[Nusantara] Keluarga Pahlawa Revolusi : : Kerancuan tentang Kebenaran

gigihnusantaraid gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 4 06:48:09 2002


            Kerancuan tentang Kebenaran
              Mengenang peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) 
PKI bagi
keluarga pahlawan revolusi, bagaikan mengenang kekerasan.

              Namun di sudut lain, ada juga kelompok yang teraniaya 
selama
puluhan tahun. Seolah terbebani "dosa" sejarah.

            "SAYA merindukan, orang tua kita dihargai pengorbanannya.
Belakangan, pengorbanan mereka seolah-olah dikaburkan. Saya tidak 
terima,"
ucap Katerin Panjaitan, putri pahlawan revolusi DI Panjaitan.

            Suara bernada sentimentil terucap lirih dari Katerin. 
Guratan
traumatis yang menimpa ayahanda tercinta tampak masih terus 
membayangi.
Tidak hanya itu, perempuan berpostur tinggi-langsing kelihatan 
gelisah.
Sebab tidak sedikit yang mencerca, pembunuhan sadis terhadap ayahnya 
oleh
pasukan berhaluan komunis, kadang dinisbatkan dengan gambaran 
rekayasa
politik.

            "Saya berusia tujuh belas tahun waktu itu. Penampilannya 
lugu.
Tidak tahu politik. Saya lihat sendiri, mereka mati sadis. Kita tahu 
komunis
sadis," katanya dengan suara tersendat.

            Mengenang peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) PKI 
bagi
keluarga pahlawan revolusi, bagaikan mengenang kekerasan. Karenanya 
Amelia
Yani mengaku tidak habis pikir, para bekas tahanan politik G30S bisa 
bicara
lugas tentang kejahatan yang mereka lalukan pada masa lalu.

            "Bekas tahanan politik bicara enak sekali. Seperti 
mengungkapkan
kebanggaannya bagaimana membunuh orang. Mereka tidak berpikir, 
seperti apa
perasaan putra-putri para pahlawan. Bahkan mereka tega bicara, saya 
sembelih
jenderal itu, saya seret-seret jenderal ini. Kami terasa sangat 
sakit lagi
ketika mereka bilang, anak pahlawan buang saja, dan tindakan mereka 
itu
semua bukan penyiksaan," kata Amelia.

            Putri Jenderal Ahmad Yani mendefinisikan kejahatan 
pasukan
komunis tidak hanya dalam ekspresi kekerasan. Dari sudut pandang 
politik, "
Kita katakan mereka makar, kudeta, dilakukan oleh kelompok tentara
Tjakrabirawa. Pasukan ini berasal dari Istana Presiden (Soekarno). 
Yang ke
rumah kami hari itu, semuanya dari Tjakrabirawa". Tanda-tandanya 
seragam
tentara dihiasi pita merah di lengan.

            Salomo Panjaitan menggambarkan lebih konkret tentang 
gerakan
pasukan komunis di rumahnya waktu itu. Selongsong peluru berserakan 
dan
ditemukan mencapai 360 butir di area tanah 800 meter persegi. 
Semuanya
ditumpahkan hanya dalam waktu sekira satu jam pada 1 Oktober 1965 
pukul
03.00-04.00 WIB. "Suara desing peluru memecahkan keheningan pagi,"
kenangnya.

            "Ini mata rantai kekerasan dalam sejarah yang harus 
diputus,
kita bangun mata rantai baru dalam suasana damai, harmonis" kata Dr. 
Nani
Indra Soetojo, putra Jenderal Soetojo. Tetapi memutus sejarah dalam
pandangannya bukan identik melupakan sejarah. Karenanya perlu 
refleksi
dengan pengolahan pikiran. Peristiwanya diangkat, didudukan sebagai
peristiwa yang bermakna bagi bangsa, tidak dalam komoditi politik.

            Mengungkap kekerasan dalam sejarah komunis, kata Nani, 
bukan
bermaksud tetap mempertahankan tataran penderitaan, iba dan 
kasihan. "Kita
ingin bangkit dari kearifan yang mampu disampaikan," katanya.

