[Nusantara] Asvi Warman Adam : Dampak Sosial Tragedi G30S

gigihnusantaraid gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 4 06:36:13 2002


Dampak Sosial Tragedi G30S
Oleh Dr. ASVI WARMAN ADAM
  Hal serupa dialami oleh Sulami, Wakil II Sekjen Gerwani. Wanita ini
ditangkap tahun 1967 dan baru diadili tahun 1975. Antara lain ia 
dituduh
memberikan barang berharga kepada keluarga Bung Karno di Istana 
Bogor. "
Karena menolak tuduhan itu, interogator baju loreng marah dan 
memerintahkan
algojo agar kedua jari kaki saya diinjak dengan sepatu tentara. 
Entah berapa
lamanya. Rasa nyeri saya redam dengan mengatupkan bibir dan gigi 
kuat-kuat.
Dengan geram interogator bertanya: "Bagaimana? Ngaku tidak?". Saya 
diamkan
saja. Saya memejamkan mata. Teriak: "Cambuk sepuluh kali". Algojo 
penginjak
kaki mundur dan tukang cambuk maju dengan rotan belahan. Tak terasa
butir-butir air mata saya jatuh... Dan pikiran saya tak lagi pada 
tubuh yang
tersiksa... Remuk redam sudah, tetapi tidak mati. Tiga malam saya 
mengalami
keadaan itu..."

MESKIPUN tiga dekade telah berlalu, Gerakan 30 September (G30S) 1965 
masih
menyimpan banyak misteri. Hal ini terutama disebabkan semasa 
pemerintahan
Soeharto hampir-hampir tidak ada riset baru di dalam negeri mengenai
peristiwa itu kecuali yang mendukung versi pemerintah. Tahun 1995 
misalnya
diterbitkan oleh ISAI buku tipis yang memuat berbagai kemungkinan 
dalang
peristiwa itu. Kontan buku itu dilarang oleh Kejaksaan Agung. Ada 
satu-dua
orang Indonesia yang menulis disertasi di AS tentang peristiwa 1965, 
tetapi
penelitian lapangan di Tanah Air dilakukan secara tersamar.

Setelah Soeharto berhenti menjadi Presiden Mei 1998 sudah terbit 
beberapa
buku baru yang mengungkapkan hal-hal yang selama ini kurang 
diketahui oleh
masyarakat. Misalnya buku Saskia Eleonara Wieringa dan A. Latief.

Di samping itu telah terbuka pula berbagai arsip mengenai Indonesia 
tahun
1965/1966 di AS dan Inggris. Kedua jenis sumber di atas dapat 
dijadikan
landasan untuk mempertanyakan kebenaran sejarah versi pemerintah 
Indonesia
mengenai peristiwa 1965/1966. Di dalam versi resmi disebutkan 
sebagai pelaku
utama atau dalangnya adalah PKI dan biro khususnya.

Di dalam buku Latief selain menuduh keterlibatan Soeharto dalam 
G30S, juga
diungkapkan tentang siksaan dalam penjara Orde Baru. Latief ditangkap
tanggal 11 Oktober 1965 ketika itu paha kanannya ditusuk bayonet dan 
lutut
kirinya ditembak. Selama berbulan-bulan kaki dan pahanya dibungkus 
gips dan
tidak pernah diganti. Ketika dibuka, keluar ulat dari dalam lukanya 
yang
belum sembuh. Selama sepuluh tahun ia berada dalam sel isolasi yang 
dikunci
terus- menerus, ia baru diadili pada tahun 1978. Dari rangkaian 
tekanan di
dalam penjara atau ketika diperiksa dalam sidang Mahmilub, dapat
dipertanyakan apakah pengakuan sebelum dan di dalam sidang itu dapat
dijadikan sumber sejarah yang layak dipercaya.

