[Nusantara] CUPLIKAN PENGAKUAN DR. SOEBANDRIO TETANG TRAGEDI NASIONAL 30 SEPTEMBER

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 4 06:00:57 2002


G-30-S versi Soebandrio - (2)
BAB II: GERAKAN  YANG  DIPELINTIR
BUNG  KARNO  MASUK  ANGIN
 

Ada peristiwa kecil, namun dibesar-besarkan oleh
Kelompok Bayangan Soeharto, sehingga kemudian menjadi
sangat penting dalam sejarah Indonesia. Peristiwa itu
adalah sakitnya Bung Karno pada awal Agustus 1965.
Dalam buku-buku sejarah banyak ditulis bahwa sakitnya
Bung Karno pada saat itu adalah sangat berat.
Dikabarkan, pimpinan PKI DN Aidit sampai mendatangkan
dokter dari RRT. Dokter RRT yang memeriksa Bung Karno
menyatakan bahwa Bung Karno sedang kritis. Intinya,
jika tidak meninggal dunia, Bung Karno dipastikan
bakal lumpuh. Ini menggambarkan bahwa Bung Karno saat
itu benar-benar sakit parah.
Dari peristiwa itu (seperti ditulis di berbagai buku)
lantas dianalisis bahwa PKI -yang saat itu berhubungan
mesra dengan Bung Karno - merasa khawatir pimpinan
nasional bakal beralih ke tangan orang AD. PKI tentu
tidak menghendaki hal itu, mengingat PKI sudah
bermusuhan dengan AD sejak pemberontakan PKI di
Madiun, 1948.  Menurut analisis tersebut, begitu PKI
mengetahui bahwa Bung Karno sakit keras, mereka
menyusun kekuatan untuk merebut kekuasaan. Akhirnya
meletus G30S.
Ini alibi rekayasa Soeharto yang mendasari tuduhan
bahwa PKI adalah dalang G30S.  Ini juga ditulis di
banyak buku, sebab memang hanya itu informasi yang ada
dan tidak dapat dikonfirmasi, karena pelakunya - Bung
Karno, DN Aidit dan dokter RRT -ketiga-tiganya tidak
dapat memberikan keterangan sebagai bahan
perbandingan. Bung Karno ditahan sampai meninggal.
Aidit ditembak mati tanpa proses pengadilan; sedangkan
dokter RRT itu tidak jelas keberadaannya. Itulah
sejarah versi plintiran.
Tetapi ada saksi lain selain tiga orang itu, yakni
saya sendiri dan Wakil Perdana Menteri-II, dr.
Leimena. Jangan lupa, saya adalah dokter yang
sekaligus dekat dengan Bung Karno. Saya juga
mengetahui secara persis peristiwa kecil itu. 
Yang benar demikian: memang Bung Karno diperiksa oleh
seorang dokter Cina yang dibawa oleh Aidit, tetapi
dokternya bukan didatangkan dari RRT, melainkan dokter
Cina dari Kebayoran Baru, Jakarta, yang dibawa oleh
Aidit. Fakta lain: Bung Karno sebelum dan sesudah
diperiksa dokter itu juga saya periksa. Pemeriksaan
yang saya lakukan didampingi oleh dr. Leimena. Jadi
ada tiga dokter yang memeriksa Bung Karno.
Penyakit Bung Karno saat itu adalah: masuk angin. Ini
jelas dan dokter Cina itu juga mengatakan kepada Bung
Karno di hadapan saya dan Leimena bahwa Bung Karno
hanya masuk angin. DN Aidit juga mengetahui penyakit
Bung Karno ini. Mengenai penyebabnya, sayalah yang
tahu. Beberapa malam sebelumnya, Bung Karno
jalan-jalan meninjau beberapa pasar di Jakarta.
Tujuannya adalah melihat langsung harga bahan
kebutuhan pokok. Jalan keluar-masuk pasar di malam
hari tanpa pengawalan yang memadai sering dilakukan
Bung Karno. Nah, itulah penyebab masuk angin.
Tetapi kabar yang beredar adalah bahwa Bung Karno
sakit parah. Lantas disimpulkan bahwa karena itu PKI
kemudian menyusun kekuatan untuk mengambil-alih
kepemimpinan nasional. Akhirnya meletus G30S yang
didalangi oleh PKI.
Kabar itu sama sekali tidak benar. DN Aidit tahu
kondisi sebenarnya. Ini berarti bahwa kelompok
Soeharto sengaja menciptakan isu yang secara logika
membenarkan PKI berontak atau menyebarkan kesan
(image) bahwa dengan cerita itu PKI memiliki alasan
untuk melakukan kudeta.
Ketika Kamaruzaman alias Sjam diadili, ia memperkuat
dongeng kelompok Soeharto.  Sjam adalah kepala Biro
Khusus PKI sekaligus perwira intelijen AD. Sjam
mengaku bahwa ketika Bung Karno jatuh sakit, ia
dipanggil oleh Aidit ke rumahnya pada tanggal 12
Agustus 1965. Ia mengaku bahwa dirinya diberitahu oleh
Aidit mengenai seriusnya sakit Presiden dan adanya
kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan segera
apabila Bung Karno meninggal. Masih menurut Sjam,
Aidit memerintahkan dia untuk meninjau kekuatan kita
dan mempersiapkan suatu gerakan. Pengakuan Sjam ini
menjadi rujukan di banyak buku.
Tidak ada balance, tidak ada pembanding. Yang bisa
memberikan balance sebenarnya ada lima orang yaitu
Bung Karno, Aidit, dokter Cina (saya lupa namanya),
Leimena dan saya sendiri. Tetapi setelah meletus G30S
semuanya dalam posisi lemah. Ketika diadili, saya
tidak diadili dengan tuduhan terlibat G30S, sehingga
tidak relevan saya ungkapkan.
Kini saya katakan, semua buku yang menyajikan cerita
sakitnya Bung Karno itu tidak benar. Aidit tahu persis
bahwa Bung Karno hanya masuk angin, sehingga tidak
masuk akal jika ia memerintahkan anak buahnya, Sjam,
untuk menyiapkan suatu gerakan. Ini jika ditinjau dari
logika: PKI ingin mendahului merebut kekuasaan sebelum
sakitnya Bung Karno semakin parah dan kekuasaan akan
direbut oleh AD. Logikanya, Aidit akan tenang-tenang
saja, sebab bukankah Bung Karno sudah akrab dengan
PKI? Mengapa PKI perlu menyiapkan gerakan di saat
mereka disayangi oleh Presiden Soekarno yang segar
bugar?
Intinya, pada bulan Agustus 1965 kelompok bayangan
Soeharto jelas kelihatan ingin secepatnya memukul PKI.
Caranya, mereka melontarkan provokasi-provokasi
seperti itu.  Provokasi adalah cara perjuangan yang
digunakan oleh para jenderal AD kanan untuk mendorong
PKI mendahului memukul AD. Ini taktik untuk merebut
legitimasi rakyat.  Jika PKI memukul AD, maka PKI
ibarat dijebak masuk ladang pembantaian (killing
field). Sebab, AD akan - dengan seolah-olah terpaksa -
membalas serangan PKI. Dan, serangan AD terhadap PKI
ini malah didukung rakyat, sebab seolah-olah hanya
membalas. Ini taktik AD Kubu Soeharto untuk menggulung
PKI. Jangan lupa, PKI saat itu memiliki massa yang
sangat besar, sehingga tidak dapat ditumpas begitu
saja tanpa taktik yang canggih.
Tetapi PKI tidak juga terpancing. Pelatuk tidak juga
ditarik meskipun PKI sudah diprovokasi sedemikian
rupa. Mungkin PKI sadar bahwa mereka sedang dijebak.
Peran Aidit sangat besar, dengan tidak memberikan
instruksi kepada anggotanya. Tetapi toh akhirnya PKI
dituduh mendalangi G30S, walaupun keterlibatan
langsung PKI dalam peristiwa itu belum pernah diungkap
secara jelas.
Pelaku G30S adalah tentara dan gerakan itu didukung
oleh Soeharto yang juga tentara. Sedangkan Aidit
langsung ditembak mati tanpa proses pengadilan.
DEWAN  JENDERAL
Isu Dewan Jenderal sebenarnya bersumber dari Angkatan
Kelima. Dan seperti diungkap di bagian terdahulu,
Angkatan Kelima bersumber dari rencana sumbangan
persenjataan gratis dari RRT. Tiga hal ini berkaitan
erat. Pada bagian terdahulu diungkapkan bahwa tawaran
bantuan persenjataan gratis untuk sekitar 40 batalyon
dari RRT diterima Bung Karno. Hanya tawaran yang
diterima, barangnya belum dikirim. Bung Karno lantas
punya ide membentuk Angkatan Kelima. Tapi Bung Karno
belum merinci bentuk Angkatan Kelima itu.
Ternyata Menpangad Letjen A Yani tidak menyetujui ide
mengenai Angkatan Kelima itu.
Para perwira ABRI lainnya mengikuti Yani, tidak setuju
pada ide Bung Karno itu.  Empat angkatan dinilai sudah
cukup. Karena itulah berkembang isu mengenai adanya
sekelompok perwira AD yang tidak puas terhadap
Presiden. Isu terus bergulir, sehingga kelompok
perwira yang tidak puas terhadap Presiden itu disebut
Dewan Jenderal. Perkembangan isu selanjutnya adalah
bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kup terhadap
Presiden.
Menjelang G30S meletus, Presiden memanggil Yani agar
menghadap ke Istana. Yani rupanya merasa bahwa ia akan
dimarahi oleh Bung Karno karena tidak menyetujui
Angkatan Kelima. Yani malah sudah siap kursinya
(Menpangad) akan diberikan kepada orang lain. Saat itu
juga beredar isu kuat bahwa kedudukan Yani sebagai
Menpangad akan digantikan oleh wakilnya, Mayjen Gatot
Subroto. Presiden Soekarno memerintahkan agar Yani
menghadap ke Istana pada 1 Oktober 1965 pukul 08.00
WIB. Tetapi hanya beberapa jam sebelumnya Yani diculik
dan dibunuh.
Yang paling serius menanggapi isu Dewan Jenderal itu
adalah Letkol Untung Samsuri.  Sebagai salah satu
komandan Pasukan Kawal Istana - Cakra Birawa - ia
memang harus tanggap terhadap segala kemungkinan yang
membahayakan keselamatan Presiden. Untung gelisah.
Lantas Untung punya rencana mendahului gerakan Dewan
Jenderal dengan cara menangkap mereka. Rencana ini
disampaikan Untung kepada Soeharto. Menanggapi itu
Soeharto mendukung. Malah Untung dijanjikan akan
diberi bantuan pasukan. Ini diceritakan oleh Untung
kepada saya saat kami sama-sama ditahan di LP Cimahi,
Bandung (lengkapnya simak sub-bab Menjalin Sahabat
Lama).
Saya menerima laporan mengenai isu Dewan Jenderal itu
pertama kali dari wakil saya di BPI (Badan Pusat
Intelijen), tetapi sama sekali tidak lengkap. Hanya
dikatakan bahwa ada sekelompok jenderal AD yang
disebut Dewan Jenderal yang akan melakukan kup
terhadap Presiden. Segera setelah menerima laporan,
langsung saya laporkan kepada Presiden. Saya lantas
berusaha mencari tahu lebih dalam. Saya bertanya
langsung kepada Letjen Ahmad Yani tentang hal itu.
Jawab Yani ternyata enteng saja, memang ada, tetapi
itu Dewan yang bertugas merancang kepangkatan di
Angkatan Bersenjata dan bukan Dewan yang akan
melakukan kudeta.
Masih tidak puas, saya bertanya kepada Brigjen
Soepardjo (Pangkopur II). Dari Soepardjo saya mendapat
jawaban yang berbeda. Kata Soepardjo: Memang benar.
Sekarang Dewan Jenderal sudah siap membentuk menteri
baru.
Pada 26 September 1965 muncul informasi yang lebih
jelas lagi. Informasi itu datang dari empat orang
sipil. Mereka adalah Muchlis Bratanata, Nawawi
Nasution, Sumantri dan Agus Herman Simatupang. Dua
nama yang disebut terdahulu adalah orang NU sedangkan
dua nama belakangnya dri IPKI. Mereka cerita bahwa
pada tanggal 21 September 1965 diadakan rapat Dewan
Jenderal di Gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta.
Rapat itu membicarakan antara lain: Mengesahkan
kabinet versi Dewan Jenderal.
Muchlis tidak hanya bercerita, ia bahkan menunjukkan
pita rekaman pembicaran dalam rapat. Dalam rekaman
tersebut ada suara Letjen S. Parman (salah satu korban
G30S) yang membacakan susunan kabinet.
Susunan kabinet versi Dewan Jenderal - menurut rekaman
itu - adalah sebagai berikut:
Letjen AH Nasution sebagai Perdana Menteri
Letjen A Yani sebagai Waperdam-I (berarti menggantikan
saya) merangkap Menteri
Hankam,
Mayjen MT Haryono menjadi Menteri Luar Negeri,
Mayjen Suprapto menjadi Menteri Dalam Negeri,
Letjen S Parman sendiri menjadi Menteri Kehakiman,
Ibnu Sutowo (kelak dijadikan Dirut Pertamina oleh
Soeharto) menjadi menteri Pertambangan.
 

