[Nusantara] Pembelajaran Kasus Pemecatan Anggota DPR Amerika Serikat
gigihnusantaraid
gigihnusantaraid@yahoo.com
Sat Oct 12 10:36:01 2002
Pembelajaran Kasus Pemecatan Anggota DPR Amerika Serikat
Kompas - Sabtu, 27 Juli 2002
KEHORMATAN, martabat, dan citra Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Amerika
Serikat (AS) mendapat sorotan tajam sebagai imbas atas skandal salah
satu anggotanya, James Traficant. Anggota DPR dari Partai Demokrat itu
dipecat atas tuduhan melakukan penyuapan, pemerasan, dan penggelapan
pajak.
Hampir seluruh anggota DPR merasa sangat tertampar. Kesalahan
Traficant yang
berasal dari daerah pemilihan Ohio itu dianggap mengkhianati
kepercayaan
rakyat, sekaligus menghancurkan kehormatan,
martabat, dan citra Kongres (Senat dan DPR).
Posisi DPR maupun Senat dalam sistem ketatanegaraan AS memang sangat
tinggi. Kongres merupakan simbol keluhuran demokrasi, tempat berkumpul
orang-orang pilihan sebagai wakil rakyat yang memiliki
integritas, tanggung jawab, etika, dan kehormatan.
Rakyat AS pun menaruh hormat dan membanggakan perilaku para anggota
Kongres.
Tidak sedikit negara di dunia mengacu pada cara kerja, dedikasi, dan
integritas para anggota Kongres AS. Sebaliknya pula, AS
mengajarkan para anggota DPR atau Senat di negara-negara lain
bagaimana
harus berperilaku dan menjalankan tanggung jawabnya.
MASUK akal, rakyat AS maupun masyarakat dunia sangat sensitif terhadap
setiap kesalahan yang dilakukan anggota DPR dan Senat AS. Semua dibuat
terhentak oleh skandal pemecatan Traficant.
Hasil kerja tim investigasi, yang mirip dengan Panitia Khusus
(Pansus) di
DPR RI, menyimpulkan bahwa Traficant bersalah pada sembilan dari 10
tuduhan
pelanggaran etik, dan merekomendasikan pemecatannya.
Para anggota DPR memberikan suara hari Rabu 25 Juli dengan suara
dukungan
420 berbanding satu terhadap pemecatan Traficant, yang beberapa kali
terpilih sebagai anggota DPR sejak tahun 1984.
Sementara proses hukumnya dimulai bulan April lalu ketika panel juri
di
Cleveland, Ohio, yang memutuskan Traficant terbukti bersalah dalam 10
kasus
suap, pemerasan, dan penggelapan pajak. Putusan juri
ditanggapi DPR tanpa niat sedikit pun untuk menyembunyikannya.
Pekan lalu Komite Standar Perilaku Resmi DPR menyatakan, Traficant
memang
bersalah, terutama pada sembilan dari 10 tuduhan pelanggaran etik, dan
merekomendasikan pemecatannya.
Langkah politik dan proses hukum tampaknya berjalan secara paralel dan
saling memperkuat, bukan menghambat. Traficant tidak hanya kehilangan
kursi
DPR, tetapi akhir bulan Juli ini akan diadili dengan tuntutan tujuh
tahun
penjara.
Para anggota DPR yang memberikan suara mendukung pemecatan, umumnya
mengaku
mengalami pergulatan batin. Sesuatu yang sangat manusiawi. Pada
dasarnya,
tak seorang pun ingin menghakimi rekannya sendiri.
AKAN tetapi, segera kelihatan pula, bagaimana DPR Amerika memilah-
milah
antara urusan pribadi, kepentingan kelompok, partai, atau pertemanan
dengan
kepentingan bangsa secara keseluruhan. Kepentingan
umum harus ditempatkan di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan
partai.
Pemihakan DPR AS terhadap kepentingan rakyat dan bangsa kembali
terlihat
jelas dalam kasus Traficant.
Tindakan pemecatan Traficant termasuk fenomenal dalam sejarah AS.
Tokoh
berusia 61 tahun dan beberapa kali terpilih menjadi anggota DPR sejak
tahun
1984, tercatat sebagai anggota DPR ke-2 yang dipecat sejak berakhir
Perang
Saudara tahun 1861-1865.