Hal serupa dialami oleh Sulami, Wakil II Sekjen Gerwani. Wanita ini
ditangkap tahun 1967 dan baru diadili tahun 1975. Antara lain ia 
dituduh
memberikan barang berharga kepada keluarga Bung Karno di Istana 
Bogor. "
Karena menolak tuduhan itu, interogator baju loreng marah dan 
memerintahkan
algojo agar kedua jari kaki saya diinjak dengan sepatu tentara. 
Entah berapa
lamanya. Rasa nyeri saya redam dengan mengatupkan bibir dan gigi 
kuat-kuat.
Dengan geram interogator bertanya, "Bagaimana? Ngaku tidak?". Saya 
diamkan
saja. Saya memejamkan mata. Teriak "Cambuk sepuluh kali". Algojo 
penginjak
kaki mundur dan tukang cambuk maju dengan rotan belahan. Tak terasa
butir-butir air mata saya jatuh... Dan pikiran saya tak lagi pada 
tubuh yang
tersiksa... Remuk redam sudah, tetapi tidak mati. Tiga malam saya 
mengalami
keadaan itu..."

Kedua pengalaman di atas rasanya sudah cukup untuk meragukan 
validitas
sumber yang dipergunakan dalam menyusun sejarah versi pemerintah 
Orde Baru.
Selain itu, dapat dikatakan bahwa alasan utama untuk menyimpulkan 
bahwa
PKI -sebagai organisasi- mendalangi G30S tidak kuat.

Yang dipakai alat bukti adalah pengakuan Aidit sebanyak 50 halaman 
folio
sebelum ditembak di Jawa Tengah yang konon antara lain 
berbunyi, "Saya
adalah orang yang mempunyai tanggung jawab tertinggi pada peristiwa 
30
September 1965 dan disokong oleh penjabat-penjabat PKI lainnya serta
penjabat-penjabat organisasi rakyat di bawah PKI. Apakah betul Aidit 
yang
menulis surat pengakuan itu? Kalau benar ia mengaku mengapa ia masih
ditembak mati?

Selain itu, selama ini bukti utama lainnya adalah penerbitan Harian 
Rakyat
yang merupakan corong PKI tanggal 2 Oktober 1965. Di dalam buku 
putih yang
disunting oleh Alex Dinuth (1997) dicantumkan isi Harian Rakyat yang 
terdiri
dari Pojok ("Gerakan 30 September sudah menindak Dewan Djenderal. 
Simpati
dan dukungan rakyat di pihak Gerakan 30 September").

Tajuk surat kabar itu antara lain menyatakan "Tetapi bagaimanapun 
djuga
persoalan tersebut adalah persoalan intern AD. Tetapi kita rakjat 
jang sadar
akan politik dan tugas-tugas revolusi mejakini akan benarnya 
tindakan yang
dilakukan oleh Gerakan 30 September untuk menjelamatkan revolusi dan 
rakjat"
.

Dimuat juga keterangan dari Anwar Sanusi (anggota Polibiro CC PKI) 
bahwa "
Situasi ibu pertiwi dalam keadaan hamil tua," dan karikatur HR dengan
kata-kata "Letkol Untung Komandan Bataljon Tjakrabirawa menyelamatkan
Presiden RI dan coup Dewan Djenderal".

Pada tanggal 1 Oktober 1965 malam, Pepelrada Jaya melarang terbit 
semua
harian yang terbit di Ibu Kota kecuali koran Angkatan Bersenjata dan 
Berita
Yudha yang memang diterbitkan pihak militer. Harian Kompas misalnya 
yang
siap cetak malam itu terpaksa membatalkan penerbitan dan baru boleh 
muncul
kembali tanggal 6 Oktober 1965.

Surat Perintah Pangdam VI/Jaya (No. 01/Drt/10/1965) yang dikeluarkan 
oleh
Mayjen Umar Wirahadikusumah berbunyi, "Dalam rangka mengamankan 
pemberitaan
yang simpang siur mengenai peristiwa pengkhianatan oleh apa yang 
dinamakan
Komando Gerakan 30 September/Dewan Revolusi, perlu adanya tindakan-
tindakan
penguasaan terhadap media-media pemberitaan".

