[Nusantara] Ibrahim Isa : "INDONESIA HOUSE "MEMPERINGATI PERISTIWA 30 SEPTEMBER 1965.
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 4 06:01:09 2002
“INDONESIA HOUSE” Nederland
MEMPERINGATI “Peristiwa 30 September”
Pada tanggal 27 September yang lalu, INDONESIA HOUSE,
Amsterdsam,
mengorganisasi diskusi bulanan dalam rangka
memperingati “Peristiwa 30
September 1965”. Tampil sebagai pembicara pokok adalah
Sucipto Munandar,
Wakil Ketua SAS (Stichting Azļe Studies, Onderzoek en
Informatie,
Amsterdam – dan mantan Pimpinan Akademi Sosial dan
Politik Aliarcham, Jakarta;
dan wartawan kawakan Belanda, Joop Morļen, mantan
Redaktur “Indonesia
Feiten en Meningen”, suatu penerbitan oleh Komite
Indonesia Nederland.
Suatu kegiatan yang perlu disambut dan disokong
sebagai sumbangan kecil
untuk meluruskan sejarah bangsa kita, dalam rangka
beruangsur-angsur
mengikis kebohongan, pemelintiran sejarah kita serta
pembodohan rakyat
kita oleh Orba, selama lebih dari 32 tahun.
Dalam diskusi yang berlangsung hangat dan hidup,
sesudah 2 makalah
disampaikan masing-masing oleh Sucipto Munandar dan
Joop Morļen, dari
hadirin a.l. diajukan fikiran, tentang perlunya
mengatasi keengganan dan
kekhawatiran sementara korban Peristiwa 30 September
untuk membicarakan
apalagi mengungkap dan bahkan menggugat masih
berlangsungnya “kebal
hukum” (impunity) bagi para pelaku kejahatan
pembantaian 65-66, dan
pelanggaran hak-hak demokrasi/HAM lainnya di
sepanjang periode Orba,
bahkan sampai saat ini. Halmana disebabkan oleh trauma
yang diderita oleh
para korban akibat teror politik dan mental serta
kekejaman luar biasa
yang dilakukan oleh Orba terhadap siapa saja yang
dianggap “terlibat”
ataupun “berindikasi” terlibat dengan ˙ang Orba
namakan sebagai
“Pemberontakan G30S-PKI”.
Juga berlangsung diskusi hangat mengenai masalah:
Bagaimana memandang
dan meneliti Peristiwa 30 September 65. Apakah masalah
G30S itu
sendiri, apakah itu suatu kup, dan kalau itu kup, kup
oleh siapa terhadap
siapa, serta bagaimana peranan fihak luar khususnya
CIA dab Intelijen
Inggris--- dengan tegas dipisahkan dari apa yang
terjadi sesudah itu,
yaitu pembunuhan masal yang dilakukan oleh fihak
militer Suharto, dan
pendukung-pendukungnya ketika itu; dari pelanggaran
hak-hak demokrasi dan
HAM yang terjadi sesudah itu. Pendapat yang menganggap
perlu memisahkan
dua hal tsb, beranggapan bahwa mengenai Peristiwa 30
September itu
sendiri, - - - - itu merupakan kasus yang cukup
rumit. Akan makan waktu
panjang untuk tercapainya suatu kesimpulan. Karena
berbagai fihak punya
pendangannya sendiri. Pandangan-pandangan tsb, bukan
saja
satu-sama-lainnya berbeda, tetapi juga ada yang
linea-recta bertentangan. Bila
kedua hal itu tidak dipisahkan, menurut pandangan
pertama tadi, mak!
a tidak bisa memusatkan pada hal-hal yang sudah jelas
terjadi dan tidak
perlu pembuktian lagi, yaitu pembunuhan masal (yang
diakui sendiri
oleh sementara fihak pelaku, seperti a.l. oleh mantan
komandan RPKAD
ketika itu, Jendral Sarwo Edhie) dan
pelanggaran-pelanggaran hak-hak
demokrasi dan HAM, yang dilakukan oleh Orba.
Maka, menurut pendapat pertama, sebaiknya kedua hal
tsb dipisahkan.
Sedangkan pendapat kedua, yang berbeda dengan
pandangan pertama tadi,
menyatakan bahwa kedua hal tsb: Peristiwa 30 September
itu sendiri, - -
- dan kejahatan terhadap kemanusiaan serta
pelanggaran-pelanggaran HAM
yang terjadi sesudah itu, satu sama lainnya amat erat
berhubungan.
