[Nusantara] Kata Pengantar Buku "Aku Bangga Menjadi Anak PKI"

gigihnusantaraid gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 4 08:24:51 2002


Kata Pengantar Buku "Aku Bangga Menjadi Anak PKI"
 
Orientasi Adalah Bagian Dari Idiologi
Oleh: Abdurrahman Wahid

Pengantar ini hanya membicarakan Bab I dari tulisan dr. Ribka 
Tjiptaning
Proletariyati (selanjutnya, ditulis dr. Ribka, penulis), 
berjudul "Aku 
Bangga
Menjadi Anak PKI". Ada dua alasan mengapa kata pengantar buku ini 
ditulis hanya
mengenai Bab I, dan tidak mencakup bab II dan bab III. Pertama, 
dalam 
pembahasan
bab II dan III, tanpa membahas tindakan pelanggaran konstitusi yang 
dilakukan
Megawati Soekarnoputri, dkk, adalah merupakan kekurangan yang sangat 
besar,
bahkan- boleh dikatakan penggelapan sejarah. Kedua, memang 
keseluruhan 
isi buku
ini diberi kata pengantar berkenaan dengan orientasi dari ideologi 
yang
dibawakan oleh institusi/lembaga bernama Partai Komunis Indonesia 
(PKI). 

Banyak cara untuk meninjau idiologi tersebut, tetapi buku ini hanya 
membicarakan
orientasi partai tersebut. Pembicaraan tentang orientasi PKI ini 
menunjukkan
pembelaannya terhadap kepentingan rakyat kecil, yang oleh Karl Marx 
dan
Friederich Angels disebut sebagai kaum proletar. Tetapi, komunisme 
dapat dilihat
dari berbagai sudut yang tidak seluruhnya sesuai dengan azas 
peri-kemanusiaan.

Ketika Mao Zedong mengalahkan Chiang Kai -Sek tahun 1949 dari 
Beijing, 
ia segera
memerintahkan pengadilan rakyat atas kaum borjuis dengan korban dua 
belas juta
jiwa manusia ditembak mati di seluruh daratan China. Gerakannya 
untuk 
melakukan
revolusi besar kebudayaan proletar memakan belasan juta jiwa, semua 
itu
dilakukan untuk kemurnian budaya kaum proletar. Bagaimana kita harus 
menjelaskan
hal ini secara kemanusiaan? Inilah yang membuat mengapa kata 
pengantar 
buku ini
hanya dibatasi pada bab I belakang saja. Bahwa, penulis buku ini 
memiliki
orientasi yang benar- hal itu tidak perlu diragukan lagi. Bahkan, 
orientasi itu
sangat jelas berjalan seiring dengan orientasi penulisnya, yaitu 
rasa 
peri-
kemanusiaan yang tinggi.

Dalam hal ini, penulis buku ini memiliki orientasi yang bersamaan 
dengan apa
yang dimiliki oleh penulis pengantar buku ini. Ayah penulis 
pengantar 
buku ini
adalah seorang pejuang gerakan Islam yang militan, tapi memiliki 
orientasi
peri-kemanusiaan yang tinggi. Karenanya, ia selalu bersikap simpati 
kepada
kepentingan rakyat kecil, sebagaimana ia dipahami dan dilihat 
sehari-hari. Kalau
ayah dari dr. Ribka adalah seorang ningrat dengan kakayaan besar 
sebagai
konglomerat waktu itu, orientasinya jelas berpihak kepada 
kepentingan 
rakyat.
Ayah penulis pengantar buku ini- pun seorang putera Kyai besar yang
diistimewakan oleh para pengikutnya dalam segala hal, tetapi ia 
membela
kepentingan rakyat banyak dan ia tidak menjadi aktivis partai 
komunis, 
melainkan
menjadi penggerak idiologi agama. Namun ia menentang negara agama, 
karena hal
itu akan membedakannya dari kedudukan warga negara non-muslim. 

Sangatlah menarik untuk berspekulasi, bersediakah ayah dr.Ribka 
menerima gagasan
DN Aidit tentang sebuah negara komunis? Bisakah ia menjadi seorang 
Boris
Pasternak yang kecewa pada komunis? Dapatkah ia menjadi Milovan 
Djilas, 
yang
menganggap para fungsionaris partai komunis Yugoslavia sebagai kaum 
apparatchik
penindas rakyat dengan demikan menjadi "kelas baru"? 

Karena alasan di atas, penulis kata pengantar buku ini lebih 
mengutamakan aspek
peri-kemanusiaan dari aspek-aspek yang lain. Dari buku ini, tampak 
sekali
generasi muda banyak memiliki orientasi kerakyatan dan mereka 
menyatakan
berpegang pada sebuah idiologi. Sikap ini sekaligus mengungkapkan 
kelemahan dan
kekuatan pendekatan orientatif yang mereka miliki. Kelemahannya, 
dengan 
tidak
berpegang pada "sisi keras" idiologi seperti ini, tidak satupun 
idiologi yang
berhasil diterapkan secara menyeluruh di dalam kehidupan masyarakat 
bangsa kita.
Dengan demikian, bangsa kita menjadi apa yang dikatakan Gunnar 
Myrdal 
sebagai
"bangsa lunak" (soft nation). 