Surat perintah itu ditujukan kepada Panglima Daerah Kepolisian 
VII/Jaya
untuk 1) Segera menguasai semua perusahaan percetakan, 2) Melarang 
setiap
penerbitan jang berupa apa pun tanpa izin Pepelrada Jaja c.q. Pangdak
VII/Jaya, 3) Khusus terhadap percetakan "Berita Yudha" yang terletak 
di Gang
Gelap Kota dan Percetakan Harian "Angkatan Bersenjata" di Petojo 
supaja
diadakan pengamanan physik (pos penjagaan) untuk dapatnya percetakan
tersebut berjalan lancar."

Menjadi tanya-tanya kenapa Harian Rakyat yang jelas menjadi terompet 
PKI
selama ini bisa terbit. Salah satu dokumen yang berasal dari Kedutaan
Inggris di Jakarta (South-East Asia Department, Indonesia, D H 
1015/218 10
Oct 1965 menyingkap keraguan tentang isi koran tersebut apakah betul-
betul
mewakili PKI. "My gues is that the editor took an unauthorised 
initiative."
Apakah koran kiri sengaja dibiarkan terbit untuk menjebaknya? Atau
sebaliknya, apakah tidak mungkin, bila isi Harian Rakyat tanggal 2 
Oktober
1965 dipersiapkan oleh pihak lain.

Larangan terbit semua koran itu -meskipun hanya lima hari- sangat 
menentukan
karena informasi dikuasai dan dimonopoli oleh pihak militer. 
Ketakutan akan
dibredel kembali menyebabkan semua media massa hanya menulis atau 
mengutip
pemberitaan sesuai keinginan pemerintah/pihak keamanan.

Kampanye tentang keganasan komunis dengan gencar dilakukan oleh 
kedua harian
militer tersebut, Berita Yudha Minggu 11 Oktober 1965 memberitakan 
bahwa
tubuh para jenderal itu telah dirusak, "Mata dicungkil dan sementara 
itu ada
yang dipotong kemaluan mereka". Sementara itu, sukarelawan-
sukarelawan
Gerwani melakukan hubungan tidak senonoh dengan mayat para Jenderal 
itu.
Padahal menurut visum dokter tidaklah demikian. Para korban itu 
meninggal
dengan luka-luka karena tembakan atau terbentur dinding sumur di 
Lubang
Buaya. Saskia Wieringa mencatat bahwa koran Angkatan Bersenjata dan 
Berita
Yudha menyiarkan kampanye sadis sejenis ini secara teratur sampai 
bulan
Desember 1965.

Informasi (atau lebih tepat disinformasi) itulah antara lain yang 
menyulut
kemarahan rakyat dan akhirnya melakukan pembunuhan besar-besaran 
terhadap
mereka yang dicurigai sebagai anggota PKI.

Sebetulnya kalau Buku Putih yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara 
RI
tahun 1994 dibaca seksama, bisa diperoleh kesimpulan yang tentu tidak
diharapkan oleh pembuat buku tersebut. Di dalam buku itu terdapat 
indeks
nama sebanyak 306 orang tokoh (pada 10 halaman). Kalau kita melihat 
daftar
indeks itu terlihat bahwa kasus tersebut pada intinya menyangkut 
Presiden
Soekarno (disebut 128 kali), dua tokoh PKI (Aidit dan Syam, 77 kali) 
dan dua
kubu perwira ABRI (107 kali).

Dalam "indeks kata penting", tiga kata yang paling sering muncul 
adalah 1)
Gerakan Tiga Puluh September, 2) Dewan Revolusi, 3) Dewan Jenderal.
Sementara itu, kata PKI hanya disebut dua kali. Jadi buku ini 
berbicara
lebih tentang tokoh (atau menurut istilah Orde Baru, oknum) PKI, 
yaitu Aidit
dan Syam ketimbang mengenai PKI sebagai sebuah organisasi sosial-
politik.