Juga karena, fihak pelaku pembantaian tsb, dalam hal
ini fihak klik
Jendral Suharto dan militernya, dengan sadar
menggunakan Peristiwa 30
September, sebagai DALIH, untuk menjustifikasi dan
membenarkan pembunuhan dan
kejahatan lainnya terhadap rakyat yang tidak bersalah.
Maka antara
sebab dan kelanjutannya tidak bisa dipisahkan.
Dalam diskusi selanjutnya bisa dilihat bahwa
sebenarnya kedua pendapat
tsb tidak mesti bertentangan. Perbedaannya hanyalah
pada penekanan
masalah. Karena, baik pendapat pertama maupun
pendapat yang kedua, tidak
saling menyisihkan tentang perlunya dilakukan
penelitian untuk kedua
kasus, yaitu kasus Perisitwa 30 September itu sendiri,
maupun kasus
kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Jendral
Suharto dan kliknya
terhadap rakyat yang tidak bersalah.
Besok, 30 September 2002, tepat 37 tahun yang lalu
merupakan mula suatu
bencana nasional yang paling besar dalam sejarah
nasion Indonesia.
Bencana tersebut sesungguhnya dimulai pada tanggal 1
Oktober 1965. Maka,
tidaklah salah Bung Karno memberikannya nama
“GESTOK”, pada “G.30S” -
Gerakan 30 September 1965. Sedangkan klik jendral
TNI-AD yang dikepalai
oleh Jendral Suharto, suatu ketika memberikannya nama
GESTAPU.
Maksudnya jelas, untuk secara implisit menyamakannya
dengan GESTAPO, yaitu
suatu kesatuan polisi rahasia Jerman Hiler, mirip
KENPEITAI, suatu kesatuan
polisi militer tentara pendudukan Jepang di
Indonesia, yang amat
kejam. Mengerti tujuan dari Suharto, maka Bung Karno
melakukan
pengkoreksian. Bung Karno memberikannya nama GESTOK,
“Gerakan 1 Oktober”. Memang,
kenyataannya gerakan militer yang berlangsung di
Jakarta pada waktu
itu, terjadi lewat tengah malam, yang jatuh pada
tanggal 1 Oktober 1965.
Mengenai nama apa yang lebih tepat digunakan untuk
Peristiwa 30
September itu, tampaknya, dari fakta sejarah gerakan
itu lebih tepat
dinamakan GESTOK, Gerakan 1 Oktober “. sedangkan dari
fihak pelaku gerakan itu
sendiri, manamakannya “GERAKAN 30 SEPTEMBER”.
Melihat sendiri bahwa
nama GESTAPU itu, tidak begitu “laku” dan tidak
digunakan oleh media
internasional, maka Jendral Suharto mnggantikannya
dengan nama
‘G30S-PKI”. Didepan kata-kata “G.30.S” diselipkan kata
“pemberontakan”,
kemuudian dibelakang ditambah kata “PKI”. Penamaan
terakhir dari klik Jendral
Suharto, yaitu “Pemberontakan G30S-PKI”, mengungkapkan
maksud strategis
mereka yang sesungguhnya, yaitu mengarahkan ujung
tombak serangan
mereka kepada PKI. Jadi, G30S itu sekadar stasiun
perantara saja, yang pokok
adalah menampilkan PKI sebagai “pemberontak”, yang
harus
dihancur-musnahkan. Ujung tombak pada PKI , punya
latar belakang yang lebih besar
dan lebih strategis lagi, bisa dikatakan tujuan
terkahir yang !
nyambung dengan strategi “Perang Dingin” mengenai
Indonesia, yaitu
menggulingkan pemerintahan Presiden Sukarno.