Kekuatannya, orientasi kerakyatan tersebut akan tetap menjadi 
panduan 
kita
sebagai bangsa dan kita tidak akan pernah terpecah-pecah secara 
serius. 
Saudara
dr.Ribka yang komunis dan penulis kata pengantar buku ini yang 
Islamis 
dapat
bergaul dengan mudah karena kami berdua penganut asas peri-
kemanusiaan. 
Idiologi
adalah perambah jalan bagi kita berdua.

(Ketika mendiktekan kata pengantar buku ini, penulis kata pengantar 
buku ini
(Abdurrahman Wahid red) baru saja mendapat pesan dari mantan 
Presiden 
Soeharto,
diajak melepas Tommy Soeharto dari penjara Cipinang ke Nusa 
Kambangan. 
Walaupun
Tommy Soeharto pernah mengeluarkan uang belasan milyar rupiah untuk 
demo
melengserkan penulis kata pengantar buku ini dari kursi 
kepresidenan, 
dengan
langsung ia menjawab bersedia).

Bukankah Tommy Soeharto berada dalam kedudukan sebagai narapidana, 
dan 
mantan
Presiden Soeharto menunjukkan penghormatan yang besar pada 
kedaulatan 
hukum?
Bahwa nama Soeharto, atau dirinya sekalipun, pernah digunakan untuk 
menindas
orang lain, bagi seseorang seperti penulis kata pengantar ini, 
mengharuskannya
menghormati mantan Presiden tersebut. Inilah konsekuensi terjauh 
dari 
sikap
berperikemanusiaan yang dianut oleh penulis kata pengantar buku ini.

Karena sikap seperti inilah, lalu penulis kata pengantar buku ini 
dihujat oleh
sementara aktivis gerakan Islam yang disebut "muslim garis keras", 
karena
mengusulkan dicabutnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat 
Sementara (TAP
MPRS) No. XXV tahun 1966, yang melarang penyebaran Marxisme-
Leninisme 
dan Partai
Komunis Indonesia (PKI) sebagai sesuatu yang tidak demokratis. Sikap 
menolak TAP
MPRS tersebut, karena atas dasar perikemanusisan. Dalam bahasa 
komunisme, sikap
ini membuat penulis pengantar buku ini sebagai "sesama pejalan" 
(fellow
traveler), karena rasa peri-kemanusiaan yang tinggi. 

Memang sikap seperti ini sering dianggap sebagai sesuatu yang 
bersifat
tanggung-tanggung, dan tidak akan pernah menghasilkan negara yang 
benar-benar
komunis, nasionalis ataupun Islam. Tapi, bukankah ini jauh lebih 
baik 
dari
pembantaian dan penjagalan manusia secara besar-besaran, seperti 
yang 
terjadi di
tempat-tempat lain? Dalam sejarah umat manusia, hal ini sering kita 
jumpai-
misalnya, Akhnaton dalam sejarah Mesir kuno, Gramsci di lingkungan 
kaum 
komunis
pada tahun-tahun 60-an, adalah contoh dari sikap ini. Panglima besar 
Jenderal
Sudirman yang memimpin Amgkatan Perang kita dari tahun 1945 hingga 
1949, adalah
contoh yang sangat baik dalam hal ini.

Kalau mengingat hal ini, maka kita harus bersyukur memiliki ribuan 
orang
pencipta idiologi yang memiliki rasa peri-kemanusiaan yang tinggi.
Ini yang menerangkan mengapa dr.Ribka- yang berasal dari keluarga 
ningrat dan
golongan borjuis menjadi anggota PKI. Ini juga yang menerangkan 
mengapa 
Megawati
Soekarnoputri yang berasal dari keluarga rakyat kemudian mengikuti 
aspirasi
borjuis yang ada. Intinya, karena dalam masyarakat kita sangat kecil 
jumlahnya
orang-orang yang benar-benar memiliki idiologi seperti di negeri-
negeri
lain-seperti dikatakan di atas. Hal ini menjadi kelemahan dan 
sekaligus 
kekuatan
kita sebagai bangsa. Dikatakan kekuatan, kalau rasa perikemanusiaan 
itu 
dapat
diterjemahkan dalam usaha-usaha yang luas untuk mewujudkan prinsip
peri-kemanusiaan. Kalau tidak, akan menjadi kelemahan yang dapat 
menggerogoti
capaian-capaian yang diraihnya di masa lampau. Sumpah serapah dan 
maki-makian
atas tidak idiologisnya perjuangan yang dilakukan, seperti yang 
dilakukan oleh
kelompok-kelompok Islam kanan yang berhaluan keras 
terhadap "perjuangan 
kaum
tradisional", menggambarkan kenyataan yang sangat memilukan akan 
munculnya
gerakan Islam dari kaum kanan dalam upaya idiologisasi yang mereka 
lakukan. Ini
adalah sebuah kenyataan yang harus diterima sungguh-sungguh, apabila 
diinginkan
upaya penyebaran Islam secara idiologis. Kalau tidak demikian, 
satu-satunya cara
adalah perjuangan kultural. Pengingkaran atas kenyataan ini hanya 
akan
menghasilkan sikap sok pahlawan, yang justru tidak mencerminkan 
sikap 
bangsa
kita yang menginginkan salah satu dari pendekatan ini: pendekatan 
kultural, yang
sama sekali tidak didasarkan pada upaya kemasyarakatan.

Jakarta, 10 Agustus 2002

Abdurrahman Wahid, Kata Pengantar Buku "Aku Bangga Menjadi Anak PKI" 
Biografi
dr. Ribka Tjiptaning Proletariyati, 2002.