[Nusantara] Taufik Ismail : : Dalangnya PKI, Soeharto, CIA atau ...

gigihnusantaraid gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 4 06:48:05 2002


            Dalangnya PKI, Soeharto, CIA atau ...
            DEMIKIAN beberapa baris terakhir sajak berjudul "Catatan 
Tahun
1965" yang ditorehkan penyair Taufik Ismail. Sajak itu pula yang 
dibacakan
Harry Tjan Silalahi, anggota Dewan Kehormatan CSIS (Centre for 
Strategic and
International Studies) untuk menggambarkan suasana tanah air tahun 
1965,
pada diskusi terbatas "Gerakan 30 September 1965" di Aula Redaksi HU 
Pikiran
Rakyat, Kamis (26/9).

            Selain Harry Tjan, diskusi yang dibuka Wapemhared HU 
Pikiran
Rakyat H. Widodo Asmowiyoto dan dipandu Redaktur Opini Abdullah 
Mustappa,
diikuti pula sejarawan A. Mansur Suryanegara, Ketua Masyarakat 
Sejarawan
Indonesia Cabang Jawa Barat, Dr. Hj. Nina Herlina Lubis, M.S., dan 
peneliti
LIPI, Dr. Asvi Warman Adam.

            Suasana konfrontasi yang mencapai puncaknya pada 
penculikan dan
pembunuhan tujuh pahlawan revolusi itu, kata Harry Tjan, sebenarnya 
sudah
dapat dirasakan jauh sebelumnya. Dia juga merasa yakin, peristiwa 
berdarah
30 September 1965 atau kemelut yang traumatik itu merupakan 
perbuatan Partai
Komunis Indonesia (PKI).

            Karena keyakinannya itu pula Harry menyayangkan 
kecenderungan
penulis sekarang menghilangkan kata PKI menjadi G30S semata, bukan
G30S/PKI. "Buat saya ini tidak benar sebab saya sangat yakin, tragedi
berdarah itu kerjaan PKI," ujarnya.

            Meski demikian, sejauh mana keterlibatan PKI dalam 
peristiwa
G30S masih menjadi persoalan. Apakah sebagai organisasi atau hanya 
terbatas
pada orang-orang tertentu, sangat debatable. Akan tetapi, bila 
melihat
sistem demokrasi sentralistik yang dianut PKI, kata Harry, harus 
dianggap
bahwa secara mendalam PKI terlibat, walau barangkali keputusannya 
hanya
berada di tangan Polit Biro; Ketua Aidit dan Biro Khususnya. Dengan
demikian, kasihan nasib orang-orang kecil anggota PKI dan ormas-
ormasnya
seperti Sobsi, Gerwani, Pemuda Rakyat, BTI, yang menjadi korban 
karena
percaya pada Demokrasi Sentralisme-nya PKI.

            "Penyebutan G30S dengan embel-embel kata 'PKI' didasari
pemikiran, tidak mungkin itu bisa digerakkan oleh sebatas Kol. 
Untung. Tidak
mungkin, karena ujung-ujungnya berada pada ideologi. Dalam lingkungan
petinggi PKI, boleh jadi saat disetujui Aidit, otomatis menjadi 
keputusan
partai. Apalagi dalam PKI itu dikenal istilah demokrasi sentralisme,"
ujarnya.

            Menurut Harry, peristiwa G30S/PKI itu dimulai ketika 
Manipol
Usdek diterima sebagai haluan negara. Bung Karno lantas mulai 
mengarah ke
kiri. Manipol Usdek menjadi arah revolusi yang kekiri-kirian, 
kemudian
diperkuat dengan Resopim/RIL (Revolution, Ideology dan Leadership). 
Bung
Karno pun praktis mengemudikan arah negara secara tunggal.

            Dalam suasana global berupa perang dingin yang memuncak, 
Bung
Karno sangat gandrung terhadap New Emerging Forces, yang antinekolim,
imperialisme-kapitalisme. Peluang ini dimanfaatkan PKI atau kelompok 
kiri.
Mereka pun mempersiapkan dan melatih Pemuda Rakyat di Lubang Buaya 
dengan
dalih mendukung Dwikora: Malaysia. Jargon "Ganyang Malaysia" yang 
banyak
disuarakan saat itu, rupanya menjadi kedok bagi PKI untuk melakukan 
aksi
terhadap rezim berkuasa.

            "Saya secara pribadi menangkap isyarat-isyaratnya. 
Kurang lebih
seminggu sebelum peristiwa itu, saya bersama Pak Kasimo, Duriat dan 
Cosmas
Batubara membicarakan hal ini dengan Menko Polkam Pak Nasution, juga 
dengan
Pak Jusuf, Menteri Perdagangan. Jadi kalaupun tragedi itu terjadi 
bukan
karena kita tidak tahu, tapi karena kita lengah. Kita tahu bakal ada 
sesuatu
yang terjadi, tapi tidak tahu kapan itu terjadi," katanya.