Aidit memang Ketua PKI, tetapi di dalam suratnya kepada Soekarno ia
mengatakan bahwa "tanggal 30 September tengah malam saya diambil 
oleh orang
berpakaian Cakrabirawa (tidak saya kenal) dengan keterangan 
dipanggil ke
Istana untuk sidang darurat kabinet, tetapi kendaraan tersebut 
menuju ke
jurusan Jatinegara. Kemudian pindah mobil terus menuju ke sebuah 
kampung dan
ditempatkan di sebuah rumah kecil. Di situ saya diberitahu bahwa akan
diadakan penangkapan terhadap anggota-anggota Dewan Jenderal."

**

DAPAT diperdebatkan siapa dalang Gerakan Tiga Puluh September (G30S) 
1965.
Bisa dipertanyakan apakah itu "oknum" PKI, CIA, (dan dinas rahasia 
negara
lainnya), beberapa kelompok dalam Angkatan Darat, Soekarno atau 
Soeharto.
Akan tetapi, yang pasti peristiwa itu menimbulkan dampak sosial yang 
sangat
membekas. Paling sedikit telah jatuh korban sebanyak setengah juta 
jiwa
sejak Oktober 1965 sampai awal tahun 1966.

Tidak semua yang meninggal itu berideologi kiri. Banyak yang tidak 
tahu
apa-apa, namun karena bertikai dengan suatu kelompok lain, ikut 
terbunuh.
Bila setengah juta tewas itu berarti jutaan orang yang menjadi 
yatim/piatu
akibat peristiwa itu. Konsekuensi lebih jauh lagi karena kemudian 
keluarga
korban ini kehilangan pekerjaan atau tidak boleh menduduki jabatan 
atau
melakukan profesi tertentu.

Mereka menjadi manusia yang tersisih dalam masyarakat. Menjadi 
kelompok yang
dikucilkan. Banyak kasus terdegar tentang pemuda atau gadis yang mau 
menikah
misalnya tetapi batal karena orangtuanya terlibat PKI atau semacam 
itu.
Pihak keluarga yang mengambil menantu tidak mau mengambil risiko.

Organisasi politik yang konon memiliki sekian juta itu anggotanya 
bubar.
Akan tetapi, sebuah stigma telah dilekatkan bagi eks anggota atau 
simpatisan
partai itu. Akan tetapi, yang tak kalah parahnya adalah keluarga 
korban yang
tak tahu-tahu apa juga mendapatkan hukuman dari masyarakat. Mereka 
berusaha
menyembunyikan identitas agar tidak diketahui lingkungannya sebagai 
anak
seorang PKI dll. Pada saat yang sama mereka sebetulnya kehilangan 
identitas
diri mereka yang sesungguhnya.

Sejarah sebagai pembebas

Dalam tahun 2000 berlangsung dua kali sarasehan tentang tragedi 
1965. Di
Kastil Arenberg, Universitas Katolik Leuven, Belgia, 23 September 
dan di
Hotel Sari Pasifik, Jakarta, 13 Desember. Keduanya dihadiri oleh 
para korban
G30S. Dalam pertemuan di Jakarta, diundang juga anggota 
Teperpu/Kopkamtib
sebagai wakil dari pelaku. Akan tetapi, mereka tidak hadir. Yang 
datang
hanya seorang staf ahli Kepala Pusat Sejarah TNI yang 
ditugaskan "untuk
mencatat tetapi bukan menjawab pertanyaan".

