[Nusantara] Denny JA : Korupsi dengan Gotong Royong

gigihnusantaraid gigihnusantaraid@yahoo.com
Sat Oct 12 10:36:13 2002


Korupsi dengan Gotong Royong
Oleh Denny J.A. *

Apa lagi yang harus dikatakan. Indonesia, dari pusat sampai daerah, 
sudah
dipersatukan oleh mata rantai korupsi. Isu suap melanda semua cabang
pemerintahan.

Belum tuntas kita menyelesaikan kasus korupsi Akbar Tandjung, sudah 
menyusul
isu suap anggota DPR oleh BPPN. Belum tuntas kita kupas soal korupsi 
anggota
DPR, jaksa agung telah pula menjadi "tertuduh". Belum puas kita gali 
kasus
jaksa agung, aneka korupsi di daerah merebak, dari kasus di 
Jogjakarta,
Semarang, sampai Bandung.

Siapa yang harus membongkar kasus korupsi ini? Kita ingin minta tolong
kepada wakil rakyat di lembaga legislatif, tapi pimpinan 
tertingginya, Akbar
Tandjung, juga sedang dirundung masalah KKN yang sama. Kita ingin 
minta
tolong ke eksekutif, jalurnya melalui Kejaksaan Agung. Namun, jaksa 
agung
juga sedang dituduh sejenis KKN pula. Kita ingin minta tolong kepada 
lembaga
yudikatif, tapi korps hakim sedang pula dirundung malang. Tiga hakim 
dari
kasus Manulife sedang diperiksa untuk kasus KKN juga. Tiga hakim itu
hanyalah puncak dari gunung es mafia peradilan yang sudah sangat 
kesohor.
Lengkaplah sudah korupsi pemerintahan di era reformasi.

Kolektif

Kasus suap yang melanda DPR dan DPRD sangatlah unik karena dilakukan 
secara
gotong royong. Ambillah kasus isu suap di Jogjakarta. Diberitakan, 
sejumlah
anggota DPRD Jogjakarta meminta dana kepada kontraktor PT Adhi Karya, 
dalam
hubungannya dengan pembangunan gedung mewah Jogja Expo Center, 
sekitar 42
miliar. Agar pembayaran kepada PT itu lancar, sebagian anggota DPRD 
tersebut
meminta uang pelicin. Tak tanggung-tanggung, 25 anggota DPRD (sekitar 
50%
anggota DPRD) ikut gotong royong dalam praktik amplop itu.

Sebanyak 25 anggota DPRD itu datang dari aneka partai, dari PDIP, 
Golkar,
sampai PPP. Mereka juga berasal dari berbagai komisi, dari komisi A 
sampai
komisi E. Mereka juga punya posisi politik di DPRD yang beragam, dari 
ketua
DPRD, sekretaris komisi, sampai ke anggota komisi. Perbedaan latar 
belakang
dan posisi itu ternyata tak menghalangi mereka bersatu padu dalam 
proyek
korupsi kolektif.

Pemilihan guberbur dan wakil gubernur juga diramaikan oleh bau tak 
sedap
yang sama. Di Jakarta, Sutiyoso terpilih kembali, namun diributkan 
dengan
kasus money politics. Sejumlah anggota PDIP menebalkan kertas suara 
secara
kolektif memilih pasangan Sutiyoso dan Fauzi Wibowo. Sementara di
Jogjakarta, isu sogokan 1 miliar mewarnai pemilihan wakil gubernur.
Pengusaha di Jogja mengeluh harus mengeluarkan sejumlah uang untuk 
pemilihan
wakil gubernur itu.

Korupsi gotong royong itu hanya dimungkinkan oleh kombinasi besarnya
kewenangan bersama, sekaligus kecilnya kontrol dan absennya 
punishment.
Kekuasan DPR dan DPRD sekarang sangatlah besar. Kekuasaan itu dapat
diproyekkan. Semakin penting kasus yang dapat ditangani melalui 
kekuasaan
itu, semakin besar pula nilai proyek uangnya.

DPRD memiliki kekuasaan untuk memilih gubernur dan wakil gubernur. 
Sekaligus
DPRD juga memiliki kekuasaan untuk menerima atau menolak 
pertanggungjawaban
gubernur. Kekuasaan ini dapat mereka tawarkan kepada calon gubernur 
dan
wakil gubernur yang berminat. Tentu ini dilakukan dengan kompensasi 
dana
secukupnya. Karena banyak yang ingin menjadi gubernur, tawaran itu 
umumnya
disambut. Sang gubernur kemudian terpilih.