Rekaman ini lantas saya serahkan kepada Bung Karno.
Jelas rencana Dewan Jenderal ini sangat peka dan
sifatnya gawat bagi kelangsungan pemerintahan Bung
Karno. Seharusnya rencana ini masuk klasifikasi sangat
rahasia. Tetapi mengapa bisa dibocorkan oleh empat
orang sipil? Saya menarik kesimpulan: tiada lain
kecuali sebagai alat provokasi. Jika alat provokasi,
maka rekaman itu palsu. Tujuannya untuk mematangkan
suatu rencana besar yang semakin jelas gambarannya.
Bisa untuk mempengaruhi Untung akan semakin yakin
bahwa Dewan Jenderal - yang semula kabar angin -
benar-benar ada.
Hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal,
muncul Dokumen Gilchrist.  Dokumen ini sebenarnya
adalah telegram (klasifikasi sangat rahasia) dari Duta
Besar Inggris untuk Indonesia di Jakarta Sir Andrew
Gilchrist kepada Kementrian Luar Negeri Inggris.
Dokumen itu bocor ketika hubungan Indonesia-Inggris
sangat tegang akibat konfrontasi Indonesia-Malaysia
soal Borneo (sebagian wilayah Kalimantan).  Saat itu
Malaysia adalah bekas koloni Inggris yang baru
merdeka. Inggris membantu Malayia mengirimkan pasukan
ke Borneo.
Saya adalah orang yang pertama kali menerima Dokumen
Gilchrist. Saya mendapati dokumen itu sudah tergeletak
di meja kerja saya. Dokumen sudah dalam keadaan
terbuka, mungkin karena sudah dibuka oleh staf saya.
Menurut laporan staf, surat itu dikirim oleh seorang
kurir yang mengaku bernama Kahar Muzakar, tanpa
identitas lain, tanpa alamat. Namun berdasarkan
informasi yang saya terima, surat tersebut mulanya
tersimpan di rumah Bill Palmer, seorang Amerika yang
tinggal di Jakarta dan menjadi distributor film-film
Amerika. Rumah Bill Palmer sering dijadikan
bulan-bulanan demonstrasi pemuda dari berbagai
golongan. Para pemuda itu menentang peredaran film
porno yang diduga diedarkan dari rumah Palmer.
Isi dokumen itu saya nilai sangat gawat. Intinya:
Andrew Gilchrist melaporkan kepada atasannya di Kemlu
Inggris yang mengarah pada dukungan Inggris untuk
menggulingkan Presiden Soekarno. Di sana ada
pembicaraan Gilchrist dengan seorang kolega Amerikanya
tentang persiapan suatu operasi militer di Indonesia.
Saya kutip salah satu paragraf yang berbunyi demikian:
rencana ini cukup dilakukan bersama 'our local army
friends.'
Sungguh gawat. Sebelumnya sudah beredar buku yang
berisi rencana Inggris dan AS untuk menyerang
Indonesia. Apalagi, pemerintah Inggris tidak pernah
melontarkan bantahan, padahal sudah mengetahui bahwa
dokumen rahasia itu beredar di Indonesia.  Saya selaku
kepala BPI mengerahkan intelijen untuk mencek
otentisitas dokumen itu.
Hasilnya membuat saya yakin bahwa Dokumen Gilchrist
itu otentik.
Akhirnya dokumen tersebut saya laporkan secara lengkap
kepada Presiden Soekarno.  Reaksinya, beliau terkejut.
Berkali-kali beliau bertanya keyakinan saya terhadap
keaslian dokumen itu. Dan berkali-kali pula saya jawab
yakin asli. Lantas beliau memanggil para panglima
untuk membahasnya. Dari reaksi Bung Karno saya
menyimpulkan bahwa Dokumen Gilchrist tidak saja
mencemaskan, tetapi juga membakar. Bung Karno sebagai
target operasi seperti merasa terbakar. Namun sebagai
negarawan ulung, beliau sama sekali tidak menunjukkan
tanda-tanda kecemasan. Menurut penglihatan saya, tentu
Bung Karno cemas. Saya menyimpulkan, Bung Karno sedang
terbakar oleh provokasi itu.
Terlepas dari asli-tidaknya dokumen itu, saya menilai
bahwa ini adalah alat provokasi untuk memainkan TNI AD
dalam situasi politik Indonesia yang memang tidak
stabil. Saya mengatakan provokasi jika ditinjau dari
dua hal. Pertama: isinya cukup membuat orang yang
menjadi sasaran merasa ngeri. Kedua, dokumen sengaja
dibocorkan agar jatuh ke tangan pendukung-pendukung
Bung Karno dan PKI. Bagaimana mungkin dokumen rahasia
seperti itu berada di rumah Palmer yang menjadi
bulan-bulanan demo pemuda. Apakah itu bukan suatu cara
provokasi?
Saya katakan jika Dokumen Gilchrist sebagai upaya
provokasi, maka itu adalah provokasi pertama.
Sedangkan provokasi kedua adalah isu Dewan Jenderal.
Jika diukur dari kebiasaan aktivitas terbuka, maka
sumber utama dua alat provokasi itu memang cukup rumit
untuk dipastikan.
Di sisi lain, Soeharto juga bermain dalam isu Dewan
Jenderal. Beberapa waktu sebelum G30S meletus, Yoga
diutus oleh Soeharto untuk menemui Mayjen S Parman
guna menyampaikan saran agar Parman berhati-hati
karena isu bakal adanya penculikan terhadap
jenderal-jenderal sudah santer beredar. Namun tidak
ada yang tahu siapa yang menyebarkan isu seperti itu.
Parman tidak terlalu serius menanggapi saran itu,
sebab itu hanya isu. Parman bertanya kepada Yoga:
Apakah pak Yoga sudah punya bukti-bukti? Yang ditanya
menjawab: Belum, pak. Lantas Parman menyarankan agar
Yoga mencari bukti. Jangan hanya percaya isu sebelum
ada bukti, kata Parman. Yoga menyanggupi akan
mencarikan bukti.
Setelah G30S meletus, saya teringat saran Yoga kepada
Parman itu. Yoga adalah anggota Trio Soeharto. Saya
kemudian berkesimpulan bahwa informasi yang
disampaikan oleh Yoga kepada Parman itu bertujuan
untuk mengetahui reaksi Parman yang dikenal dekat
dengan Yani. Info tersebut tentu untuk memancing,
apakah Parman sudah tahu.  Sekaligus - jika
memungkinkan - mengungkap seberapa jauh atisipasi
Parman terhadap isu tersebut. Dan karena Parman adalah
teman dekat Yani, reaksi Parman ini bisa disimpulkan
sebagai mewakili persiapan Yani.
Dengan reaksi Parman seperti itu, maka bisa
disimpulkan bahwa Parman sama sekali tidak
mengantisipasi arah selanjutnya jika seandainya Dewan
Jenderal benar-benar ada. Parman tidak siap meghadapi
kemungkinan yang bakal terjadi selanjutnya. Ini juga
bisa disimpulkan bahwa Yani juga tidak siap. Jika ini
saya kaitkan dengan pertanyaan saya pada Yani soal isu
Dewan Jenderal, maka jelas-jelas bahwa Yani tidak
punya persiapan sama sekali.
Intinya, info dari Yoga kepada Parman berbalas info,
sehingga kelompok Soeharto mendapatkan info bahwa
kelompok Yani sama sekali belum siap mengantisipasi
kemungkinan terjadinya penculikan. Lebih jauh, rencana
Soeharto melakukan gerakan dengan memanfaatkan Kolonel
Latief dan memanipulasi kelompok Letkol Untung, belum
tercium oleh kelompok lawan: Kelompok Yani.
Jika seandainya gerakan gagal mencapai tujuan
(khususnya bila Parman tidak berhasil dibunuh), maka
peringatan Yoga akan lain maknanya. Peringatan itu
bisa berubah menjadi jasa Soeharto menyelamatkan
Parman. Maka Soeharto tetap tampil sebagai pahlawan.
Jadi tindakan Soeharto ini benar-benar strategis.
PERAN  AMERIKA  SERIKAT
Apakah AS berperan memlintir isu sakitnya Presiden dan
Dewan Jenderal? Sudah jelas AS takut Indonesia
dikuasai oleh komunis. Dan karena Bung Karno cenderung
kiri, maka proyek mereka ada dua: hancurkan PKI dan
gulingkan Bung Karno.
Selain tidak suka pada Bung Karno, AS juga punya
kepentingan ekonomis di Indonesia dan secara umum di
Asia. Sebagai gambaran: Malaysia hanya kaya akan karet
dan timah;
Brunei Darussalam hanya kaya minyak; sedangkan
Indonesia memiliki segalanya di bidang tambang dan
hasil bumi. Terlebih wilayahnya jauh lebih luas
dibandingkan dengan Malaysia dan Brunei. Secara
kongkrit bisnis minyak AS di Indonesia (Caltex) serta
beberapa perusahaan lainnya - bagi AS - harus aman.
Karena itu politik Bung Karno dianggap membahayakan
kepentingan AS di Indonesia.  Namun mereka kesulitan
mengubah sikap Bung Karno yang tegas. Ada upaya AS
untuk membujuk Bung Karno agar mengubah sikap
politiknya tetapi gagal. Secara politis Bung Karno
juga sangat kuat. Di dalam negeri Bung Karno didukung
oleh Angkatan Bersenjata dan PKI. Tak kalah
pentingnya, rakyat sungguh kagum dan simpati
terhadapnya. Di luar negeri ia mendapat dukungan dari
negara-negara Asia Tenggara dengan politik
Non-Bloknya.
Itulah sebabnya, secara intuitif saya yakin bahwa AS
ikut main di dua isu itu. Soal sakitnya Presiden,
target mereka bukan menjebak PKI melakukan gerakan -
sehingga PKI masuk ladang pembantaian - sebab Aidit
tahu persis Presiden hanya masuk angin.
Plintiran isu tersebut lebih untuk konsumsi publik.
Jika suatu saat ada gerakan perebutan kekuasaan, maka
akan terlihat wajar bila gerakan itu dilakukan oleh
PKI.  Jika Presiden sakit keras, wajar PKI merebut
kekuasaan, karena takut negara akan dikuasai oleh
militer. Dan karena itu, wajar pula jika PKI dihabisi
oleh militer.
Dewan Jenderal lebih banyak dimainkan oleh pemain
lokal, meskipun AS bisa membantu dengan isu senjata
dari RRT, Angkatan Kelima dan penolakan Yani terhadap
Angkatan Kelima. Tetapi Dokumen Gilchrist jelas ada
pemain Amerikanya. Dokumen itu awalnya disimpan di
rumah warga Amerika Bill Palmer. Dokumen tersebut
menurut saya otentik, namun mengapa dibocorkan?
Itu semua secara intiusi. Faktanya: pada pertengahan
November 1965 AS mengirim bantuan obat-obatan dalam
jumlah besar ke Indonesia. Bantuan tersebut
mengherankan saya. Indonesia tidak sedang dilanda
gempa bumi. Juga tidak ada bencana atau perang.  Yang
ada adalah bahwa pada 1 Oktober 1965 terjadi
pembantaian enam jenderal dan seorang letnan. Seminggu
sesudahnya, AD di bawah pimpinan Soeharto dan dibantu
oleh para pemuda membantai PKI. Pada saat obat-obatan
itu dikirim kira-kira sudah 40 ribu anggota PKI dan
simpatisannya dibantai. Nah, di sinilah pengiriman
obat-obatan itu menjadi janggal. Suatu logika yang
sangat aneh jika AS membantu obat-obatan untuk PKI.
Baru beberapa waktu kemudian saya mendapat laporan
bahwa kiriman obat-obatan itu hanya kamuflase; hanya
sebuah selubung untuk menutupi sesuatu yang jauh lebih
penting. Sebenarnya itu adalah kiriman senjata untuk
membantu tentara dan pemuda membantai PKI. Sayangnya,
pengetahuan saya tentang hal ini sudah sangat
terlambat.  Bung Karno sudah menjelang ajal politik.
Paling tidak ini menambah keyakinan saya bahwa AS ikut
bermain dalam rangkaian G30S.
Bagi AS, menghancurkan komunis di Indonesia sangat
tinggi nilainya untuk menjamin dominasi AS diAsia
Tenggara. Di sisi lain, reputasi mereka di bidang
subversif sudah dibuktikan dengan tampilnya agen-agen
CIA yang berpengalaman menghancurkan musuh di berbagai
negara, walaupun reputasi itu di dalam negeri malah
dikecam habis-habisan oleh rakyat AS sendiri.
Salah satu agen CIA yang andal adalah Marshall Green
(Dubes AS untuk Indonesia).  Reputasinya di bidang
subversif tak diragukan lagi. Sebelum bertugas di
Indonesia ia adalah Kuasa Usaha AS di Korea Selatan.
Di sana ia sukses menjalankan misi AS membantu
pemberontakan militer oleh Jenderal Park Chung Hee
yang kemudian memimpin pemerintahan militer selama
tiga dekade. Di Indonesia ia menggantikan Howard Jones
menjelang meletusnya G30S. Jadi pemain penting asing
dalam drama 1 Oktober 1965 itu adalah Green dan Jones.
Tentu CIA tidak dapat bekerja sendiri menghancurkan
komunis di Indonesia. Apalagi pada Februari 1965 AS
memulai pemboman pertama di Vietnam Utara. Praktis
konsentrasinya - khusus untuk penghancuran komunis -
terbagi. Baik di Indonesia maupun Vietnam Utara,
mereka butuh mitra lokal.
Di Indonesia mereka merekrut Kamaruzaman yang lebih
terkenal dengan panggilan Sjam sebagai spion. Sjam
adalah tentara sekaligus orang PKI. Kedudukan Sjam di
PKI sangat strategis yaitu sebagai Ketua Biro Khusus
PKI yang bisa berhubungan langsung dengan Ketua PKI DN
Aidit. Sebaliknya, para perwira kelompok kontra Dewan
Jenderal memberi informasi kepada saya bahwa Sjam
sering memimpin rapat intern AD. Tidak jelas benar,
apakah Sjam itu tentara yang disusupkan ke dalam tubuh
PKI atau orang PKI yang disusupkan ke dalam AD. Tetapi
jelas ia adalah mitra lokal CIA. Dan CIA beruntung
memiliki mitra lokal yang berdiri di dua kubu yang
berseberangan.
Tetapi permainan Sjam sangat kasar. Ingat
pernyataannya bahwa pada tanggal 12 Agustus 1965 ia
mengaku dipanggil oleh Aidit untuk membahas betapa
seriusnya sakit Presiden. Juga Kemungkinan Dewan
Jenderal mengambil tindakan segera jika Presiden
meninggal. Itu dikatakan setelah Aidit dibunuh.
Di pengadilan Sjam mengatakan bahwa perintah menembak
para jenderal datang dari dia sendiri, namun itu atas
perintah Aidit yang disampaikan kepadanya. Inilah
satu-satunya pernyataan yang memberatkan Aidit selain
keberadaan Aidit di Halim pada taggal 30 September
1965 malam. Namun Aidit tidak sempat bicara sebab dia
ditembak mati oleh Kolonel Yasir Hadibroto (kelak
dijadikan Gubernur Lampung oleh Soeharto) beberapa
hari setelah G30S di Boyolali, Jateng.
Jika Sjam itu seorang tentara, ia ibarat martil.
Keterangannya sangat menguntungkan pihak yang
menghancurkan PKI. Namun setelah bertahun-tahun
berstatus tahanan, Sjam diadili dan dihukum mati.
Keberpihakannya kepada PKI, AD dan AS akhirnya tidak
bermanfaat bagi dirinya sendiri.
MENJALIN  SAHABAT  LAMA
Ini adalah bagian yang mengungkap keterlibatan
Soeharto dalam G30S. Dia menjalin hubungan dengan dua
sahabat lama - Letkol TNI AD Untung Samsuri dan
Kolonel TNI AD Abdul Latief - beberapa waktu sebelum
meletus G30S. Untung kelak menjadi komandan pasukan
yang menculik dan membunuh 7 perwira, sedangkan Latief
hanya dituduh terlibat dalam peristiwa itu.
Untung adalah anak buah Soeharto ketika Soeharto masih
menjabat sebagai Panglima Divisi Diponegoro, Jateng.
Untung bertubuh agak pendek namun berjiwa pemberani. 
Selama beberapa bulan berkumpul dengan saya di Penjara
Cimahi, Bandung, saya tahu persis bahwa Untung tidak
menyukai politik. Ia adalah tipe tentara yang loyal
kepada atasannya, sebagaimana umumnya sikap prajurit
sejati. Kepribadiannya polos dan jujur. Ini terbukti
dari fakta bahwa sampai beberapa saat sebelum
dieksekusi, dia masih tetap percaya bahwa vonis
hukuman mati terhadap dirinya tidak mungkin
dilaksanakan. Percayalah, pak Ban, vonis buat saya itu
hanya sandiwara, katanya suatu hari pada saya. Kenapa
begitu? Karena ia percaya pada Soeharto yang mendukung
tindakannya: membunuh para jenderal. Soal ini akan
dibeberkan di bagian lebih lanjut.
Sekitar akhir 1950-an Soeharto dan Untung pisah
kesatuan. Namun pada tahun 1962 mereka berkumpul lagi.
Mereka dipersatukan oleh tugas merebut Irian Barat
dari tangan Belanda. Saat itu Soeharto adalah Panglima
Komando Mandala, sedangkan Untung adalah anak buah
Soeharto yang bertugas di garis depan. Dalam tugas
itulah keberanian Untung tampak menonjol: ia memimpin
kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan
belantara Kaimana. Operasi pembebasan Irian akirnya
sukses. Pada tanggal 15 Oktober 1962 Belanda
menyerahkan Irian kepada PBB. Lantas pada tanggal 1
Mei 1963 Irian diserahkan oleh PBB ke pangkuan RI.
Keberanian Untung di medan perang sampai ke telinga
Presiden. Karena itu Untung dianugerahi Bintang
Penghargaan oleh Presiden Soekarno karena
keberaniannya.
Setelah itu Untung dan Soeharto berpisah lagi dalam
hubungan garis komando.  Presiden Soekarno menarik
Untung menjadi salah satu komandan Batalyon Kawal
Istana, Cakra Bhirawa. Sedangkan Soeharto akhirnya
menjadi Pangkostrad. Namun tugas baru Untung itu
membuat Soeharto marah. Soeharto ingin merekrut Untung
masuk ke Kostrad menjadi anak-buahnya, karena ia tahu
bahwa Untung itu pemberani. Tetapi apa mau dikata,
Presiden sudah terlanjur menarik Untung ke dalam
pasukan elite kawal Istana.  Soeharto hanya bisa
kecewa.
Saat itu konflik Bung Karno dan PKI di satu sisi
dengan para pimpinn AD di sisi lain belum terlalu
tajam. Dalam perkembangannya, konflik Bung Karno dan
PKI dengan AD itu semakin memuncak. Konflik itu
diikuti oleh polarisasi kekuatan politik dan militer
yang semakin meningkat, sehingga dapat disimpulkan
bahwa sewaktu-waktu konflik bisa mengarah ke suatu
kondisi yang mengkhawatirkan. Sebab Bung Karno adalah
pemimpin yang kharismatik yang didukung oleh rakyat
dan sebagian besar perwira Angkatan Bersenjata,
kecuali sebagian kecil perwira AD. Di sisi lain, PKI -
seperti sudah saya sebutkan di muka - saat itu
memiliki massa dalam jumlah sangat besar.  Bisa
dibayangkan apa yang bakal terjadi jika konflik ini
semakin tajam.
Nah, saat konflik meningkat itulah justru Soeharto
bersyukur bahwa Untung menjadi salah satu komandan
Batalyon Kawal Istana Cakra Bhirawa. Kedudukan Untung
di sana menjadi titik strategis dipandang dari sisi
Soeharto yang menunggu momentum untuk merebut
kekuasaan negara. Maka hubungan Soeharto-Untung
kembali membaik, meskipun beberapa waktu sebelumnya
Soeharto sempat marah dan membenci Untung. Bukti
membaiknya hubungan itu adalah bahwa beberapa waktu
kemudian, di akhir 1964, Untung menikah di Kebumen dan
Soeharto bersama istrinya, Ny. Soehartinah (Tien)
menghadiri resepsinya di Kebumen.
Seorang komandan menghadiri pernikahan bekas anak-buah
adalah hal yang sangat wajar, memang. Tetapi jarak
antara Jakarta-Kebumen tidak dekat. Apalagi saat itu
sarana transportasi dan terutama kondisi jalan sangat
tak memadai. Jika tak benar-benar sangat penting,
tidak mungkin Soeharto bersama istrinya menghadiri
pernikahan Untung. Langkah Soeharto mendekati Untung
ini terbaca di kalangan elite politik dan militer saat
itu, tetapi mereka hanya sekadar heran pada perhatian
Soeharto terhadap Untung yang begitu besar.
Di sisi lain, Soeharto juga membina persahabatan lama
dengan Kolonel Abdul Latief yang juga bekas
anak-buahnya di Divisi Diponegoro. Latief adalah juga
seorang tentara pemberani. Ia adalah juga seorang yang
saya nilai jujur. Namun, berbeda dengan Untung, Latief
mengantongi rahasia skandal Soeharto dalam Serangan
Oemoem 1 Maret 1949 di Yogya. Dalam serangan itu
Belanda diusir dari Yogya (ketika itu ibu-kota RI)
hanya dalam waktu enam jam. Itu sebabnya serangan ini
disebut juga Enam jam di Yogya, yang dalam sejarah
disebut sebagai Operasi Janur Kuning karena saat
operasi dilaksanakan semua pasukan yang berjumlah
sekitar 2000 personil (termasuk pemuda gerilyawan)
diharuskan mengenakan janur kuning (sobekan daun
kelapa) di dada kiri sebagai tanda. Yang tidak
mengenakan tanda khusus ini bisa dianggap sebagai
mata-mata Belanda dan tidak salah jika ditembak mati.
Soeharto (di kemudian hari) mengklaim keberhasilan
mengusir Belanda itu atas keberaniannya. Serangan
Oemoem 1 Maret 1949 itu katanya, adalah ide dia. Soal
ini sudah diungkap di berbagai buku, bahwa serangan
tersebut adalah ide Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Soeharto adalah komandan pelaksana serangan. Namun
bagi Latief persoalan ini terlalu tinggi. Latief hanya
merupakan salah satu komandan kompi.  Hanya saja
karena dia kenal Soeharto sewaktu masih sama-sama di
Kodam Diponegoro, ia dekat dengan Soeharto. Letief
tidak bicara soal ide serangan. Ia hanya bicara soal
teknis pertempuran.
==============
Tentara kita menyerbu kota dari berbagai penjuru mulai
pukul 06.00 WIB, persis saat sirene berbunyi tanda jam
malam berakhir. Diserbu mendadak oleh kekuatan yang
begitu
--
 