Tidak sulit untuk melihat bahwa sesungguhnya sejak
Proklamasi Republik
Indonesia, 17 Agustus 1945, Amerika Serikat dan Blok
Barat yang
dikepalainya, secara berencana dan terus menerus
berusaha untuk memasukkan
Republik Indonesia ke dalam blok Anti-Komunis Amerika
Serikat. Satu kali
tempo melalui jalan diplomasi, seperti yang dilakukan
oleh utusan AS
dalam Komisi Tiga Negara, yang berusaha untuk
mengkompromikan fihak-fihak
Republik Indonesia dan Nederland, pada tahun-tahun
perang kemerdekaan
(1945-1949), dengan “Red Drive Proposalnya” terhadap
RI. Usaha ini
dilanjutkan sesudah kemerdekaan Indonesia diakui
secara internasional
dengan ditandatanganinya Persetujuan Konferensi Meja
Bundar (KMB) antara
Republik Indonesia dan Nederland. Yaitu dalam bentuk
mendesakkan kepada
Indonesia untuk ambil bagian dalam persetujuan militer
dengan Amerika
(Mutual Security Act), kemudian melalui usaha untuk
menarik Indonesia
masuk menjadi anggota SEATO – South East Asia Treaty
Organization -.
Ketika usaha-usaha “lunak » ataupun “diplomatis’
Amerika ini ditolak
oleh Indonesia, yang menjalankan politik luarnegero
yang “BEBAS AKTIF
UNTUK PERDAMAIAN DUNIA DAN MENYOKONG GERAKAN
KEMERDEKAAN DI ASIA DAN
AFRIKA”. Politik luarnegeri Indonesia ini amat jelas
termanifestasi dengan
usaha Indonesia mempersatukan bangsa-bangsa
Asia-Afrika untuk
mentuntaskan tugas dekolonisasi di Asia dan Afrika,
dalam inisaitif dan
pengorganisasin KONFERENSI ASIA – AFRIKA DI BANDUNG,
April 1955 -Amerika
beralih ke cara “under-cover” , yang terutama
menggunakan CIA untuk
melakukan intervensi militer lewat pemberontakan
PRRI/Permesta. Ketika semua
ini gagal, meletuslah “Red Drive” secara besar-besaran
yang telah
menimbulkan lebih sejuta korban rakyat Indonesia yang
tidak bersalah.
Dimulai, dengan direbutnya kekuasan negara oleh
Suharto pada bulan Oktober
1965, dengan licik dan canggih menggunakan Perisitiwa
Gerakan 30
September, dan terbunuhnya 6 jendral dan seorang
pewira menengah, menggu!
lingkan dan akhirnya menahan serta membunuh (secara
peralahan-lahan)
Presiden Republik Indonesia Ir. Sukarno.
PENGGULINGAN PRESIDEN SUKARNO akhirnya dicapai oleh
Amerika Serikat,
Inggris dan Blok Barat, lewat tercetusnya Peristiwa 30
September 1965,
melalui penghancuran PKI dan kekuatan Kiri Indonesia,
sesudah
dilakukannya pembantaian lebih sejuta rakyat yang
tidak bersalah, lewat
penghancuran hak-hak demokrasi dan HAM di Indonesia.
Yang berlangsung terus
selama 32 tahun sampai digulingkannya Suharto oleh
Gerakan Reformasi dan
Demokratisasi di Indonesia.
Di bawah ini disajikan pokok-pokok makalah yang
dikemukan oleh SUCIPTO
MUNDANDAR di dalam diskusi kemarin di INDONESIA HOUSE,
sbb:
POKOK-POKOK MAKALAH SUCIPTO MUNANDAR:
TEGAKNYA ORBA MEMBUNUH PERGERAKAN KEMERDEKAAN
NASIONAL!
Versi rezim Orba mengenai kejadian-kejadian 30
September 1965 dan
peristiwa-peristiwa selanjutnya mendominasi masyarakat
Indonesia selama 30
th lebih. Setiap pandangan yang menyimpang dari versi
itu tidak
ditolerir dan ditindas/ditindak. Hanya di l.n. dapat
beredar pengupasan dan
analisa yang berusaha secara obyektif dan berdasarkan
fakta memahami apa
sesungguhnya yang terjadi.
Rezim Orba atas dasar versi menuduh PKI sebagai dalang
G30S mengambil
tindakan merepresi seluruh gerakan demokratik,
menangkap dan membunuhi
ratusa ribu orang atas tuduhan PKI atau penganut
aliran Kiri.
Tapi pada tahun-tahun terakhir rezim Orba muncullah
makin santer
suara-suara yang meragukan versi pemerintah itu.
Pendapat-pendapat itu
dipublikasi dalam berbagai penerbitan. Misalnya
“Primadosa” oleh Wimanjaya.
“Memoar Oei Tjoe Tat”, buku Manai Sophian “Kehormatan
Bagi Yang Berhak”,
“Bayang-bayang PKI”, terbitan ISAI, dll.
