[Nusantara] Benedict Anderson : Nationalisme Kini dan di Masa Depan. (3/4)
gigihnusantaraid
gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 4 08:24:34 2002
5. Kalau proyek bersama bisa hidupkan kembali dan menjadi suatu
kekuatan
yang nyata, harus diusahakan supaya segala macam sadisme yang
merajalela
dihentikan, sebaiknya untuk selamanya. Bisa mulai dari tingkat kecil
saja.
Kalau baca laporan aktivis pergerakan nasional pada tahun 20an dan
30an,
mereka jarang bicara tentang penganiayaan, pemukulan, apalagi
penyetroman
atawa eksekusi diluar hukum. Tapi praktek demikian selama 30 tahun
belakangan ini sudah menjadi :"lumrah" dikalangan polisi dan tentara.
Orang ditangkap dengan tuduhan ini itu - dan belum tentu salah -
secara
rutin dipukul dulu. Hal2 demikian memang ada pada tahun 50an,
tetapi pasti
bukan "rutin." Praktek seperti itu yang 100% melanggar hukum, kalau
dipraktekkan secara rutin berarti bahwa orang2 yang tugasnya ialah
memjaga
otoritas moral dari hukum itu, hari demi hari melanggarnya dengan
impunitas. Orang yang tertangkap tidak melihat si polisi atau si
tentara
sebagai sesama Indonesia, tetapi sebagai seorang calon pemeras atawa
algojo. Dan lama2 sebagian dari orang2 yang dibrutalisasi oleh alat
keamanan, kalau tidak mampus, sudah siap untuk menjadi "preman" yang
berguna. Sampai bisa belajar dari alogojonya dan mendewakannya.
Kita semua
tahu betapa jauh proses premanisasi politik di Indonesia telah
berlarut.
Sehingga hampir setiap grup punya tukang pukul, pembunuh, dan
jaringan
intel. Dan koran2 Indonesia juga ikut tanggungjawab karena sedikit
banyak
menokohkan orang2 seperti Yorries, Yapto, Sumargono, Anton Medan,
Hercules
dan sebagainya.
8. Tetapi proses brutalisasi mulai jauh sebelum itu. Pada zaman
pergerakan, sering terjadi pertengkaran berat antara beberapa
kelompok
diantaranya. Tapi rasanya tak pernah masuk pikiran mereka masing2
bahwa
"lawannya" perlu atawa bisa disetrom, dikebiri, digantung, dibakar
hidup
dan sebagainya. Lawan itu lawan, bukan binatang. Sedikit banyak
masih ada
sifat satria. Peradaban pergerakan masih lumayan. Setelah itu lama2
mundur. Pada peristiwa Madiun sudah mulai timbul horor, dalam
situasi yang
sangat darurat dan serba tidak tentu. Orang ini-itu dianggap bukan
Indonesia karena antek NICA-CIA-KBG dan sebagainya. Jadi boleh
diperlakukan
sebagai binatang. Tapi horor2 ini sebagian besar berdasarkan emosi
belaka.
Bukan dendam. Buktinya dua tahun setelah peristiwa Madiun orang PKI
sudah
nongol lagi di Parlemen secara normal.
Krisis kebrutalan modern di Indonesia timbul pada tahun 65. Dan
selama
kasus 65 tidak di"hadapi" secara jujur dan terbuka, proses
pengroposan
terhadap tingkat moralitas yang tinggi dari "proyek bersama"
[berbangsa]
akan berlangsung terus. Saya disini tidak mau membicaraan secara
mendetail
siapa yang salah dan siapa yang tidak bersalah dalam hal ini. Buat
saya
yang penting hanya dual hal. l. Pada pagi hari tanggal 4 Oktober
Harto cs
sudah terima laporan dari dokter2 UI yang menyelidiki jenazah para
jendral
yang dibunuh pada pagi hari tgl. 1 Oktober, isinya yah mereka
dibrondol
bedil dan mayat mayatnya rusak karena dilemparkan kedalam sumur.
