[Nusantara] Aina Rumiyati Aziz: Perempuan Korban di Ranah Domestik

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 4 06:00:56 2002


Perempuan Korban di Ranah Domestik
Aina Rumiyati Aziz
Jurnalis Majalah Forum Keadilan

BERITA kekerasan dengan korbannya kaum perempuan
belakangan ini menjadi
konsumsi paling menarik dan banyak menghiasi media
cetak terbitan 
Palembang,
dari kasus perkosaan sampai kasus penganiayaan
pembantu rumah tangga.
Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan juga banyak
terjadi di daerah
lainnya di Indonesia. Pada tahun 2000, kantor Menteri
Negara 
Pemberdayaan
Perempuan mencatat tingkat kekerasan yang dialami
perempuan Indonesia 
sangat
tinggi. Sekitar 24 juta perempuan atau 11,4 persen
dari total penduduk
Indonesia pernah mengalami tindak kekerasan.
Tindak kekerasan dominan yang dialami oleh perempuan
Indonesia adalah
kekerasan di ranah domestik atau kekerasan dalam rumah
tangga seperti
penganiayaan, perkosaan, pelecehan, atau suami
berselingkuh. Khusus 
bentuk
kekerasan seksual perkosaan, LSM perempuan
Kalyanamitra mencatat, bahwa
setiap lima jam terjadi satu kasus perkosaan. Itu
kasus di Indonesia. 
Di
negara lain kekerasan yang sama juga terjadi. PBB
dalam laporan tentang
keadaan penduduk dunia tahun 2000 yang diterbitkan
oleh UNPF atau Dana
Kependudukan PBB berjudul Lives Together, Worlds
Apart-State of World
Population 2000 mencatat bahwa satu dari tiga
perempuan pernah 
mengalami
kekerasan atau pemukulan. Sebanyak dua juta gadis
dipaksa memasuki 
dunia
pelacuran setiap tahunnya. Sekitar 5 ribu wanita
setiap tahunnya 
menjadi
korban apa yang disebut “honor killing” atau
pembunuhan atas nama 
membela
martabat keluarga. Dan 4 juta perempuan atau gadis
dijual-belikan baik 
untuk
perkawinan, pelacuran, atau perbudakan.
Kekerasan terhadap perempuan di ranah domestik atau
lebih popular 
dengan
sebutan KDRT singkatan dari kekerasan domestik dalam
rumah tangga,
sebenarnya lebih banyak jumlahnya dibandingkan laporan
yang sampai ke 
media
massa atau ke kantor polisi. Diperkirakan angka-angka
yang tercatat di 
LSM,
kantor polisi dan media massa tidak mencerminkan
keadaan yang 
sesungguhnya,
mengingat masalah kekerasan yang satu ini masih
dianggap tabu karena
menyangkut kehidupan intim suami-istri.
Dari pemetaan yang dilakukan oleh Komnas Perempuan,
diketahui bahwa
pengalaman kekerasan perempuan Indonesia sangat masif
penyebarannya dan
mengambil bentuk yang beragam. Kekerasan tersebut
terjadi baik di dalam
keluarga, di tengah masyarakat maupun dalam kondisi
khusus seperti 
konflik
dan wilayah pengungsian, serta sebagai akibat langsung
dan tidak 
langsung
dari kebijakan negara. Korban kekerasan terhadap
perempuan tidak hanya
mengalami penderitaan fisik, psikologis atau seksual,
tetapi juga 
terampas
kemerdekaan dan teraniaya kemanusiaannya. Bentuk
kekerasan tersebut 
dapat
diidentifikasi bukan hanya kekerasan fisik, tapi bisa
berbentuk sangat 
halus
dan tidak kasat mata seperti kecaman, kata-kata yang
meremehkan dan
sebagainya.
Sedikitnya ada lima kategori bentuk kekerasan dalam
rumah tangga: 
fisik,
emosional/psikologis, seksual, ekonomi, dan sosial.
Kekerasan fisik,
biasanya berakibat langsung bisa dilihat mata seperti
memar-memar di 
tubuh
atau goresan-goresan luka. Kekerasan emosional atau
psikologis tidak
menimbulkan akibat langsung tapi dampaknya bisa sangat
memutus-asakan
apabila berlangsung berulang-ulang. Termasuk dalam
kekerasan emosional 
ini
adalah penggunaan kata-kata kasar, merendahkan, atau
mencemooh.
Patriarkhi
Dari berbagai kasus yang terjadi, dapat diidentifikasi
faktor yang
menyebabkan kekerasan terhadap perempuan. Pertama,
budaya patriarkhi 
yang
mendudukkan laki-laki sebagai makhluk superior dan
perempuan sebagai 
makhluk
interior. Kedua, pemahaman yang keliru terhadap ajaran
agama sehingga
menganggap bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.
Ketiga, peniruan 
anak
laki-laki yang hidup bersama ayah yang suka memukul
biasanya akan 
meniru
perilaku ayahnya.
Walau dunia telah menyusun deklarasi mengenai
Penghapusan Kekerasan 
Terhadap
Perempuan dan Indonesia telah meratifikasi Convention
on the 
Elimination of
all form of Discrimination Against Woman atau CEDAW,
yaitu Deklarasi 
PBB
mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