            Walau demikian, Harry tidak setuju terhadap pembantaian 
terhadap
anggota atau masyarakat yang dituduh PKI pasca-G30S, terutama yang 
terjadi
di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sementara itu, di Jawa Barat, di bawah
Pangdam Siliwangi Ibrahim Adji, penataan pasca G30S bisa dibilang 
tanpa
menimbulkan korban jiwa. PKI pun bubar.

            Bandung memerah

            Selaku salah satu saksi dan pelaku sejarah saat itu A. 
Mansur
Suryanegara mengungkapkan Bandung sempat diwarnai warna merah 
menjelang
peringatan 10 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) pada tahun 1965. 
Bendera
merah yang bertuliskan Nasakom memerahkan Bandung saat itu, bahkan 
bendera
tersebut lebih menunjukkan komunis dengan menuliskan nasaKOM.

            Situasi seperti itu mendorong Mansur menghimpun kekuatan 
dan
memimpin Gerakan Anti-Nasakom di Bandung. Setelah menjadi Sekretaris 
Umum
Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), ia ikut pertempuran 
malam di
Tugu Selamat Datang agar proses penghancuran komunis lebih cepat.

            Kendati demikian, ia mempertanyakan apakah peristiwa G30S
betul-betul murni terjadi karena benturan kepentingan Angkatan Darat 
dengan
komunis. Yang pasti, kata Mansyur, sebelum terjadi peristiwa G30S, 
Presiden
Soekarno sempat berniat membubarkan HMI. Oleh karena itu, ia bersama
rekan-rekannya, termasuk Amien Rais, menggagas Ikatan Mahasiswa 
Muhammadiyah
(IMM) sebagai suatu wadah tempat "hijrah" para mahasiswa jika 
Presiden
Soekarno jadi membubarkan HMI.

            Mansur setuju di antara Soekarno dan Soeharto tidak 
pernah
terjadi perbedaan pendapat. Soekarno juga bukan seorang komunis. 
Setelah
terjadi G30S, Bung Karno ikut membalikkan komunis. Akan tetapi, ia
melakukannya tidak secara langsung.

            "Filsafat Jawanya membuat dia menyerahkan hal itu kepada
Soeharto. Soehartolah yang diberi Supersemar, suatu bahasa politik 
untuk
Indonesia dan dunia internasional bahwa Soekarno tidak pernah 
membubarkan
komunis melainkan Soeharto," tuturnya.

            Mengenai sosok Soeharto, Mansur menilai mantan presiden 
tersebut
sebagai tokoh pembalik sejarah tahun 1966. Jiwa juang Soeharto adalah
memberantas komunis. Bahkan ia dipandang sebagai penghancur 
komunisme yang
paling besar di dunia.

            Menurut Mansur sekarang ini ada kesan tidak relevan lagi 
menilai
Soeharto sebagai pahlawan karena anak-anaknya tidak benar. "Tidak 
bisa orang
memenggal sejarah, pembaharu tidak mungkin memenggal sejarah. 
Soekarno
menyebut diri pemimpin besar revolusi, pintar dengan filosofi 
kejawaan yang
sangat tinggi. Soekarno adalah sipil yang berbaju jenderal (tentara),
sebaliknya Soeharto adalah tentara yang berbaju sipil," katanya.

            Masih banyak misteri

            Sejarawan LIPI Dr. Asvi Warman Adam menilai meski sudah 
lama
berlalu, G30S 1965 masih menyimpan banyak misteri karena semasa 
pemerintahan
Soeharto nyaris tidak ada riset baru di dalam negeri mengenai 
peristiwa itu,
kecuali yang mendukung versi pemerintah.

            Menurut Asvi G30S bukan semata gerakan yang berlangsung 
dalam
satu hari, melainkan sebuah trilogi yang saling terkait, yaitu 
peristiwa
G30S sendiri, lalu pembantaian pascagerakan terhadap orang-orang 
kiri secara
tidak manusiawi pada tahun 1965-1966, dan penahanan ribuan orang di 
pulau
Buru. "Jadi jangan berhenti pada kejadian tahun 1965 saja," ujarnya.

            Asvi menolak pula istilah Gestapu yang dilansir Noegroho
Notosoesanto (alm.) atau Gestok (Gerakan Satu Oktober) versi 
Soekarno.
Gestapu mengambil istilah dari Gestapo pada zaman Hitler. "Saya juga 
tidak
setuju pencantuman PKI pada G30S," tandasnya.