Buku putih terbitan Sekretariat Negara “Gerakan 30
September –
pemberontakan partai komunis Indonesia” yang bertujuan
memperkuat versi
pemerintah, malah manambah keraguan pada versi
pemerintah itu sendiri.
Dengan turunnya presiden Suharto, 21 Mei 1998, sebagai
hasil perlawanan
massa rakyat, khususnya gerakan mahasiswa, rakyat
meraih beberapa
kebebasan berexpresi. Kelaliman rezim Orba Suharto di
berbagai bidang
kekuasannya mulai diungkap, termasuk penindasan dan
pembunuhan gerakan kiri
dan demokratis sejak September 1965. Ex-menlu
Subandrio menerbitkan
kesaksiannya mengenai G30S. Walau mula-mula
penerbitannya mendapat
hambatan, akhirnya dapat juga disebarkan secara luas.
Omar Dhani, ex-pangau
yang divonis hukuman mati yang kemudian diubah menjadi
seumur hidup, dalam
bukunya « Tuhan, pergunakanlah hati, pikiran dan
tanganku » memuat
lengkap pidato pembelannya di depan Mahmilub. Dari
proses pengadilan itu
jelas sekali bahwa bukan kebenaran dan keadilan yang
dikejar Mahmilub.
Penghukuman dan vonis sudah ditetapkan sejak semula.
Penerbitan penting
adalah pledoi kolonel Latief yang melibatkan Suharto
dalam peristiwa
G30S, karena sudah dilapori oleh Latief sebelum
gerakan dimulai. Sa!
lah seorang tokoh PKI, Hasan Raid, menerbitkan
otobiagrafinya dengan
judul “Pergulatan Muslim Komunis”. Pada tahun 2001
Maulwi Saelan, ex
wakil komandan Cakrabirawa menerbitkan memoarnya
berjudul “Dari Revolsui
Agustus 1945 sampai kudeta 1966”. Menurut berita di
internet, pada 1
Oktober yad ini, akan ada peluncuran dan bedah buku dr
Ribka Ciptaning
berjudul “AKU BANGGA JADI ANAK PKI”.
Selama di Indonesia dapat dipertahankan dan diperkuat
kebebasan
menyatakan pendapat dan kebebasan penerbitan, pasti
penerbitan demikian akan
susul-menyusul. Sesuatu yang patut kita sambut demi
memperoleh
kejernihan mengenai tragedi nasional yang menimpa
bangsa Indonesia pada 37 tahun
yang lalu.
Selain publikasi berbagai penerbitan itu perlu kita
catat adanya
seminar, sarasehan, diskusi dls mengenai tema “
Peristiwa G30S”. Timbul juga
tuntutan supaya buku pelajaran sejarah di
sekolah-sekolah dikoreksi. Di
salah satu sekolah di Jakarta, para siswa menggugat
guru sejarah dalam
kaitan uraiannya mengenai G30S. Para siswa
mengorganisasi forum studi
dengan mengundang berbagai narasumber yang relevan.
Kelanjutan dari kegiatan-kegiatan ini maka di kalangan
masyrakat
Indonesia penamaan G30S mulai dilepas kaitannya dengan
PKI. Walaupun tetap
ada kalangan yang keras mengkaitkan G30S dengan PKI.
Untuk mengenal peranan luarngeri dalam kaitan dengan
peristiwa G30S
sangat penting, bahwa belum lama ini dipublikasi dalam
bahasa Indonesia
“Dokumen CIA – Melacak Penggulingan Sukarno dan
konspirasi G30S 1965”.
Semua dokumen dalam buku ini dibuka secara resmi
kepada publik oleh State
Department USA. Kata pengantar pada buku ini mengutip
kata-kata Bung
Karno, bahwa “Abad ke-20 adalah abad intervensi!”
Intervensi
asing/Amerika dalam politik dalamnegeri-negeri lain,
d.h.i. Indonesia. Kita tentu
mengenal buku George Kahin, “Subversion as Foreign
Policy”. Intervensi
dan subversi tak dapat dipisahkan dengan pekerjaan
intelijen. Maka kata
pengantar tsb dengan mengkaji dan mendalami rumusan
Bung Karno tentang
Abad Intervensi, menyimpulkan, bahwa secara hakiki
tepat sekali
menamakan abad ke-20 juga sebagai “Abad Intel”.