            Ahli psikologi ini menyadari, menyampaikan kebenaran 
dalam
konteks peristiwa G30S bukan menutup kebenaran yang lain. "Kami 
sadar ada
kerancuan tentang kebenaran itu sendiri dikaitkan dengan kebenaran 
(yang
lain,red)," katanya.

            Nani sebagai istri seorang diplomat tampaknya menampilkan
peristiwa G30S dalam bingkai yang terbuka. Kebenaran sejarah berdasar
pengalaman putra-putri pahlawan revolusi merupakan realitas 
kebenaran milik
bangsa. "Apa kita akan menulis dengan tinta merah atau hitam, kalau 
Anda
berada di tempat kami (waktu itu)," katanya.

            Tetapi tulisan hitam atau merah sejarah tentang 
pengalaman
sejarah G30S tidak bisa dijadikan kesimpulan. Alasannya, "Sejarah 
punya
pendekatan, metode, aliran yang tidak berhenti di satu titik, tidak 
mati,
selalu terbuka diungkap hal-hal baru. Itu pekerjaan akademisi". 
Namun, "
Kebenaran yang saya alami, adalah realitas bersama".

            Sikap moderatnya menjadi ilham judul buku "Kunang-kunang
Kebenaran di Langit Malam" yang diluncurkan 30 September. Ia 
menyadari,
kunang-kunang bisa terlihat gemerlap hidup di waktu gelap. "Kunang-
kunang
melambangkan dalam kegelapan ada cahaya baru yang mungkin redup 
digantikan
sejarah lainnya".

            Isyarat ini agaknya terkait dengan banyaknya buku-buku 
tentang
peristiwa G30S dalam versi lain. Sesuai latar belakang haluan politik
penulisnya, buku versi lain sering menjadi sintesa, bahkan negasi 
dari
realitas peristiwa G30S.

            Buktinya ada saja yang mengatakan, peristiwa hari itu 
dibilang
sebagai rekayasa di malam gelap. Padahal faktanya, darah di mana-
mana, tujuh
mayat jenderal dibuang di satu lubang sumur.

            Bukti lainnya, Sukitman (ikut dibawa ke Lubang 
Buaya,red) tidak
dibunuh. Inilah kebesaran Tuhan, sehingga jenderal-jenderal bisa 
ditemukan.
Dan, Tuhan tunjukkan kita supaya tahu peristiwa sebenarnya terungkap 
lewat
saksi-saksi yang masih hidup. "Tetapi kami sadar, kebenaran kadang 
betapa
lemahnya," kata Amelia.

            Namun di sudut lain, ada juga kelompok yang teraniaya 
selama
puluhan tahun. Seolah terbebani "dosa" sejarah. Mereka adalah anak-
anak yang
mungkin tak senikmat warga lainnya dalam menjalani kehidupan, akibat 
orang
tua mereka dikategorikan PKI. Tak ada "pengadilan" yang memutuskan 
bahwa
mereka tak bisa diterima kerja di pemerintah atau bentuk kekangan 
lainnya.

            Ambil contoh seorang peneliti di LIPI. Selama 17 tahun 
dia
menyembunyikan identitas diri, meski terhadap sahabat sendiri. 
Peneliti itu
baru mengungkap siapa dirinya, saat dilangsungkan sebuah seminar yang
menampilkan para korban G30S. Penderitaan dia adalah penderitaan 
jutaan
warga masyarakat lainnya, yang notabene saudara sebangsa, tetapi hak-
haknya
telah "dimatikan".

            Pedih rasanya mengenang masa lalu. Bukan hanya putra-
putri
Pahlawan Revolusi tapi juga anak-anak yang dibebani dosa turun 
temurun.
Lalu? Seperti yang diungkap oleh kedua kelompok itu, masa gelap di 
tahun
1965 itu sebaiknya dilupakan, tapi lembaran hitam sejarah tersebut 
jangan
dihilangkan. Ya, ke depan, kebenaran perlu diungkap, tanpa perlu 
melahirkan
dendam sejarah. (mk//PR)***


      SUPLEMEN




            IKLAN










[Non-text portions of this message have been removed]
--- End forwarded message ---