 
Tentara kita menyerbu kota dari berbagai penjuru mulai
pukul 06.00 WIB, persis saat sirene berbunyi tanda jam
malam berakhir. Diserbu mendadak oleh kekuatan yang
begitu besar, Belanda terkejut. Perlawanan mereka sama
sekali tidak berarti bagi pasukan kita. Mereka sudah
kalah strategi, diserang mendadak dari berbagai
penjuru kota oleh pasukan yang jumlahnya demikian
banyak. Tangsi-tangsi Belanda banyak yang berhasil
direbut tentara kita. Namun Belanda sempat minta
bantuan pasukan dari kota lain.  Walaupun bala bantuan
pasukan Belanda datang agak terlambat, namun mereka
memiliki persenjataan yang lebih baik dibanding
tentara kita. Mereka juga mengerahkan kendaraan lapis
baja. Pada saat itulah terjadi pertempuran hebat di
seantero Yogyakarta.
Pada scope lebih kecil, kelompok pasukan pimpinan
Latief kocar-kacir digempur serangan balik pasukan
Belanda. Dalam kondisi seperti itu Latief
memerintahkan pasukannya mundur ke Pangkalan Kuncen
sambil tetap berupaya memberikan tembakan balasan.
Setelah di garis belakang, Latief memeriksa sisa
pasukan. Ternyata tinggal 10 orang tentara. Di saat
mundur tadi sekilas diketahui 12 orang terluka dan 2
orang gugur di tempat. Mereka yang luka terpaksa
ditinggal di medan pertempuran, sehingga kemungkinan
besar juga tewas, sedangkan pemuda gerilyawan (juga di
bawah kompi Latief) yang tewas 50 orang.
Nah, saat Latief bersama sisa pasukannya berada di
garis belakang itulah mereka berjumpa Soeharto. Apa
yang sedang dilakukan Soeharto? Dia sedang santai
makan soto babat, ujar Latief. Ketika itu perang
sedang berlangsung. Ribuan tentara dan pemuda
gerilyawan tengah beradu nasib menyabung nyawa,
merebut tanah yang diduduki oleh penjajah. Toh, Latief
dengan sikap tegap prajurit melapor kepada Soeharto
tentang kondisi pasukannya. Soeharto ternyata juga
tidak berbasa-basi misalnya menawari Latief dan
anak-buahnya makan. Sebaliknya Soeharto langsung
memerintahkan Latief bersama sisa pasukannya untuk
menggempur belanda yang ada di sekitar Kuburan Kuncen,
tidak jauh dari lokasi mereka.
Belanda akhirnya berhasil diusir dari Yogyakarta dalam
tempo enam jam. Secara keseluruhan dalam pertempuran
itu pasukan kita menang, meskipun dalam scope kecil
pasukan pimpinan Latief kocar-kacir. Komandan dari
seluruh pasukan itu adalah Soeharto yang - boleh saja
- menepuk dada membanggakan keberaniannya. Bahkan
Soeharto kemudian bertindak jauh lebih berani lagi
dengan mengakui bahwa ide serangan itu dalah idenya
(yang kini terbukti tidak benar). Namun soal Soto
babat menjadi skandal tersendiri bagi figur seorang
komandan pasukan tempur di mata Latief. Dan skandal
ini diungkap oleh Latief pada saat dia diadili di
Mahkamah Militer dengan tuduhan terlibat G30S. Kendati
begitu, skandal ini tidak menyebar karena saat itu
Soeharto sudah berkuasa. Soeharto sudah menjadi pihak
yang menang dan Latief menjadi pihak yang kalah. Apa
pun informasi dari pihak yang kalah sudah pasti
disalahkan oleh pihak yang menang.
Setelah Serangan Oemoem 1 Maret, Soeharto-Latief pisah
kesatuan. Soeharto akhirnya menjadi Pangkostrad,
sementara Latief akhirnya menjadi Komandan Brigade
Infanteri I Jaya Sakti, Kodam Jaya. Posisi Latief
cukup strategis. Maka Soeharto kembali membina
hubungan lama dengan Latief . Jika Untung didatangi
oleh Soeharto saat menikah di Kebumen, Latief juga
didatangi di rumahnya oleh Soeharto dan istrinya saat
Latief mengkhitankan anaknya. Saya menilai, Soeharto
mendekati Latief dalam upaya sedia payung sebelum
hujan, sebab suatu saat nanti Latief akan dimanfaatkan
oleh Soeharto.
Kini cerita lama terulang kembali. Jika dulu Soeharto
membentuk trio bersama Yoga Soegama dan Ali Moertopo,
kini bersama Untung dan Latief. Semuanya teman-teman
lama Soeharto ketika masih di Jawa Tengah. Tetapi trio
kali ini (bersama Untung dan Latief) memiliki posisi
strategis yang lebih tinggi dibanding yang dulu:
Untung adalah orang dekat Presiden. Latief adalah
orang penting di Kodam Jaya yang menjaga keamanan
Jakarta. Targetnya jelas: menuju ke Istana.
Tidak ada orang yang bisa membaca konspirasi trio
tersebut saat itu karena selain trio ini tidak
meledak-ledak, mereka juga tidak berada di posisi
tertinggi di jajaran militer. Namun saya sebagai orang
terdekat Bung Karno sudah punya feeling bahwa
persahabatan mereka bisa menggoyang Istana. Paling
tidak mereka bisa memperkuat apa yang sudah dirintis
oleh Nasution, yakni: menciptakan Negara dalam Negara.
Sebab konflik antara Bung Karno dan AD sudah semakin
tajam.
Selain membentuk trio, Soeharto juga dekat dengan
Brigjen Soepardjo (berasal dari Divisi Siliwangi yang
kemudian ditarik Soeharto ke Kostrad menjabat
PangKopur II).
Pertengahan September 1965 suhu politik di Jakarta
mulai panas. Karena hubungan persahabatan - di luar
jalur komando - Latief menemui Soeharto. Inilah
pertemuan pemting pertama antara Soeharto dan Latief
menjelang G30S. Saat itu isu dewan Jenderal sudah
menyebar. Begitu mereka bertemu, Latief melaporkan isu
tersebut kepada Soeharto. Ternyata Soeharto menyatakan
bahwa ia sudah tahu. Beberapa hari yang lalu saya
diberitahu hal itu oleh seorang teman AD dari Yogya
bernama Soebagyo, katanya. Tidak jelas siapa Soebagyo.
Namun menurut Latief, Soebagyo adalah tentara teman
mereka ketika masih sama-sama di Divisi Diponegoro.
Pada saat yang hampir bersamaan, pada 15 September
1965 Untung mendatangi Soeharto.  Untung juga
melaporkan adanya Dewan Jenderal yang akan melakukan
kup. Berbeda dengan Latief, Untung menyatakan bahwa ia
punya rencana akan mendahului gerakan Dewan Jenderal
dengan menangkap mereka lebih dulu, sebelum mereka
melakukan kudeta. Untung memang merupakan pembantu
setia Bung Karno. Dalam posisinya sebagai salah satu
komandan Pasukan Kawal Istana Cakra Bhirawa, sikapnya
sudah benar.
Apa jawab Soeharto? Bagus kalau kamu punya rencana
begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu, kata Soeharto.
Malah Soeharto menawarkan bantuan pasukan kepada
Untung:
Kalau perlu bantuan pasukan, akan saya bantu, katanya.
Untung gembira mendapat dukungan. Ia menerima tawaran
bantuan tersebut. Dan Soeherto juga tidak main-main:
Baik. Dalam waktu secepatnya akan saya datangkan
pasukan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, katanya.
Harap dicatat: pertemuan Soeharto dengan Latief tidak
berkaitan dengan pertemuan Soeharto dengan Untung.
Saya lupa lebih dulu mana, antara Latief bertemu
Soeharto dengan Untung bertemu Soeharto. Yang pasti
itu terjadi di pertengahan bulan September 1965. Pada
awalnya hubungan Soeharto-Untung terpisah dari
hubungan Soeharto-Latief dalam hal Dewan Jenderal.
Namun mereka sama-sama dari Kodam Diponegoro. Hubungan
Untung-Latief juga terjalin baik meskipun sudah
berpisah kesatuan. Akhirnya mereka tahu bahwa Soeharto
mendukung gerakan menangkap Dewan Jenderal.
Bantuan Soeharto ternyata dibuktikan. Beberapa hari
sebelum 1 Oktober 1965, atas perintah Soeharto
didatangkan beberapa batalyon pasukan dari Semarang,
Surabaya dan Bandung. Perintahnya berbunyi: Pasukan
harus tiba di Jakarta dengan perlengkapan tempur
Siaga-I. Lantas secara bertahap pasukan tiba di
Jakarta sejak 26 September 1965. Jelas, pasukan ini
didatangkan khusus untuk menggempur Dewan Jenderal.
Dalam komposisi pasukan penggempur Dewan Jenderal itu,
dua-pertiganya adalah pasukan Soeharto dari daerah dan
Kostrad.
Setelah G30S meletus dan Soeharto balik menggempur
pelakunya, lantas ia menuduh gerakan itu didalangi
PKI. Soeharto membuat aneka cerita bohong. Soal
kedatangan pasukan dari Bandung, Semarang dan Surabaya
itu dikatakan untuk persiapan upacara Hari ABRI 5
Oktober. Dari segi logika sudah tidak rasional.
Rombongan pasukan tiba di Jakarta sejak 26 September
1965 dengan persiapan tempur Siaga-I. Ini jelas tidak
masuk akal jika dikaitkan dengan Hari ABRI. Yang
terpenting: dari laporan intelijen yang saya terima
dan dikuatkan dengan cerita Untung pada saya ketika
kami sudah sama-sama dipenjara, pasukan bantuan
Soeharto itu dimaksudkan untuk mendukung Untung yang
akan menggempur Dewan Jenderal. Ini sudah dibahas oleh
Untung dan Soeharto.
Pertemuan penting kedua Soeharto-Latief terjadi dua
hari menjelang 1 Oktober 1965.  Pertemuan dilakukan di
rumah Soeharto di Jalan H Agus Salim. Berdasarkan
cerita Latief kepada saya pada saat kami sama-sama
dipenjara, ketika itu ia melaporkan kepada Soeharto
bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kudeta terhadap
Presiden. Dan Dewan Jenderal akan diculik oleh Pasukan
Cakra Bhirawa. Apa reaksi Soeharto? Dia tidak
bereaksi. Tapi karena saat itu ada tamu lain di rumah
pak Harto, maka kami beralih pembicaraan ke soal lain,
soal rumah, kata Latief.
Pertemuan terakhir Soeharto-Latief terjadi persis pada
tanggal 30 September 1965 malam hari pukul 23.00 WIB
di RSPAD Gatot Subroto. Saat itu Soeharto menunggu
anaknya Hutomo Mandala Putera (Tommy Soeharto) yang
ketumpahan sup panas dan dirawat di sana. Kali ini
Latief melaporkan penculikan para jenderal akan
dilaksanakan pukul 04.00 WIB (sekitar lima jam
kemudian). Kali ini juga tidak ditanggapi oleh
Soeharto.
Sebenarnya yang akan melapor kepada Soeharto saat itu
tiga orang, yakni Latief, Brigjen Soepardjo dan Letkol
Untung. Sebelum Latief menghadap Soeharto, Latief
lebih dulu bertemu dengan Soepardjo dan Untung.
Soepardjo dan Untung datang ke rumah saya malam itu
(30 September 1965) pada pukul 21.00 WIB. Soepardjo
sedang ada urusan, sedangkan Untung kurang berani
bicara pada Soeharto. Soepardjo lantas mengatakan pada
saya: Sudahlah Tif (panggilan Latief), kamu saja yang
menghadap. Katakan ke pak Harto, kami sedang ada
urusan, kata Latief menirukan ucapan Soepardjo.
Setelah Latief bertemu Soeharto, ia lantas kembali
menemui Soepardjo dan Untung yang menunggu di suatu
tempat. Latief dengan wajah berseri-seri melaporkan
kepada teman-temannya bahwa Soeharto berada di
belakang mereka.
Saya ulangi: Pada sekitar pukul 01.00 WIB 1 Oktober
1965, kata Latief kepada Soepardjo dan Untung:
Soeharto berada di belakang mereka.
Beberapa jam kemudian pasukan bergerak mengambil para
jenderal.
Ada yang menarik dari pengakuan Soeharto soal
pertemuan terakhir dirinya dengan Latief pada tanggal
30 September 1965 malam di RSPAD Gatot Subroto itu. Ia
bercerita kepada dua pihak: Pertama kepada wartawan
Amerika Serikat bernama Brackman, pada tahun 1968.
Saat itu ia ditanya oleh Brackman mengapa Soeharto
tidak termasuk dalam daftar jenderal yang akan
diculik.
Kepada Brackman dikatakan demikian: Memang benar dua
hari sebelum 1 Oktober 1965 anak lelaki saya yang
berusia 3 tahun (Hutomo Mandala Putera alias Tommy
Soeharto) ketumpahan sup panas. Dia lantas dibawa ke
RSPAD Gatot Subroto. Pada 30 September 1965 banyak
kawan-kawan saya menjenguk anak saya dan saya juga
berada di RSPAD. Di antara yang datang adalah Latief
yang menanyakan kondisi anak saya. Saat itu saya
sangat terharu atas keprihatinannya pada anak saya.
Tetapi ternyata Latief adalah orang penting dalam kup
yang terjadi. Jadi jelas Latief datang ke RSPAD bukan
untuk menengok anak saya, tetapi untuk mengecek
keberadaan saya. Untuk membuktikan keberadaan saya,
benarkah saya di RSPAD Gatot Subroto? Ternyata Memang
begitu adanya: saya di RSPAD Gatot Subroto hingga
tengah malam, lantas pulang ke rumah.
Pada Juni 1970 Soeharto diwawancarai oleh wartawan Der
Spiegel, Jerman. Der Spiegel juga mengajukan
pertanyaan yang sama dengan Brackman: Mengapa Soeharto
tidak termasuk dalam daftar perwira AD yang diculik
pada tanggal 1 Oktober 1965? 
Soeharto mengatakan kepada Der Spiegel demikian:
Latief datang ke RSPAD pukul 23.00 WIB bersama
komplotannya. Tujuannya untuk membunuh saya. Tetapi
itu tidak dilakukan, sebab ia khawatir membunuh saya
di tempat umum.
MELETUSLAH  PERISTIWA  ITU
Saat G30S meletus saya tidak berada di Jakarta. Saya
melaksanakan tugas keliling daerah yang disebut Turba
(Turun ke bawah). Pada 28 September 1965 saya
berangkat ke Medan, Sumatera Utara. Beberapa waktu
sebelumnya saya keliling Jawa Timur dan Indonesia
Timur. Saat ke Medan rombongan saya berangkat bersama
rombongan Laksamana Muda Udara Sri Muljono Herlambang.
Misinya adalah mematangkan Kabinet Dwikora. Namun
kemudian kami berpisah. Rombongan Sri Muljono
berangkat ke Bengkulu dan Padang, rombongan saya ke
Medan.
Pada tanggal 2 Oktober saya ditilpun langsung oleh
Presiden Soekarno dan diberitahu kejadian sehari
sebelumnya. Dan hari itu juga saya diperintahkan untuk
segera ke Jakarta. Ada pesan Presiden agar saya
berhati-hati: Awas, Ban, hati-hati. Pesawatmu bisa
ditembak jatuh, pesan Presiden. Tetapi saya tetap
kembali ke Jakarta dengan pesawat. Saya tentu saja
sempat was was, sebab yang mengingatkan saya bukan
orang sembarangan. Begitu tiba di Jakarta, saya
langsung menuju Istana Bogor menemui Presiden
Soekarno. Beberapa waktu kemudian saya mengetahui
alasan kenapa Bung Karno memperingatkan saya agar saya
hati-hati. Sebabnya adalah saat Sri Muljono menuju ke
Jakarta, pesawatnya ditembaki di kawasan Tebet
sehingga pesawat berputar-putar mencari tempat
landasan. Akhirnya pesawat mendarat secara darurat di
dekat Bogor.
Saat saya tiba di Bogor, suasana sudah jauh berubah
dibanding sebelum saya berangkat ke Medan. Wajah Bung
Karno tampak tegang. Leimena dan Chaerul Saleh sedang
mendiskusikan berbagai hal. Saya mendapat laporan
bahwa pada saat itu Bung Karno sudah berada dalam
tawanan Soeharto. Bung Karno tidak diperbolehkan
meninggalkan Istana Bogor.
Sehari sebelumnya, peristiwa hebat terjadi di Jakarta.
Tujuh perwira AD diculik yang kemudian dibunuh pada
dini hari. Saya mendapat laporan dari para kolega dan
para intel anak buah saya di BPI. Sampai berhari-hari
kemudian saya terus mengumpulkan informasi dari para
kolega dan anak-buah saya. Rangkaian informasi yang
saya terima tentang kejadian seputar 30 September 1965
hingga pembunuhan para jenderal itu sebagian saya
catat, sebagian tidak.
Saya masih ingat hampir seluruhnya. Semua informasi
yang saya terima, termasuk berbagai gejala yang sudah
saya ketahui sebelumnuya, dapat saya ungkapkan di
sini.  Namun paparan saya akan terasa kurang
menimbulkan kenangan yang kuat jika tidak dibandingkan
dengan sejarah versi Orde Baru. Itu sebabnya, di
beberapa bagian saya kutip sebagian cerita versi
Soeharto sebagai pembanding.
Pada tanggal 29 September 1965 pagi hari, Panglima AU
Oemar Dhani melaporkan kepada Presiden Soekarno
tentang banyaknya pasukan yang datang dari daerah ke
Jakarta.  Beberapa waktu sebelumnya, saya melaporkan
kepada Bung Karno adaya sekelompok perwira AD yang
tidak puas terhadap Presiden - yang menamakan diri
Dewan Jenderal -termasuk bocoran rencana Dewan
Jenderal membentuk kabinet. Saya juga melapor tentang
Dokumen Gilchrist. Semua laporan bertumpuk menjadi
satu di benak Bung Karno. Dengan akumulasi aneka
laporan yang mengarah pada suatu peristiwa besar itu,
saya yakin Bung Karno masih bertanya-tanya, apa
gerangan yang bakal terjadi.
Menurut pengakuan Soeharto, menjelang dini hari 1
Oktober 1965 ia meninggalkan anaknya di RSPAD Gatot
Subroto dan pulang ke rumahnya di Jalan H Agus Salim. 
Menurutnya, saat meninggalkan RSPAD itu ia sendirian
(tanpa pengawal) dengan mengendarai jeep Toyota. Dari
RSPAD mobilnya melewati depan Makostrad, lantas masuk
ke Jalan Merdeka Timur. Ia mengaku di sana sempat
merasakan suasana yang tidak biasa. Di sekitar Jalan
Merdeka Timur berkumpul banyak pasukan, tetapi
Soeharto terus berlalu dan tidak menghiraukan puluhan
pasukan yang berkumpul di Monas.
Setelah itu Soeharto mengaku pulang ke rumah dan tidur
(ini dikatakan Soeharto di beberapa kesempatan
terbuka). Lantas pagi harinya pukul 05.30 WIB dia
mengaku dibangunkan oleh seorang tetangganya dan
diberitahu bahwa baru saja terjadi penculikan terhadap
para jenderal. Setelah itu saya langsung menuju ke
markas Kostrad, kata Soeharto.
Pengakuan Soeharto itu luar biasa aneh: 
1.      di saat Jakarta dalam kondisi sangat tegang ia
menyetir mobil sendirian, tanpa pengawal. Jangankan
dalam situasi seperti itu, dalam kondisi biasa saja ia
selalu dikawal.
2.      ia melewati Jalan Merdeka Timur dan mengaku
melihat puluhan prajurit berkumpul dan merasakan
sesuatu yang tidak biasa, tetapi tidak dia hiraukan.
Sebagai seorang komandan pasukan, tidakkah dia ingin
tahu apa yang akan dilakukan oleh puluhan prajurit
yang berkumpul pada tengah malam seperti itu?
3.      pada pagi hari 1 Oktober 1965 pukul 05.30 WIB
siapa yang bisa mengetahui bahwa baru saja terjadi
penculikan terhadap para jenderal? Saat itu belum ada
berita televisi seperti sekarang (semisal Liputan 6
Pagi SCTV) yang dengan cepat bisa memberitakan suatu
kejadian beberapa jam sebelumnya. Radio RRI saja baru
memberitakan peristiwa itu pada pukul 07.00 WIB.
Yang sebenarnya terjadi:
Soeharto sudah tahu bahwa pasukan yang berkumpul di
dekat Monas itu akan bergerak mengambil para anggota
Dewan Jenderal. Toh dia sendiri yang mendatangkan
sebagian besar (kira-kira dua-pertiga) pasukan
tersebut dari Surabaya, Semarang dan Bandung.  Ingat:
Soeharto menawarkan bantuan pasukan yang diterima
dengan senang hati oleh Untung.
Pasukan dari daerah dengan perlengkapan tempur Siaga-I
itu bergabung dengan Pasukan Kawal Istana Cakra
Bhirawa pimpinan Untung. Mereka berkumpul di dekat
Monas. Selain itu, beberapa jam sebelumnya Soeharto
menerima laporan dari Latief bahwa pasukan sudah dalam
keadaan siap mengambil para jenderal. Maka wajar saja
tengah malam itu Soeharto mengendarai jeep sendirian,
meskipun Jakarta dalam kondisi sangat tegang.  Malah
ia dengan tenangnya melewati tempat berkumpulnya
pasukan yang beberapa saat lagi berangkat membunuh
para jenderal. Bagi Soeharto tidak ada yang perlu
ditakutkan.
Ia justru melakukan kesalahan fatal dengan mengatakan
kepada publik bahwa ia sempat melihat sekelompok
pasukan berkumpul di dekat Monas dan ia membiarkan
saja. Jika ia memposisikan diri sebagai orang yang
tidak tahu rencana pembunuhan para jenderal, mestinya
ia tidak menyatakan seperti itu dalam buku biografinya
dan di berbagai kesempatan terbuka. Dengan
pernyataannya membiarkan pasukan bergerombol di dekat
Monas, bisa menyeret dirinya dalam kesulitan besar.
Masak seorang Panglima Kostrad membiarkan sekelompok
pasukan bergerombol di dekat Monas pada tengah malam,
padahal dia melihatnya sendiri.
Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa tengah malam itu
ia tidak pulang ke rumah seperti ditulis dalam buku
biografinya. Yang benar: setelah melewati Jalan
Merdeka Timur dan melihat persiapan sekumpulan
pasukan, ia lantas menuju ke Markas Kostrad.  Di
Makostrad ia memberi pengarahan kepada sejumlah
pasukan bayangan dan operasi Kostrad yang mendukung
gerakan pengambilan para jenderal. Dengan kronologi
yang sebenarnya ini, maka seharusnya tidak perlu ada
cerita Soeharto pulang ke rumah lantas tidur.
Dengan pengakuannya itu Soeharto rupanya ingin
menunjukkan seolah-olah ia jujur dengan mengatakan
bahwa pada dini hari 1 Oktober 1965 ia memang berada
di Makostrad.  Tapi prosesnya dari RSPAD, pulang dulu,
lantas tidur, dibangunkan tetangga dan diberitahu ada
penculikan pukul 05.30 WIB, baru kemudian berangkat ke
Makostrad.
Kalau Soeharto memposisikan diri sebagai orang yang
tidak bersalah dalam G30S, maka pengakuannya itu
merupakan kesalahan yang sangat fatal. Sebab tidak
mungkin ada orang yang tinggal di Jalan H Agus Salim
(tetangga Soeharto) mengetahui ada penculikan para
jenderal dan membangunkan tidur Soeharto pada pukul
05.30 WIB.  Padahal penculikan dan pembunuhan para
jenderal baru terjadi beberapa menit sebelumnya,
sekitar pukul 04.00 WIB.
Satu pertanyaan sangat penting dari tragedi pagi buta
1 Oktober 1965 adalah mengapa para jenderal itu tidak
dihadapkan kepada Presiden Soekarno. Logikanya jika
anggota Dewan Jenderal diisukan akan melakukan kudeta,
mestinya dihadapkan ke Presiden Soekarno untuk diminta
penjelasannya tentang isu rencana kudeta. Masalahnya
tentu bakal menjadi lain jika para jenderal tidak
dibunuh, tetapi diajukan kepada Presiden untuk
konfirmasi.
Namun G30S sebagai suatu kekuatan sebenarnya sudah
ditentukan jauh sebelum peristiwanya meletus. Dari
perspektif Soeharto, masa hidup gerakan ini tidak
ditentukan oleh kekuatannya melainkan oleh masa
kegunaannya. Setelah para jenderal dibantai, maka
habislah masa kegunaan G30S. Dan sejak itu pula masa
hidupnya harus diakhiri. Meskipun Untung, Latief dan
Soepardjo berupaya ingin mempertahankan kelanggengan
G30S, tetapi umurnya hanya beberapa jam saja. Setelah
itu pelakunya diburu dan dihabisi. Soeharto dengan
melikuidasi G30S menimbulkan kesan bahwa ia setia
kepada atasannya, Yani dan teman-teman jenderal yang
dibunuh. Ia tampil sebagai pahlawan.
Soal Mengapa Dewan Jenderal diculik, bukan dihadapkan
ke Presiden, ada pengakuan dari salah satu pelaku
penculikan. Menurut Serma Boengkoes (Komandan Peleton
Kompi C Batalyon Kawal Kehormatan) yang memimpin
prajurit penjemput Mayjen MT Haryono, di militer tidak
ada perintah culik. Yang ada adalah tangkap atau
hancurkan. Perintah yang saya terima dari Komandan
Resimen Cakra Bhirawa Tawur dan Komandan Batalyon
Untung adalah tangkap para jenderal itu, kata
Boengkoes setelah ia bebas dari hukuman.
Namun MT Haryono terpaksa dibunuh sebab rombongan
pasukan tidak diperbolehkan masuk rumah oleh istri MT
Haryono. Sang istri curiga, suaminya dipanggil
Presiden kok dini hari. Karena itu pintu rumah
tersebut didobrak dan MT Haryono tertembak. Tidak
jelas apakah Haryono langsung tewas di tempat atau
dibunuh kemudian setelah semua jenderal dikumpulkan di
Pondok Gede (Lubang Buaya).
Sedangkan saat dijemput oleh sejumlah pasukan di
rumahnya, Letjen A Yani terkejut.  Bukan karena
penjemputnya pasukan berseragam loreng, tetapi karena
pada hari itu ia memang dijadwalkan untuk menghadap
Presiden Soekarno di Istana Merdeka, pada pukul 08.00
WIB. Presiden sedianya akan bertanya kepada Yani soal
Angkatan Kelima. Yani menolak ide Presiden tentang
Angkatan Kelima sejak beberapa waktu sebelumnya. Malah
sudah beredar isu bahwa Yani akan digantikan oleh
wakilnya yaitu Gatot Subroto.
Dengan dijemput tentara dini hari mungkin Yani merasa
pertemuan dengan Presiden Soekarno diajukan beberapa
jam. Ia dibangunkan dari tidurnya oleh istrinya dan
masih mengenakan piyama. Meskipun kedatangan tentara
penjemputnya menimbulkan kegaduhan di keluarga Yani
yang terkejut, namun Yani menurut. Ia menyatakan
kepada penjemputnya akan ganti pakaian. Tetapi ketika
tentara penjemputnya menyatakan Tidak perlu ganti
baju, jenderal, maka seketika Yani menempeleng tentara
tersebut. Perkataan prajurit seperti itu terhadap
jenderal memang sudah luar biasa tidak sopan. Lantas
Yani masuk ke kamar untuk ganti pakaian. Yani
diberondong tembakan.
Untuk penculikan para jenderal yang lain mungkin
cerita saya mirip dengan yang sudah banyak ditulis di
berbagai buku, baik versi Orde Baru maupun buku yang
terbit setelah Soeharto tumbang. Kurang lebih mirip
seperti itu sehingga tidak perlu saya ceritakan lagi.
Yang penting, peristiwa berdarah di pagi buta pada
tanggal 1 Oktober 1965 (G30S) itu sampai kini masih
ditafsirkan secara berbeda-beda, baik di dalam maupun
di luar negeri. Tetapi jelas substansi peristiwa itu
tidak seperti mitos yang dibuat AD yakni percobaan
kudeta yang didalangi oleh PKI. Versi AD ini sama
sekali tidak benar. Peristiwa itu merupakan provokasi
yang didalangi oleh jenderal-jenderal fasis AD
didukung dengan baik oleh imperialisme internasional.
Peristiwa itu adalah provokasi yang dimanipulasi
secara licik dan efektif serta dikelola secara
maksimal oleh seorang fasis berbaju kehalusan feodal
Jawa yang haus kekuasaan dan harta. Dialah Panglima
Kostrad Mayjen Soeharto.
Pada sisi intern, peristiwa itu bukan hanya merupakan
puncak manifestasi konflik antara pimpinan AD dan PKI,
tetapi juga pertentangan antara pemimpin politik
konservatif dengan aspirasi kapitalisme yang
pembangunannya bergantung pada imperialisme
internasional di satu fihak, melawan PKI dengan
prinsip politik anti-imperialisme dengan aspirasi
negara yang merdeka penuh dan demokrasi berkeadilan
sosial di pihak lain.
Peristiwa itu adalah puncak kemunafikan para pemimpin
politik konsevatif yang mengklaim sebagai paling
demokrat dari sistim demokrasi parlementer. Mereka
berhadapan dengan kemajuan-kemajuan pesat PKI yang
dicapai secara damai dalam sistim demokrasi liberal.
Dari konflik tersebut para pimpinan AD dan sekutunya
lantas mencabut hak hidup PKI dengan cara mambantai
anggota dan keluarganya, lantas membubarkan PKI.
Dari kacamata internasional - terutama disebarkan oleh
mantan Dubes AS untuk Indonesia Howard Jones -
peristiwa itu adalah spontan kekejian rakyat yakni
penyembelihan rakyat yang dilakukan PKI. Sebaliknya
ini adalah bagian dari intrik berdarah yang
direncanakan secara seksama di Mabes Kostrad pimpinan
Soeharto.
DARI  DETIK  KE  DETIK
Pagi 1 Oktober 1965 Bung Karno berada di Halim. Malam
harinya ia menginap di rumah istri Dewi Soekarno di
Slipi (Wisma Yaso). Pagi-pagi setelah mendapat kabar
mengenai penculikan para jenderal, ia berangkat
bersama ajudan Parto menuju Istana negara, namun
menjelang sampai Istana, jalanan diblokade oleh
tentara. Menurut ajudan, pasukan tersebut tidak
dikenal, karena memang tidak ada jadwal blokade jalan
menuju Istana.
Dalam waktu cepat Parto mengambil inisiatif dengan
tidak meneruskan perjalanan ke Istana. Mungkin ia
menangkap firasat bahaya jika Presiden ke Istana.
Lantas Parto mengusulkan Sebaiknya ke Halim saja, pak.
Kalau ada apa-apa dari Halim akan dengan cepat terbang
ke tempat lain, katanya. Bung Karno menurut saja.
Dalam protokoler pengamanan presiden, jika pasukan
pengaman merasa presiden dalam bahaya, maka tujuan
utama adalah lapangan terbang. Dengan begitu presiden
bisa diterbangkan ke mana saja secara cepat.
Itu asal-muasal presiden berada di Halim. Mungkin
Parto (juga Bung Karno) tidak tahu bahwa para jenderal
diculik dan dibawa ke Halim. Sesampainya ke Halim pun
Bung Karno belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
Baru setelah beberapa saat di Halim, beliau diberitahu
oleh para pengawal. Beberapa saat kemudian ia menerima
laporan dari Brigjen Soepardjo.
Aidit pagi itu juga berada di Halim. Inilah
keanehannya: para tokoh sangat penting berkumpul di
Halim. Kalau Oemar Dhani berada di sana, itu masih
wajar karena ia adalah pimpinan AURI. Tetapi
keberadaan Aidit di sana sungguh mengherankan. Bung
Karno dan Oemar Dhani berada di satu tempat, sedangkan
Aidit berada di tempat lain sekitar Halim. Setelah
Bung karno terbang ke Istana Bogor (prosesnya dirinci
di bagian lebih lanjut), Aidit terbang ke Jawa Tengah.
Beberapa hari kemudian Aidit ditembak mati oleh
Kolonel Yasir Hadibroto di Brebes, Jawa Tengah.
Menurut kabar resmi Aidit ditembak karena saat
ditangkap ia melawan.  Tetapi menurut laporan
intelijen kami Aidit sama sekali tidak melawan.
Soeharto memang memerintahkan tentara untuk menghabisi
Aidit, katanya. Dengan begitu Aidit tidak dapat bicara
yang sebenarnya.
Saya lebih percaya pada laporan intelijen kami, sebab
istri Aidit kemudian cerita bahwa pada tanggal 30
September 1965 malam hari ia kedatangan tamu beberapa
orang tentara. Para tamu itu memaksa Aidit
meninggalkan rumah. Suami saya diculik tentara,
ujarnya. Setelah itu Aidit tidak pernah pulang lagi
sampai ia ditembak mati di Brebes.
Hanya beberapa jam setelah para jenderal dibunuh
sekitar pukul 11.00 WIB, 1 Oktober 1965, Presiden
Soekarno dari pangkalan udara Halim mengeluarkan
instruksi yang disampaikan melalui radiogram ke markas
Besar ABRI. Saat itu Bung Karno hanya menerima
informasi bahwa beberapa jenderal baru saja diculik.
Belum ada informasi mengenai nasib para jenderal,
meskipun sebenarnya para jenderal sudah dibunuh.
Inti instruksi Bung Karno adalah bahwa semua pihak
diminta tenang. Semua pasukan harap stand-by di
posisinya masing-masing. Semua pasukan hanya boleh
bergerak atas perintah saya selaku Presiden dan
Panglima Tertinggi ABRI. Semua persoalan akan
diselesaikan pemerintah/Presiden. Hindari pertumpahan
darah. 
Demikian antara lain isi instruksi Presiden.
Instruksi itu ditafsirkan Soeharto bahwa Untung dan
kawan-kawan sudah kalah, karena gerakan menculik dan
membunuh para jenderal tidak didukung oleh Presiden.
Instruksi lantas disambut Soeharto dengan
memerintahkan anak-buahnya menangkap Untung dan
kawan-kawan.
Jelas ini membingungkan Untung. Ia sudah melapor ke
Soeharto soal Dewan Jenderal yang akan melakukan kup
terhadap Presiden Soekarno. Untung juga mengutarakan
niatnya untuk mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan
cara menangkap mereka lebih dulu.  Semua ini didukung
oleh Soeharto. Bahkan Soeharto malah memberi bantuan
pasukan.
Setelah anggota dewan Jenderal dibunuh, Soeharto malah
menyuruh Untung ditangkap.
Mengenai soal ini saya ingat cerita Untung kepada saya
saat kami sama-sama dipenjara di Cimahi. Untung dengan
yakin mengatakan bahwa ia tidak akan dieksekusi
meskipun pengadilan sudah menjatuhkan hukuman mati.
Sebab Soeharto yang mendukung saya menghantam Dewan
Jenderal. Malah kami didukung pasukan Soeharto yang
didatangkan dari daerah, katanya. Teman-teman sesama
narapidana politik juga tahu bahwa Untung adalah anak
emas Soeharto. Tapi akhirnya Untung dihukum mati dan
benar-benar dieksekusi.
Hampir bersamaan dengan keluarnya instruksi
Presiden-mungkin hanya selisih beberapa menit kemudian
- Soeharto memanggil ajudan Bung Karno, Bambang
Widjanarko yang berada di Halim agar menghadap
Soeharto di Makostrad. Ini mungkin hampir bersamaan
waktunya dengan perintah Soeharto agar Untung dan
kawan-kawan ditangkap.  Di Makostrad Bambang
Widjanarko diberitahu Soeharto agar Presiden Soekarno
dibawa pergi dari Pangkalan Halim sebab pasukan dari
Kostrad di bawah pimpinan Sarwo Edhi Wibowo sudah
disiapkan untuk menyerbu Halim.
 