Tapi pada
tanggal 6 Oktober, mulai nonggol di TV dan di koran, yang dikuasai
100%
oleh Harto cs, berita bahwa jendral2 itu tadi diconkel matanya dan
dipotong
kemaluan2 nya oleh wanita2 Gerwani. Mulailah suatu propaganda yang
berdasarkan dusta, oleh geng sadis yg sangat dingin, mungkin lebih
dingin
daripada tokoh utama Nyali, novel Putu Wijaya, yang sampai sekarang
adalah
novel paling hebat menggambarkan jiwa pokoknya Orde Baru. Sebagai
akibat
dari propaganda yang berdusta itu, paling sedikit 500,000 calon
anggota
proyek bersamanya bangsa Indonesia lenyap nyawanya; dipancung,
dibrondol.
dipenggal segala apa. Dan ini 100 % diluar hukum yang beradap. Sampai
sekarang tidak ada seorangpun juga yang diadili karena pembunuhan
massal
ini. Pada dasarnya Orba almarhum itu didirikan atas basis pembunuhan
massal
yang terentjana tadi.
Akibatnya terasa sampai hari ini. Jangan hanya tanyakan kepada tokoh
utama orde kropos itu tadi. Tapi, apakah Abdurahman Wahid, penjunjung
tinggi hak azasi manusia, pernah minta maaf atas nama NU terhadap
puluhan
ribu orang yang dibunuh Ansor dan NU. Rasanya tidak. Apakah Megawati
yang
merasa dikerjain si Raja Orba, pernah minta maaf atas puluhan ribu
orang
yag dibantai (termasuk anggota sayap kiri almarhum partai PNI
sendiri) oleh
orang2 Banteng ? Rasanya tidak. Apakah pernah ada tokoh Katolik atawa
Protestan yang minta maaf atas ikutsertakan ormas mereka pada
penyembelihan
itu tadi, yang diilhami oleh bangsanya Liem Biankie, Hari Tjan
Silalahi,
Frans Seda dan banyak lagi. Sama sekali tidak. Orang intelek2
apatah
lebih baik? Tidak ada, kecuali almarhum teman saya Si Soe Hok Gie
yang pada
tahun 1967, bukan 1997, sudah protes. Tapi orang2 PSI? Diam seribu
bahasa.
Orang2 universitas? Diam seribu bahasa. Dari situ kita bisa melihat
bahwa
hampir semua tokoh "oposisi" yang sekarang ini, sebenarnya bukan
oposisi
yang beneran, karena semuanya sedikit banyak kongkalikong dengan
basis
moral dari Orde Kropos, dan belum bersedia menjadi orang Indonesia
yang
sejati. Sejarah yang sebenarnya mereka semua hindari, dan anak2 muda
disekolahan mungkin paling baik dikasih tahu bahwa pernah
ada "tragedi"
nasional, atawa "trauma nasional." Titik.
Horor 65, dimana sebagian orang Indonesia dianggap binatang atau
setan,
yang karena itu boleh diperlakukan secara sadis dan 100% diluar
hukum, ada
banyak akibat yang menyedihkan. Mungkin yang paling menyedihkan
adalah
bahwa setelah itu dikalangan militer timbul konsep bahwa "apa saja
boleh"
asal ada perintah dari bos, dan pasti dia tidak akan menjalankan
proses
hukum. Dan kesempatan pertama untuk menunjukkan perobahan mental ini
timbul ketika diusahakan pencaplokan terhadap Tim Tim pada tahun 75.
Seperti diketahui antara 1977-1980, sepertiga dari penduduk TT itu
mati
secara tidak normal : dibunuh, dibakar, mati kelaparan dan
sebagainya.
Sebagai akibat politik penjajah-teroris yang berasal ... di Jakarta.
Proporsi demikian kalau diterapkan kepada sukubangsa Jawa sekarang
ini akan
berarti matinya 30 juta manusia dalam batas waktu 3 tahun. Mengerikan
bukan? Kejahatan yang besar, bukan?