Untuk mengembalikan "modal" yang sudah disetor kepada anggota DPRD, 
sang
gubernur pun akan "kerja keras" mengumpulkan kekayaan pribadi dengan
memanfaatkan jabatannya. Jika sang gubernur tak ingin laporan 
tahunannya
ditolak, ada lagi kompensasi bagi anggota DPRD yang terhormat. Semua 
jalin-
menjalin dalam jaringan korupsi yang saling menguntungkan.

DPR juga memiliki kewenangan menentukan anggaran untuk provinsi. 
Anggaran
daerah tertentu mungkin dinaikkan atau diturunkan. Petualang politik 
di DPR
dapat menegosiasikan naiknya anggaran bagi daerah yang berminat. 
Tentu saja
itu dilakukan dengan uang pelicin buat segerombolan anggota DPR yang
terhormat.

Kekuasaan yang sama dimiliki oleh DPRD. Seberapa besar dana harus 
disediakan
untuk proyek tertentu dan kapan harus dicairkannya ditentukan oleh 
DPRD. Tak
heran, anggota DPRD Jogjakarta mampu memperoleh amplop dari PT Adhi 
Karya
melalui kekuasaan anggaran itu.

Bahkan, kekuasaan DPR dan DPRD di bidang legislasi tak kalah 
basahnya. Pasal
apa yang harus ada, dan pasal apa yang harus hilang, dalam undang-
undang
atau peraturan daerah dapat diatur. Semakin pasal itu memiliki 
konsekuensi
ekonomi bagi sebuah perusahaan besar atau lembaga yang berpengaruh, 
semakin
tinggi posisi bargaining anggota DPR dan DPRD.

Penyalahgunaan kekuasaan itu harus dilakukan secara kolektif karena
kekuasaan di DPR dan DPRD memang bersifat kolegial. Tak ada gunanya 
sebuah
calon kebijakan jika hanya didukung minoritas. Keputusan di DPR 
diambil
melalui voting. Suap yang berhasil haruslah suap terhadap mayoritas 
anggota
DPR atau DPRD.

Di samping itu, mekanisme internal kontrol bagi DPR dan DRPD harus 
pula
dilumpuhkan. DPR memang memiliki kode etik dan Dewan Kehormatan. 
Bahkan,
Dewan Kehormatan itu berwenang memecat angota DPR. Namun, mekanisme 
dan
prosedur untuk membentuk Dewan Kehormatan serta prinsip dalam kode 
etik
disusun sedemikian rupa. Dua lembaga itu akhirnya tak pernah sekali 
pun
digunakan dan tidak berfungsi.

Justru karena dilakukan kolektif, korupsi gotong rotong ini sulit 
dikupas
tuntas. Masing-masing pihak akan saling melindungi. Satu terbongkar, 
yang
lain terancam kena. Korupsi gotong royong juga menghasilkan upaya
menghalangi pembongkarannya dengan gotong royong pula.

Korupsi gotong royong umumnya terbongkar melalui the whistle blowers.
Istilah ini merujuk kepada orang dalam, yang juga menerima amplop, 
tapi
kemudian bernyanyi ke luar, membuka rahasia. Orang dalam ini yang 
membuat
kasus itu terbuka ke luar dan menjadi santapan pers. Di DPR, the 
whistle
blowers itu antara lain, Meliono Suwondo dan Indira Damayanti. 
Sementara
itu, di DPRD Jogjakarta adalah Khairuddin dan Agus Subagyo.

Namun, mafia korupsi itu ibarat dinding raksasa. Sementara the whistle
blowers hanya memiliki sebuah pisau kecil. Harus ada koalisi politik 
yang
sama besarnya, terdiri dari pers, LSM, dan politisi berpengaruh yang
berkomitmen, untuk membongkar dinding raksasa korupsi.

Mereka yang peduli secepatnya membentuk koalisi antikorupsi itu. Jika 
tidak,
ibu pertiwi keburu kehabisan darah karena para monster itu kini sudah
melakukan korupsi secara gotong royong. Korupsi sudah mengepung 
kita.***
* Denny J.A., direktur eksekutif Yayasan Universitas dan Akademi 
Jayabaya