==========================
Saat Bambang menyampaikan pesan Soeharto itu, Bung
Karno geram sekaligus bingung.  Instruksi agar semua
pasukan stand-by di tempat masing-masing tidak ditaati
Soeharto. Sebaliknya Soeharto malah memerintahkan agar
Bung karno menyingkir dari Halim. Jika Bung Karno
bertahan di Halim, tentu akan sangat berisiko.
Sebaliknya kalau Bung Karno meninggalkan Halim,
berarti ia patuh pada perintah Soeharto.
Bung Karn
--
 
Saat Bambang menyampaikan pesan Soeharto itu, Bung
Karno geram sekaligus bingung.  Instruksi agar semua
pasukan stand-by di tempat masing-masing tidak ditaati
Soeharto. Sebaliknya Soeharto malah memerintahkan agar
Bung karno menyingkir dari Halim. Jika Bung Karno
bertahan di Halim, tentu akan sangat berisiko.
Sebaliknya kalau Bung Karno meninggalkan Halim,
berarti ia patuh pada perintah Soeharto.
Bung Karno lantas minta nasihat para pembantu
militernya. Brigjen Soepardjo mengusulkan agar Bung
Karno terbang ke Bali. Sedangkan Menteri Panglima
Angkatan Udara Oemar Dhani mengusulkan agar Bung Karno
pergi ke Madiun, Jawa Timur. Wakil Perdana Menteri-II
Leimena mengatakan Bung Karno harus berhati-hati. Dan
langkah paling hati-hati adalah jika Bung Karno
berangkat ke Istana Bogor.
Dari berbagai nasihat itu Bung Karno menyimpulkan
bahwa kondisi memang gawat dan ia harus meninggalkan
Halim. Akhirnya Bung Karno memutuskan untuk menuju ke
istana Bogor - menuruti nasihat Leimena - dengan jalan
darat. Menjelang petang rombongan Bung Karno tiba di
Istana Bogor.
Ternyata benar. Gempuran pasukan Kostrad ke Halim
dilaksanakan menjelang fajar.  Penggempuran itu saya
nilai sudah tidak tertuju kepada pelaku G30S, sebab -
seperti saya sebutkan terdahulu - sekitar dua-pertiga
pasukan pelaksanaan G30S adalah orang-orangnya
Soeharto. Jadi penggempuran itu hanya merupakan
tekanan psikologis terhadap Bung Karno yang saat itu
benar-benar bingung. Seumur hidupnya belum pernah Bung
karno ditekan tentara seperti saat itu.
Sekitar pukul 14.00 WIB - masih pada 1 Oktober 1965 -
kepada Kapten Kuntjoro (ajudan Komandan Cakra bhirawa
Letkol Marokeh) Soeharto menyatakan bahwa ia adalah
anggota Dewan Jenderal. Saat itu pembunuhan terhadap
para jenderal sudah selesai.  Nasution yang lolos dari
target penculikan sedang diamankan di Markas Kostrad.
Saya berkesimpulan Soeharto berani mengatakan bahwa
dirinya adalah anggota Dewan Jenderal setelah ia yakin
bahwa posisinya aman, sehingga tidak perlu lagi
menutupi wajahnya.  Kepada Kapten Kuntjoro Soeharto
mengatakan: Dewan Jenderal memang ada. Saya termasuk
anggotanya. Tapi itu dewan untuk mengurus kepangkatan,
bukan untuk kudeta.
Pernyataan Soeharto ini menunjukkan betapa Soeharto
berdiri di dua sisi. Ketika Untung menyatakan akan
menghabisi Dewan Jenderal, Soeharto mendukung, bahkan
membantu pasukan. Setelah Dewan Jenderal dihabisi ia
menyatakan bahwa ia adalah anggota Dewan Jenderal.
Pernyataan tersebut mengingatkan saya pada tindakan
Soeharto ikut dalam kudeta 3 Juli 1946. Soeharto
berdiri di dua sisi.
Hanya saja kudeta 3 Juli 1946 adalah kudeta yang
gagal, sedangkan G30S adalah awal suatu kudeta
merangkak yang berhasil. Dalam kudeta yang disebut
terakhir ini, Soeharto memperoleh dua manfaat: ia
tampil sebagai pahlawan dan akhirnya merebut
kepemimpinan nasional. Dalam kudeta 3 Juli 1946
Soeharto hanya mendapat predikat pahlawan karena
menggempur komplotan penculik Perdana Menteri Sjahrir.
Namun pada hari itu (Jumat 1 Oktober 1965) kondisi
negara benar-benar tidak menentu. Berbagai pihak
saling memanfaatkan situasi. Pengumuman pertama
tentang penculikan para jenderal melalui RRI disiarkan
oleh Untung. Intinya diumumkan bahwa kelompok Dewan
Jenderal yang akan melakukan kudeta sudah digagalkan.
Anggota Dewan Jenderal sudah diculik dan Presiden
Soekarno dalam keadaan aman. Untuk sementara
pemerintahan dikendalikan oleh Dewan Revolusi. Maka
diumumkan anggota Dewan Revolusi. Di sana tidak ada
nama Soekarno.
Pengumuman demi pengumuman terus berkumandang di
radio. Setelah Untung beberapa kali menyampaikan
pengumuman, lalu disusul oleh Oemar Dhani. Masyarakat
bingung.  Sekitar pukul 21.00 WIB Soeharto berpidato
di radio dan mengumumkan bahwa pagi hari itu telah
terjadi penculikan terhadap sejumlah perwira tinggi
oleh kelompok pimpinan Untung. Tindakan tersebut
adalah kudeta kontra-revolusioner melawan Presiden
Soekarno. Juga diumumkan bahwa Soeharto mengambil
kendali AD (Menpangad) karena Menpangad A Yani
diculik.
Perubahan demi perubahan dalam sehari itu benar-benar
membingungkan Bung Karno. Ia tidak tahu apa yang
sesungguhnya terjadi. Ia tidak tahu siapa sedang
berperang melawan siapa, karena ia tidak tahu rencana
penculikan Dewan Jenderal. Bung Karno juga heran
dengan pengumuman Soeharto mengambil-alih kendali AD.
Padahal beberapa jam sebelumnya (siang hari) Bung
Karno sudah memutuskan untuk mengambil-alih fungsi dan
tugas-tugas Menpangad serta menunjuk Mayjen Pranoto
Rekso sebagai pelaksana sehari-hari (care-taker)
Menpangad.
Esoknya, 2 Oktober 1965 Soeharto didampingi oleh Yoga
Soegama dan anggota kelompok bayangannya mendatangi
Bung Karno di Istana Bogor. Soeharto bersama rombongan
mengenakan pakaian loreng dan bersenjata masuk Istana.
Dalam kondisi biasa, hanya pasukan pengawal presiden
yang boleh membawa senjata masuk ke dalam Istana.
Namun barangkali karena kondisi saat itu berbeda
dengan kondisi biasa, mereka diperbolehkan masuk
dengan bersenjata. Kedatangan Soeharto ini tidak
pernah disebut dalam buku-buku sejarah atau buku
kesaksian pelaku sejarah.
Bung Karno menerima mereka. Intinya, Soeharto
menyatakan tidak setuju terhadap pengangkatan Mayjen
Pranoto untuk memegang pelaksana komando AD. Selain
protes, Soeharto juga meminta agar Bung Karno
memberikan kuasa kepada Soeharto untuk memulihkan
keamanan. Juga meminta Presiden mengambil tindakan
terhadap pimpinan AU yang diduga terlibat dalam G30S.
Karena persoalan cukup rumit Bung Karno menunda
pembicaraan dan memanggil para panglima AU, AL,
Kepolisian, Mayjen Pranoto dan Mayjen Mursid. Setelah
mereka berkumpul baru diadakan rapat bersama Soeharto
untuk membahas semua tuntutan Soeharto itu. Rapat
berlangsung alot sekitar lima jam. Akhirnya Bung Karno
memberi surat kuasa kepada Soeharto untuk memulihkan
keamanan (sebagai Panglima Pemulihan Keamanan).
Inilah awal Soeharto memetik kemenangan dari rangkaian
proses kudeta merangkak itu.
Surat kuasa yang diterima oleh Soeharto saat itu juga
merupakan surat kuasa pertama.  Namun ini tidak pernah
disebut dalam sejarah. Mungin kalau disebut dalam
sejarah akan terasa aneh. Presiden adalah Panglima
Tertinggi ABRI yang pegang kendali militer. Pembunuhan
para jenderal baru terjadi sehari sebelumnya. Itu pun
beberapa jam kemudian Presiden sudah mengeluarkan
instruksi untuk ABRI. Ini menunjukkan bahwa Presiden
masih memegang kendali militer. Bahkan Presiden sudah
mengambil-alih tugas Menpangad karena Menpangad Yani
diculik. Maka kedatangan Soeharto minta surat kuasa
untuk memulihkan keamanan, apa namanya kalau bukan
memotong kewenangan Presiden?
Namun toh akhirnya surat kuasa dikeluarkan oleh
Presiden. Menurut memori Yoga, proses keluarnya surat
kuasa itu sangat alot. Dalam rapat Soeharto menekan
Soekarno.  Tetapi kalau kita kembali mengingat bahwa
sehari sbelumnya Soeharto melalui RRI sudah menyatakan
mengambil-alih pimpinan AD, maka wajar bahwa surat
kuasa itu dikeluarkan. Sebelum surat kuasa dikeluarkan
saja Soeharto sudah berani mengambil-alih pimpinan AD.
Sebelum Soeharto dan kelompok bayangannya meninggalkan
Istana Bogor, Soeharto menyatakan agar Presiden tidak
meninggalkan Istana Bogor demi keamanan. Sejak itu
Presiden Soekarno sudah menjadi tawanan Soeharto.
Setelah para pembantu dekat Bung Karno sadar bahwa
Bung Karno menjadi tawanan Soeharto, para pembantu
jadi teringat bahwa saran menuju Istana Bogor itu
datang dari Leimena. Bukankah brigjen Soepardjo
menyarankan Bung Karno untuk pergi ke Bali?  Menpangau
Oemar Dhani menyarankan ke Madiun, Jawa Timur? Leimena
menyarankan - yang paling hati-hati - ke Istana Bogor.
Di kalangan orang dekat Bung Karno muncul pembicaraan,
seandainya Bung Karno menuruti saran Soepardjo atau
Oemar Dhani, tentu akan lain ceritanya.
Saya sangat yakin Leimena benar-benar tidak punya
maksud tertentu, apalagi menjerumuskan Bung Karno.
Beliau adalah orang yang loyal terhadap Bung Karno. 
Sarannya ke Istana Bogor memang langkah hati-hati.
Selain karena jaraknya lebih dekat (dibanding Bali
atau Madiun) istana bogor memang tempatnya presiden
atau termasuk simbol negara. Siapa sangka Soeharto
berani mendatangi Bung Karno, bahkan menawan Bung
Karno di sana?
Namun karena pembicaraan beredar menyesalkan saran
Leimena, esok harinya Leimena mendatangi Soeharto di
Makostrad. Tujuannya mengingatkan Soeharto agar jangan
bersikap begitu keras terhadap Presiden. Leimena
berkata kepada Soeharto: jangan begitu, dong. Tetapi
apa jawaban Soeharto? Pak Leimena jangan ikut campur.
Pak Leimena urusi tugasnya sendiri. Saya yang kuasa
sekarang. Mendengar itu Leimena mundur.
Tidak berapa lama kemudian (masih hari itu juga) ganti
Waperdam-III Chaerul Saleh mendatangi Soeharto.
Maksudnya juga sama dengan Leimena. Jawaban Soeharto
juga sama seperti yang tadi: Saya yang kuasa sekarang.
Pak Chaerul Saleh jangan ikut campur, kata Soeharto.
Hebatnya, beberapa waktu kemudian Soeharto membantah
menerima surat kuasa dari Presiden. Dia menyatakan
kurang lebih demikian: Dalam kehidupan militer tidak
mungkin ada dua panglima (dia dan Mayjen Pranoto yang
sudah ditunjuk oleh Presiden menjadi caretaker
Menpangad) yang ditunjuk dalam waktu bersamaan. Maka
praktis pengangkatan terhadap mayjen Pranoto sebagai
caretaker Menpangad tidak berjalan sama sekali.
Sebaliknya Soeharto sebagai Panglima Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban terus bertindak, sehingga
pergolakan di kalangan elite politik pun tidak dapat
dicegah.
Inilah awal kudeta terselubung itu. Sejak itu
sebenarnya Bung Karno sudah tidak lagi memiliki power
untuk memimpin negara.
Esoknya pembantaian terhadap anggota PKI dan
keluarganya dimulai. PKI dituduh menjadi dalang G30S.
Sejak itu Indonesia banjir darah. Yang digempur bukan
hanya tokoh-tokoh PKI, tetapi semua yang berbau PKI
dibantai tanpa proses hukum. Di kota, desa, dusun, di
berbagai sudut negeri dilakukan pembantaian
besar-besaran, suatu tindakan yang sangat mengerikan.
Pembantaian PKI dimulai beberapa saat setelah Presiden
Soekarno mengumumkan (3 Oktober 1965) Pangkostrad
Mayjen Soeharto dipercaya sebagai pelaksana Komando
Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).
Tidak disangka jika lembaga yudisial ini kelak menjadi
sangat ditakuti rakyat. Hanya dengan menyebut
Kopkamtib saja orang sudah ngeri. Beberapa tahun
berikutnya namanya diganti menjadi Bakorstanas, namun
tetap saja nama yang menakutkan bagi masyarakat. Semua
tindakan masyarakat yang tidak sesuai dengan keinginan
Soeharto pasti ditumpas oleh Kopkamtib yang kemudian
berubah nama menjadi Bakorstanas atau Bakorstanasda di
daerah. Lembaga ini menjadi senjata Soeharto untuk
menumpas orang-orang yang tidak setuju pada
keinginannya. Perkembangan ini tentu di luar dugaan
Bung Karno selaku pemberi kuasa.
Pada tanggal 16 Oktober 1965 Presiden Soekarno
mengangkat Soeharto menjadi Menpangad, menggantikan A
Yani. Lantas pada akhir Oktober 1965 di rumah Menteri
Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Brigjen Syarif
Thayeb, atas perintah Soeharto dibentuklah Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Inilah embrio gerakan
mahasiswa yang didukung oleh tentara. KAMI lantas
sering berdemo dengan didukung oleh pasukan RPKAD dan
Kostrad.
Di beberapa buku sejarah G30S banyak pertanyaan,
mengapa Presiden Soekarno tidak mendukung G30S.
Logikanya, jika Dewan Jenderal berniat melakukan kup,
lantas dewan Jenderal dibunuh oleh pasukan Cakra
Bhirawa dibantu pasukan Soeharto, mestinya Bung Karno
langsung mendukung G30S begitu mendengar para jenderal
diculik. Tapi mengapa Bung Karno malah menghentikan
gerakan itu?
Jawabnya adalah karena Bung Karno tidak tahu rencana
penculikan para jenderal itu.  Ini sekaligus menjawab
pertanyaan mengapa nama Bung Karno tidak tercantum
dalam Dewan Revolusi yang diumumkan oleh Untung
beberapa jam setelah pembunuhan para jenderal. Dewan
Revolusi ini adalah buatan Untung sendiri tanpa
konsultasi dengan Presiden.
Drama 1 Oktober 1965 dalam sekali pukul menghasilkan
keuntungan bagi Soeharto:
1.      Mengubah kenyataan adanya komplotan Dewan
Jenderal, di mana Soeharto merupakan salah satu
anggotanya, menjadi semacam fiksi belaka.
2.      Sebaliknya mengubah fiksi menjadi nyata bahwa
yang sungguh-sungguh melakukan kudeta bukanlah Dewan
Jenderal, melainkan G30S pimpinan Untung (yang
sebenarnya disokong oleh Soeharto).
3.      Melikuidasi kelompok Yani sebagai rival
potensial Soeharto.
4.      Membuka peluang Soeharto tampil sebagai
pahlawan yang akhirnya benar-benar terwujud.
 
 
 
NASIB  AH NASUTION
Nasution meninggal dunia menjelang buku ini naik
cetak, 6 September 2000. Dia dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kalibata, Jakarta, dengan upacara militer.
Semoga arwahnya diterima di sisi Allah SWT, Amin.
Dialah perwira yang paling tinggi pangkatnya setelah
Yani tiada. Saat itu dia sudah menyandang bintang
empat, sedangkan Soeharto masih bintang tiga. Di saat
TNI AD terpecah (secara tidak transparan) dalam
kubu-kubu di tahun 1960-an, Kubu Nasution ditakuti
oleh kubu Yani dan Kubu Soeharto. Banyak politikus
saat itu yang mengatakan bahwa Letjen TNI AH Nasution
paling pantas menggantikan Presiden Soekarno. Dia
terkenal anti-PKI, memiliki dedikasi yang tinggi dan
termasuk jenderal yang diculik pelaku G30S (dia lolos,
tapi anaknya tewas) sehingga wajar menyandang gelar
pahlawan.
Selain sangat berpengalaman di bidang militer,
Nasution juga matang berpolitik.  Dialah pencetus ide
Dwi Fungsi ABRI melalui jalan tengah tentara. Ia
berpengalaman melakukan manuver-manuver politik yang
dikoordinasi dengan menggunakan kekuatan militer, agar
tentara bisa masuk ke dalam lembaga-lembaga negara
secara efektif di pusat dan daerah.
Yang tidak banyak diketahui orang adalah bahwa dari
sekian perwira senior yang paling ditakuti Presiden
Soekarno saat itu adalah Nasution. Presiden Soekarno
menjuluki Nasution sebagai pencetus gagasan Negara
dalam Negara. Itu berarti ia berani menentang
kebijakan Bung Karno (lihat Bab II). Di saat Yani
masih ada pun, spekulasi yang berkembang adalah bahwa
jika Bung Karno meninggal atau sudah tidak lagi mampu
memimpin Indonesia, maka pengganti yang paling cocok
adalah: Yani atau Nasution. Kans mereka menjadi
presiden sama besarnya.
Tetapi Nasution dilipat oleh Soeharto. Ia - seperti
halnya Yani - tidak mewaspadai isu Dewan Jenderal. Dia
benar-benar tidak awas soal berbagai kemungkinan yang
bakal terjadi akibat isu tersebut. Dia benar-benar
tidak tahu - bahkan tidak menduga -bahwa Soeharto yang
pangkatnya lebih rendah berhasil menggosok Letkol
Untung untuk menghantam Dewan Jenderal. Akibatnya
nyaris merenggut nyawa Nasution, tapi meleset sehingga
Ade Irma Suryani Nasution gugur sebagai Bunga Bangsa.
Pertanyaannya adalah: mengapa Soeharto dalam mengambil
tindakan-tindakan penting AD tidak melibatkan
Nasution? Jawabnya: Soeharto memang menggunakan
Nasution sebagai umpan untuk menarik kekuatan-kekuatan
anti-komunis, baik militer maupun sipil yang berada di
bawah pengaruh Nasution. Pada sisi lain Nasution
digunakan oleh Soeharto menjadi momok bagi Bung Karno
sebab ia tahu Nasution adalah orang yang paling berani
menentang gagasan Bung Karno.
Saya mengatakan Soeharto mengambil tindakan-tindakan
penting tanpa melibatkan Nasution, tentu ada
contohnya. Salah satunya - berdasarkan informasi
akurat yang saya terima - adalah sebagai berikut:
Setelah lolos dari penculikan, sekitar pukul 09.00 WIB
Nasution bertemu dengan Soeharto. Pada waktu hampir
bersamaan pagi itu - 1 Oktober 1965 - Soeharto
memerintahkan para petinggi AD berkumpul dan rapat di
Makostrad. Tetapi Soeharto minta bantuan Kodam Jaya
untuk menyembunyikan Nasution.  Tujuannya seolah-olah
untuk mengamankan Nasution yang mungkin saja masih
dikejar oleh pelaku G30S, sehingga rapat di Makostrad
itu tidak dihadiri oleh Nasution.
Menurut memori Yoga, dalam rapat langsung ditegaskan
oleh Soeharto bahwa penculikan para jenderal yang baru
saja terjadi itu didalangi oleh PKI. Soeharto juga
berhasil mengajak Komandan RPKAD Sarwo Edhi Wibowo
agar menyatukan pasukannya di bawah pasukan Kostrad
untuk menggempur pelaku G30S dan PKI. Dibahas pula
instruksi Presiden ke Mabes ABRI agar semua pasukan
tidak bergerak selain diperintah oleh Presiden (baca
Dari Detik ke Detik).
Rapat akhirnya sepakat menolak perintah Presiden.
Alasannya: Nasib para jenderal yang diculik belum
diketahui dengan pasti. Operasi pengejaran terhadap
para penculik sudah disiapkan di Makostrad. Bila
Menpangad tiada (Menpangad A Yani diculik) maka yang
menggantikan adalah Pangkostrad. Artinya Soeharto
menunjuk dirinya sendiri.  (Pada bagian terdahulu
disebutkan: Malamnya Soeharto mengumumkan di RRI bahwa
ia mengambil-alih kendali AD). Maka rapat memutuskan
bahwa instruksi Presiden tidak perlu dipatuhi. Selain
itu secara otomatis disepakati bahwa keputusan
Presiden mengambil-alih kendali militer dan menunjuk
Mayjen Pranoto sebagai pelaksana sehari-hari
(caretaker) Menpangad tidak perlu dipatuhi.
Setelah rapat memutuskan banyak hal penting, Soeharto
lantas memerintahkan anak-buahnya untuk mengambil
Nasution keluar dari persembunyiannya dan membawanya
ke Makostrad. Nasution tiba di Makostrad dalam kondisi
masih stres berat (karena baru saja lolos dari
pembunuhan) dan langsung dimasukkan ke dalam ruang
rapat. Peserta rapat masih berkumpul lengkap, tetapi
sore itu rapat sudah hampir selesai. 
Keputusan-keputusan sudah diambil beberapa jam
sebelumnya. Nasution hanya diberitahu bahwa rapat
sudah berlangsung sejak pagi dan sudah hampir selesai.
Dengan cara seperti itu Soeharto sudah menang setengah
hari dari Nasution. Dalam kondisi biasa setengah hari
mungkin tidak ada artinya, tetapi pada kasus itu
menjadi sangat penting. Rapat itu menentukan kondisi
negara Indonesia pasca G30S. Nasution ternyata tidak
marah bahwa dirinya tidak dilibatkan dalam rapat.
Karena, pertama, dengan dimasukkan ke Makostrad
berarti dia harus menghormati Pangkostrad Soeharto. 
Dari cara Nasution disembunyikan Soeharto, lantas
Nasution dibawa ke Makostrad, bisa jadi membuat ia
merasa seolah-olah menjadi tawanan Soeharto. Apalagi
ia masih stres berat setelah lolos dari rentetan
tembakan. Kedua, rapat toh sudah hampir selesai dan ia
tidak tahu apa isinya.
Dari peristiwa itu tampak kecerdikan Soeharto
memasukkan Nasution dalam ruang rapat. Dengan begitu
seolah-olah Nasution ikut menyetujui
keputusan-keputusan yang diambil dalam rapat. Selain
itu, tindakan itu juga menimbulkan kesan umum bahwa
Nasution pun dibawa ke Makostrad dan diamankan oleh
Soeharto. Itu bisa menimbulkan kesan: Soeharto berada
di atas Nasution. Juga menguatkan asumsi bahwa G30S
didalangi PKI karena Nasution dikenal anti-komunis.
Ini sekaligus untuk menarik kekuatan-kekuatan
anti-komunis - baik dari militer maupun sipil - ke
pihak Soeharto.  Yang paling vital, kehadiran Nasution
di Makostrad saat itu dijadikan momok oleh Soeharto
untuk menakut-nakuti Presiden Soekarno.
Ada satu kalimat Nasution yang ditujukan kepada
Soeharto sesaat sebelum rapat selesai. Bunyinya
demikian: Sebaiknya Mayjen Soeharto secepatnya
memulihkan keamanan agar masyarakat tenang. Pernyataan
ini terlontar secara spontan saja. Ia menginginkan
agar secepatnya diambil tindakan untuk menenangkan
masyarakat (atau mungkin untuk menenangkan diri
Nasution sendiri). Tetapi bagi Soeharto kalimat itu
ibarat Pucuk dicinta, ulam tiba. Soeharto memang
sedang menunggu orang yang bisa memberi dia kuasa.
Saran Nasution itu merupakan kuasa yang bisa dia
kembangkan kepada Presiden Soekarno. Tidak perlu
menunggu lama, esoknya dia bersama Yoga dan kelompok
bayangannya beragkat ke Istana Bogor untuk menemui
Presiden Soekarno. Di sana Soeharto memaksa Bung Karno
minta kuasa. Akhirnya Soeharto benar-benar
mendapatkannya: Pangkopkamtib.
(bersambung)
 