            Saat ini terdapat sejumlah versi terhadap peristiwa 30 
September
1965, yaitu bahwa itu dilakukan para elite PKI, versi bahwa Soekarno 
juga
terlibat, keterlibatan intelijen Amerika Serikat CIA, keterlibatan 
intelijen
Inggris dan Australia, dan terakhir bahwa gerakan itu dilakukan 
Soeharto
sendiri.

            Dia juga menilai tidak ada informasi baru dari dokumen 
CIA
berkaitan peristiwa G30S yang dibuka tahun lalu karena telah berusia 
di atas
25 tahun. Terlebih lagi masih ada bagian-bagian dokumen yang ditutup 
tinta
hitam. Penghitaman tersebut dengan alasan terkait dengan warga AS 
yang masih
hidup.

            Hal yang baru adalah G30S tidak semata peristiwa yang
berlangsung dalam satu hari, tetapi ada dampak sosial hingga 
sekarang.
Peristiwa pada 1965 tersebut berbuntut pada pembantaian yang 
berlangsung
hingga 1966, bahkan di Blitar (Jatim) pada 1968 masih ada Operasi 
Trisula
yang menimbulkan korban jiwa. "Pembantaian itu harus diungkap dengan 
jelas.
Ada operasi militer yang kebablasan," katanya.

            Yang patut dicatat, peristiwa pembantaian pasca-G30S itu 
tidak
hanya terjadi pada anggota PKI. Bisa saja akibat dendam pribadi dan 
agar
tidak dicap komunis. Oleh karena itu, sebagian ikut membunuh orang 
yang
bukan komunis. Diakuinya, sedikit buku-buku yang mengungkap 
pembantaian
pasca-G30S.

            Ia juga mempersoalkan proses penahanan ribuan tahanan 
politik di
Pulau Buru. "Bayangkan, di Pulau Buru itu orang dicabut hak 
miliknya, tidak
ada besuk, dicabut masa depannya dan mereka tidak memiliki kepastian 
kapan
akan dibebaskan," ujarnya.

            Pulau Buru adalah penjara terbesar dalam sejarah 
Indonesia.
Berdasarkan data tahun 1991, jumlah penjara di Indonesia 35 buah, 
jumlah
penghuni mencapai 29 ribu jiwa. Dari total itu sebanyak 10 ribu orang
menghuni Pulau Buru atau sekira 1/3-nya. "Bayangkan berapa banyak 
penjara di
sana," kata Asvi yang mengaku banyak orang menilai tulisannya 
mengenai G30S
terlalu kekiri-kirian.

            Dia tidak menutup mata, peristiwa G30S telah menimbulkan 
trauma
bagi putra-putri dan keluarga pahlawan revolusi yang menjadi korban. 
Menurut
Asvi, Nani Sutojo, anak kedua jenderal Sutojo menyebut, penderitaan 
tidak
bisa dipertukarkan. Asvi menilai penulisan buku oleh anak-anak 
pahlawan
revolusi yang berjudul Kunang-kunang di Langit Malam merupakan salah 
satu
upaya untuk melepaskan tekanan yang mereka alami selama ini.

            Buku itu juga menolak dua aspek yang diputarbalikkan oleh
pelaku, Misalnya, mereka menyatakan wajah korban saat itu bersih. 
Tidak ada
mutilasi atau penyiletan seperti yang ditulis media saat itu. Lantas 
aspek
kedua yang ditolak adalah memoar Saelan yang mengaku menemukan sumur 
tempat
para korban dibuang. Sayangnya, buku tersebut kurang menampilkan 
bagaimana
keluarga korban menjalani kehidupan pascaperistiwa tersebut. Di sisi 
lain
ada buku yang ditulis dr. Ciptaning yang berjudul Aku Bangga Menjadi 
Anak
PKI.

            Dia dapat memahami trauma yang dialami keluarga para 
pahlawan
revolusi yang menjadi korban G30S. Akan tetapi, trauma dan 
penderitaan lebih
besar justru dialami keluarga korban pembantaian pasca-G30S, baik 
pelaku
G30S, anggota PKI maupun orang-orang yang dicap sebagai PKI. "Trauma 
ini
harus dibuka lebar-lebar supaya tidak ada dendam sejarah," katanya.

            Menurut Asvi memang diperlukan Komisi Kebenaran dan 
Rekonsiliasi
(KKR) sebagai salah satu pintu untuk menyelesaikan masalah tersebut, 
meski
diakuinya di berbagai negara tidak bisa selesai mutlak melalui komisi
semacam itu. Akan tetapi, ini merupakan upaya mencoba berdamai dengan
sejarah di tingkat nasional. KKR saat ini prosesnya sudah di 
Departemen
Kehakiman dan HAM. Diyakini, ini tidak akan tuntas, tetapi paling 
tidak
hal-hal yang tertutup itu dapat diungkapkan melalui pengalaman-
pengalaman.

