[Nusantara] Surat Lama Prof. Wertheim, Menguak Keterlibatan Soeharto pada G-30-S (Bagian I)
gigihnusantaraid
gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 4 06:36:11 2002
Surat Lama Prof. Wertheim, Menguak Keterlibatan Soeharto pada G-30-S
(Bagian I)
Gigih Nusantara :
Prof. W.F.Wertheim, menetap di Wageningen, Negeri Belanda, pernah
menjabat gurubesar pada Rechtshogeschool di Batavia (sekarang FHUI).
Sesudah itu, dari tahun 1946 sampai 1972 menjadi
gurubesar pada Universiteit van Amsterdam. Dan berikut ini jawaban
Prof. Wertheim soal Latief yang ditulisnya dalam bahasa Indonesia
dan diterbitkan sebagai suplemen pada majalah ARAH, No. 1 tahun
1990. Makalah Prof. Wertheim ini pernah disampaikan dalam sebuah
ceramah pada tanggal 23 September 1990 di Amsterdam. Karena
panjangnya, saya akan membaginya menjadi empat bagian. Selamat
membaca, semoga memberi penerangan dan mungkin membangkitkan niat
untuk berdiskusi lebih lanjut dalam berbagai net anda! (Bagian I)
----------------------------------------------
SEJARAH TAHUN 1965 YANG TERSEMBUNYI
Oleh Prof. Dr. W.F. Wertheim
Para hadirin yang terhormat!
Saya minta ijin untuk, sebelum mencoba memberi analisa tentang
peristiwa 1965, lebih dahulu menceritakan bagaimana terjadinya bahwa
saya, walaupun mata pelajaran saya sosiologi, lama kelamaan mulai
merasa diri sebagai pembaca suatu detective story yang cari
pemecahan suatu teka-teki.
Dalam tahun 1957 saya bersama isteri saya mengajar sebagai guru
besar tamu di Bogor. Saya pernah bertemu dengan ketua PKI Aidit dan
beberapa tokoh lain dalam pimpinan partai. Aidit menceritakan
tentang kunjungannya ke RRC, baru itu; dari orang lain saya dengar
bahwa Mao Zedong bertanya pada Aidit: "Kapan kamu akan mundur ke
daerah pedesaan?"
Ucapan itu saya masih ingat waktu dalam tahun 1964 saya terima
kunjungan di Amsterdam dari tokon terkemuka lain dari PKI, Nyoto,
yang pada waktu itu ada di Eropa untuk menghadiri suatu konperensi
di Helsinki. Saya mengingatkannya bahwa keadaan di Indonesia pada
saat itu mirip sekadarnya
kepada keadaan di Tiongkok dalam tahun 1927, sebelum kup Ciang
Kaisyek. Pendapat saya ialah bahwa ada bahaya besar bahwa militer di
Indonesia juga akan merebut kekuasaan. Saya anjurkan dengan keras
supaya golongan kiri di Indonesia mempersiapkan diri untuk
perlawanan dibawah tanah, dan mundur ke udik. Jawaban Nyoto ialah
bahwa saat bagi militer untuk dapat rebut kekuasaan sudah terlambat.
PKI telah terlalu kuat baik dalam badan perwira maupun dalam badan
bawahan tentara dan angkatan militer yang lain. Saya tidak berhasil
meyakinkan Njoto.
Pagi 1 Oktober '65 kami dengar siaran melalui radio tentang formasi
Dewan revolusi di Jakarta. Sahabat saya, Prof. De Haas menelpon saya
dan menyatakan: "Itu tentu revolusi kiri!" Saya menajawab: "Awas,
menurut saya lebih masuk akal: provokasi!". Pada tanggal 12 Oktober
kami dengar bahwa Jendral Suharto,yang belum kenal kami namanya,
telah berhasil tangkap kekuasaan. De Haas telepon saya lagi, dan
mengatakan: "Saya takut mungkin kemarin Anda benar!"
Seminggu sesudahnya saya terima kunjungan dari kepala sementara
kedutaan RRC di Den Haag. Ia rupanya memandang saya sebagai ahli
politik tentang Indonesia, dan ia hendak mengetahui: "Apa yang
sebenarnya situasi politik di Indonesia sekarang?" Jawaban saya
ialah: "Tentu Anda sebagai orang Tionghoa dapat mengerti keadaan!
Sangat mirip kepada yang terjadi di Tiongkok dalam tahun 1927 waktu
Ciang Kaisyek mulai kup kanan dengan tentaranya, dan komunis kalah,
di Syanghai, dan lantar di Hankau (Wuhan) dan di Canton
(Guangzhou)". Ia tidak mau setuju.