Dari diskusi tersebut terdapat kesan bahwa para korban itu menolak 
jadi
tawanan masa lalu. Ini kentara dalam makalah yang disampaikan oleh 
Nani
Nurachman Sutoyo, dosen psikologi UI. Reaksi pertama puteri Mayjen 
Anumerta
Sutoyo Siswomihardjo ketika diberitahu tentang terbunuh dan 
terbongkarnya
jenazah para pahlawan revolusi adalah kekurangan kepercayaan 
terhadap semua
orang, sekalipun sudah lama dikenal. Bahkan timbul sikap defensif dan
kadangkala curiga bila ada orang yang mendekati.

Selanjutnya kondisi ini menimbulkan tembok pembatas antara dia dan 
dunia
luar yang dianggap banyak mengandung ancaman selama bertahun-tahun
kemudian. "Saya mempertanyakan bagaimana manusia bisa bertindak 
sekejam itu:
memorak-porandakan kehidupan suatu keluarga menjelang subuh ketika 
orang
masih lelap tertidur tetapi kemudian dibangunkan untuk diculik dengan
cara-cara yang tidak ksatria .... Apa arti kematian ini bagi saya 
sebagai
anak-anak? Apa artinya kehidupan? Tidak ada yang mau menjawab. Lalu 
kepada
siapa saya bisa bertanya?"

Dari sikap-sikap yang demikianlah ia berkesimpulan bahwa jangankan 
lembaga,
keluarga dalam masyarakat pun belum siap dan tidak mempunyai sumber 
untuk
mengembangkan kesadaran dan memberikan bantuan untuk memulihkan 
pascatrauma
seperti yang terjadi di Amerika dengan pascaperang Vietnamnya. 
Mungkin tidak
disadari bahwa kehidupan pascatrauma dalam keluarga dapat 
mengakibatkan
dysfunctional family life. Efek dari suatu pengalaman traumatik 
dalam jangka
panjang akan dapat memberikan imbasnya kepada masyarakat. Oleh 
karena itu,
suatu psikologi pascatrauma diperlukan dalam menghadapi peristiwa 
apa saja
yang bersifat traumatik dalam masyarakat tersebut.

Bagi Nani Sutoyo, awal hingga pertengahan tahun '80-an ketika berada 
di
Amerika Serikat merupakan periode pengembangan wawasan yang relatif 
intens.

Tetangga sebelah yang juga pemilik rumah yang disewanya adalah korban
holocaoust Perang Dunia II. Dia bisa keluar dari kamp konsentrasi dan
kehilangan suami serta anak laki-laki satu-satunya sambil menjalani 
dan
menikmati sisa-sisa hidupnya dengan realita yang ada. Tato nomor 
yang ada di
lengannya menimbulkan kejutan bahwa suatu saat bisa saja kita sebagai
manusia hanyalah nomor tanpa nama.

"Apalah artinya yang saya alami dengan apa yang dia telah lalui? Di 
sini
saya bisa menimba adanya makna di balik penderitaan. Ada suatu 
kekuatan di
luar ketahanan fisik dan mental psikologis yang bisa membawa 
seseorang
keluar dari perangkap-perangkap penderitaan. Orang dapat berkembang 
menjadi
diri pribadi yang utuh dari reruntuhan kemanusiaan tanpa perlu 
menampilkan
sikap amarah dan dendam terhadap mereka yang membuatnya menderita, 
sekalipun
amat sulit untuk melupakan semuanya." Sang doktor psikologi itu 
merasa yakin
bahwa "suatu hal yang mungkin untuk membangun diri kembali baik 
sebagai
individu maupun sebagai kelompok bangsa sekalipun pada suatu saat 
yang
lampau terjadi kekejaman dari suatu kelompok terhadap kelompok yang 
lain."

Nani Sutoyo adalah putri dari "pahlawan revolusi" yang tidak 
mengalami
trauma tersingkir dari masyarakat seperti yang dialami para korban 
G30S yang
dituduh terlibat PKI. Penderitaan kelompok ini lebih parah lagi. 
Sebagian
mereka juga pernah mengalami hidup pada kamp konsentrasi Pulau Buru. 
Hersri
Setiawan, tokoh Lekra Yogyakarta