[Nusantara] Benedict Anderson : Nationalisme Kini dan di Masa Depan. (2/4)
gigihnusantaraid
gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 4 08:24:30 2002
Proyek Bersama/Taruhan
l. Sebenarnya mungkin kata "proyek" ini kurang tepat karena
arti-intinya dikaburkan oleh "proyek"2nya zaman Orde Lama ke -2,
sehingga
akhirnya tidak jauh dari arti kata "obyek." Tapi saya belum ketemu
kata
yang lebih baik untuk suatu yang harus diperjuangkan dengan tak ada
selesainya. Karena setiap generasi akan terpaksa mulai berjuang lagi.
Dimata orangtuanya dan negaranya si bayi yang barulahir bisa dianggap
"bayi Indonesia," tetapi proses dimana dia akhirnya menjadi manusia
Indonesia dengan jiwa, komitmen, dan kebudayaan Indonesia akan makan
waktu lama dan tidak pasti akan berhasil. Jadi pada dasarnya
"kontinuitas" suatu bangsa adalah taruhan yang maha besar.
2. Taruhan ini adalah taruhan bahwa ide "masa depan bangsa Indonesia
cukup berakar dalam jiwa warganegara negara Indonesia" sehingga calon
baru anggota bangsa itu bersedia untuk mengesampingkan ataupun
mengorbankan loyalitas2 dan ambisi2 lain untuknya. Dan dalam jangka
panjang ini hanya bisa terjadi kalau bangsa Indonesia, seperti setiap
bangsa lain, mampu berjiwa besar menghadapi majemuknya masyarakat
yang
dalam kasus Indonesia anggotanya lebih dari 200 juta manusia. Dunia
moderen cukup memperlihatkan contoh2 bangsa yang berantakan dan
negara2
yang hancur karena sebagian anggotanya berjiwa kerdil. Dari situ
timbul
beberapa pelajaran untuk kita semua. Yaitu masa depan suatu bangsa
selalu
penuh ketidakpastian.
Ketika saya masih anak kecil ibu membeli - dipasar loak - suatu buku,
khusus unuk anak -- ttg. Sejarah Sastra Inggris. Ternyata menurut bab
pertama buku itu, sastra Inggris mulai dengan syair panjang yang
mirip
lakon tipe alap2an Surtikanti atawa Sumbadra. Ditulis mungkin 1500
tahun
yang lalu dalam bahasa asli orang Irlandia. Mengapa? Karena buku itu
diterbitkan kira pd tahun 1900 dimana Irlandia masih dibawa kekuasaan
Inggris. Belakangan saya mencari edisi2 yg berikutnya, dan lucunya
pada
edisi setelah 1923, bab pertama itu sudah hilang tanpa bekas, karena
pada
tahun itu Irlandia menjadi merdeka, 22 tahun sebelum Indonesia.
Begitu
gampang tugas mencari dan menghilangkan para nenekmoyang. Dan yang
lucu
sekarang ini: orang Inggris sama sekali tidak merasa kehilangan
apa2.
Dan sebagian orang Irlandia sekarang berbahasa Inggris sehingga hanya
bisa baca Alap2an itu melalui terjemahan. Lucunya lagi: hubungan
antara
Irlandia dan Inggris sekarang OK saja. Malahan jauh lebih baik
daripada
abad yang lalu dimana puluhan ribuan orang Irlandia dipaksa lari
mencari
hidup baru di Amerika dan Ustrali
3. Hal ini saya sebutkan karena sering saya meliat bahwa banyak
kelompok di Indonesia berfikir seolah2 "Indonesia" seperti sekarang
ini
cuman suatu "warisan," dan bukan "tantangan" dan "proyek." Dan kalau
warisan, tentunya mesti ada ahli waris, dan makin hebat dan mahal itu
warisan, makin para zogenaamde ahli waris merasa itu harus di"bela"
mati2an, biarpun dengan kekerasan apapun juga. Dan pasti ribut siapa2
saja yang "sebenarnya" si ahli warisa yang paling punya hak milik.