Meneliti masalah G30S dan peristiwa-peristiwa
lanjutannya, demi
mengungkapkan fakta-fakta yang benar dengan pasti
terkait dengan pekerjaan
intel yang complicated. Syarat-syarat untuk meneliti
G30S lebih tersedia
sekarang, tapi belum mungkin diahiri dengan memuaskan.
Siapa mendalangi
G30S masih tandatanya. Tetapi atas dasar belum ada
kejelasan mengenai
dalam itu, rezim Suharto lpada 37 tahun yl bertindak
dengan melanggar
perintah Bung Karno, membubarkan PKI dan semua
organisasi kiri dan
demokratis, melancarkan penangkapan dan pembunuhan
sewenang-wenang dan
besar-besaran. Rezim Orba dibangun atas dasar
pembunuhan dan penindasan ini.
Tegaknya rezim Orba pada hakekatnya membunuh
pergerakan kemerdekaan
nasional yang dibangun sejak awal abad ke-20, suatu
pergerakan yang
mempersatukan aliran-aliran polititik besar
nasionalis, agama dan komunis,
yang berhasil memproklamasikan kemerdekaan Indonesia
dan berdirinya
Republik Indonesia. Penghancuran kekuatan pergerakan
nasional itu menja!
di benih integrasi bangsa.
Fakta-fakta mengenai pembunuhan/pembantaian yang
terjadi sejak 1965
–1966 juga makin banyak tersingkap. Yayasan Penelitian
Korban Pembunuhan
(YPKP) 1965-1966 sejak beberapa tahun melakukan
penelitian untuk dapat
mendata jumlah korban dan daerah kejadian. Hermawan
Sulistiyo dalam
bukunya “Palu Arit di Ladang Tebu”menulis tentang
pembantaian masal
1965-1966 di daerah Jombang dan Kediri. Ada juga
desertasi Iwan Gardono
Sujatmiko yang membahas pembunuhan itu dan membuat p
yaerbandingan Jawa Timur
dan Bali. Setahu saya disertasi ini belum luas
tersebar. Studi-studi
itu hanya bisa dilakukan di universitas-universitas
luarnegeri. Kita
sesungguhnya masih sangat sedikit mengetahui skala
pembantaian dan
lingkungan kawasan yang dicakupnya. Ada perkiraan
bahwa kita hanya tahu 5 –
10% tentang apa yang sesungguhnya terjadi.Ada yang
mengira bahwa itu
terjadi pada pokoknya di Jawa-Bali dan Sumatera.
Sedang mulai terungkap
bahwa di pulau Flores pun terjadsi pembantaian.
Semua terjadi tanpa dasar hukum « impunity » kekebalan
hukum para
pelakunya yang tidak bisa diganggu-gugat selama
tigapuluhtahun lebih. Rezim
Suharto telah menyusun sistem kekuasaan yang bersandar
pada penanaman
ketakutan di kalangan rakyat. Walaupun rezim Suharto
sudah diganti,
sudah dilaksanakan pemilihan demokratik dan disusun
pemerintah baru,
sendi-sendi kekuasaan yang dibangun suharto belum
diruntuhkan. « Impunity »,
kekebalan hukum masih belaku seperti terbukti dalam
praksis militer di
Aceh, Papua, Maluku dan daerah-daerah lain.
Satu warisan yang ditinggalkan dari kejadian-kejadian
pada 37 tahun
y.l. ialah para korban pembunuhan, korban penangkapan
dan anak-cucu para
korban tersebut. Rezim Orba merupakan rezim yang
membuat napol/tpol
dalam jumlah terbesar dalam sejarah Indonesia modern.
Ratusan ribu
tapol/napol dalam jumlah terbesar dalam sejarah
Indonesia modern. Ratusan ribu
tapol/napol dengan keluarga isteri-anak-cucu berjumlah
jutaan yang
selama bertahun-tahun diperlakukan sebagai paria.
Bahkan pada saat inipun
belum ada rehabilitasi.
Presiden Abdurrahman Wahid dengan lapang dada berusaha
melangkah ke
arah rehabilitasi itu dengan menyatakan maaf atas
pembunuhan-pembunuhan
masalalu. Beliau mengajukan usul supaya mencabut
Ketetapaan MPRS 25/1966
mengenai larangan atasPKI dan Marxisme-Leninisme. Ini
usul yang
berangkat dari pendirian prinsipil untuk
sungguh-sungguh menegakkan syarat
masyarakat demokratik di Indonesia, bukan karena
setuju atgau melarang
PKI. Tapi usul itu ditolak meyoritas MPR dan bahkan
Gus Dur kemudian
digulingkan.
