[Nusantara] Ki Denggleng : Fw: [alumni-ipb] PENDIDIKAN : Obral 'Doctor Honoris Causa?

gigihnusantaraid gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 4 07:12:14 2002


Obral 'Doctor Honoris Causa?'
Winarso Drajad Widodo, PhD,
Dosen Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

PADA Februari 2002 yang lalu, dunia pendidikan
tinggi dihebohkan pertentangan antara Direktorat
Jenderal  (Ditjen) Dikti dan beberapa perguruan
tinggi terkenal  tentang penyelenggaraan Program
MM Kelas Jauh (PMKJ). Namun demikian, penye-
lenggaraan PMKJ tetap lancar-lancar saja hingga
sekarang, sementara 'ancaman' dari Ditjen Dikti
terhadap perguruan tinggi induk penyelenggara
PMKJ belum terdengar dilaksanakan.

Sementara wacana PMKJ menghangat, permasa-
lahan lain yang lebih penting untuk ditindak--seti-
daknya oleh Ditjen Dikti--yaitu tentang beberapa
lembaga penjual gelar akademik dari berbagai PT
asing. Kemudian menyusul berita tuntutan DPRD
Ponorogo agar bupati daerah itu mengembalikan
gelar profesor yang diperolehnya dari Northern
California Global University (NCGU). Hingga seka-
rang, kelihatannya gelar-gelar kehormatan yang
'diobral' dan difasilitasi oleh beberapa lembaga
penjual gelar itu banyak peminatnya dan sulit
ditangani oleh Ditjen Dikti.

Salah satu bukti banyaknya peminat adalah beri-
ta yang menyatakan penyanyi dangdut Cici Para-
mida dan penyanyi kroncong disko Rama Aiphama
telah menerima gelar kehormatan doctor honoris
causa dari American International University (AIU).
Lembaga pengaju kedua penyanyi itu untuk dianu-
gerahi gelar Dr HC adalah International Management
Indonesia (IMI). Alasan penganugerahan gelar kehor-
matan itu--sesuai yang diceritakan Cici--cukup
menarik bahwa AIU telah mengikuti kegiatan Cici
sebagai pengabdi seni tanpa henti selama dua tahun.
Yang sangat memprihatinkan bahwa yang bersang-
kutan benar-benar menghargai gelar kehormatan
itu sebagai anugerah (Kompas, Minggu 18/8/2002).

Mengingat bahwa di Indonesia masih berlaku Undang-
Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU 2/1989)
yang mengatur dengan jelas tentang Gelar Kehor-
matan, maka penganugerahan gelar kehormatan
kepada Bupati Ponorogo, Cici Paramida, Rama
Aiphama, dan mungkin banyak tokoh lain sebelumnya
sangat melanggar hukum. Paling tidak sangat meng-
herankan bahwa belum tampak adanya tindakan
atau penertiban dari pihak pembuat kebijakan
pendidikan, khususnya DitjenDikti.

Dalam UU 2/1989 Pasal 18 ayat (5) tertulis 'Institut
dan universitas yang memenuhi persyaratan berhak
untuk memberikan gelar doktor kehormatan (doctor
honoris causa) kepada tokoh-tokoh yang dianggap
perlu memperoleh penghargaan amat tinggi berke-
naan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang
ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, atau-
pun kebudayaan. Aturan itu juga tercantum dalam
naskah RUU Sisdiknas--yang sedang digodok di DPR
--pada Pasal 13 ayat (8), dengan menambahkan un-
sur 'kesenian'. Bolehlah dianggap memang Cici dan
Rama berjasa sangat luar biasa dalam bidang keseni-
an, sehingga pantas dianugerahi gelar doctor honoris
causa. Namun, marilah kita tinjau dari segi hukumnya.

Menurut aturan dalam UU 2/1989, jelas bahwa yang
berhak memberikan gelar kehormatan adalah univer-
sitas atau institut yang memenuhi persyaratan. Yang
terjadi pada Cici dan Rama adalah bahwa lembaga
pemberi anugerah memang mengaku sebagai univer-
sitas, bahkan universitas asing. Namun, pihak yang
mengajukan Cici dan Rama bukan masyarakat seni
atau kebudayaan, atau para guru besar dan ahli dari
AIU sendiri, melainkan suatu lembaga yang belum
jelas benar apakah lembaga pendidikan tinggi atau
bukan, yaitu IMI. Aneh, karena seseorang diajukan
menerima gelar doktor kehormatan kepada univer-
sitas asing, oleh lembaga lokal.