Fikiran2 macam ini tidak hanya bodoh, tetapi bisa berakibat yang
fatal.
4. Ambillah dua contok yang kongkrit: daerah2 Aceh dan Irian.
Selama
pergerakan pembebasan sama sekali tidak ada aspirasi seperti "Aceh
Merdeka" dikalangan orang Aceh. Ketika Revolusi berkobar, Acehlah
satu2nya daerah yang Belanda tidak berani masuk kembali, dan
sumbangan
Aceh terhadap proyek bersama Republik Indonesia besar sekali baik
dalam
bentuk tenaga manusia maupun sumber ekonomi. Justeru karena
Jogjakarta
tidak berusaha dan memang tidak bisa "menaklukkan" Aceh a la
Diponegoro.
.Biarpun pada tahun 1950han dimana ada pemberontakan di Aceh, tak ada
aspirasi akan "cerai" dengan Indonesia, ambisinya cuma melawan usaha2
birokrat dan tokoh politik di Jakarta untuk mengurangi "otonomi" yang
menjadi biasa pada zaman Revolusi. Malahan pada tahun 1970an Aceh
dianggap sangat "aman sentosa" dibawah pimpinan sipil. Dan Hasan di
Tiro
dianggap tidak lebih dari seorang petualang kecil yang pernah
ber-kongkalikong dengan CIA. Sampai sekarang saya belum yakin bahwa
mayoritas orang Aceh sudah 100% putus asa dengan tak terjelmanya
proyek
Indonesia bersama dimana mereka punya kekebasan untuk menyumbang
secara
sukarela. Tetapi pada akhir tahun 1980an ide Aceh Merdeka sempat
populer
hanya karena "keputus-asaan" tadi mulai timbul. Lantaran kerakusan
orang2
pusat, lalu dikesampingkannya orang Aceh dirumahnya sendiri oleh
"pesuruh" orang pusat, dan digantinya pimpinan sipil lokal dengan
pimpinan militer asal Jawa. Semua ini <bold>mengatakan</bold> kepada
anakmuda di Aceh; <bold>Kamu sudah nggak masuk proyel bersama lagi.
Kami
tidak memerlukan mu. Yang kami perlukan adalah sumber alammu.
Bagusnya
kalau Aceh dikosongkan dari orang Aceh.</bold> Dari situ timbul
horor2
yang barusan dibongkar suratkabar2.
Irian mungkin tidak terlalu jauh dari Aceh. OPM baru timbul setelah
Orde Baru didirikan, bukan sebelumnya. Dan bahasanya tetap bahasa
Indonesia. Tapi manipulasi + ancaman yang disetir Ali Murtopo supaya
Irian Barat "100%" setuju menjadi bagian dari Indonesia, cukup
menjelaskan bahwa dimata orang2 dipusat, yang penting Irian bukan
orang
Iriannya. Nota bene pikiran macam ini adalah pikiran si Negara, si
<bold>Siluman</bold>, bukan pikiran si bangsa. Dengan sikap demikian
dimana seolah2 "sayang sekali ada orang Irian di Irian," orang Irian
tidak pernah secara serius diikutsertakan dalam proyek bersama,
sehingga
mereka cepat merasa diri dijajah dari Jakarta. (Sayangnya masih ada
banyak yang yakin bahwa kolonialisme hanya bisa dipraktekkan oleh
bule
atas orang2 yang kulit berwarna, padahal itu nonsens yang sangat
nyata).
Dari situ juga timbul horor2, sampai pada sesuatu waktu penghuni
suatu
kampung sebagian dibakar hidup2 oleh oknum abri, dan sisanya dipaksa
makan "sate" manusia berupa mereka punya sanak-kadang. Horor2
demikian
tak masuk diakal siapa saja pada zaman Revolusi, biarpun zaman PRRI-
ataupun DI. Dan dengan jelas sekali itu horor menunjukkan bahwa
dimata
orang2 abri tertentu, orang Irian bukan "bangsa Indonesia," cuman
bawahan
si Siluman.