G-30-S versi Soebandrio - (3)
BAB  IIIA:  KEKUASAAN  BERPINDAH 
 
PERAN  MAHASISWA
Ada masa di mana Indonesia lowong kepemimpinan: sejak
awal Oktober 1965 sampai Maret 1966 atau selama
sekitar enam bulan. Bung Karno masih sebagai presiden,
tetapi sudah tidak punya kuasa lagi. Beliau dilarang
meninggalkan Istana Bogor atau lebih tepat menjadi
tawanan Soeharto. Sepanjang masa itu juga tidak ada
keputusan penting yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Soeharto lebih banyak menentukan kebijakan negara,
namun secara formal dia adalah Menpangad.
Bung Karno pada tenggang waktu itu belum benar-benar
sampai pada ajal politik.  Beliau masih punya
pengaruh, baik di Angkatan Bersenjata maupun di
kalangan Parpol-Parpol besar dan kecil. Para pimpinan
Parpol umumnya mendukung Angkatan Darat untuk membasmi
PKI, namun mereka juga mendukung Bung Karno yang
berupaya memulihkan wibawa, walaupun Bung Karno akrab
dengan PKI.
Sepintas tampak ada dualisme sikap para pimpinan
Parpol. Di satu sisi anti-PKI, di sisi lain mendukung
Bung Karno. Sedangkan di kalangan Angkatan Bersenjata
umumnya juga menentang PKI, namun sebagian mendukung
Bung Karno. Sebagaimana umumnya menghadapi masa
transisi, sebagian perwira merasa khawatir tentang
posisi mereka.  Mereka tidak tahu apa yang akan
terjadi jika Soeharto menjadi pemimpin kelak.
Di sisi lain, proses kudeta merangkak belum berakhir.
Manuver Soeharto merebut kekuasaan tertinggi ada empat
tahap:
1.      menyingkirkan saingan beratnya sesama perwira
tertinggi.
2.      Menghabisi PKI, partai besar yang akrab dengan
Bung Karno
3.      Melumpuhkan para menteri pembantu presiden
4.      Melumpuhkan Bung Karno.
 
Mengapa harus empat tahap? Jawabnya adalah bahwa
sebelum G30S Soeharto bukan perwira yang
diperhitungkan. Karena selain pangkatnya masih Mayjen,
ia juga pernah memiliki cacat saat menyelundupkan
barang di Jateng sehingga untuk mencapai pimpinan
puncak ia harus melewati proses panjang. Sampai di
sini sudah dua tahap tercapai: para jenderal
saingannya sudah dihabisi dan PKI sudah digempur.
Kendati demikian, Bung Karno masih juga punya
pengaruh. Selain itu para menteri juga masih ada
walaupun sudah tidak berfungsi.
Untuk mengimbangi - lebih tepat melumpuhkan -
sisa-sisa kekuatan Bung Karno, Soeharto mengerahkan
mahasiswa. Seperti disebut di bagian terdahulu, pada
akhir Oktober 1965 di rumah Brigjen Sjarif Thajeb,
atas perintah Soeharto dibentuk KAMI.  Nah, sejak itu
demo mahasiswa didukung oleh tentara terus bergerak
mengkritik Presiden Soekarno. Saat itulah muncul
slogan Tritura (tri atau tiga tuntutan rakyat):
1.      bubarkan PKI
2.      bersihkan anggota kabinet dari unsur-unsur PKI
3.      turunkan harga kebutuhan pokok.
 
Bung Karno - yang masih menjabat sebagai presiden - 
lantas membubarkan KAMI.  Tetapi setelah KAMI bubar
muncul kelompok sejenis berganti nama menjadi KAPPI
(Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia).
Tujuannya tetap sama: berdemo mengkritik Presiden
Soekarno. Dan karena demo itu didukung oleh tentara
tentu saja para pemuda dan mahasiswa berani. Ini yang
kemudian disebut kelompok pemuda Angkatan '66,
kelompok yang diprakarsai oleh Soeharto.
Sementara itu harga kebutuhan pokok rakyat memang
melambung tinggi. Saya tahu persis melonjaknya harga
itu terjadi karena rekayasa Soeharto. Tepatnya
Soeharto dibantu oleh dua pengusaha Cina: Liem Sioe
Liong (dulu bekerjasama menyelundupkan barang) dan Bob
Hasan (juga teman Soeharto sewaktu di Jawa Tengah).
Itu dilakukan di tenggang waktu antara Oktober 1965
sampai Maret 1966. Akibat selanjutnya: inflasi
melambung sampai 600%, defisit anggaran belanja negara
semakin parah sampai 300%. Rakyat tercekik. Untuk
membeli beras, gula dan minyak orang harus antri.
Inilah operasi intelijen yang sukses melumpuhkan
ekonomi negara.
Tentang hubungan bisnis Soeharto dengan Liem Sioe
Liong dan Bob Hasan di Jateng yang paling tahu adalah
Mayjen Pranoto. Saat Soeharto sebagai Panglima Divisi
Diponegoro, Pranoto adalah kepala stafnya. Pranoto
sudah sangat jengkel pada Soeharto perihal bisnis
memanfaatkan jabatan yang dilakukan Soeharto, dibantu
Liem Sioe Liong dan Bob Hasan.
Sangat mungkin ulah Soeharto dan Liem menyelundupkan
barang dulu dibongkar oleh Pranoto sehingga akhirnya
diketahui Menpangad Yani, sampai-sampai Yani
menempeleng Soeharto. Jadi tindakan Soeharto menjegal
Pranoto yang diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi
caretaker Menpangad (1 Oktober 1965) bukan semata-mata
perebutan jabatan (dengan cara kotor) tetapi juga ada
faktor dendam pribadinya.
Sementara, gerakan mahasiswa menuntut pemerintah
semakin gencar. Tritura terus diteriakkan hampir
setiap hari. Soeharto merekayasa agar harga kebutuhan
pokok melambung. Dia pula yang mengerahkan mahasiswa
berdemo menuntut penurunan harga.  Sedangkan rakyat
jelas mendukung gerakan mahasiswa karena tuntutan
mereka sejalan dengan keinginan rakyat.
Siapa pun yang menjadi presiden saat itu pasti tidak
dapat berbuat banyak. Apalagi Presiden Soekarno
dilarang meninggalkan Istana Bogor. Di sini semakin
jelas kelicikan Soeharto. Cara Soeharto menjatuhkan
Soekarno benar-benar efektif walaupun di mata rakyat
saat itu tidak kelihatan.
Saya menilai hanya sebagian mahasiswa yang berdemo
dengan motivasi tercekik oleh harga bahan kebutuhan
pokok sebab mereka bukan orang awam, mereka bukan anak
kecil.  Sebagian dari mereka pasti tahu bahwa harga
kebutuhan pokok melejit akibat rekayasa Soeharto.
Mereka adalah kaum intelektuil yang mengikuti
perkembangan negara mereka.  Tetapi gerakan mereka
didukung oleh tentara dan rakyat - dua kekuatan utama
bangsa ini - sehingga sebagian yang sadar akan kondisi
yang sebenarnya tidak berani menentang arus. Semua
pasti mencari selamat bagi diri sendiri. Mereka
terpaksa terbawa arus, ikut menentang pemerintah.
Pada tanggal 10 Januari 1966 ribuan  mahasiswa
berkumpul di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
di Salemba. Mereka meneriakkan Tritura. Komandan RPKAD
(kelak diganti menjadi Kopassus) Sarwo Edhi berpidato
di tengah ribuan mahasiswa untuk mengobarkan semangat
mahasiswa berdemo. Usai Sarwo Edhi berpidato ribuan
mahasiswa bergerak turun ke jalan menuju kantor P&K
untuk menyampaikan tuntutan tersebut. Di P&K mereka
bertemu dengan Wakil Perdana Menteri-III Chaerul
Saleh. Mahasiswa menyampaikan tuntutan mereka kepada
Chaerul Saleh. Tuntutan ditanggapi Chaerul sambil
lalu.
Lantas mahasiswa melanjutkan demo turun ke jalan.
Pendapat umum yang dibentuk melalui surat kabar
menyebutkan bahwa tuntutan mahasiswa itu murni. Ini
jelas menyesatkan masyarakat. Bahan kebutuhan pokok
sengaja dimusnahkan oleh Soeharto. Di sisi lain,
mahasiswa bergerak didukung oleh tentara yang dipimpin
Soeharto. Jadi mana bisa tuntutan mereka dikatakan
murni? Satu-satunya tuntutan mahasiswa yang murni -
menurut saya - adalah: bubarkan PKI.
Sebagai gambaran: kelak setelah Soeharto berkuasa dan
kepentingan politiknya sudah tercapai, ia memberangus
mahasiswa. Caranya dengan memerintahkan menteri P&K
mengeluarkan peraturan NKK (Normalisasi Kehidupan
Kampus) dan BKK (Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Itu
terjadi di pertengahan 1970-an. Intinya: mahasiswa
dilarang berdemo. Saya di dalam penjara mengikuti
berita itu dan mengamati bahwa ternyata Soeharto ngeri
dengan bekas salah satu senjatanya, mahasiswa.
Akhirnya ia juga jatuh tersungkur antara lain akibat
tekanan ribuan mahasiswa yang menduduki Gedung DPR/MPR
pertengahan Mei 1998.
Saya tidak pernah menyesal pada sikap pemuda dan
mahasiswa Angkatan-66. Kondisi dan situasi negara saat
itu memungkinkan mereka bersikap begitu. Generasi muda
di mana pun di dunia ini cenderung berpihak pada
pembaharuan. Karakteristik ini dimanfaatkan dengan
baik oleh orang yang haus kuasa. Apalagi secara de
facto pemimpin Indonesia sejak 1 Oktober 1965 adalah
Soeharto, walau secara de jure ia adalah Menpangad.
Bung Karno memang masih sebagai Presiden RI dan
pemerintah masih berdiri, tetapi kondisi negara tak
terkendali, baik oleh penggempuran besar-besaran
tentara terhadap rakyat untuk membersihkan PKI maupun
oleh kondisi perekonomian yang rusak berat.  Orang
tidak perlu susah-susah mencari tahu apakah ini hasil
rekayasa atau murni ketidak-mampuan pemerintah,
sehingga rakyat secara jelas menyaksikan drama
kejatuhan Bung Karno dari tampuk kekuasaannya.
Namun gerakan mahasiswa ternyata ditanggapi Bung
Karno. Pada 15 Januari 1966 dalam
Sidang Kabinet Presiden Soekarno berpidato menjawab
Tritura yang dikobarkan oleh
mahasiswa. Menurut Presiden Soekarno Tritura adalah
hasil rekayasa TNI AD. Dengarkan
cuplikan pidato Soekarno yang sebagian sempat saya
catat. Bunyinya demikian: Saya
tidak akan mundur sejengkal pun. Saya tetap Pemimpin
Besar Revolusi. Maka saya tidak
dapat bicara lain. Ayo .Siapa yang membutuhkan
Soekarno, setuju dengan Soekarno
sebagai Pemimpin Besar Revolusi, maka satukan seluruh
kekuatanmu. Pertahankan
Soekarno. Berdirilah di belakang Soekarno. Tunggu
komando 
Inilah pernyataan Bung Karno di depan publik yang
paling keras. Dengan pidato Bung Karno yang
berapi-api, semua pihak menjadi cemas. Bung Karno
masih punya pendukung, termasuk dari Angkatan
Bersenjata. Para menterinya masih lengkap. Jabatannya
masih Presiden RI. Maka semua pihak khawatir Indonesia
bakal memasuki pergolakan sangat hebat dalam waktu
dekat dan bakal terjadi pertumpahan darah yang jauh
lebih besar dari G30S.
Maka setelah itu - pada malam hari berikutnya - saya
selaku Wakil Perdana Menteri-I membentuk Barisan
Soekarno. Anggotanya semua menteri. Tujuannya tentu
untuk membela Presiden. Front Nasional yang sudah ada
sebelumnya harus masuk ke Barisan Soekarno. 
Pada tanggal 20 Januari 1966 para menteri berkumpul di
Istana. Mereka menyatakan sepakat menjadi bagian
paling depan dari pendukung Soekarno. Itu merupakan
bagian dari upaya pendukung Soekarno untuk come back,
walaupun secara formal Soekarno masih Presiden-RI, pun
secara formal pendukung terdepan masih Menteri Negara.
Namun Bung Karno tidak melakukan follow-up, tidak ada
tindak-lanjut dari pidatonya yang keras itu. Tidak ada
perintah apa pun meski ia tahu pendukungnya sudah siap
membela. Para pendukungnya pun tidak bergerak sebab
dalam pidatonya Bung Karno antara lain menyerukan:
tunggu komando Seruan ini ditaati para pendukungnya.
Dan komando ternyata tidak juga kunjung datang.
Seandainya komando benar-benar diserukan, saya tidak
bisa membayangkan bagaimana jadinya Indonesia.
 

SUPERSEMAR
Sebuah sumber saya mengatakan bahwa pada tanggal 10
Maret 1966 Soeharto mengadakan pertemuan di rumahnya
di Jalan H Agus Salim. Pertemuan dihadiri oleh Pangdam
Jaya Mayjen Amir Machmud, Pangdam Jatim Mayjen Basuki
Rahmat dan Mayjen M Yusuf. Inti pembicaraan: Soeharto
selaku Menpangad minta dukungan untuk mendapatkan
suatu mandat penuh dari Presiden RI Soekarno.
Tujuannya adalah agar dapat mengatasi
kesulitan-kesulitan yang dihadapi negara, di samping
untuk menciptakan suasana aman dan politik yang
stabil. Tiga jenderal yang menghadap akhirnya sepakat
dengan ide Menpangad.
Lantas Soeharto menyampaikan pidato penting. Pidatonya
berapi-api mengkritik kondisi negara yang tidak
menentu, sedangkan para menteri tidak dapat
menyelesaikan persoalan bangsa. Merka hanya bicara di
sidang-sidang, tidak melakukan tindakan kongkrit. Ia
menyerukan: para mahasiswa dari Jakarta, Bandung dan
Bogor untuk boleh saja berdemo di saat Sidang Kabinet
yang akan diselenggarakan esok harinya (11 Maret 1966)
di Istana Merdeka.
Akibatnya luar biasa: Pagi-pagi sekali sebelum sidang
dibuka ribuan mahasiswa datang berbondong-bondong
menuju Istana. Mereka mendesak masuk ke halaman
Istana. Pasukan Kawal Presiden Cakra Bhirawa berupaya
menahan mereka di pagar Istana. Petugas sampai
terpaksa meletuskan tembakan peringatan ke udara.
Keadaan ternyata tidak mudah dikendalikan oleh Pasukan
Kawal Presiden. Soeharto tidak hanya menggerakkan
mahasiswa, namun juga memberi dukungan kepada mereka
dengan mengerahkan tentara (belakangan saya ketahui
tiga kompi RPKAD didukung oleh pasukan Kostrad
pimpinan Kemal Idris). Tujuan mereka antara lain
menangkap saya. Soeharto juga sudah setuju.
Tentara mengenakan seragam loreng, bersenjata lengkap
namun tanpa tanda pengenal.  Mereka bersama mahasiswa
menyebar di jalanan yang akan dilewati oleh mobil
menteri peserta sidang. Begitu melihat mobil menteri
mereka langsung mencegat. Ban mobil digembosi. Istana
pun dikepung sedemikian rupa. Pasukan tanpa tanda
pengenal itu herhadap-hadapan dengan Pasukan Cakra
Bhirawa dalam jarak dekat.
Saya berkesimpulan bahwa Soeharto mengharapkan dengan
begitu Soekarno akan menyerah tanpa syarat. Keadaan
benar-benar gawat, sebab bisa timbul korban yang
sangat besar.  Saya menilai Soeharto adalah pembunuh
berdarah dingin, dia tega membunuh siapa saja demi
terwujud ambisi politiknya. Coba bayangkan kalau
Pasukan Cakra Bhirawa saat itu bertindak keras
menghalau mahasiswa, tentu bakal terjadi pertumpahan
darah yang luar biasa. Sebab mahasiswa akan bertahan
mati-matian karena merasa mendapat angin dan didukung
oleh tentara. Juga bisa terjadi perang kota antara
pasukan Cakra Bhirawa melawan pasukan tanpa identitas.
Hebatnya, dalam Sidang Kabinet itu Soeharto tidak
datang dengan alasan sakit batuk.  Informasi sakitnya
Soeharto ini disampaikan oleh Amir Machmud beberapa
waktu kemudian. Menurut pengakuan Amir Machmud -
seusai mengikuti Sidang Kabinet - ia bersama Basuki
Rachmat dan M Yusuf mendatangi rumah Soeharto.
Soeharto sakit tenggorokan sehingga tidak dapat bicara
keras. Saat kami datang ke rumahnya dia masih
mengenakan piyama dengan leher dibalut, kata Amir
Machmud. Tetapi seorang intelijen saya melaporkan
bahwa pada sore harinya Soeharto memimpin rapat di
Makostrad. Di sini semakin jelas bahwa Soeharto adalah
pembohong besar.
Jika seandainya dalam Sidang Kabinet Soeharto ikut
(sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat seharusnya
dia ikut) maka ada 3 risiko yang bakal dihadapi oleh
Soeharto:
1.      dalam keadaan Istana dikepung oleh mahasiswa
dan tentara tentu dalam sidang Bung Karno akan
bertanya kepada Soeharto: Harto, engkau yang telah
kuangkat menjadi Panglima Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban, ayo bergerak. Bereskan pengacau-pengacau
itu. Maka perintah Presiden itu bakal ibarat buah
simalakama bagi Soeharto: dimakan ibu mati, tak
dimakan bapak tewas.
2.      Jika Soeharto melaksanakan perintah, maka
namanya bakal merosot di mata para demonstran yang ia
gerakkan sendiri. Ini berarti peluang bagus bagi
Nasution untuk tampil sebagai presiden.
3.      Jika Soeharto menolak perintah di depan Sidang
Kabinet, maka bisa berakibat fatal bagi Soeharto.
Tentu Bung Karno bisa segera memerintahkan Pasukan
Cakra Bhirawa untuk menangkap Soeharto seketika itu
juga.
 