Kasus pertama menimpa Michael Myers, juga dari anggota Partai Demokrat
dengan daerah pemilihan Pennsylvania, tahun 1980. Myers dipecat atas
tuduhan
menerima suap dari agen-agen Dinas Rahasia Federal (FBI) yang menyamar
sebagai Sheikh Arab yang coba mengganti Undang-Undang (UU) Imigrasi.
Tiga anggota DPR lainnya, dipecat karena terbukti bersalah melakukan
pengkhianatan dengan mendukung gagasan konfederasi dalam Perang
Saudara
tahun 1861-1865. Dengan demikian, tercatat lima anggota DPR
yang dipecat selama sejarah negara modern AS.
KOMENTAR atas skandal Traficant bisa bermacam-macam, mulai dari yang
bernada
sinis sampai dengan dalih pembenaran diri. Dapat saja muncul suara,
DPR di
AS pun tidak luput dari godaan menerima suap, melakukan
pemerasaan, dan penggelapan pajak.
Namun, ada yang bergumam, alangkah hebatnya AS. Anggota DPR yang
ketahuan
melakukan kesalahan langsung dipecat oleh lembaganya sendiri. Tidak
perlu
menunggu-nunggu. Juga tidak ada upaya enyembunyikan kesalahan.
Keadaan ini
sangat kontras dengan situasi
di negara kita, Indonesia.
Agar penilaian terhadap skandal Traficant proporsional dan arif,
kiranya
perlu diakui pula, tidak pernah ada yang membenarkan anggapan bahwa
keadaan
di AS memang sudah serba beres dan sempurna.
Negeri itu memang maju dan makmur, tetapi masih terdapat banyak
persoalan,
termasuk korupsi, penggelapan pajak, konflik rasial, diskriminasi, dan
ketimpangan kaya-miskin. Namun, sejelek-jeleknya
AS, bangsa itu tetap memperlihatkan keunggulan dalam upaya
memperbaiki diri.
Segala sistem, perangkat hukum, dan mekanisme penyelesaian yang telah
disepakati, dilaksanakan secara konsekuen.
==============================
Supremasi Hukum AS Terlihat dalam Kasus Traficant
KOMPAS - Jumat, 02 Agustus 2002
HUKUMAN pemecatan dari keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
rupanya
belum cukup bagi James Traficant dari Partai Demokrat. Anggota DPR
dari
daerah pemilihan Ohio itu hari Selasa 30 Juli dijatuhi vonis delapan
tahun
penjara oleh Pengadilan Federal Amerika Serikat (AS).
Politisi flamboyan berusia 61 tahun itu dihukum karena menerima suap,
melakukan pemerasan, dan penggelapan pajak. Perbuatan Traficant tidak
hanya
dinilai melanggar hukum, tapi juga bertentangan dengan moralitas
sebagai
angggota DPR. Ia dinilai mengkhianati kepercayaan rakyat.
Kombinasi antara hukuman pemecatan dan penjara benar-benar pukulan
berat
bagi Traficant. Aspek tragedinya segera terasa. Sejak tahun 1984,
Traficant
yang pernah menjadi kepala polisi daerah itu menduduki kursi terhormat
sebagai wakil rakyat.
Berbagai kehormatan, fasilitas, dan gengsi sosial dirasakan Traficant.
Tetapi, seolah hanya dalam sekejab seluruh kehormatan itu ambruk.
Meski
terbuka untuk naik banding, Traficant segera masuk penjara.
SKANDAL Traficant tergolong causa celebre, kasus besar yang mengundang
perhatian banyak orang. Persoalannya sangat sensitif dilihat dari
substansinya maupun pelakunya. Kasusnya bertambah menarik karena
berlangsung
di lembaga DPR AS yang sangat disegani.
Kalangan DPR tentu saja terpukul atas kasus rekannya Traficant. Bukan
hanya
kalangan DPR terhentak, tapi seluruh masyarakat AS. Peristiwa itu
sendiri
termasuk langka dalam sejarah AS. Pemecatan anggota DPR merupakan
yang kedua
sejak berakhirnya Perang Saudara di AS tahun 1861-1965.
Kasus pertama menimpa Michael Myers, juga dari anggota Partai Demokrat
dengan daerah pemilihan Pennsylvania, tahun 1980. Myers dipecat atas
tuduhan
menerima suap dari agen-agen Dinas Rahasia Federal (FBI) yang menyamar
sebagai Sheikh Arab yang coba mengganti Undang-Undang (UU) Imigrasi.