Kesewang-wenangan menangkap dan membunuh orang dengan
merasa kebal
hukum (impunity) menjadi karakteristik rezim Suharto
dan diwujudkan dalam
berbagai katagori tapol/napol.
Pada bulan Januari 2002 ini di Jakarta diselenggarakan
temu raya
X-Tanapol dan DPO yang dihadiri 600 orang lebih. Dari
para peserta itu,
mayoritas adalah ex-tanapol G30S. Disamping itu ada
dari ex-DI/TII, Papua,
Komando Jihad, gerakan mahasiswa 1977-78, Borobudur,
Lampung, PRD, 27
Juli, HKBP, Tanjung Priok, buruh, tani,
golput/mahasiswa, primadosa,
usroh dll. Segi baiknya temu raya ini bahw ex-tanapol
dari latarbelakang
sosial-politik yang sangat berbeda-beda dapat bertemu
atas dasar
kesamaan nasib, yaitgu sama-sama pernah menjadi
tanapol dan DPO rezim orde
baru Suharto dan bertemu sebagai sesama warganegara
bangsa Indonesia. Ini
menunjukkan bahwa diantara sesama warganegara bangsa
Indonesia dapat
ditumbuhkan saling penngertian dan tak diperlukan
rekonsiliasi khusus.
Masalahnya bukan antara sesama tanapol, tapi antaqra
negara/kekuasaan
dengan warga masyarakatnya. Yang harus dikoreksi
adalah perlakuan negara
yangtidak adil, sewenang-wenang dan diskriminatif atas
warganegaranya
sendiri. Koreksi ini hanyalah dengan pengakuan
kesakahannya, dengaqn
rehabilitasi – memulihkan semua hak sebagai
warganegara Indonesia.
Tanapol G30S boleh dikatakan meliputi segala
lapisan/sektor/katagori
masyarakat. Mereka mengorganisir diri dalam berbagai
organisasi atau
kelompok untuk kepentingan advokasi. (Sedikitnya
terdapat 11 organisasi
semacam itu – I.I.)). Diluar negeri pun terdapat
jumlah yang tidak kecil
warga Indonesia yang tersebar di berbagai negeri
Eropa, Amerika dan Asia
yang dicabut kewarganegaraannya dan terancam
keselamatannya bila pulang
ke Indonesia. Gus Durlah yang juga memberi perhatian
pada masalah tsb.
Dengan Instruksi Presiden Pertama Januari 2000 beliau
mengirim Menteri
Kehakimannya ke Belanda untuk memecahkan masalah ini.
Tapi sampai
September 2002 ini belum ada langkah hukum konkret
apapun yang menuju
pemecahannya.
Bagaimana harapan ke depan bagi semua « korban »
orde baru ini ? Kita
harus realis !
Dalam kondisi Indonesia sekarang ini yang
bertumpuk-tumpuk masalah
mendesak yang menuntut pemecahan, yang satu lebih
urgen dari yang lain,
sama-sama menempati prioritas, tidak dapat diharapkan
apa-apa.
Usaha berbagai organisasi itu adil dan perlu
dilanjutkan betapa
beratpun rintangannya. Tapi usaha itu harus berpadu
dengan usaha bersama-sama
di bidang-bidang yang dapat digeluti untuk
memperjuangkan
demokratisasi, menegakkan keadilan hukum,
mengorganisir bermacam-macam organisasi
massa rakyat yang memperjuangkan dan membela
kepentingannya di berbagai
sektor measyarkat. Perlu menuntut pada pemerintah,
tapi rakyat tidak
menggantungkan diri pada kemauan baik, melainkan
memberdayakan diri di
semua bidang kegiatan masyarakat.
Pada saat ini nampaknya proses itu sedang berjalan.
Kita, menurut
syarat yang ada pada kita masing-masing wajib
berpartisipasi dalam proses
itu.
<Pokok-pokok Makalah SUCIPTO MUNANDAR, selesai>
=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
__________________________________________________
Do you Yahoo!?
New DSL Internet Access from SBC & Yahoo!
http://sbc.yahoo.com