Gelar kehormatan Cici dan Rama masih mendingan
karena di Indonesia gelar kehormatan yang ada hanya
doctor honoris causa. Yang lebih konyol adalah gelar
profesor kehormatan untuk Bupati Ponorogo. Sudah
gelarnya diterima dari universitas asing, yang diminta
untuk mengiklankan adalah universitas swasta di
wilayah kerja sang bupati sendiri.
***
Berkenaan dengan pemberian gelar kehormatan ini,
penulis sempat dua kali menerima undangan penga-
nugerahan gelar kehormatan, dari lembaga yang sa-
ma, yaitu Lembaga Informasi Fasilitas Indonesia
(LIFI). Undangan pertama 7 Januari 2002 untuk
wisuda 27 Januari 2002 di Bali Room Hotel Indone-
sia. Pada undangan pertama ini LIFI mengaku seba-
gai sekretariat NCGU, pemberi gelar profesor ke-
pada Bupati Ponorogo. Surat undangan kedua ter-
tanggal 23 Agustus 2002 untuk wisuda 29 Septem-
ber 2002 di Pulau Bidadari Room Hotel Horison.
Anehnya pada undangan ini LIFI mengaku sebagai
sekretariat Chicago International University (CIU).
Undangan kedua ini dilengkapi dengan fotokopi upa-
cara wisuda yang diselenggarakan pada 26 Mei 2002
di Garuda Wisnu Kencana Cultural Park, Bali. Dilihat
dari kedudukan LIFI yang berubah-ubah menjadi
sekretariat beberapa universitas asing--yang ke-
semuanya berasal dari Amerika--sebenarnya su-
dah menggelikan. Lebih menggelikan dan konyolnya
bahwa diundangnya penulis untuk menerima gelar
kehormatan itu berdasarkan hasil Tim Pengamat
CIU. Sayangnya terdapat kesalahan gelar akademik
asli yang telah penulis sandang. Satu-satunya infor-
masi yang salah itu adalah catatan nama penulis
sebagai pelanggan di PT Telkom. Dengan demikian,
jelas bahwa Tim Pengamat CIU hanya melihat buku
telepon.

Lebih lucu lagi bahwa undangan kedua dilengkapi
dengan proposal. Dalam proposal dituliskan bahwa
tujuan pemberian gelar kehormatan itu adalah
'Menampilkan kembali para tokoh terpilih untuk
dijadikan panutan bagi generasi muda dan mema-
cu mereka dalam pembentukan sumber daya ma-
nusia yang handal dan berkualitas'. Sayangnya,
persyaratan administrasi yang harus dipenuhi
salah satunya adalah menyerahkan/membuat
judul skripsi, tesis, disertasi (sesuai dengan pro-
gram yang diambil). Ini jelas tindak pemalsuan
akademik kelas berat. Jadi, jelas bahwa LIFI
hanyalah 'calo' gelar akademik multistrata
palsu. Pemalsuan itu adalah transkrip nilai dari
CIU, AWU, NCGU, dan lain-lain universitas yang
pernah ditawarkannya dan diberikan kepada para
wisudawan. Apalagi, gelar kehormatan boleh dipilih
sesuai dengan keinginan dan tingkat pendidikan
terakhir para undangan wisuda.

Permasalahannya adalah kepada siapa kita harus
mengadu dengan adanya praktik 'obral gelar kehor-
matan'  ini? Kemudian bagaimana menegakkan hukum
kependidikan nasional? Terakhir, mengingat hampir
selalu universitas-universitas yang bermurah hati
dengan berbagai gelar kehormatan itu adalah dari
Amerika Serikat, belum wajarkah kita mengajukan
'proteskeras' kepada Atase Pendidikan dan Kebuda-
yaan Kedubes Amerika Serikat? Ini adalah masalah
kehormatan dari gelar kehormatan, bukan barang
dagangan. Dampak luasnya adalah semakin memper-
malukan bangsa ini.***

/--------------------------------------------------------------------
-
| MILIS MERDEKA KECOAK BUNTUNG :              ---------------------
| - Dari kita untuk kita-kita juga.           ------------------
| - Tempat ngadem buat ngilangin stress.      ---------------
| - Nggak perlu sensor nggak perlu moderator. ------------
| - Ngomong apa aja juga boleh.               ---------
| - Ngirim gambar apa aja juga boleh.         ------
| - Mau numpang ngelamun aja juga boleh.      ---
| - Yang nggak boleh bikin larangan ngomong.  -
\---------------------------------------------

Kirim posting ke alamat kecoak_buntung@y...
Anggota baru daftar kirim email ke kecoak_buntung-subscribe@y...
--- End forwarded message ---