Akhirnya cara terbaik bagi Soeharto untuk menghindari
semua kemungkinan buruk itu adalah nyakit (pura-pura
sakit). Bukankah ini membuktikan bahwa Soeharto licin
dan pembunuh berdarah dingin? Ia tidak peduli bahwa
tindakannya mengerahkan ribuan mahasiswa dan tentara
bisa menimbulkan konflik besar yang menghasilkan
banjir darah bangsanya sendiri.
Sidang Kabinet 11 maret 1966 dibuka oleh Presiden
Soekarno. Di beberapa buku juga disebutkan bahwa
setelah Presiden Soekarno membuka sidang, beberapa
saat kemudian pengawal presiden, Brigjen Sabur,
menyodorkan secarik kertas ke meja presiden.  Isinya
singkat: Di luar banyak pasukan tak dikenal. Beberapa
saat kemudian Presiden keluar meninggalkan ruang
sidang. Pimpinan sidang diserahkan kepada Leimena.
Saya lantas menyusul keluar. Banyak ditulis saat
keluar sepatu saya copot karena terburu-buru.
Memang benar. Dulu saat sidang kabinet biasanya para
menteri mencopot sepatu - mungkin karena kegerahan
duduk lama bersepatu - tetapi sepatu yang dicopot itu
tidak kelihatan oleh peserta sidang karena tertutup
meja. Saya juga biasa melakukan hal itu. Nah, saat
kondisi genting sehingga Presiden meninggalkan ruang
sidang secara mendadak, saya keluar terburu-buru
sehingga tidak sempat lagi memakai sepatu.
Begitu keluar dari ruang sidang - ini yang tidak ada
di dalam buku-buku sejarah -saya sempat bingung, akan
ke mana? Saya mendapat informasi, pasukan tak dikenal
itu sebenarnya mengincar keselamatan saya. Padahal
begitu keluar ruangan saya tidak melihat Bung Karno
yang keluar ruangan lebih dulu. Dalam keadaan bingung
saya lihat sebuah sepeda, entah milik siapa. Maka
tanpa banyak pikir lagi saya naiki sepeda itu. Toh
mobil saya - dan mobil semua menteri - sudah 
digembosi oleh para demonstran.
Dalam kondisi hiruk-pikuk di sekitar Istana saya
keluar naik sepeda. Ternyata tidak ada yang tahu bahwa
saya adalah Soebandrio yang sedang diincar tentara.
Padahal saya naik sepeda melewati ribuan mahasiswa dan
tentara yang meneriakkan yel-yel Tritura dan segala
macam kecaman terhadap Bung Karno. Memang, saat
menggenjot sepeda saya selalu menunduk, tetapi kalau
ada yang teliti pasti saya ketahuan.
Sepeda saya terus meluncur ke selatan. Tujuan saya
pulang. Sampai di Bundaran Air Mancur (perempatan Bank
Indonesia) saya melihat begitu banyak mahasiswa dan
tentara.  Mereka tidak hanya berada di sekitar Istana
tetapi juga menyemut di Jalan Thamrin.
Sampai di sini perasaan saya jadi tidak enak. Memang
sejauh ini saya sudah lolos.  Tetapi bisakah melewati
ribuan mahasiswa yang menyemut itu? Maka seketika itu
juga saya memutuskan untuk kembali, berbalik arah.
Saya kembali ke Istana. Hebatnya, saya sampai di
Istana lagi tanpa diketahui oleh para demonstran.
Di dalam buku-buku sejarah disebutkan bahwa begitu
keluar dari ruang sidang, saya langsung memburu Bung
Karno naik helikopter.
Yang sebenarnya terjadi seperti saya sebutkan ini:
Begitu tiba kembali di Istana, saya lihat ada
helikopter. Saya tidak ahu apakah sejak tadi heli itu
sudah ada atau baru datang. Atau mungkin karena saya
panik, saya tadi tidak melihat heli yang ada di sana
sejak tadi. Namun yang melegakan adalah bahwa beberapa
saat kemudian saya melihat Bung Karno didampingi oleh
para ajudan berjalan menuju heli.
Karena itu sepeda saya geletakkan dan saya berlari
menuju heli. Mungkin saat itulah - ketika berlari
menuju heli tanpa sepatu - saya dilihat banyak orang
sehingga ditulis di koran-koran: Dr. Soebandrio
berlari menyusul Bung Karno menuju heli tanpa sepatu.
Akhirnya saya bisa masuk ke dalam heli dan terbang
bersama Bung Karno menuju Istana Bogor.
Jadi sebenarnya begitu meninggalkan ruang sidang Bung
Karno tidak langsung menuju heli, tetapi ada tenggang
waktu cukup lama. Saya sudah menggenjot sepeda dari
Istana ke Bundaran Air Mancur dan kembali lagi.
Mungkin setelah meninggalkan ruang sidang Bung Karno
masih mengadakan pertemuan dengan para ajudan dan
penasihat militer untuk membahas situasi, sehingga hal
itu menguntungkan saya. Seandainya tidak bertemu Bung
Karno, entah bagaimana nasib saya.
Setelah peristiwa itu saya merenung. Untungnya saat
itu saya dan Leimena lolos dari target penangkapan
mereka. Seandainya saya tertangkap atau dihabisi, maka
bakal terjadi bentrokan hebat. Bung Karno dan
pasukannya yang masih setia tidak akan tinggal diam.
Akibatnya bisa banjir darah. Kalau itu terjadi pasti
Soeharto akan berbalik mengkhianati teman-temannya
yang semula dia tugaskan untuk mengerahkan pasukan
mengepung Istana. Percobaan kudeta 3 Juli 1946 yang
gagal menjadi dasarnya.  Juga bantuan pasukan Soeharto
kepada Letkol Untung untuk membantai para jenderal
menjadi buktinya.
Menjelang petang Istana Bogor didatangi oleh tiga
jenderal (Basuki Rachmat, Amir Machmud dan M Yusuf).
Ketika itu tiga Waperdam (saya, Leimena dan Chaerul
Saleh) sudah di sana. Leimena dan Chaerul menyusul
kami ke Istana Bogor melalui jalan darat. Kami bertiga
sempat istirahat di paviliun. Ketika tiga jenderal
datang Bung Karno menerima mereka di gedung utama.
Mereka berbicara cukup lama. Para Waperdam hanya siaga
di paviliun. Beberapa jam kemudian saya, Chaerul dan
Leimena dipanggil oleh Bung Karno masuk ke ruang
pertemuan. Di sana ada tiga jenderal itu. Namun saat
kami masuk sudah ada kesepakatan antara mereka dan
Bung Karno.
Saya masuk ruang pertemuan. Bung Karno sedang membaca
surat. Basuki Rachmat, Amir Machmud dan M Yusuf duduk
di depannya. Lantas saya disodori surat yang dibaca
oleh Bung Karno, sedangkan Chaerul Saleh duduk di
sebelah saya. Isi persisnya saya sudah lupa tetapi
intinya ada empat hal. Presiden Soekarno memberi
mandat kepada Soeharto untuk:
1.      mengamankan wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Untuk itu harus dijalin kerjasama dengan unsur-unsur
kekuatan lainnya.
2.      Penerima mandat wajib melaporkan kepada
Presiden atas semua tindakan yang akan dilaksanakan
3.      Penerima mandat wajib mengamankan Presiden
serta seluruh keluarganya
4.      Penerima mandat wajib melestarikan ajaran Bung
Karno.
 
Soal urutannya mungkin terbalik-balik namun intinya
berisi seperti itu.
Bagaimana Ban, kau setuju? Tanya Bung Karno. Beberapa
saat saya diam. Saya pikir, Bung Karno sebenarnya
hanya mengharapkan saya menyatakan setuju, padahal
dalam hati saya tidak setuju. Bukankah Presiden adalah
Panglima Tertinggi ABRI dan seharusnya kendali
keamanan negara berada di tangan Presiden? Saya merasa
Bung Karno sudah ditekan. Terbukti ada kalimat
Mengamankan pribadi Presiden dan keluarganya, artinya
keselamatan Presiden terancam oleh pihak yang menekan
agar surat tersebut dikeluarkan. Tetapi kalimat unik
ini tidak ada dalam sejarah versi Orde Baru. Bahkan
lebih hebat lagi, naskah Supersemar yang membuat
Soeharto ditunjuk sebagai pengemban Supersemar
(menjadi presiden tanpa melalui proses pemilu dan
dipilih MPR) kini sudah tiada. Tidak jelas keberadaan
surat yang begitu penting.
Bagaimana, Ban, setuju? Tanya Bung Karno lagi.
Ya, bagaimana, bisa berbuat apa saya? Bung Karno sudah
berunding tanpa kami jawab saya. Lantas dipotong oleh
Bung Karno: Tapi kau setuju?
Kalau bisa, perintah lisan saja kata saya memberanikan
diri. Saya lirik, tiga jenderal itu melotot ke arah
saya tetapi saya tidak takut. Mereka pasti geram
mendengar kalimat saya yang terakhir itu. Tetapi saya
tahu mereka tidak bisa berbuat banyak. Suasana saat
itu terasa tegang.
Lantas Amir Machmud menyela: Bapak Presiden tanda
tangan saja. Bismillah saja, pak..
Bung Karno rupanya sudah ditekan tiga jenderal itu
saat berunding tadi. Raut wajahnya terlihat ragu-ragu,
tetapi seperti mengharapkan dukungan kami agar setuju.
Akhirnya saya setuju. Chaerul dan Leimena juga
menyatakan setuju. Bung Karno lantas teken (tanda
tangan). Tiga jenderal langsung berangkat kembali ke
Jakarta menemui Soeharto yang mengutus mereka. Bahkan
mereka menolak ketika ditawari Bung Karno untuk makan
malam bersama. Maaf, pak. Karena hari sudah malam,
ujar salah seorang dari mereka. Dengan wajah berseri
mereka membawa surat bersejarah yang kemudian
dinamakan Supersemar.
Esoknya, 12 Maret 1966, Soeharto langsung mengumumkan
pembubaran PKI. Uniknya, pembubaran PKI itu
menggunakan surat keputusan Presiden nomor 113 tahun
1966. Saat diumumkan juga dibacakan ditandatangani
oleh Presiden Soekarno. Enam hari kemudian 15 menteri
yang masih aktif ditangkapi. Tentu saja Soeharto tidak
melapor lebih dahulu kepada Presiden. Untuk pembubaran
PKI, surat malah baru sampai ke tangan Soeharto tengah
malam dan esok siangnya ia langsung mengambil
kebijakan itu. Untuk penangkapan 15 menteri, alasannya
adalah agar para menteri itu jangan sampai menjadi
korban sasaran kemarahan rakyat yang tidak terkendali.
Tetapi ia juga menyampaikan alasan yang kontradiktif
yakni: para menteri hanyalah pembantu presiden, bukan
bentuk kolektif pemerintahan. Jadi bisa saja
ditangkap. Yang jelas, begitu ditangkap para menteri
langsung ditahan. Tuduhannya gampang: terlibat
G30S/PKI - tuduhan yang sangat ditakuti seluruh rakyat
Indonesia sepanjang Soeharto berkuasa. Mengkritik
kebijaksanaan pemerintahan Soeharto bisa dituduh PKI.
Surat Perintah 11 Maret 1966 sudah diselewengkan.
Soeharto menafsirkannya sebagai:
Bung Karno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto,
bukan perintah memulihkan keamanan Ibukota. Sebagai
orang yang tahu persis kondisi saat itu, saya sangat
yakin tujuan Soeharto membubarkan PKI dan menangkapi
15 menteri adalah rangkaian strategi untuk meraih
puncak kekuasaan. Seperti disebut di muka, strategi
Soeharto ada empat tahap:
7 habisi para jenderal saingan
7 hancurkan PKI
7 copoti para menteri
7 jatuhkan Bung Karno.
 
Kini yang dicapai Soeharto sudah tiga tahap. Tinggal
tahap terakhir.
Bung Karno pun bereaksi. Tidak benar jika Bung Karno
diam saja. Beliau memerintahkan Leimena menemui
Soeharto menanyakan hal itu: Bagaimana ini? Surat
perintah hanya untuk mengamankan Jakarta, bukan untuk
pembubaran PKI. Kok malah main tangkap, kata Leimena
kepada Soeharto.
Tetapi Soeharto tidak menggubris. Seperti terjadi pada
tanggal 3 Oktober 1965 - saat Leimena protes pada
Soeharto karena Bung Karno ditawan di Istana Bogor -
Soeharto menyatakan: Pak Leimena jangan ikut campur.
Sekarang saya yang kuasa.
Leimena kembali ke Istana Bogor melaporkan reaksi
Soeharto. Dan Bung Karno terdiam, tetapi dari wajahnya
kelihatan jelas bahwa beliau sedang marah. Dari
laporan Leimena kami tahu bahwa saat itu situasi
Jakarta sangat tegang: tank dan kendaraan lapis baja
bersiaga di setiap ujung jalan, tentara ada di
mana-mana. Mereka dikenali sebagai pasukan Kostrad dan
Brigade Para 3 Yon Siliwangi. Kali ini untuk
menakut-nakuti anggota PKI yang jumlahnya masih sangat
besar saat itu. Mungkin pula ditujukan untuk
memberikan tekanan psikologis terhadap Bung Karno yang
sudah kehilangan kuasa agar tidak menghalang-halangi
pembubaran PKI atau mungkin juga ditujukan untuk
kedua-duanya.
15 menteri yang ditangkapi adalah:
1.      Saya (Waperdam-I merangkap Menlu, merangkap
Kepala BPI)
2.      Waperdam-II Chaerul Saleh
3.      Menteri Tenaga Listrik S. Reksoprojo
4.      Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan
Sumardjo
5.      Menteri Keuangan Oei Tjoe Tat
6.      Menteri Bank Sentral dan Gubernur BI Yusuf
Muda Dalam
7.      Menteri Pertambangan Armunanto
8.      Menteri Irigasi dan Pembangunan Desa Ir.
Surahman
9.      Menteri Perburuhan Sutomo Martoprojo
10.      Menteri Kehakiman Andjarwinata
11.      Menteri Penerangan Asmuadi
12.      Menteri Urusan Keamanan Letkol Imam Syafi'i
13.      Menteri Sekretaris Front Nasional Ir. Tualaka
14.      Menteri Transmigrasi dan Koperasi Ahmadi
15.      Menteri Dalam Negeri merangkap Gubernur
Jakarta Raya Sumarno Sastrowidjojo
 
Meskipun sudah menangkap 15 menteri yang masih aktif
menjalankan tugas, namun Soeharto tanpa rasa malu
sedikit pun menyatakan bahwa kekuasaannya diperoleh
secara konstitusional. Padahal ketika menangkap kami
(para menteri) perintah Soeharto kepada tentara yang
melaksanakan berbunyi demikian: Tangkap dulu mereka,
alasannya cari kemudian.
Itulah filsafat Soeharto dalam logika kekerasannya.
Persis seperti dilakukan Soeharto pada tragedi 1
Oktober 1965. Beberapa jam setelah para jenderal
dibunuh, kelompok bayangan Soeharto langsung
mengumumkan: G30S didalangi PKI. Lantas Soeharto
memerintahkan: Basmi dulu partai itu (PKI),
bukti-bukti cari kemudian. Apakah ini konstitusional
seperti yang sangat sering dikatakan Soeharto ketika
dia memerintah?
 
 
 
MELENGGANG  KE  ISTANA
Kini sudah tinggal setengah tahap lagi dari bagian
tahap terakhir: jatuhkan Bung Karno. Setelah
Supersemar - ketika Soeharto membubarkan PKI dan
menangkapi para menteri setia - Bung Karno sebenarnya
sudah setengah jatuh. Beliau sudah tidak berdaya dan
para menterinya yang masih aktif ditangkapi. Maka ajal
politik tinggal tunggu waktu.
Setelah PKI resmi dibubarkan, tiga tokoh pimpinan PKI
- yaitu DN Aidit, Njoto dan Lukman - ditangkap
hidup-hidup. Presiden Soekarno yang sudah kehilangan
powernya menolak memerintahkan mengadili mereka (entah
mengapa). Persoalan ini lantas diambil-alih oleh
Soeharto. Para pimpinan PKI itu diadili dengan cara
tersendiri.  Soeharto memerintahkan tentara menembak
mati ketiganya. Dan ketiganya memang didor tanpa
melalui proses hukum yang berlaku.
Dengan perlakuan Soeharto seperti itu sangat wajar
jika saya katakan bahwa Soeharto tidak ingin kedoknya
(memanipulir G30S) terbongkar di pengadilan jika tiga
pimpinan PKI itu diadili. Sedangkan saya yang
mengalami semua kejadian ini jelas yakin bahwa
Soeharto terlibat G30S.
Setelah Supersemar, Soeharto membongkar-pasang
keanggotaan DPRGR yang merupakan bagian dari MPRS.
Caranya dengan merampas kursi yang semula diduduki
oleh anggota PKI dan menggantinya dengan orang-orang
Soeharto sendiri. Kemudian Soeharto menyuruh MPRS
(yang sebagian besar sudah diisi orang-orangnya)
bersidang. Inti sidang adalah mengukuhkan Supersemar
secara konstitusional.
Bersamaan dengan itu pembantaian besar-besaran
terhadap anggota PKI sudah dilegalkan. Keluarga
anggota PKI, teman-teman mereka, bahkan ada juga
rakyat yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan
PKI ikut terbunuh. Darah orang PKI, keluarga dan teman
mereka halal bila ditumpahkan. Inilah pembantaian
terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Tidak ada yang
tahu persis berapa jumlah rakyat yang terbunuh. Ada
yang mengatakan 800.000, ada yang mengatakan
1.000.000. Yang paling tinggi adalah pernyataan Sarwo
Edhi Wibowo yang katanya mencapai 3.000.000 manusia.
Dalam sidang MPRS Juni 1966 Soeharto menetapkan RI
kembali ke UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Juga
memerintahkan mencabut Ketetapan MPRS tahun 1963 yang
mengangkat Bung Karno sebagai presiden seumur hidup.
Juga menyatakan pemberian gelar Pemimpin Besar
Revolusi terhadap Bung Karno tidak memiliki kekuatan
hukum. Asal diketahui, pengangkatan Bung Karno sebagai
presiden seumur hidup bukan datang dari Bung Karno. 
Juga bukan dari pendukung setia Bung Karno (PKI).
Pengangkatan itu atas usulan perwira AD sendiri, yakni
Brigjen Suhardiman.
 
=========================================
Pada awal Juli 1966 Soeharto menyetujui Nasution
menjadi ketua MPRS. Beberapa hari kemudian - 5 Juli
1966 - MPRS mengeluarkan ketetapan: Soeharto selaku
Pengemban Supersemar diberi wewenang membentuk
kabinet. Maka dibentuklah Kabinet Ampera menggantikan
Kabinet Dwikora.
--
 
Pada awal Juli 1966 Soeharto menyetujui Nasution
menjadi ketua MPRS. 
Beberapa hari kemudian - 5 Juli 1966 - MPRS
mengeluarkan ketetapan: 
Soeharto selaku Pengemban Supersemar diberi wewenang
membentuk kabinet. 
Maka dibentuklah Kabinet Ampera menggantikan Kabinet
Dwikora. Kabinet baru 
ini tidak lagi berada di bawah kekuasaan Presiden
Soekarno, namun sudah 
di bawah Soeharto selaku Ketua Presidium Kabinet. 
Sejak itu secara 
formal berakhirlah pemerintahan Presiden Soekarno.
Nasution yang baru terpilih menjadi ketua MPRS segera
menyanyikan lagu 
gubahan Kelompok Bayangan Soeharto. Tap MPRS yang
lahir sebelum 
Nasution tampil, yang meminta Presiden Soekarno
melengkapi pertanggung-jawaban 
kepada MPRS tentang sebab-sebab G30S kemudian
dinyatakan ditutup begitu 
saja. Pada Desember 1966 Panglima AU Oemar Dhani
ditangkap, menyusul 
kemudian para perwira pendukung Bung Karno lainnya.
Mereka semua dihukum 
bertahun-tahun tanpa kesalahan yang jelas.
Proses selanjutnya: praktis Soeharto memimpin
Indonesia. Perlahan namun 
pasti Soeharto melenggang menuju kantor di Istana
Negara. Soekarno 
(yang katanya akan dikudeta oleh PKI) secara politis
sama sekali sudah 
tidak berdaya. Melalui UU nr. 10 tahun 1966, DPRGR dan
MPRS meminta 
pertanggung-jawaban Presiden atas peristiwa berdarah
G30S. Menanggapi itu Bung 
Karno menolak, sebab menurut Bung Karno, berdasarkan
UUD 1945 yang 
harus dipertanggung-jawabkan mandataris MPRS hanya
persoalan yang ada dalam 
GBHN. Sedangkan peristiwa G30S ada di luar GBHN yang
berarti Presiden 
tidak dapat dimintai pertanggung-jawaban.
Sejak itu Bung Karno (secara formal) dilarang
mengeluarkan 
ketetapan-ketetapan atau peraturan. Secara non-formal
Bung Karno sudah ditahan di 
Istana Bogor sejak 2 Oktober 1965. AD yang diprakarsai
oleh Soeharto dan 
didukung oleh Nasution menyokong keputusan Soeharto
untuk kembali ke 
UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Saat itu pula
Soeharto memerintahkan 
Ketua MPRS untuk meninjau kembali semua ketetapan MPRS
yang dibuat 
antara tahun 1960 hingga 1963.
Dalam Sidang Kabinet pada bulan Juni 1966 Bung Karno
masih boleh hadir 
dalam kapasitas tetap sebagai Presiden RI. Namun dalam
sidang itu Bung 
Karno diharuskan oleh Soeharto agar bicara yang
intinya mengutuk G30S 
dan harus mengakui bahwa Bung Karno terlibat di
dalamnya. Juga harus 
membenarkan pembantaian massal PKI dan antek-anteknya.
Di luar dugaan, 
ternyata Bung Karno sudah menyiapkan pidato yang
diberi judul Nawaksara. 
Inti pidato tersebut sama sekali menyimpang dari yang
diperintahkan oleh 
Soeharto. Pidato Bung Karno itu intinya juga tidak
mengandung 
penyesalan akibat proses pengambil-alihan kekuasaan.
Tetapi pidato ini ditentang 
oleh para opsir dan para ulama.
Pada tanggal 17 maret 1967 MPRS menyelenggarakan
Sidang Istimewa. 
Intinya:
dikeluarkan Tap MPRS yang menurunkan Presiden Soekarno
dan secara resmi 
menyerahkan kepemimpinan nasional kepada Soeharto
sebagai Pejabat 
Presiden sampai terpilih presiden oleh MPRS hasil
pemilu yang akan datang. 
Dengan begitu Soeharto sudah benar-benar menggantikan
Soekarno. Saat 
itulah Soeharto menegaskan bahwa tentara memiliki
peran sosial politik 
yang tidak terbatas (kelak hal ini diterjemahkan
menjadi Dwifungsi ABRI) 
DALAM NEGARA. Saat itu pula ditetapkan bahwa Pancasila
sebagai azas 
tunggal negara. Soeharto saat itu mulai menyusun
kekuatan agar kekuasaan 
berada di satu tangan: tangan dia sendiri.
Sebaliknya, terhadap Presiden Soekarno, MPRS
mengeluarkan keputusan 
sebagai berikut:
7 Presiden Soekarno dinilai tidak dapat memenuhi
tanggung-jawab 
konstitusionalnya
7 Presiden Soekarno dinilai tidak dapat menjalankan
Haluan Negara. 
Karena itu MPRS memutuskan melarang Presiden Soekarno
melakukan kegiatan 
politik sejak saat itu sampai dengan Pemilu yang akan
datang
7 Juga menarik mandat MPRS terhadap presiden yang
diatur dalam UUD 1945 
dan mengangkat pengemban MPRS nr. 9 sebagai Pejabat
Sementara (Pjs) 
Presiden Soeharto hingga terpilihnya presiden hasil
Pemilu.
7 Pjs Presiden tunduk dan bertanggung-jawab terhadap
MPRS.
7 Persoalan hukum yang menyangkut Presiden Soekarno
ditentukan sesuai 
hukum yang berlaku dan pelaksanaannya diserahkan
kepada Pjs Presiden.
 
Secara garis besar tindakan Soeharto sejak sebelum
G30S sampai 
pembubaran kabinet bentukan Bung Karno disebut pegamat
asing sebagai creeping 
coup (kudeta merangkak).  Proses kudetanya tidak
langsung menghantam dan 
musuhnya jatuh, melainkan kudeta yang dilakukan secara
mengendap-endap. 
Kata mereka itu kudeta khas Indonesia. Coba saja,
setelah kekuasaan 
beralih Bung Karno masih berstatus sebagai Presiden
RI.
Saat itu - bahkan sampai sekarang - saya melihat
proses peralihan 
kekuasaan tersebut sangat unik. Selain unik, juga
sangat membahayakan 
Soeharto sendiri seandainya perkembangan situasi
mengalami pembalikan. Tetapi 
rupanya Soeharto sudah memperhitungkan semua dengan
sangat matang. 
Terbukti, sama sekali tidak ada bahaya.  Malah,
setelah itu Soeharto 
memperkukuh kekuasaannya dengan memreteli semua
keputusan MPRS yang dirasa 
memberi kewibawaan kepada Bung Karno.
Sebenarnya kudeta merangkak bukan pilihan Soeharto.
Jika prosesnya 
bergerak secara merangkak, itu karena terpaksa.
Soeharto tidak bisa begitu 
saja tampil ke puncak pimpinan nasional. Ia harus
melewati para 
jenderal senior dan berhadapan dengan Bung Karno yang
saat itu begitu kuat.
 