mengenai Penghapusan 
Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang memuat hak
dan kewajiban
berdasarkan atas persamaan hak dengan pria dan
menyatakan agar negara
mengambil langkah-langkah seperlunya untuk
pelaksanaannya. Ternyata 
kita
belum bisa berharap deklarasai PBB ini bisa diterapkan
di Indonesia. 
Masalah
kesulitan ekonomi yang melilit bangsa Indonesia telah
membuat bangsa 
ini
lupa akan adanya kedua deklarasi tersebut. Buktinya
kasus kekerasan
perempuan di Indonesia, khususnya yang terjadi di
ranah domestik tetap
banyak setiap tahunnya.
Tumbuh suburnya kekerasan perempuan di ranah domestik
tidak terlepas 
dari
masih suburnya mitos-mitos yang masih tumbuh dalam
masyarakat 
Indonesia.
Mitos-mitos seputar kekerasan yang selama ini
berkembang, bahwa 
kekerasan
hanya terjadi pada kelompok berpendidikan dan
berpenghasilan rendah. 
Namun
faktanya, banyak juga kasus kekerasan yang terjadi di
kelompok 
berpendidikan
menengah ke atas. Bahkan terdapat laporan yang
menyebutkan bahwa 
perempuan
karir banyak mengalami kekerasan.
Itu juga berarti kekerasan terhadap perempuan bukan
disebabkan oleh 
situasi
ekonomi atau tinggi rendahnya pendidikan seseorang,
tapi lebih pada
ketidaksetaraan kekuasaan antara laki-laki dan
perempuan. Pembagian 
peran
sosial terhadap perempuan dan laki-laki menyebabkan
ketidakadilan yang 
salah
satu bentuknya adalah kekerasan terhadap perempuan.
Beberapa LSM seperti Solidaritas Aksi Korban Kekerasan
terhadap Anak 
dan
Perempuan (Sikap), Kalyanamitra, Rifka Annisa, dan
Mitra Perempuan 
mencatat
beberapa dari mitos yang tumbuh subur sehingga
melanggengkan kekerasan 
dalam
rumah tangga. Di antaranya, mitos “Kekerasan dalam
rumah tangga sangat
jarang terjadi.” Faktanya satu dari tiga istri pernah
mengalami 
kekerasan
dalam rumah tangga. Mitos lainnya, “Rumah tangga
adalah urusan pribadi 
dan
yang terjadi di dalamnya bukan urusan orang lain, dan
mitos lainnya.
Kekerasan terhadap perempuan dalam ranah domestik juga
akibat alkohol.
Alkohol merupakan penyebab terbesar KDRT. Dalam
sekitar 50 persen 
kasus,
pelaku bersikap tenang pada saat melakukan
penyerangan. Alkohol memang 
dapat
menjadi pemicu penyerangan, tetapi sama sekali salah
beranggapan bahwa
alkohol penyebab kekerasan. Penyebab kekerasan dalam
rumah tangga 
sangat
kompleks dan berkaitan dengan keyakinan bahwa
laki-laki memiliki 
kekuasaan
atas perempuan (dan anak), dan bisa memperlakukannya
dengan kasar kalau 
ia
menghendaki.
Dengan identifikasi dan pengenalan terhadap bentuk
kekerasan terhadap
perempuan termasuk mitos yang mendukungnya terjadi
KDRT, maka menjadi
tanggung jawab semua pihak, termasuk pemerintah dan
masyarakat untuk
berupaya memutus mata rantai kekerasan terhadap
perempuan di ranah 
domestik.
Selintas mudah untuk memutuskannya. Faktanya, masalah
ini tidak mudah
penyelesaiannya karena selalu berulang.
Masalah kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah
bersama. Oleh 
karena
itu masyarakat dan juga negara perlu disadarkan,
didesak, dituntut, dan
diawasi untuk turut bertanggung jawab dalam memerangi
kekerasan 
berdasarkan
jenis kelamin ini. Untuk itu perlu adanya perubahan
sikap mendasar yang
menganggap masalah kekerasan terhadap perempuan dari
sekedar masalah
individu menjadi masalah dan tanggung jawab bersama.
Walau telah ada pasal hukum yang bisa menjerat pelaku
kekerasan 
terhadap
perempuan dalam ranah domestik seperti diatur dalam
KUHP. Ancaman hukum
pelaku KDRT antara lain KUHP mulai pasal 351-355,
mengancam hukuman 
penjara.
KUHP pasal 356 pemberian sepertiga dari ancaman
hukuman pada 
penganiayaan
yang dilakukan terhadap orang di luar anggota
keluarga. Pasal 19 PP No 
9
Tahun 1975; pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Pasal 24 dan 136 PP 
No 9
Tahun 1975 menyediakan perlindungan bagi pihak yang
merasa keselamatan 
jiwa
dan hartanya terancam dan berhak mengajukan permohonan
kepada 
pengambilan
selama gugatan cerai berlangsung boleh tidak tinggal
bersama. Namun 
terjadi
di ruang pengadilan, pasal-pasal dalam KUHP belum
mengakomodasi 
kepentingan
perempuan bahkan seringkali dalam penerapan putusan
tidak memperhatikan 
rasa
keadilan bagi perempuan.



=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
New DSL Internet Access from SBC & Yahoo!
http://sbc.yahoo.com