Jika mau dibanding-bandingkan, kasus Traficant jauh lebih dramatis
ketimbang
Myers. Traficant tidak hanya dipecat seperti dialami Myers, tapi juga
dipenjarakan. Masa penjara delapan tahun bukanlah waktu yang pendek.
DALAM mengomentari kasus Traficant maupun Myers, mungkin ada saja yang
menyatakan, ternyata politisi AS juga tidak luput dari godaan korupsi.
Penyalahgunaan kekuasaan juga bisa ditemukan di AS, yang selama ini
dikenal
memiliki kultur dan struktur politik yang tergolong baik.
Berbagai godaan dipastikan akan terus datang dan pergi. Selalu ada
saja yang
bisa tergelincir atau sengaja menceburkan diri. Kasus Traficant dan
Myers
bisa dipakai sebagai contoh, meski termasuk langka.
Namun, perlu dikemukakan pula, skandal Traficant maupun Myers tidak
bisa
dilebih-lebihkan pula. Perlu penilaian yang lebih rasional dan
proposional.
Kiranya perlu dipahami, AS juga memiliki banyak persoalan. Bangsa AS
pun
tidak pernah mengklaim negerinya sebagai surga dunia, serba beres dan
sempurna.
Masih banyak persoalan dan kesulitan yang harus dihadapi. Bangsa AS
juga
terdiri dari manusia-manusia yang berwatak cepat tergoda melakukan
kesalahan
dan kejahatan. Berbagai kelemahan dasar manusia sebagai makhluk
pribadi
maupun sosial melekat pula pada masyarakat AS. Kerusuhan rasial
misalnya
masih terjadi.
AKAN tetapi, sulit dibantah pula AS senantiasa memperlihatkan
keseriusan
memperbaiki berbagai kelemahannya. Kekurangan dan kelemahan sengaja
diangkat, antara lain oleh pers, untuk meningkatkan kesadaran tentang
perlunya upaya perbaikan.
Maka sekali lagi, sejelek-jeleknya AS, negeri itu tetap memiliki
keunggulan
dan kecakapan dalam mencari solusi atas kesulitan yang dihadapinya.
Hukum
dan etika dijaga dan ditegakkan sebagai rambu agar anggota masyarakat,
politisi, dan pejabat pemerintah tidak cepat melakukan perbuatan
tercela.
Komitmen menegakkan hukum dan moralitas politik itu tampak jelas dalam
menyelesaikan skandal Traficant. Sejak kasus Traficant muncul ke
permukaan,
proses politik dan hukum dilakukan secara simultan. Lembaga DPR
sendiri
maupun aparat hukum cepat beraksi.
Kesalahan Traficant mulai terungkap bulan April lalu ketika panel
juri di
Cleveland, Ohio, memutuskan Traficant terbukti bersalah dalam 10
kasus yang
terkait dengan kasus suap, pemerasan, dan penggelapan pajak.
REAKSI lembaga DPR sendiri cepat pula. Tanpa harus menunggu desakan
masyarakat luas, DPR AS langsung membentuk panitia khusus (pansus).
Hasil
kerja pansus tidak disia-siakan oleh Komite Standar Perilaku Resmi
DPR.
Traficant dinyatakan bersalah, dan merekomendasikan pemecatannya.
Hasil pemungutan suara di kalangan DPR memperlihatkan, 420 suara
mendukung
pemecatan Traficant. Satu-satunya suara menolak datang dari Gary
Condit,
anggota Partai Demokrat, yang mungkin lagi frustrasi karena gagal
terpilih
kembali di daerah pemilihan California tahun 2002 ini. Traficant
sendiri
tidak memberikan suara.
Kesalahan Traficant dinilai telah mengkhianati kepercayaan rakyat.
Traficant
pun kehilangan kursi kehormatan yang didudukinya sejak terpilih
pertama kali
tahun 1984. Pukulan lebih berat datang lagi hari Selasa 30 Juli ketika
pengadilan menjatuhkan vonis delapan tahun penjara.
Supremasi dan kepastian hukum AS segera terlihat pada kasus Traficant.
Kenyataan ini terasa sangat kontras dengan situasi yang dialami bangsa
Indonesia saat ini. Persoalan supremasi dan kepastian hukum masih
sebatas
wacana. Rasa keadilan masyarakat terus saja dilecehkan.