Tapi yang penting dalam konteks hari ini bukan itu. Yang penting
ialah
bahwa satu rencana "penaklukkan" si Siluman yg didepan umum
diselimuti
dengan kebohongan berkulit badak: orang TT adalah saudara kita, dan
dengan
gembira mau ikut proyek bersama yang mulia. Tapi dalam pembicaraan
sehari2
daripda pejabat yang bersangkutan, topeng mulia ini sering
kebadaran, dan
taringnya nongol. Betapa sering mereka menggerutu bahwa orang
TT "tidak
tahu rasa terima kasih atas kebaikan kita," tanpa menyadari bahwa
kata2
yang persis itu sering keluar dari mulut penjajah Belanda tempo dulu.
Pribumi Hindia Belanda tidak tahu rasa terima kasih atas usaha2 kita
untuk
membantu mereka, mendidik mereka, memakmurkan mereka." (Sebaliknya
betapa
aneh dikuping kita kalau ada seorang pejabat mengatakan Aduh orang
Madura
tidak tahu rasa terima kasih.....) Dan sekali lagi kita dapat kesan
bahwa
pikiran sebenarnya adalah: sayang sekali ada orang TT di TT."
Dari 1975 sampai akhirnya tahun 80han, TT menjadi daerah yang
tertutup
pun untuk sebagian besar bangsa Indonesia, dan karena itu "apa saja
bisa
terjadi." Kopassus menjadi perintis dan tauladan dalam hal ini:
Eksekusi,
penganiayan, sekali lagi menjadi normal. "Ninja" pun timbul pertama
disitu. Lama2 kebudayaan Siluman ini mengalir keluar TT. Kasus
Petrus
adalah contoh yang pertama, dan setelah itu ngalir dari Jawa ke
Irian dan
Aceh, dimana praktek2 ala Petrus diteruskan. Yang sebenarnya
daerah2 ini
bukan daerah yang rawan, tetapi manusia2 yang dirawankan oleh
Siluman dan
agen2nya. Pernah saya berusaha untuk "menghitung" berapa kira2
korban
(yang mati saja, bukan yang cacad, dan sebagainya) antara 65 and 98
dari
kekuatan inti Orde Kropos. Paling sedikit 500,000 ribu pada tahun 65,
200,000 di TT antara 1976-80, 8,000 selama Petrus, mungkin 30,000 di
Aceh,dan 20,000 di Irian. Hampir 800,000 calon anggota proyek
bersama!
Dengan demikian, saudara2 akan mengerti mengapa saya cuma bisa geleng
kepala bahwa "oposisi" sekarang hanya sibuk dengan "duit yang di
rampas
oleh tokoh2 utama Orde Kropos," tetapi tak mau bicara tentang hal
yang
seribu kali lebih buruk dan busuk: Yakni pembunuhan terencana dalam
skala
yang tak pernah terjadi di sejarah kepulauan Nusanatara.
Belakangan ini timbul suatu ironi. Presiden Habibie yang banyak
dicacimaki
sebagai "anakmas"nya Harto, atawa pionnya, justeru cukup baik dan
berani
untuk ambil keputusan untuk menghentikan kolonialisme yang sadis dari
mantan bosnya. Sedangkan, sekali lagi, dengan pengecualian yang
perlu
dipuji Amien Rais, tokoh "oposisi" lain menunjukkan 100% bahwa
mereka
masih tenggelam dalam kegelapan moral Orde Kropos. Yang paling
memalukan
adalah justeru bahwa putrinya Bung Karno, yang dijatuhkan dan dihina
oleh
Harto, dan tak pernah mengatakan bahwa TT adalah sebagian (apalagi
bagian
abadi) dari Indonesia, sekarang malah mati2an membenarkan politik
"integrasinya Harto." Sayang seribu sayang. Terasa bahwa bukan
seorang
Megawati yang bicara demikian, tetapi seorang Mini-wati. Mirip
tanaman
kerdil dan lumuten yang biasanya tumbuh dibawah naungan pohon
beringin
ranggas, mati.