusia:
(1) dimensi individu, (2) dimensi sosial, dan (3)
dimensi transenden. Manusia hidup dalam kosmosnya
menciptakan peradaban termasuk kebudayaan maka warga
negara selalu bergerak tumbuh dan berkembang. Gerakan
itu lazim diistilahkan dinamika dan dialektika. 

Dengan adanya dinamika dan dialektika itu maka
diperlukan rekayasa ketenagakerjaan atau manpower
planning. Rekayasa ketenagakerjaan Dalam masyarakat
adil makmur, segenap warna negara membutuhkan
pekerjaan sebagaimana fatwa Pasal 27 Ayat (2) UUD
1945. Dari pekerjaan dan nafkah yang layak itu, dapat
menghidupinya dengan layak pula. Itulah idealnya,
itulah misinya. 

Tentu saja yang ideal itu sukar, bahkan selalu tidak
mungkin tercapai 100 persen. Akan tetapi, visi itu
dengan misi ketenagakerjaan, dapat menjadi pedoman
arah perjalanan dalam kegiatan (engineering)
ketenagakerjaan. Maka dari itu perlu perencanaan
ketenagakerjaan yang pragmatis. Indonesia kini
keadaannya sebagai berikut: Visi sudah jelas, misi
ketenagakerjaan sudah ada, grand design (GBHN) dan
grand strategy (Propenas) sudah ada, sebenarnya
tinggal menuangkan dalam strategi dan taktik
operasionalisasinya. 

Seandainya pemerintah cerdik, tinggal mengoordinasi
perencanaan nasional ketenagakerjaan Indonesia sebagai
berikut. Pertama, membuat manpower flow planning (MFP)
jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek.
Kedua, menempatkan MFP sebagai "bidang penjuru" bagi
prioritas kerja kabinet. Bidang-bidang lain harus
berkinerja menunjangnya, seperti: moneter, hukum,
keamanan, politik, pendidikan, ekonomi, dan
sebagainya. 

Dengan cara itu otomatis akan tercipta pembagian atau
penyebaran (dekonsentrasi) tugas, risiko, dan tanggung
jawab. Rekayasa ketenagakerjaan akan terselenggara
secara konsorsium, terukur dan jelas arahnya.
Masyarakat pun menjadi mudah berperan serta dalam
operasionalisasi program tersebut. 

Perlu penanganan 

Momentum tahapan reformasi legislasi ketenagakerjaan
Indonesia kini sebenarnya sedang dalam kondisi matang
di reformasi, secara terarah direvitalisasi dan
direfungsionalisasi sesuai pola dan struktur berpikir
sebagaimana telah diuraikan di muka. Betapa tidak, ada
13 peraturan setingkat undang-undang tidak ada yang
keberatan untuk dicabut atau diperbaharui. Hanya ada
beberapa buah peraturan ketenagakerjaan setingkat
undang-undang yang akan tersisa. Yang tersisa pun
berupa undang-undang yang bersifat organik. 

Mengeksplorasi momentum itu akan menyelamatkan visi
dan misi ketenagakerjaan Indonesia jika dibuat
"peraturan induk" tentang pokok-pokok bagi peraturan
organiknya, baik berbentuk undang-undang maupun
peraturan-peraturan lainnya. Peraturan induk itu dapat
diwujudkan dalam undang-undang dengan dua alternatif.
Pertama, undang-undang tentang pokok-pokok
ketenagakerjaan yang memuat ketentuan-ketentuan dan
acuan bagi peraturan perundang-undangan yang lebih
rinci dan spesifik atas ketenagakerjaan. 

Kedua, menggunakan RUU Ketenagakerjaan yang sudah ada.
Pertanyaannya, bagaimana dengan beberapa gelintir
undang-undang yang tersisa jika dalam muatannya tidak
sesuai dengan peraturan induk? Jawabnya, tidak
apa-apa! Tetapi hanya untuk sementara waktu. Untuk
itu, dalam peraturan induk perlu dicantumkan ketentuan
peralihannya. Bersamaan dengan penyesuaian tentu akan
tumbuh dan berkembang peraturan perundang-undangan
organik lain yang dinamis, dialektis, dan beradab.
Bagus sekali karena acuannya peraturan induk. 

Jika hal itu terjadi maka akan tercipta struktur
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang
tertib dan berjenjang secara sistematis dan mudah
dimengerti. Mencermati RUU ketenagakerjaan yang ada
kini, di mana menggandengkan atau diboncengi substansi
hubungan industrial di dalamnya, sesungguhnya tidak
tepat meski juga tidak terlalu salah. 

Sebaiknya, substansi tentang rekayasa (engineering)
ketenagakerjaan dibuat undang-undang tersendiri karena
mengatur pekerja mandiri (pengasong, kaki lima,
petani) yang tidak punya majikan/pengusaha. Sedangkan
substansi hubungan industrial dibuat tersendiri pula.
Substansi yang terakhir ini lalu on-line dengan RUU
PPHI. Namun, langkah pertama yang kurang tepat itu,
anggaplah suatu langkah maksimal, yang kini bisa
dicapai meski tidak optimal. 

Langkah selanjutnya sebaiknya kembali ke pola pikir
yang sistematis dan runtut sebagaimana telah diuraikan
dalam tulisan ini agar mudah dihayati dan diamalkan.
Belum terlambat untuk itu Bung!! 

DJIMANTO Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia
(APINDO) 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com