 

AKHIR  HAYAT  UNTUNG
 
 
Setelah ditangkap saya langsung ditahan. Saya diadili
di Mahkamah 
Militer Luar Biasa dengan tuduhan subversi dan
dijatuhi hukuman mati. Jalur 
hukum di atas vonis pengadilan - seperti naik banding
dan kasasi - 
sengaja ditutup sehingga mau tidak mau saya harus
menerima vonis hukuman 
mati itu. Jelas saya sangat terpukul pada saat itu.
Dari posisi orang 
nomor dua di Republik ini, saya mendadak sontak
diadili sebagai penjahat 
dan dihukum mati.
Saya menjalani hukuman awal di Penjara Cimahi Bandung.
Di sana 
berkumpul orang-orang yang senasib dengan saya
(dituduh sebagai penjahat yang 
terlibat G30S).  Di antaranya adalah Letkol Untung
yang memang komandan 
G30S. Selama beberapa bulan kami berkumpul di penjara
walaupun berbeda 
ruangan. Saya dan Untung sudah sama-sama divonis
hukuman mati. Baik 
saya maupun Untung tidak diberi hak untuk menempuh
jalur hukum yang lebih 
tinggi yakni naik banding, apalagi kasasi.
Sampai suatu hari di akhir 1966 Untung dijemput dari
selnya oleh 
beberapa sipir.  Diberitahukan bahwa Untung akan
dieksekusi. Itulah saat-saat 
terakhir Untung menjalani hidupnya. Saya dan Untung
yang sudah akrab 
selama berada dalam satu penjara benar-benar terhanyut
dalam suasana 
haru. Saya bukan hanya terharu tetapi juga bingung,
sedih, bahkan panik. 
Sebab Ahmad Durmawel (oditur militer yang mengadili
saya) saat itu 
memberitahukan bahwa saya akan mendapat giliran
(dieksekusi) empat hari 
kemudian. Saya ingat saat itu hari Selasa. Berarti
saya akan dieksekusi pada 
hari Sabtu.
Sebelum Untung dijemput untuk dibawa keluar penjara,
saya sempat 
menemui Untung.  Saat itu ia sudah ditanya tentang
permintaan terakhir, 
seperti lazimnya orang yang akan dieksekusi. Mungkin
karena Untung sedang 
panik, ia tidak minta apa-apa. Untung juga sudah tahu
bahwa saya akan 
dieksekusi hari Sabtu. Maka pertemuan saya dan Untung
benar-benar luar 
biasa. Kami memang hanya berhadap-hadapan dengan
pakaian seragam 
narapidana, namun hati kami tidak karuan. Untung
segera akan ditembak, sedangkan 
saya empat hari lagi.
Saat itu ada kalimat perpisahan Untung yang saya ingat
hingga sekarang. 
Bahkan saya ingat suasana hening saat Untung
menyampaikan kata 
perpisahannya pada saya. Para sipir dan tentara
berwajah angker yang selalu 
siaga menjaga Untung, mengawasi kami dari jarak agak
jauh. Mereka seperti 
maklum dan memberi kesempatan terakhir bagi Untung
untuk berpesan 
kepada saya.
Untung mengatakan demikian: Pak Ban, selamat tinggal.
Jangan sedih. 
Empat hari lagi kita ketemu lagi di sana katanya
sambil menunjuk ke atas. 
Untung mengucapkan kata perpisahan dengan suara
bergetar. Matanya 
kelihatan berkaca-kaca. Tentara yang gagah berani itu
tidak menangis, tetapi 
saya tahu ia dalam kondisi sangat panik. Ia
benar-benar tidak menyangka 
bakal dikhianati oleh Soeharto.
Jika menengok hari-hari sebelumnya, Untung begitu
sering mengatakan 
kepada saya bahwa tidak mungkin Soeharto akan
mengkhianati dia. Sebab dia 
adalah sahabat Soeharto dan ia mengatakan bahwa
Soeharto mengetahui 
rencana G30S, bahkan memberi bantuan pasukan. Karena
itu dia sangat yakin 
bahwa dia tidak akan dikhianati oleh Soeharto. Tetapi
toh kenyataannya 
berakhir demikian. Menanggapi perkataan Untung, saya
tidak bisa bicara 
apa-apa. Saya hanya mengangguk-angguk. Para sipir dan
tentara yang 
menjaga kami menyaksikan semua adegan singkat tapi
mengharukan ini.
Menjelang senja, Untung dengan pengawalan ekstra ketat
berjalan menuju 
pintu gerbang untuk meninggalkan Penjara Cimahi. Saya
mengamati 
keberangkatan Untung dari penjara. Ia berjalan tegap.
Mungkin ia segera bisa 
menguasai perasaannya yang begitu gundah. Tetapi
mungkin pula ia sudah 
pasrah kepada takdir Allah bahwa memang sampai di
situlah perjalanan 
hidupnya. Saya kemudian mendengar bahwa Untung
dieksekusi di sebuah desa 
di luar kota Bandung. Saya sudah tidak sempat sedih
lagi memikirkan 
nasib Untung, hidup saya sendiri akan berakhir
sebentar lagi. Bila 
mengingat hari-hari itu, saya membayangkan Untung
kecele (salah duga) dengan 
kata perpisahannya kepada saya sesaat sebelum
meninggalkan penjara karena 
ternyata dia tidak menjumpai saya di alam sana.
Terus terang, setelah Untung dieksekusi, saya
benar-benar gelisah. 
Manusia mana yang tidak takut jika hari kematiannya
sudah ditentukan. 
Tetapi - inilah keajaiban -
Presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson dan Ratu
Inggris Elizabeth, 
di luar sepengetahuan saya, mengirimkan surat kawat
kepada Soeharto. 
Saya mengetahui ini dari seorang sumber beberapa hari
kemudian. Isi surat 
dua petinggi negara adidaya itu - ini juga ajaib -
hampir sama.
Intinya berbunyi demikian: Soebandrio jangan ditembak.
Saya tahu, dalam 
G30S dia tidak terlibat. Soal, apakah ini merupakan
intervensi asing 
atau bukan, bagi saya tidak perlu dipikirkan lagi.
Sejak dulu pun 
Indonesia selalu diintervensi oleh negara lain. Yang
penting bagi saya, mereka 
sudah membantu saya dalam kondisi sangat panik. Dan
ternyata kawat 
singkat itu ampuh luar biasa. Akhirnya saya tidak jadi
ditembak mati.
Tentang mengapa dua orang pimpinan negara Barat
membantu saya, sungguh 
tidak saya ketahui. Yang tahu persis hanya mereka
berdua. Saya tidak 
pernah meminta bantuan mereka. Logikanya, tidak ada
waktu bagi saya untuk 
minta bantuan kepada orang lain, apalagi pimpinan
negara lain. Hitung 
saja, saya diberitahu tentang hari eksekusi saya
sekitar lima hari 
sebelumnya. Selama menunggu, saya hanya panik dan
panik.
Lagipula, bagaimana caranya saya minta bantuan kepada
mereka? Saya 
berada di dalam penjara dan dalam pengawasan ekstra
ketat, terutama pada 
hari-hari menjelang eksekusi. Namun jangan lupa, saya
dulu adalah Menteri 
Luar Negeri. Saya akrab dengan mereka berdua. Ketika
perundingan 
tentang pembebasan Irian Barat, saya banyak melobi
pejabat di dua negara itu. 
Juga dalam tugas-tugas yang lain.
Tetapi bagaimana pun saya juga tetap tidak tahu
bagaimana mereka begitu 
yakin bahwa saya tidak terlibat G30S sampai-sampai
mereka dengan 
keputusan yang luar biasa berani mengirimkan kawat ke
Jakarta. Akibat kawat 
itu pula hukuman saya diubah dari hukuman mati menjadi
hukuman seumur 
hidup.
 
 

KARIR  SAYA
Jika ada yang bertanya: lantas mengapa PKI dituduh
sebagai dalang G30S? 
Maka saya akan balik bertanya: siapa yang menuduh
begitu? Jika PKI 
mendalangi G30S atas inisiatif Aidit, maka Indonesia
bakal menjadi lautan 
darah. Bukan hanya banjir darah seperti yang sudah
terjadi. Betapa ngeri 
membayangkan PKI dengan 3 juta anggota didukung 17
juta anggota 
organisasi onderbouwnya berperang melawan tentara yang
hanya ratusan ribu. 
Bila genderang perang benar-benar ditabuh, alangkah
hebat pertempuran yang 
terjadi.
Namun seperti kita saksikan, PKI tidak melakukan
perlawanan berarti 
pada saat dibantai. Itu karena tidak ada instruksi
melawan. Aidit malah 
lari dan lantas ditembak mati. Bung Karno - yang juga
bisa menjadi 
panutan PKI - tidak memerintahkan apa-apa.
Lantas saya dituduh PKI. Tuduhan atau stigma terlibat
PKI bukan hanya 
saya terima sendirian. Banyak tokoh yang tidak disukai
oleh Soeharto 
dituduh PKI. Ini bertujuan politis, agar kekuasaan
Soeharto langgeng. Bagi 
saya tuduhan itu lebih keji lagi.  Saya tidak hanya
dituduh PKI, tapi 
juga dilontarkan julukan yang menyakitkan hati.
Saya dijuluki Durno.
Target penghancuran diri saya oleh kelompok Soeharto
sebenarnya hanya 
sasaran antara. Tujuan utamanya adalah menjatuhkan
Bung Karno. Seperti 
sudah saya sebut, skenario Soeharto merebut kekuasaan
tertinggi ada 4 
tahap:
1. menyingkirkan para perwira yang menjadi saingan
beratnya, seperti A 
Yani dan Nasution (ini terwujud di G30S)
2. melikuidasi PKI, partai besar yang saat itu akrab
dengan Bung Karno 
(ini terlaksana setelah PKI dituduh mendalangi G30S).
3. memisahkan Bung Karno dari para pengikutnya (ini
tercapai saat 
menangkapi 15 menteri - termasuk saya - sekitar
sepekan setelah keluar surat 
perintah 11 Maret 1966).
4. Setelah 3 tahap itu tercapai, Bung Karno dengan
mudah dijatuhkan 
dengan cara seolah-olah konstitusionil melalui
ketetapan MPRS.
 
Nah, saya termasuk sasaran antara tahap ke-3. Saya
bersama 14 menteri 
ditangkap tanpa alasan jelas. Mula-mula saya ditangkap
dengan cara sopan 
oleh tentara: Maaf, pak, kami diperintahkan agar
mengamankan Bapak dari 
kemungkinan amukan rakyat, kata tentara yang menangkap
saya. Lantas, 
kami 15 menteri dikumpulkan di suatu ruangan sekitar
Senayan.
Beberapa hari kemudian baru kami menyadari bahwa kami
bukan diamankan 
tapi ditangkap. Para tentara itu mulai bertindak
kasar. Akhirnya kami 
dipenjarakan. Untuk menghancurkan nama baik kami,
Soeharto menuduh kami 
teribat PKI. Bahkan menambahi saya dengan julukan
Durno. Kami dihinakan 
dan tersiksa lahir dan batin di penjara demi tujuan
Soeharto meraih 
kekuasaan.
Saya memang pernah aktif dalam organisasi politik tapi
di PSI (Partai 
Sosialis Indonesia). Kalau di PKI, saya sama sekali 
bukan anggota atau 
simpatisan, walaupun pada saat saya masih di puncak
kekuasaan dengan 
merangkap tiga jabatan sangat penting, orang-orang PKI
banyak mendekati 
saya. PKI juga mendekati Bung Karno.  Malah, anggota
dan pimpinan PKI 
ada yang menjadi anggota kabinet, bahkan anggota ABRI.
(bersambung)
 