Di bulan Januari tahun 1966 saya terima dari beberapa rekan yang
saya kenal, yang mengajar di Cornell Univesity di A.S.,
suatu 'Laporan Sementara' tentang peristiwa September-Oktober di
Indonesia. Mereka sangat menyangsikan apakah peristiwa itu benar
suatu kup komunis, seperti dikatakan oleh penguasa di Indoensia dan
oleh dunia Barat. Yang terima laporan itu, boleh memakai bahannya
(begitu mereka tulis kepada saya), tetapi untuk sementara tanpa
menyebut sumbernya, oleh karena mereka masih mencari bahan tambahan,
dan meminta reaksi dan informasi lagi.
Dengan mempergunakan bahan dari laporan Cornell itu, saya menulis
suatu karangan yang dimuat dalam mingguan Belanda "De Groene
Amsterdammer" pada tanggal 19 Februari 1966, dengan judul "Indonesia
berhaluan kanan" Dalam karangan itu saya tanya: mengapa di dunia
Barat sedikit saja perhatian terhadap pembunuhan massal di
Indonesia, kalau dibanding dengan tragedi lain di dunia, yang kadang-
kadang jauh lebih enteng daripada yang terjadi di Indonesia baru-
baru ini? Barangkali alasannya bahwa pandangan umum seolah-olah
golongan kiri sendirilah yang bersalah - apakah bukan mereka sendiri
yang mengorganisir kup 30 September dan yang bersalah dalam
pembunuhan 6 jendral itu? Maka dalam karangan itu saya mencoba
memberi rekonstruksi peristiwa-peristiwa dan menarik kesimpulan
bahwa sedikit sekali bukti tentang golongan PKI bersalah dalam
peristiwa itu. Saya juga tambah bahwa cara perbuatan dengan menculik
dan membunuhi jenderal tidak mungkin berguna untuk PKI - jadi salah
mereka tidak masuk akal. Lagi hampir tidak ada persiapan dari
golongan kiri untuk menghadapi situasi yang akan muncul sesudah kup.
Dalam karangan itu saya juga menyebut kemiripan kepada peristiwa di
Shanghai dalam tahun 1927, yang juga sebenarnya ada kup dari
golongan reaksioner.
Kesimpulan saya dalam karangan di "Groene Amsterdammer"
itu: "Terminologi resmi di Indonesia masih adalah kiri, akan tetapi
jurusannya adalah kanan".
Kemudian, dalam bulan Februari tahun '67, Mingguan Perancis "Le
Monde" mengumumkan wawancara dengan saya. Dalam wawancara saya
bertanya: "Mengapa Pono dan Sjam, yang rupanya tokoh penting dalam
peristiwa 65 itu, tidak diadili? Dikatakan dalam proses yang telah
diadakan, misalnya proses terhadap Obrus Untung, bahwa mereka itu
orang komunis yang terkemuka. Apa yang terjadi dengan mereka itu,
khususnya dengan Sjam, yang agaknya seorang provokatir, yang pakai
nama palsu?"
Mencolok mata bahwa beberapa minggu sesudah wawancaranya itu ada
berita dari Indonesia bahwa Sjam, yang namanya sebenarnya
Kamaruzzaman, ditangkap. Saya dengar kabar itu di radio Belanda,
pagi jam 7. Dikatakan bahwa Sjam itu sebagai seorang Double agent!
Saya ingin dengar lagi siaran jam 8 diulangi bahwa Sjam ditangkap,
tetapi kali ini TIDAK ditambah bahwa ia double agent! Rupanya dari
kedutaan Indonesia ada pesan supaya istilah itu jangan dipakai!
Tetapi saya dapat Sinar Harapan dari 13 Maret '67, dan di sana ada
cerita tentang cara Sjam itu ditangkap. Dan judul berita
itu: "Apakah Sjam double agent?" Tetapi sesudahnya di pers Indonesia
istilah double agent itu tidak pernah diulangi lagi.
Dalam semua proses di mana Sjam muncul sebagai saksi atau terdakwa,
Sjam selamanya dilukiskan sebagai seorang komunis yang sejati, yang
dekat sekali dengan ketua Aidit. Ia selalu MENGAKU bahwa dia yang
memberi semua perintah dalam peristiwa 1 Oktober, tetapi ia selalu
tambah bahwa yang sebenanrya memberi perintah itu Aidit yang juga
ada pada hari itu di Halim, dan yang sebenarnya menurut Sjam dalang
dibelakang segala yang terjadi.