Jadi Aceh Merdeka dan OPM bisa timbul hanyalah karena praktek2 Orde
Baru, dengan sikapnya yang; "sayang ada orang Aceh di Aceh dan orang
Irian di Irian," dan dengan pikiran si Siluman bahwa orang Indonesia
adalah bawahannya, suruhannya, kalau bukan budaknya.
Sehingga situasi sekarang ini cukup gawat, dan hanya bisa dirawat
dengan
perobahan total dalam alam fikiran orang2 sombong dipusat. Yaitu:
harus
diadakan otonomi yang serius, dimana orang Aceh dan Irian bisa merasa
"dirumahnya" sendiri sekali lagi. Ini hanya mungkin terjadi kalau
pemilihan2 yang bebas menjadi normal, khususnya pada tingkat daerah.
Gubernur dan Bupati tidak boleh ditentukan oleh Mendagri, tetapi oleh
rakyat lokal. Di DPRD hanya boleh ikut orang2 yang betul2 lama
bermukim
di daerah2 itu, lalu mesti dihapusnya kursi2 khusus untuk ABRI
berasalan
dari Indonesia Barat, dan sebagainya. Jika hal beginian dibiarkan
larut.
Bisa jadi nanti timbul cakar2an, korupsi dllnya, malahan mungkin ada
kekerasan sana-sini warisan dari manipulasi Orde Lama ke-2 yang sudah
lewat. [Tapi ini semuanya masalah kecil dibandingkan dengan
eksploitasi
dan horor2 yang pernah terjadi selama kediktaturan Harto]. Dengan
demikian orang Aceh dan Irian sekali lagi diajak, dibujuk untuk masuk
proyek bersama, saya ulangi suatu proyek horizontal, bukannya
diboyong,
ditaklukkan masuk proyek vertikal. Warisan Diponegoro - "ingin
menaklukkan Indonesia." Ini harus dibuwang jauh.
Dan kita harus realistis dan menyadari bahwa "otonomi yang beneran,
bukan yang semu" akan mengakibatkan Indonesia akan menjadi semacam
negara
federalis. Ini tak perlu menjadi momok. Negara yang paling besar di
Amerika Latin, Brazil" federalis: AS dan Kanada juga begitu. Negara
Afrika yang paling besar jumlah penduduknya, Nigeria, maunya kesana.
India sempat mempertahakan, walaupun dengan godaan kearah
kediktatoran
sering ada, sistim federalisnya sampai 50 tahun. Rusia pun arahnya
kesana. Untuk Negara yang Besar, federalisme itu NORMAL. Negara yang
besar dan tidak federalistis, cuman RRT, dan ini juga tidak bisa
tahan
lama; apalagi saya yakin sedikit sekali orang Indonesia yang merasa
harus ikut contoh RRT. Negara yang berjumblah 200 juta manusia tak
bisa
diatur dengan sistim kediktatoran picik seperti yang bisa laku
dipulau
kecil macam Singapura.
Nah, ini pasti bikin banyak orang yang bakal berkaok "negara
federalis"
itu konsep Belanda -- walaupun Belanda tak ada urusan lagi di
Indonesia
hampir 50 tahun yang lalu. Atau: negara federalis pasti ditunggangi
musuh
Indonesia, untuk memecahkan persatuannya. Tapi musuh itu siapa?
Tidak
ada.
Atau: U2D 45 itu suatu "warisan keramat" yang tak bisa diganggugat.
Fikiran tipe ini juga nonsens. U2D apapun juga timbul pada suatu
zaman
tertentu dan lama2 dirobah dinegara manapun juga menurut keperluan
dan
panggilan zaman. U2D yang tahan paling lama sampai sekarang ini
yaitu
U2D AS, berangsur2 dirobah sedemikian rupa sehingga kalau Jefferson
bisa
hidup kembali pasti beliau akan bengong melihat nasibnya. yah, Mental
"fosil" begitu cuman akan menimbulkan masalah yang lebih berat lagi.
Bersambung ke 3/4 ----