G-30-S versi Soebandrio (4) - habis
BAB  IIIB:  BIO-DATA & KUASA  BERPINDAH
 
 
Agar lebih jelas, saya paparkan sekilas biografi saya.
Saya lahir di 
Kepanjen (selatan Malang), Jatim, 15 September 1914.
Ayah saya, Kusadi, 
adalah Wedono Kepanjen. Ibu saya, Sapirah, adalah ibu
rumah tangga 
biasa. Saya adalah anak kedua dari enam bersaudara.
Saya dibesarkan dalam keluarga Islam yang taat. Untuk
ukuran posisi 
ayah di desa kecil Kepanjen saat itu, keluarga kami
cukup terhormat. Masa 
kanak-kanak saya habiskan di Kepanjen. Saya sekolah di
SR (Sekolah 
Rakyat setingkat SD) di sana.
Lulus SR, saya masuk MULO (setingkat SMP) di Malang.
Sebab, saat itu di 
Kepanjen belum ada sekolah MULO. Lulus MULO saya
lanjutkan ke AMS tahun 
1928. Saya masuk sekolah terlalu dini, sehingga pada
usia 14 tahun saya 
sudah tamat AMS.
Tamat AMS, saya memilih melanjutkan ke sekolah
kedokteran di Jakarta. 
Tempatnya di Jalan Salemba yang kemudian berubah
menjadi Universitas 
Indonesia. Saat itu saya memang ingin menjadi dokter -
sebuah keinginan 
yang bisa dibilang muluk untuk ukuran rakyat Indonesia
saat itu. 
Anak-anak rakyat biasa saat itu paling tinggi hanya
sekolah SR. Saya bisa ke 
sekolah lanjutan, sebab ayah saya merupakan petinggi,
walaupun hanya 
petinggi desa.
Tetapi, dari lima saudara saya, hanya saya yang paling
menonjol di 
sekolah, sehingga bisa melanjutkan sampai ke sekolah
kedokteran. Semasa 
sekolah kedokteran, saya banyak kenal dengan para
pemuda pejuang, termasuk 
Bung Karno. Saya sering ikut diskusi-diskusi mereka.
Dari sana saya 
juga dikenal para pemuda pejuang itu. Saya sendiri
menjadi tertarik 
bergaul dengan mereka.
Saya menyelesaikan sekolah dokter sesuai jadwal, yakni
tujuh tahun. 
Tercapailah keinginan saya menjadi dokter. Lantas saya
mengambil brevet 
dengan spesialisasi bedah perut. Saya selesaikan ini
dalam tiga tahun, 
juga sesuai jadwal. Maka, pada tahun 1938 saya sudah
mengantongi gelar 
dokter ahli bedah. Ketika itu jumlah dokter umum masih
sangat jarang, 
apalagi dokter spesialis. Kalau tidak salah, dokter
ahli bedah hanya ada 
lima orang. Tiga dari Jakarta, termasuk saya, dua dari
Surabaya 
(Universitas Airlangga).
Sebelum lulus, tahun 1936 saya menikah  dengan
Hurustiati, seorang 
mahasiswi tapi beda fakultas dengan saya. Ketika saya
sudah lulus, ia masih 
kuliah. Usia kami hanya berbeda beberapa tahun. Saya
sedikit lebih tua.
Begitu lulus, saya langsung ditarik pemeritah kolonial
menjadi dokter 
di Semarang (sekarang RS Dr. Karjadi). Hanya beberapa
bulan kemudian 
saya dipindahkan ke Jakarta (sekarang RS Dr. Cipto
Mangunkusumo). Ahli 
bedah di sana saat itu hanya dua orang, termasuk saya.
Untuk menyalurkan 
hobi berdiskusi saat mahasiswa, saya masuk PSI.  Hanya
dalam waktu 
beberapa bulan saja, pada 1940 saya sudah menjadi
wakil ketua PSI.
Akhirnya saya mundur dari rumah sakit. Saya juga tidak
praktek pribadi. 
Sepanjang hidup saya juga tidak pernah praktek dokter
pribadi. Karir 
saya di kedokteran selesai sampai di situ, sebab saya
jenuh dengan 
pekerjaan yang menurut saya monoton.  Saya lebih
tertarik berorganisasi. 
Sampai akhirnya proklamasi kemerdekaan dikumandangkan
oleh Bung Karno.
Sekitar tahun 1946 saya ditunjuk oleh Presiden
Soekarno menjadi wakil 
pemerintah Indonesia di Inggris, berkedudukan di
London. Penunjukan itu 
tiba-tiba saja. Tidak melalui proses, misalnya,
menjadi pegawai negeri 
dulu. Mungkin karena saat itu jumlah manusia tidak
sebanyak sekarang. 
Dan, penunjukan Presiden Soekarno langsung saya
terima. Istri saya juga 
setuju.
Ini sebenarnya jabatan duta besar, tetapi kemerdekaan
Indonesia belum 
diakui PBB.  Sehingga saya tidak dipanggil duta besar,
baik di Indonesia 
maupun di Inggris. Bung Karno hanya menyebut jabatan
saya: Wakil 
Pemerintah Indonesia di Inggris.
Sebelum berangkat ke London, saya was-was. Tetapi
setelah di Inggris, 
keberadaan saya ternyata diterima oleh Pemerintah
Inggris. Memang tidak 
ada penyambutan saat saya datang. Saya juga tidak
membayangkan akan 
disambut. Lantas saya membuka kantor di London. Inilah
embrio Kedutaan 
Besar RI untuk Inggris. Dan, itulah awal saya meniti
karir di 
pemerintahan. Jika banyak orang menempati jabatan
Dubes sebagai pos buangan, saya 
malah memulai karir dari pos itu.
Tahun 1950 baru saya disebut Duta Besar RI untuk
Inggris berkedudukan 
di London.  Bagi saya sebenarnya tidak ada perubahan.
Hanya sebutannya 
saja yang berubah. Namun, kemudian reaksi pemerintah
Inggris terhadap 
keberadaan saya di sana secara bertahap berubah ke
arah positif. Saya 
sering diundang ke acara-acara kerajaan, sebagaimana
diperlakukan terhadap 
para duta besar dari negara-negara merdeka lainnya.
Dari seringnya menghadiri undangan acara kerajaan itu
saya sering 
berdekatan dengan Ratu Elizabeth. Saat itu tidak
terbayangkan oleh saya 
bahwa berdekatan dengan Ratu Elizabeth kelak bisa
menyelamatkan nyawa saya 
dari eksekusi hukuman mati yang tinggal menunggu hari
(soal ini sudah 
diungkap di muka). Saya hanya menjalankan tugas
negara. Dan, dalam 
menjalankan tugas, antara lain, harus menghadiri
acara-acara seremonial 
tersebut.
Pada tahun 1954 Presiden Soekarno menarik saya dari
London, dan 
memindahkan saya ke Moskow. Resminya jabatan baru saya
adalah Duta Besar RI 
untuk Uni Soviet di Moskow.  Dua tahun di sana, lantas
saya diperintahkan 
pulang ke Jakarta. Tiba di tanah air saya ditunjuk
oleh Presiden 
menjadi Sekretaris Jenderal Departemen Luar negeri,
menggantikan Roeslan 
Abdoelgani. Sedangkan Roeslan menjadi Menlu
menggantikan Ali 
Sastroamidjojo. Yang unik adalah bahwa Ali turun
jabatan menjadi Dubes RI untuk AS di 
Washington.
Setahun kemudian saya dipanggil oleh Bung Karno.
Setelah menghadap, 
Bung Karno berkata demikian: Bandrio, kamu saya tunjuk
menjadi Perdana 
Menteri. Saya kaget. Itu merupakan suatu loncatan
jabatan yang luar biasa 
- dari Sekjen Deplu menjadi Perdana Menteri.
Menanggapi ini saya 
mengatakan, minta waktu berpikir.
Sesungguhnya saya menolak tawaran itu. Saya merasa
tidak enak dengan 
para senior saya. Memang, saya merasa Bung Karno
menaruh simpati pada 
saya. Tolok ukurnya adalah bahwa Bung Karno sering
menugaskan saya membuat 
naskah pidatonya. Bahkan, pada suatu hari Bung Karno
berpidato di 
Markas PBB. Sebelum tampil Bung Karno meminta saya
membuatkan naskah pidato, 
padahal saya di Jakarta. Namun, tugas itu tetap saya
laksanakan. 
Walaupun saya jarang bertatap muka dengan Bung Karno,
terasa sekali dia 
bersimpati pada saya. Tapi, saya merasa belum mampu
menjadi Perdana Menteri. 
Apalagi saya belum lama pulang ke tanah air, sehingga
saya kurang 
memahami perkembangan situasi terakhir.
Menolak tawaran Bung Karno juga tidak enak. Lantas
jalan keluarnya 
adalah bahwa saya bicara dengan Ketua PNI Suwito. Saya
minta tolong Suwito 
menghadap Bung Karno, untuk menyampaikan keberatan
saya. Sambil 
menyampaikan ini ia mengusulkan nama Djuanda. Ternyata
Bung Karno setuju. 
Jadilah Djuanda Perdana Menteri. Untuk menjalankan
tugasnya dia dibantu 
oleh presidium yang disebut Wakil Perdana Menteri
(Waperdam). Ada dua 
Waperdam, yakni Waperdam-I Idham Khalid dan
Waperdam-II Hardi.  Selanjutnya 
saya menjadi Menlu menggantikan Roeslan.
Setelah Djuanda meninggal dunia, tiga menteri
dipanggil oleh Bung Karno 
- saya sendiri, Menteri Pangan Leimena, dan Menteri
Pemuda Chaerul 
Saleh. Tujuannya adalah untuk mencari pengganti
Djuanda dari tiga menteri 
ini. Proses pemilihannya unik sekali, sehingga tidak
saya lupakan.
Bung Karno memberi kami masing-masing tiga batang
korek api. Semula 
kami bingung.  Bung Karno menyatakan bahwa ini
pemilihan yang adil dan 
demokratis. Masing-masing diberi sebatang korek utuh,
setengah batang 
tanpa pentolan (karena sudah dipatahkan oleh Bung
Karno), dan setengah 
batang dengan pentolan (juga sudah dipatahkan
sebelumnya). Bung Karno 
meletakkan sebuah kantong di meja.
Cara permainannya, batang korek utuh merupakan simbol
saya, setengah 
batang tanpa pentolan menjadi simbol Leimena, dan
setengah batang dengan 
pentolan mewakili Chaerul. Bung Karno minta,
masing-masing memilih satu 
saja untuk dimasukkan ke dalam kantong. Saat
memasukkan korek ke 
kantong, tangan harus menggenggam supaya tidak
diketahui yang lain. Pemilihan 
pun dimulai.
Saya memasukkan setengah batang korek tanpa pentolan.
Artinya, saya 
memilih Leimena. Lantas disusul Leimena dan Chaerul.
Meskipun bentuknya 
sangat sederhana, tetapi inilah pemilihan Perdana
Menteri Indonesia. 
Suasana hening. Bung Karno memandang masing-masing
menteri yang memasukkan 
korek ke sebuah kantong. Sampai semuanya menggunakan
hak pilihnya. 
Apa yang terjadi berikutnya? Bung Karno menumpahkan
isi kantong itu 
secara blak-blakan. Yang tampak: sebatang korek utuh,
setengah batang 
tanpa pentolan, dan setengah batang dengan pentolan.
Lengkap. Bung Karno 
geleng-geleng kepala. Hasil suara seimbang untuk tiga
kandidat. Pemilihan 
macet. Kami saling memandang satu sama lain. Lantas
kami saling 
terbuka. Saya pilih Leimena, sebaliknya Leimena pilih
saya, Chaerul pilih 
dirinya sendiri.
Leimena kemudian bicara. Sebaiknya Soebandrio menjadi
Perdana Menteri. 
Alasannya, Indonesia butuh perhatian penuh di bidang
luar negeri. 
Terutama menyangkut Irian Barat yang statusnya belum
jelas. Untuk itu perlu 
diplomasi internasional. Orang yang tepat adalah
Soebandrio, ujarnya. 
Bung Karno ternyata setuju dan memanggil ajudannya
Brigjen Sabur untuk 
menuliskan keputusan di kertas kop kenegaraan.
Sebelum terlaksana, saya minta bicara. Saya katakan,
tidak perlu 
merombak kabinet.  Sebaiknya Bung Karno selain
Presiden juga Perdana Menteri 
didampingi oleh para Waperdam. Nah, Waperdamnya adalah
kami bertiga. 
Bung Karno juga setuju. Lalu Leimena main tunjuk, saya
Waperdam-I, 
Leimena Waperdam-II, Chaerul Waperdam-III. Hebatnya,
tanpa banyak bicara lagi 
semuanya sepakat.
Tidak lama kemudian saya dibebani satu tugas lagi
sebagai Kepala BPI. 
Maka, saya merangkap tiga jabatan. Semakin jelas bahwa
Presiden 
mempercayai saya. Walaupun cukup berat, namun saya
laksanakan tugas-tugas yang 
diberikan. Saya masih sempat melaksanakan ibadah haji.
Sebagai imbalan, selain digaji, saya juga diberi rumah
cukup di Jalan 
Imam Bonjol 16, Menteng, Jakarta Pusat. Untuk ukuran
saat itu rumah 
tersebut sudah cukup mewah.  Di rumah itu pula saya
memiliki perpustakaan. 
Kelak perpustakaan saya ini dihancurkan oleh penguasa
Orde baru.
Tahun 1958 anak saya yang pertama lahir, dan kami beri
nama Budojo. 
Ternyata hanya itu anak saya, sebab dia tidak punya
adik lagi.
Saat saya menjadi pejabat tinggi negara, ada yang
unik. Saya menjadi 
tukang khitan beberapa anak pejabat. Ceritanya, para
pejabat itu tahu 
bahwa saya adalah dokter ahli bedah. Saat itu sudah
banyak dokter ahli 
bedah. Tapi, entah mengapa mereka minta tolong saya
untuk mengkhitankan 
anak mereka. Ada beberapa anak pejabat yang sudah saya
khitan. Saya hanya 
menolong mereka dengan ikhlas.
Sejak mengundurkan diri dari RS, saya tidak pernah
praktek dokter 
pribadi. Beberapa teman menyayangkan bahwa saya tidak
buka praktek. Sebab, 
saat itu jumlah dokter masih sedikit. Tetapi, karena
sudah menjadi niat 
saya untuk terjun ke dalam kancah politik, saya
tinggalkan bidang 
pekerjaan yang sebenarnya sesuai dengan bidang
pendidikan saya itu. Ya, saya 
harus memilih, dan saya sudah menentukan. Jadinya,
saya hanya menjadi 
tukang khitan anak pejabat.
Sepanjang saya menjadi pejabat tinggi negara, memang
ada beberapa tokoh 
PKI yang akrab dengan saya. Sebagai pejabat tentu saya
akrab dengan 
pimpinan PKI, DN Aidit.  Juga dengan beberapa tokoh
PKI lainnya. Tetapi, 
saya tidak masuk ke dalam keanggotaan partai itu. Saya
juga tidak aktif 
di PSI, sejak menjadi pejabat negara.  PKI saat itu
adalah partai 
besar. Mereka tentu memiliki ambisi politik tertentu,
sehingga mereka tidak 
hanya mendekati saya, tetapi juga pejabat tinggi
negara lainnya, 
termasuk Bung Karno. Bahkan, beberapa tokoh PKI masuk
ke dalam jajaran 
kabinet. Banyak juga di ABRI. Sebab, PKI saat itu
memang partai besar dan 
legal.  Jadi, wajar kalau tokohnya duduk di kabinet
dan ABRI.
Sebagai gambaran, salah satu partai besar saat ini
(tidak perlu saya 
menyebut namanya) menempatkan tokohnya di jajaran
kabinet. Bahkan, ada 
yang masuk ke jajaran ABRI. Bukankah itu hal yang
wajar? Dan, kalau para 
pimpinan partai itu mendekati pimpinan puncak,
presiden dan orang-orang 
terdekatnya, juga wajar. Kondisinya berubah menjadi
tidak wajar setelah 
partai tersebut dinyatakan sebagai partai terlarang.
Itulah PKI.
Saat G30S meletus - seperti sudah saya sebutkan di
muka - saya sedang 
bertugas di Medan. Kami keliling daerah untuk
memantapkan 
program-program pemerintah. Begitu saya diberitahu
oleh Presiden Soekarno, saya 
langsung pulang, dan tiba di istana Bogor bergabung
dengan Presiden Soekarno 
pada 3 Oktober 1965. Setelah itu kondisi negara tidak
menentu. Presiden 
Soekarno sudah menjadi tawanan Soeharto di Istana
Bogor sejak 2 Oktober 
1965.
Sejak itu pula kelompok Bayangan Soeharto menyebarkan
propaganda bahwa 
G30S didalangi oleh PKI. Ketua PKI, DN Aidit, ditembak
mati di Jawa 
Tengah. Namun muncul pengakuan tertulis Aidit - yang
sangat mungkin 
merupakan rekayasa - bahwa ia yang mendalangi G30S.
beberapa tokoh PKI 
lainnya juga ditembak mati, tanpa proses pengadilan.
Semua ini adalah cara 
untuk membungkam PKI, agar tidak bicara. Memang, pada
1 Oktober 1965 
Aidit berada di Halim, pusat pasukan G30S berkumpul.
Namun, saya dengar 
istri Aidit mengatakan bahwa pada tanggal 30 September
1965, malam hari, 
Aidit diculik dan dibawa ke Halim. Aidit terbang ke
Yogyakarta, beberapa 
saat setelah Bung Karno meninggalkan Halim.
Saya sangat yakin bahwa dalang G30S bukan Aidit. Saya
ingat saat saya 
dan Aidit sama-sama menjenguk Bung Karno yang sedang
sakit. Setelah saya 
periksa, Bung Karno ternyata hanya masuk angin.
Tetapi, disebarkan isu 
bahwa Bung Karno sedang sakit berat, paling tidak bisa
lumpuh. Isu 
tersebut merupakan propaganda yang ditujukan untuk
konsumsi publik di luar 
PKI. Sebab, PKI pasti mengetahui, karena Aidit bersama
saya menjenguk 
Bung Karno. Propaganda itu bertujuan untuk memberi
alasan keterlibatan 
PKI dalam G30S. Propaganda itu akan membangun opini
publik bahwa PKI 
bergerak merebut kekuasaan sebelum didahului oleh
pihak lain, mengingat 
sakit kerasnya Bung Karno.
Yang mengetahui rahasia ini hanya Bung Karno, Aidit,
dokter RRC yang 
didatangkan oleh Aidit dari Kebayoran-Baru, Jakarta,
Dokter Leimena, dan 
saya sendiri. Tanpa berniat membela Aidit, saya yakin
bahwa bukan Aidit 
yang mendalangi PKI, sebab saya tahu persis. Kalau
Aidit mendukung 
pembunuhan anggota Dewan Jenderal, memang ya.  Dalam
suatu kesempatan, saya 
dengar Aidit mendukung gerakan membunuh anggota Dewan
Jenderal yang 
dikabarkan akan melakukan kudeta terhadap Presiden.
Sebab, kalau sampai 
Presiden terguling oleh kelompok militer, maka nasib
PKI selanjutnya 
bakal sulit. Tetapi, Aidit hanya sekadar mendukung
dalam bentuk ucapan 
saja.
Tetapi akhirnya propaganda Soeharto melalui media
massa sukses. Kesan 
bahwa PKI mendalangi G30S melekat di benak publik.
Malah diperkaya 
dengan cerita pembantaian para jenderal di Lubang
Buaya oleh kelompok 
Gerwani yang menari-nari sambil menyiksa para
jenderal. Dikabarkan bahwa mata 
para jenderal dicungkil, kemaluannya dipotong,
tubuhnya disayat-sayat. 
Penyiksaan keji ini diberi nama Upacara Harum Bunga -
suatu nama yang 
sangat kontras dengan kekejiannya. Sungguh suatu
cerita yang mengerikan.
Cerita ini diperkuat dengan pengakuan seorang wanita
bernama Jamilah 
dan kawan-kawan yang mengaku sebagai orang Gerwani.
Saya tidak tahu, 
siapa Jamilah itu.  Tetapi cerita ini dipublikasikan
oleh pers yang sudah 
dikuasai Soeharto. Dalam sekejap kemarahan rakyat
terhadap PKI tersulut.
Padahal, cerita yang disebarkan Soeharto itu semua
bohong. Terbukti, 
setelah Soeharto tumbang, para dokter yang membedah
mayat para jenderal 
dulu bicara di televisi: mayat para jenderal itu utuh,
Sama sekali tidak 
ada tanda-tanda penyiksaan. Memang kulit mayat
terkelupas, tetapi 
berdasarkan penelitian, itu karena mayat tersebut
terendam di dalam air 
(sumur) selama beberapa hari.
Saya bukan PKI. Memang, saya pernah menyerukan
penghentian pembantaian 
terhadap pimpinan dan anggota PKI oleh AD pada
pertengahan Oktober 
1965. Itu saat-saat awal PKI dibantai. Seruan saya ini
atas perintah 
Presiden Soekarno yang tidak menghendaki pertumpahan
darah. Bung Karno saat 
itu masih memegang kendali. Beberapa jam setelah G30S
meletus, ia 
memerintahkan agar semua pasukan bersiap di tempatnya.
Jangan ada yang 
bergerak di luar perintah Presiden. Sebab, pada
dasarnya Bung Karno tidak 
menghendaki pertumpahan darah. Namun perintah Presiden
tidak digubris. 
Seruan saya juga tidak dihiraukan. Pambantaian PKI
terus berlangsung.
Malah, sejak itu saya dicap sebagai pro-PKI. Apalagi
saya pernah 
ditugaskan di Moskow. Saya juga pernah ditugaskan
berkunjung (sebagai Menlu) 
ke Beijing, RRC dan diberi tawaran bantuan senjata
gratis oleh pimpinan 
RRC. Sedangkan Moskow dan Beijing adalah poros utama
komunis. Dari 
rangkaian tugas-tugas kenegaraan saya itu lantas saya
dicap pro-PKI. Saya 
sebagai pejabat tinggi negara saat itu tidak dapat
berbuat banyak 
menanggapi cap tersebut. Sebab, bukankah semua itu
karena saya menjalankan 
tugas negara?
Saya merasa cap PKI menjadi mengerikan bagi saya,
setelah PKI dibantai 
habis-habisan. Pada Sidang Kabinet 11 Maret 1966 di
Istana Negara saya 
menjadi incaran pembunuhan tentara, meskipun saat itu
saya masih 
pejabat tinggi negara.  Ketika Istana Negara dikepung
oleh pasukan Kostrad 
pimpinan Kemal Idris dibantu oleh pasukan RPKAD (kelak
berubah menjadi 
Kopassus) pimpinan Sarwo Edhie, jelas saya diincar.
Dari laporan 
intelijen, saya diberitahu bahwa Kemal Idris bersama
pasukannya akan membunuh 
saya. Itu juga atas persetujuan Soeharto. Tetapi
akhirnya saya lolos.
Beberapa hari setelah itu baru 15 menteri ditangkap,
termasuk saya. 
Jika sebelumnya cap pro-PKI terhadap diri saya tidak
terbuka, sejak saya 
ditangkap cap itu semakin menyebar secara luas. Malah,
Soeharto 
menambahi julukan baru bagi saya: Durno.  Sebagai
orang Jawa, tentu saya sangat 
sakit hati diberi julukan itu. Sebab, Durno adalah
tokoh culas dalam 
pewayangan. Durno suka mengadu-domba. Soal julukan ini
saya tidak tahu 
bagaimana asal-usulnya. Yang tahu tentu hanya
Soeharto. Tetapi, ini 
memang bagian dari penghancuran diri saya sebagai
pengikut setia Bung Karno. 
Dan, julukan Durno bagi saya baru muncul setelah saya
ditahan, setelah 
Bung karno mendekati ajal politiknya.
Di dalam penjara, saya sama sekali tidak disiksa
secara fisik. Kalau 
disiksa mental, sudah jelas. Interogasi tak
habis-habisnya hanya untuk 
tujuan menjatuhkan mental. Sebagai mantan pejabat
tinggi negara, saat itu 
mental saya sudah jatuh. Dari pemegang kekuasaan
negara berubah menjadi 
orang tahanan. Mungkin saya mengalami depresi. Istri
saya tentu 
mengalami hal yang sama. Anak saya satu-satunya masih
kecil.
Saya diadili di Mahmilti tidak lama kemudian. Tetapi,
anehnya dakwaan 
buat saya bukan sebagai PKI atau terlibat G30S. Sama
sekali tidak 
menyinggung dua hal pokok itu. Padahal, saya sudah
dicap pro-PKI. Saya sudah 
dijuluki Durno.
Saya diadili karena ucapan saya bisa menimbulkan
kekacauan saat saya 
berkata: Kalau ada teror, tentu bakal muncul
kontra-teror. Beberapa 
setelah G30S meletus, para pemuda yang dimanfaatkan AD
mendesak agar Bung 
Karno diadili. Mereka didukung oleh AD untuk melakukan
demonstrasi dan 
melancarkan teror bagi Bung Karno serta para
pendukungnya. Suatu saat 
saya mengatakan, jika ada teror (dari para pemuda)
maka bakal muncul 
kontra-teror (entah dari mana).
Nah, ucapan saya ini dinilai bisa memancing kekacauan.
Saya dituduh 
melakukan subversi. Sidang berlangsung singkat, lantas
saya dijatuhi 
hukuman mati. Benar-benar pengadilan sandiwara. Mereka
gagal membunuh saya 
secara terang-terangan di Sidang Kabinet 11 Maret
1966, toh mereka bisa 
membunuh saya secara 'konstitusional' di pengadilan
sandiwara ini. Naik 
banding dan kasasi saya tempuh sekadar semacam reflek
menghindari 
kematian. Namun upaya hukum itu percuma. Sebab,
pengadilannya saja sudah 
sandiwara.
Dan, pengadilan sandiwara di banyak kasus seputar G30S
dan PKI di awal 
kepemimpinan Soeharto, kemudian berdampak sangat buruk
bagi Indonesia. 
Sejak itu sampai sekarang, pengadilan sandiwara
merupakan hal lumrah. 
Pengadilan sandiwara kasus seputar G30S merupakan
semacam yurisprudensi 
(rujukan) bagi serentetan amat panjang pengadilan
sandiwara berikutnya. 
Moral aparat hukum rusak berat. Pengadilan berbagai
kasus 
di-subversi-kan berikutnya: Tanjung Priok, Lampung,
demonstrasi mahasiswa yang 
kritis terhadap pemerintah Orde Baru, diadili dengan
pengadilan sandiwara 
merujuk G30S. Bahkan juga kasus-kasus korupsi. Salah
menjadi benar, benar 
menjadi salah.
Ini sama sekali bukan pelampiasan dendam saya terhadap
Soeharto. Tak 
kurang Presiden KH Abdurrahman Wahid (tidak ada
hubungannya dengan saya) 
sampai melontarkan pernyataan bahwa seluruh hakim
Jakarta akan diganti 
dengan hakim impor.
Di dalam penjara, awalnya saya mengalami depresi.
Kesalahan saya 
satu-satunya adalah menjadi pengikut setia Bung Karno.
Namun kemudian saya 
tidak menyesal menjadi pengikut setia Bung Karno,
sebab itu sudah menjadi 
tekad saya. Dan, ini merupakan risiko bagi semua orang
yang 
berkecimpung di bidang politik.
Saya masuk sel isolasi, terpisah dengan napi lain.
Meskipun saya tidak 
disiksa fisik, namun direkayasa sedemikian rupa
sehingga batin saya 
benar-benar tersiksa.  Kondisi penjara yang sangat
buruk, suatu saat 
membuat perut saya terluka dan mengalami infeksi. Saya
tahu, itu obatnya 
sederhana saja. Tetapi, pemerintah tidak menyediakan.
Luka saya dibiarkan 
membusuk digerogoti bakteri. Ketika luka saya sudah
benar-benar parah 
(berulat), baru diberi obat. Rupanya pemberian obat
yang terlambat itu 
memang disengaja. Akibatnya, luka memang sembuh. Namun
sampai kini 
sering kambuh, rasa nyeri luar biasa.
Di dalam, saya dilarang menulis, membaca berita,
dijenguk keluarga atau 
teman (baru beberapa tahun kemudian dibolehkan).
Satu-satunya bacaan 
saya adalah ayat suci Al-Qur'an. Tetapi, bacaan ini
seperti mengembalikan 
saya pada suasana masa kanak-kanak yang agamis. Saya
malah mendapatkan 
ketenangan jiwa yang tidak saya rasakan ketika saya
menjadi pejabat 
tinggi negara.
Akhirnya saya lolos dari hukuman mati karena kawat
dari dua petinggi 
negara adidaya, AS dan Inggris. Hukuman saya diubah
menjadi seumur hidup. 
Tetapi saya tetap ditempatkan di sel isolasi mulai
dari Salemba (Rutan 
Salemba), LP Cimahi, sampai LP Cipinang.
Pada tahun 1978 anak saya Budojo meninggal dunia
karena serangan 
jantung. Ibunya benar-benar mengalami depresi berat.
Sejak saya dihukum, 
hanya Budojo yang membuat ibunya tabah menghadapi
cobaan. Saya bisa 
membayangkan, betapa isteri saya hidup nelangsa. Dari
seorang istri pejabat 
tinggi negara, mendadak berubah menjadi 'istri Durno',
disusul anak 
satu-satunya pun meninggal dunia. Maka, beberapa bulan
kemudian istri saya 
menyusul Budojo, berpulang ke rahmatullah. Tinggallah
saya sendiri. 
Tetap kesepian di penjara. Tidak ada lagi yang
menjenguk.
Tetapi, diam-diam ada seorang wanita yang bersimpati
pada saya. Dia 
adalah mantan isteri Kolonel Bambang Supeno. Bambang
adalah perwira tinggi 
AD yang ikut mendukung G30S atas instruksi Soeharto.
Namun, seperti 
nasib perwira pelaku G30S lainnya, Bambang dihukum dan
akhirnya meninggal 
dunia. Istrinya, Sri Koesdijantinah, janda dengan dua
anak, lantas 
bersimpati pada saya. Kami akhirnya menikah di LP
Cipinang pada tahun 1990. 
Saya sangat kagum pada Sri yang rela menikah dengan
narapidana.  Sangat 
jarang ada wanita setulus dia.
Kini hidup saya tidak sendiri lagi. Meskipun saya
tetap meringkuk di 
sel khusus, tetapi setiap pekan ada lagi orang yang
menjenguk, setelah 
bertahun-tahun kosong.  Sri muncul di saat semangat
hidup saya nyaris 
padam. Setiap pekan dia membawakan saya nasi rawon
kesukaan saya. Juga dua 
orang anak Sri sangat perhatian. kepada saya. Sebagai
sesama korban 
Soeharto, kami menjadi bersatu. Saya lantas menjadi
sadar bahwa bukan 
hanya saya korban kekejaman Soeharto. Ada banyak
korban lain yang jauh 
lebih sengsara dibanding saya. Sri benar-benar membuat
hidup saya bersinar 
kembali.
Pada tanggal 16 Agustus 1995 saya dibebaskan. Saya
pulang bersama Sri 
dan anak-anak. Kami menempati rumah besar di Jalan
Imam Bonjol 16 yang 
dulu saya tinggalkan. Saya seperti bangun tidur di
pagi hari. Saya 
seperti baru saja bermimpi, 30 tahun dalam kegelapan
di penjara. Saya 
seperti menemukan hari baru yang cerah.  Saya bersujud
syukur alhamdulillah, 
masih diberi kesempatan menghirup udara bebas.
Setahun menempati rumah itu, kami merasa kewalahan.
Biaya perawatannya 
sangat mahal. Sebagai seorang dosen di sebuah
perguruan tinggi swasta, 
honor Sri tidak seberapa. Apalagi saya, penganggur
tanpa penghasilan. 
Tiga jabatan sangat penting saya di zaman Presiden
Soekarno tidak 
dihargai sama sekali. Saya tidak diberi uang pensiun.
Akhirnya kami menjual 
rumah besar itu. Sebagai gantinya, kami membeli rumah
lebih kecil di 
Jakarta Selatan. 
Setelah Soeharto tumbang, banyak orang datang kepada
saya, menganjurkan 
saya membuat memoar. Saya sesungguhnya tidak tertarik.
Selain tidak 
memiliki persiapan yang matang, juga tidak ada gunanya
bagi saya 
mengungkap masa lalu. Biarlah itu berlalu. Toh saya
sudah menjalani hukuman 30 
tahun. Toh saya sudah menerima hinaan disebut Durno,
PKI, dan 
sebagainya. Saya sudah ikhlas menerimanya. Saya sudah
legowo. Usia saya sudah 
senja. Tinggal meningkatkan amal soleh dan ibadah,
sebagai bekal menghadap 
Sang Khalik, suatu saat nanti. Apalagi Soeharto
akhirnya tumbang juga. 
Kalau saya mengungkap masa lalu, saya bisa larut dalam
emosi. Maka, 
anjuran itu tidak saya turuti.
Namun, teman-teman sezaman, baik dari dalam maupun
luar negeri terus 
menghubungi saya, baik melalui telepon maupun bertemu
langsung. Mereka 
mengatakan, sejarah G30S sudah dibengkokkan. Kata
mereka, saya harus 
mengatakan yang sebenarnya untuk meluruskan sejarah.
Ini bukan untuk anda, 
tapi penting bagi generasi muda agar tidak tertipu
oleh sejarah yang 
dimanipulir, kata salah seorang dari mereka.
Diinformasikan bahwa salah satu pelaku sejarah G30S
yang amat penting, 
Kolonel Abdul Latief juga membuat buku berisi
pledoinya dulu. Tetapi 
ada dugaan bahwa Latief tidak mengungkap total misteri
G30S. Sebab, 
Mingguan terbitan Hongkong, Far Eastern Economic
Review edisi 2 Agustus 1990 
memberitakan bahwa memoar Latief yang lengkap disimpan
di sebuah bank 
di luar Indonesia dengan pesan, boleh dipublikasikan
jika Latief 
dibunuh. Itu berarti G30S masih misteri.
Saya sempat bimbang. Keinginan saya mengubur masa lalu
seperti digoyang 
begitu kuat. Apalagi banyak penulis kenamaan datang
kepada saya, siap 
menuliskan memoar saya. Dalam kebimbangan itu saya
ingat pada seorang 
wartawan muda yang paling sering mewawancarai saya,
Djono W. Oesman. Dia 
saya hubungi dan saya minta menuliskan cerita saya,
sebab saya percaya 
padanya. Dia pun setuju. Dialah penyunting buku ini. 
Hanya saya dan 
dia yang menyusun potongan-potongan peristiwa yang
saya alami dan saya 
ingat.
Saya menyadari bahwa mungkin banyak kekurangan di
dalam buku ini. 
Maklum, G30S adalah masalah internal AD, dan saya
bukan dari AD. Tetapi saya 
dalah pelaku sejarah G30S yang mengalami semua
kejadian sebelum, saat 
meletus, sampai dampak peristiwa itu. Mungkin, inilah
sumbangan saya, 
bagian dari amal ibadah untuk bekal kehidupan saya di
akhirat kelak. 
Semoga ada manfaatnya. Amin.
( h a b i s )
 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
New DSL Internet Access from SBC & Yahoo!
http://sbc.yahoo.com