            Pelurusan sejarah yang berkaitan dengan peristiwa G30S, 
perlu
dilakukan, bahkan amat perlu. Oleh karena itu, keberadaan KKR sangat
penting, terlepas dari apapun hasilnya nanti. "Sebagai sejarawan, 
kita harus
di tengah-tengah, meneliti apa yang bagus dan apa yang kurang bagus,
dijelaskan apa adanya."

            Buku putih

            Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat, 
Dr. Hj.
Nina Herlina Lubis, M.S., sependapat, lembaran sejarah nasional, 
khususnya
mengenai peristiwa seputar G30S perlu ditulis ulang. Penulisan 
kembali
(rewriting), khususnya untuk mengoreksi, meluruskan dan 
reinterpretasi
berkaitan dengan data baru mengenai G30S.

            "Pada 30 Oktober tahun lalu, para sejarawan dari berbagai
provinsi berkumpul di Bogor. Mereka sepakat akan menulis sejarah 
Indonesia
yang baru," katanya.

            Menurut Nina, sekarang ini banyak kajian baru dari dalam 
dan
luar negeri yang mengungkap data baru mengenai peristiwa G30S. Pada 
30
September 2002 juga akan diluncurkan buku berjudul Kunang-kunang 
Kebenaran
di Langit Malam. Buku ini kumpulan tulisan putra-putri dan keluarga 
pahlawan
revolusi korban G30S, tentang apa saja yang dialami dan disaksikan 
mereka
pada 1 Oktober 1965. Dia juga mengaku, sempat dihubungi putra D.N. 
Aidit
yang kini berada di Kanada. Putra Ketua PKI tersebut sempat 
berkuliah di
Pertambangan ITB angkatan 1973.

            Dalam waktu dekat, Masyarakat Sejarawan Indonesia akan
mengeluarkan buku putih yang berisi enam peristiwa yang harus 
diluruskan
pada periode Orba. Keenam peristiwa yang sudah dibuat draftnya 
adalah: Hari
Lahir Pancasila 1 Juni, Serangan Umum 1 Maret, G30S, Supersemar, 
Peristiwa
Timor Timur dan Lahirnya Orde Baru.

            "Soal Supersemar, saksi yang masih hidup masih ada. Ada 
Harry
Tjan, Jenderal Yusuf, dan Soeharto sendiri. Tapi siapa yang bisa 
membuka
mulut kedua nama terakhir. Dalam sejarah, kolaborasi harus dilakukan 
tidak
hanya satu sumber. Setelah Harry bicara, maka perlu juga ditanya 
Soeharto
yang berusaha menutupi itu, dan tanya juga Yusuf yang berusaha 
menghindar,"
paparnya. Mengenai peristiwa G30S, kata Nina, sekarang ini paling 
tidak ada
empat versi dalang yang berada di belakangnya. Orang mengatakan 
dalang yang
pertama adalah PKI. Dalang kedua, Soeharto. Dalang ketiga Soekarno 
sendiri.
Dalang keempat AS dan Inggris. "Empat kelompok pendapat ini ada
kajian-kajiannya masing-masing," tutur Nina.

            Dengan adanya data dan visi baru, lanjutnya, maka 
reinterpretasi
harus dilakukan, dan rewriting tentang G30S menjadi wajib sifatnya, 
agar
masyarakat mendapat informasi sejarah yang mendekati kebenaran.

            Menurut dia, para sejarawan yang saat ini bisa menemukan
kebebasan akademisnya kembali memang dituntut untuk bisa menggali
sumber-sumber sejarah baru agar bisa melakukan reinterpretasi dan 
rewriting
peristiwa tersebut.

            Sumber yang digali bukan saja sumber resmi pemerintah, 
tapi juga
berbagai pihak, termasuk keluarga atau keturunan anggota PKI yang 
selama ini
merasa menjadi korban ketidakadilan akibat adanya cap tidak bersih
lingkungan. Sehingga mereka sulit mendapat pekerjaan atau aktivitas 
sosial
lainnya. Tentu saja semua sumber itu harus diperlakukan sama, yaitu 
dengan
memperhatikan metode kritis dalam sejarah. "Sebagai sejarawan, kita 
harus
objektif dan menjauhkan sikap empati, kesedihan. Jangan memberikan 
value
judgement. Analisis harus dilakukan secara kritis, karena para putra 
korban
masih kecil saat peristiwa terjadi," ujarnya. (Tim PR)***


      SUPLEMEN




            IKLAN










[Non-text portions of this message have been removed]
--- End forwarded message ---