Tentu Aidit tidak dapat membela diri dan membantah segala bohong
dari Sjam, oleh karena ia dibunuh dalam bulan November 1965 tanpa
suatu proses, ditembak mati oleh Kolonel Jasir Hadibroto. Begitu
juga pemimpin PKI lain, seperti Njoto dan Lukman, tidak dapat
membella diri di
pengadilan. Tentulah segala eksekusi tanpa proses itu membantu Orde
Baru dalam menyembunyikan kebenaran. Sudisman diadili, tetapi
pembelaannya tidak mendapat kemungkinan untuk mengajukan hal-hal
yang melepaskan PKI dari sejumlah tuduhan: ia dipaksa untuk mencoret
bagian tentang hal itu dari pleidoinya!
Waktu Sjam kedapatan sebagai double agent yang sebagai militer masuk
kedalam PKI untuk mengintai, saya mulai menduga pula bahwa Suharto
sendiri mungkin terlibat dalam permainan-munafik. Pada tanggal 8
April 1967 di mingguan "De Nieuwe Linie" dimuat lagi wawancara
dengan saya. Dalam wawancara ini saya telah menyebut kemungkinan
bahwa "kup" dari 1 Oktober 1965 adalah satu provokasi dari kalangan
perwira; dan waktu itu saya telah TAMBAH bahwa Suhartolah yang
paling memanfaatkan kejadian-kejadian. Saya mengatakan begitu:
"Aneh sekali: kalau semua itu akan terjadi di suatu cerita
detektive, segala tanda akan menuju kepada dia, Suharto, paling
sedikit sebagai orang yang sebelumnya telah punya informasi.
Misalnya setahun sebelum peristiwa 65, Suharto turut menghadiri
pernikahan Obrus Untung yang diadakan di Kebumen. Untung dahulu
menjadi orang bawahan Suharto di tentara. Lagi, dalam bulan Agustus
tahun 65, Suharto juga bertemu dengan Jenderal Supardjo, di
Kalimantan. Dan mereka, Untung dan Supardjo, telah main peranan yang
utama dalam komplotan. Aneh lagi, bahwa Suharto tidak ditangkap
dalam kup, dan malahan KOSTRAD tidak diduduki dan dijaga pasukan
yang memberontak, walaupun letaknya di Medan Merdeka dimana banyak
gedung diduduki atau dijaga. Semua militer mengetahui bahwa kalau
Yani tidak di Jakarta atau sakit, Suhartolah sebagai Jenderal senior
yang menggantikannya. Aneh juga bahwa Suharto bertindak secara
sangat efisien untuk menginjak pemberontakan, sedangkan grup Untung
dan kawannya semua bingung." Wawancara itu saya akhiri dengan
mengatakan: "Tetapi sejarahpun lebih ruwet dan sukar daripada
detective-story".
Begitulah pendapat saya di tahun 1967.
Tetapi dalam tahun 1970 terbit buku Arnold Brackman, jurnalis A.S.
yang sangat reaksioner; judulnya "The Communist Collapse in
Indonesia". Di halaman 100 Brackman menceritakan isi suatu wawancara
dengan Soeharto, agaknya dalam tahun 1968 atau 1969, tentang suatu
pertemuan Suharto dengan Kolonel Latief, tokoh yang ketiga dari
pimpinan kup tahun 65. Isinya:
"Dua hari sebelum 30 September anak lelaki kami, yang umurnya 3
tahun, dapat celaka di rumah. Ia ketumpahan sup panas, dan kami
dengan buru-buru perlu mengantarkannya ke rumah sakit. Banyak teman
menjenguk anak saya di sana pada malam 30 September, dan saya juga
berada di rumah sakit. Lucu juga kalau diingat kembali. Saya ingat
Kolonel Latief datang ke rumah sakit malam itu untuk menanyakan
kesehatan anak saya. Saya terharu atas keprihatinannya. Ternyata
kemudian Latief adalah orang terkemuka dalam kejadian yang
sesudahnya. Kini menjadi jelas bagi saya malam itu Latief ke rumah
sakit bukan untuk menjenguk anak saya, melainkan sebenarnya UNTUK
MENCEK SAYA. Ia hendak tahu betapa genting celaka anak saya dan ia
dapat memastikan bahwa saya akan terlampau prihatin dengan keadaan
anak saya.
Saya tetap di rumah sakit sampai menjelang tengah malam dan kemudian
pulang ke rumah".
Begitulah kutipan dari buku Brackman tentang wawancaranya dengan
Suharto.