[Nusantara] Benedict Anderson : Nationalisme Kini dan di Masa Depan. (4/4)
gigihnusantaraid
gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 4 08:24:40 2002
Kesimpulan Sedikit.
A. Zaman sekarang kita bisa lihat bahwa organisasi dan lembaga yang
memperjuangkan "hak2 azasi manusia" berkembang dan berbiak dengan
baik.
Sebagian karena usaha dari individu2 Indonesia, dan sebagian lain
karena
usaha dari orang luar negeri. Dan ini semuanya, saya pikir, pantas
dan
semestinya. Yang kurang kita liat sekarang ini adalah organisasi
yang
memperjuangkan "hak2 azasi manusia proyek Indonesia," jadi haknya
orang2
yang kebetulan lahir di Indonesia untuk ikut nyumbang ke proyek itu
dengan sukarela dan malahan dengan antusias; hak untuk tidak
diperlakukan
oleh sesama bangsa sebagai binatang, budak, atawa alien. Tentu saja
hak
azasi manusia Indonesia itu hanya bangsa Indonesia yang bisa
menjaga dan
mengembangkannya. Kalau perjuangan macam ini tidak dikerjakan dengan
tanpa pamrih, masa depan bangsa akan suram rasanya. Mental "sayang
ada
orang Flores-Katolik di Flores," sayang ada Tionghoa di Glodok,
sayang
ada Dayak di perhutanan Kalimantan, bisa berkembang terus - logika
sampai
ke titik sayang ada orang Jawa di Jawa. Tapi disitu akan berhenti
karena
orang2 yang penuh rasa sayang ini tidak akan sampai hati mengatakan
sayang di Jakarta ada orang Jakarta.
B. Dikoran dan internet istilah "reformasi" dan (kadang2) revolusi
sering kedengaran atawa terbaca. Boleh juga, asal punya isi dan bukan
topeng saja. Tetapi disamping keperluan2 itu tadi, saya sendiri
mengharapkan hidup kembalinya proyek bersama yang besar yang
dicetuskan
belum seratus tahun yang lalu. Proyek besar macam ini juga
menimbulkan
manusia yang besar jiwanya. Sebutlah : Dr. Soetomo, Natsir, Tan
Malaka,
Sjahrir, Mohammad Roem, Hasjim Ansjari, Yap Thiam Hing, Armijn
Pane,
Hatta, Sudirman, Pramoedya, Siauw Giok Tjan, Sukarno, Chairil Anwar,
Kartini, dan begitu banyak lagi timbul didalam era itu. Mencari
orang2
sekarang yang sekaliber mereka rada sulit. Slama sepuluh tahun
terakhir
ini, setiap kali ada anak muda Indonesia nongol di Cornell, saya
selalu
mengajukan pertanyaan yang sederhana ini kepada mereka: Siapa orang
Indonesia yang hidup sekarang yang saudara kagumi. Dan hampir setiap
waktu, jawaban pertama adalah: garuk kepala. Lama2 yang biasanya
disebut yah Iwan Fals. Apa tidak mengerikan?
Tentu tidak semua orang bisa jadi "orang besar" dalam arti yang baik.
Tetapi setiap orang bisa ambil keputusan untuk tidak menjadi orang
kerdil.
C. Penghidupan kembali proyek besar akan memerlukan perombakan
sistim
pemerintahan kearah otonomi penuh bagi masing2 daerah, kearah
kebudayaan
politik yang sehat dan bersifat satria, dan dihentikan secara total
dari
proses brutalisasi, premanisasi, dan sebagainya. Juga akan memerlukan
rasa cinta yang beneran terhadap institusi/lembaga nasional. Disini
saya
cuma ingin sebutkan satu saja yang toh mahapenting: pendidikan,
khususnya universitas. Diakui secara umum bahwa kwalitas dan
kebudayaan
universitas sudah jauh memburuk selama Orde Kropos. Guru sibuk
dengan
"proyek-obyek, kebiasaan nyontek seenaknya, perpustakaan yang
memalukan,
sikap otoriter adminstrasi, korupsi/pungli yang merajalela, dan
sebagainya. Diantara sebab2nya yang jarang dibicarakan ialah sikap
a-nasional dari sebagian kelas penguasa dan kelas menengah Jakarta,
yang
merasa bahwa anak2 mereka perlu dididik diluar negeri atawa di
sekolah
internasional. Sikap itu tentunya menempatkan universitas2 di
Indonesia
sebagai "cukup" untuk orang bawahan, jadi biarin jadi berantakan.
Bagus
juga kalau untuk 10 tahun nanti, dilarang anak Indonesia disekolahkan
diluar negeri kecuali (mungkin) pada tingkat MA/PHD. Tapi siapa akan
berani?
D. Terakhir. Dalam buku saya yang baru diterbit, secara setengah
kelakar
saya ajukan slogan baru yang baik untuk masa depan setiap bangsa.
Slogan
itu berbunyi: Long Live Shame! - Atawa: Hidup Rasa Malu. Mengapa itu
penting? Karena seorang nasionalis bukanlah nasionalis sejati,
kalau dia
tidak sempat "merasa malu" kalau bangsanya, apalagi Silumannya,
berbuat
horor2 dan sebagainya. Dia akan merasa bukan bahwa "mereka" yang
membuatnya,. Tetapi dalam batas tertentu dia juga harus ikut
tanggungjawab. Pada waktu Perang Vietnam, gerakan anti-perang di
Amerika
sebagian dihidupi oleh rasa malu yang baik. Mereka merasa malu bahwa
negara mereka, menghancurkan sampai 3 juta manusia di Indocina; anak
kecil, wanita, kakek-nenek selain serdadu yang dihadapinya. Malu!
Bahwa
Presiden Nixon dan Johnson berbohong kiri-kanan dengan kulit badak.
Malu
bahwa sejarah bangsanya dinodai oleh kekejaman, kebohongan, dan
sebagainya. Karena itu mereka bangkit. Bukan sebagai orang2 humanis
universal, tetapi sebagai orang Amerika yang cinta pada proyek
bersama
mereka. Rasa malu politik ini sangat penting, dan sangat baik.
Jikalau itu bisa berkembang, orang Indonesia akan berani menghadapi
horor2 yang terjadi selama Orde Kropos bukan saja sebagai "bikinan
mereka" tetapi sebagai beban bersama. Dengan demikian sikap :
<bold>tidak melihat, tidak memdengar, dan tidak bicara</bold> lama2
akan
lenyap. Jadi jangan slogan kecil ciptaan saya: Hidup Rasa Malu.
Terima Kasih.